Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 225043 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ardhito Budhijuwono
"Latar Belakang : Hiperurisemia pada pilot dapat meningkatkan risiko terjadinya inkapasitasi baik akibat penyakit sendi, batu, maupun jantung. Hiperurisemia dapat disebabkan berbagai faktor seperti jenis makanan, jumlah volume cairan yang dikonsumsi, kebiasaan aktivitas fisik, dan paparan dari lingkungan penerbangan. Data menunjukkan bahwa pada populasi pekerja rata-rata memiliki kebiasaan konsumsi cairan sebanyak 1882 ml/hari. Angka ini masih di bawah nilai kebutuhan cairan harian yang direkomendasikan yaitu sekitar 2000 ml/hari. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kebiasaan minum, tipe penerbangan, kebiasaan makan buah dan sayur, serta aktivitas fisik dengan hiperurisemia pada pilot sipil di Indonesia.
Metode : Penelitian menggunakan metode potong lintang dari pengisian kuesioner dan rekam medis pilot sipil di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta yang melakukan pemeriksaan 6-10 Juni 2022. Data yang dikumpulkan dari kuesioner meliputi: usia, ras, jenis kelamin, lisensi, berat badan, tinggi badan, tipe penerbangan, kebiasaan makan buah dan sayur, dan aktivitas fisik. Data kebiasaan minum secara khusus dikumpulkan menggunakan kuesioner 7 days fluid record. Dari rekam medis data yang didapat berupa kadar asam urat. Hiperurisemia adalah konsentrasi urat plasma lebih dari 6,8 mg/dl. Pengolahan data menggunakan aplikasi IBM® SPSS® Statistics Version 22.
Hasil : Dari 141 pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan dan setuju untuk ikut dalam penelitian, sebanyak 23 tidak merespon ketika dihubungi dan sebanyak 33 orang masuk dalam kriteria drop out sehingga jumlah sampel penelitian menjadi 85 pilot. Karakteristik pilot yang didapat dalam penelitian ini sebanyak 56,5% berusia diatas 30 tahun, 63,5% memiliki kategori indeks massa tubuh obesitas, dan 49,4% memiliki tipe penerbangan short haul. Sebanyak 54,1% memiliki kadar asam urat tinggi (hiperurisemia) dan 45,9% memiliki kadar asam urat normal. Data menunjukkan bahwa kebiasaan minum pilot sipil di Indonesia rata-rata berada di angka 2246,10 ml per hari dengan rata-rata jumlah konsumsi air putihnya berada di angka 1910,49 ml per hari. Sebanyak 98,8% responden memiliki kebiasaan makan buah dan sayur yang kurang dari yang direkomendasikan. Sebanyak 71,8% responden memiliki aktivitas fisik inaktif. Dari hasil analisa statistik tidak ditemukan adanya faktor risiko yang diteliti yang berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya hiperurisemia.
Kesimpulan : Karakteristik pilot yang ditemukan sebagian besar berusia di atas 30 tahun, memiliki indeks massa tubuh obesitas, dan memiliki tipe penerbangan short haul. Prevalensi hiperurisemia pada pilot sipil ditemukan sebesar 54,1%. Sebanyak 54,1% pilot sipil di Indonesia sudah memiliki kebiasaan minum yang baik sesuai rekomendasi (≥ 2000 ml per hari). Pilot sipil di Indonesia belum memiliki kebiasaan makan buah dan sayur yang baik sesuai rekomendasi. Pilot sipil di Indonesia masih banyak yang memiliki aktivitas fisik kategori inaktif daripada yang aktif. Kecenderungan hiperurisemia ditemukan pada sampel yang kebiasaan minumnya kurang dari yang direkomendasikan (59%), memiliki tipe penerbangan long haul (81,8%), memiliki kebiasaan makan buah dan sayurnya kurang dari yang direkomendasikan (54,8%), dan yang memiliki aktivitas fisik aktif (71,4%).

Background : Hyperuricemia in pilots can increase the risk of incapacity due to joint, stone, and heart disease. Hyperuricemia can be caused by various factors such as the type of food, the amount of fluid volume consumed, physical activity habits, and exposure from the flight environment. Data shows that the working population has an average of 1882 ml/ day of fluid consumption. This figure is still below the recommended daily fluid requirement value of about 2000 ml / day. The purpose of this study was to determine the relationship between drinking habits, flight types, fruit and vegetable eating habits, as well as physical activity with hyperuricemia in civilian pilots in Indonesia.
Methods : The study used the cross-section method from filling out questionnaires and medical records of civilian pilots at the Aviation Health Center, Jakarta, which conducted an examination from June 6-10, 2022. The data collected from the questionnaire included: age, race, gender, license, weight, height, flight type, fruit and vegetable eating habits, and physical activity. Drinking habits data were specifically collected using a 7 days fluid record questionnaire. From the medical record, the data obtained is in the form of uric acid levels. Hyperuricemia is a plasma urate concentration of more than 6,8 mg/dl. Data processing using IBM® SPSS® Statistics Version 22 applications.
Results : From the 141 pilots who conducted medical examinations and agreed to participate in the study, 23 did not respond when contacted and 33 people were included in the drop out criteria, bringing the number of study samples to 85 pilots. The characteristics of the pilots obtained in this study were 56.5% over the age of 30 years, 63.5% had an obese body mass index category, and 49.4% had a short haul flight type. About 54.1% had high uric acid levels (hyperuricemia) and 45.9% had normal uric acid levels. Data shows that the drinking habits of civilian pilots in Indonesia are on average at 2,246.10 ml per day with the average amount of water consumption at 1,910.49 ml per day. About 98.8% of respondents have the habit of eating fruits and vegetables that are less than recommended. It was also found that 71.8% of respondents had inactive physical activity. From the results of statistical analysis, it was not found that there were risk factors studied were associated with an increased risk of hyperuricemia.
Conclusion : The characteristics of the pilots found were mostly over 30 years old, had an obese body mass index, and had a short haul flight type. The prevalence of hyperuricemia in civilian pilots was found to be 54.1%. As many as 54.1% of civilian pilots in Indonesia already have good drinking habits according to recommendations (≥ 2000 ml per day). Civilian pilots in Indonesia do not yet have the habit of eating good fruits and vegetables as recommended. Civil Pilots in Indonesia still have more inactive category physical activity than active ones. A tendency to hyperuricemia was found in samples whose drinking habits were less than recommended (59%), having a long haul flight type (81.8%). have the habit of eating fruits and vegetables less than recommended (54.8%), and those with active physical activity (71.4%).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simplisius Cornelis Tisera
"Latar Belakang : Dalam dunia penerbangan, selain memberikan dampak negatif pada kesehatan pilot, hiperurisemia juga dapat membahayakan keselamatan penerbangan melalui risiko inkapasitasi baik dikaitkan dengan peningkatan risiko terhadap penyakit kardiovaskular maupun dikaitkan dengan penyakit gout. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya prevalensi hiperurisemia pada pilot sipil di Indonesia dan identifikasi faktor-faktor risiko hiperurisemia terhadap pilot sipil di Indonesia. Metode : Penelitian menggunakan metode potong lintang dari rekam medis pilot sipil di Balai Kesehatan Penerbangan, Jakarta yang melakukan pemeriksaan 1 November 2019–30 April 2020. Data yang dikumpulkan dari rekam medis meliputi: data laboratorium asam urat dan kreatinin, usia, jam terbang total, IMT, konsumsi alkohol, dan riwayat penggunaan obat-obatan. Hiperurisemia adalah konsentrasi urat plasma lebih dari 7.0 mg/dl. Pengolahan data menggunakan aplikasi IBM® SPSS® Statistics Version 20. Hasil : Di antara 5399 pilot yang melakukan pemeriksaan kesehatan, sebanyak 194 merupakan kriteria eksklusi, sehingga jumlah sampel penelitian menjadi 5202 pilot; 18,4% memiliki kadar asam urat tinggi (hiperurisemia) dan 81,6% memiliki kadar asam urat normal. Pilot yang memiliki jam terbang total ≥ 5000 menurunkan risiko terjadinya hiperurisemia sebesar 24% dibandingkan pilot dengan total jam terbang < 5000 (OR 0,76 (95% IK 0,62-0,93); p=0,007). Pilot yang usianya ≥ 30 tahun menurunkan risiko hiperurisemia sebanyak 25% dibandingkan dengan pilot berusia < 30 tahun (OR 0,75 (95% IK 0,62-0,91); p=0,004). Pilot yang obesitas dan overweight memiliki risiko masing-masing 2,98 kali (OR 2,98 (95% IK 2,33-3,83); p<0,001) dan 1,36 kali (OR 1,36 (95% IK 1,01-1,83); p=0,042) lebih besar mengalami hiperurisemia dibandingkan dengan pilot yang memiliki IMT normal. Selanjutnya jika dibandingkan pilot yang tidak mengkonsumsi alkohol, pilot yang mengkonsumsi alkohol memiliki risiko 14,68 kali lebih besar mengalami hiperurisemia (OR 14,68 (95% IK 9,35-23,06); p<0,001). Kesimpulan : Prevalensi hiperurisemia pada pilot sipil di Indonesia sebesar 18,4%. IMT obesitas dan overweight serta konsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadinya kondisi hiperurisemia pada pilot sipil di Indonesia.

Background : In the aviation world, in addition to having a negative impact on pilot health, hyperuricemia can also endanger flight safety through the risk of incapacitation either associated with an increased risk of cardiovascular disease or associated with gout. The purpose of this study is to determine the prevalence of hyperuricemia in civil pilots in Indonesia and identification of risk factors for hyperuricemia in civil pilots in Indonesia. Methods : The study used a cross-sectional method from the medical records of civil pilots at Aviation Medical Center, Jakarta which conducted an examination on 1 November 2019 – 30 April 2020. Data collected from medical records included: laboratory data of uric acid and creatinine, age, total flight hours, BMI, alcohol consumption, and history of drug use. Hyperuricemia is a plasma urate concentration of more than 7.0 mg/dl. Data processing using the IBM® SPSS® Statistics Version 20 application. Results : Of the 5399 pilots conducting medical examination, 194 were exclusion criteria, bringing the total sample of the study to 5202 pilots; 18.4% had high uric acid levels (hyperuricemia) and 81.6% had normal uric acid levels. Pilots who have total flight hours ≥ 5000 reduce the risk of hyperuricemia by 24% compared to pilots with total flight hours < 5000 (OR 0.76 (95% CI 0.62-0.93); p=0.007). Pilots aged ≥ 30 years reduced the risk of hyperuricemia by 25% compared with pilots aged <30 years (OR 0.75 (95% CI 0.62-0.91); p =0.004). Obese and overweight pilots had a risk of 2,98 times (OR 2.98 (95% CI 2.33-3.83); p <0.001) and 1.36 times (OR 1.36 (95% IK 1.01-1.83); p=0,042) greater experience hyperuricemia compared with pilots who have a normal BMI. Furthermore, compared to pilots who did not consume alcohol, pilots who consumed alcohol had a 14.68 times greater risk of developing hyperuricemia (OR 14.68 (95% CI 9.35-23.06); p <0.001). Conclusion : The prevalence of hyperuricemia in civil pilots in Indonesia is 18.4%. BMI obesity and overweight and alcohol consumption increase the risk of hyperuricemia in civil pilots in Indonesia. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rezania Khairani Mochtar
"Angka prevalensi hiperurisemia yang sudah menunjukkan manifestasi sebagai penyakit sendi atau gout tercatat sebesar 1.36%. Kondisi hiperurisemia diketahui merupakan faktor risiko yang berperan dalam penurunan fungsi ginjal dan memiliki hubungan erat dengan batu ginjal.
Tujuan: Mengetahui adanya hubungan antara kondisi hiperurisemia pada pasien dengan batu ginjal terhadap fungsi ginjal.
Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 942 pasien batu ginjal di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2000-2013.
Hasil: Dari 5464 pasien batu di RSUPN Cipto Mangunkusumo sepanjang tahun 2000-2013, didapatkan 942 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Hasil analisis menunjukkan hubungan yang bermakna antara hiperurisemia dengan fungsi ginjal pada pasien dengan batu ginjal (p < 0.001). Didapatkan pula bahwa predominansi pasien dengan batu ginjal adalah laki-laki (68.5%), serta rerata usia pasien batu ginjal adalah 47 tahun (SD = 12.4). Subjek dengan hiperurisemia yang mengalami penurunan fungsi ginjal tercatat sebanyak 11.3%.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara kondisi hiperurisemia dengan fungsi ginjal pada pasien dengan batu ginjal. Oleh karena itu, pengendalian kadar asam urat dalam darah harus menjadi perhatian khusus untuk menghindari terjadinya perburukan fungsi ginjal.

The recorded prevalence of hyperuricemia demonstrated as a manifestation of joint disease or gout is 1.36%. Hyperuricemia is known as a risk factor which plays an important role in the declining of renal function and has a close relationship with kidney stones.
Aim: To find out the relationship between the hyperuricemia in patients with kidney stones and renal function.
Method: A cross-sectional study conducted on 942 kidney stone patients in the Cipto Mangunkusumo Hospital through 2000-2013.
Result: Out of 5464 kidney stone patients in Cipto Mangunkusumo Hospital during the years 2000-2013, we obtained 942 subjects who meet the appointed inclusion and exclusion criterias. The analysis revealed a significant association between hyperuricemia and renal function in patients with kidney stones (p <0.001). It was also found that the predominance of patients with kidney stones are men (68.5%), and the mean age of the patients with kidney stones was 47 years (SD = 12.4). Prevalence of hyperuricemic subjects whom renal function declines, is recorded as 11.3%.
Conclusion: There is a significant association between hyperuricemia and renal function in patients with kidney stones. Therefore, the control of serum uric acid levels should be a particular concern to avoid the deterioration of renal function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sucia Miranti
"Air bersih di Indonesia dapat diakses melalui pelayanan yang disediakan oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) bernama PDAM (Perusahaan Air Minum Daerah). Hal ini memungkinkan pemerintah daerah untuk ikut andil dalam pengelolaan air di daerah administratifnya masing-masing. PDAM bertanggung jawab untuk menjaga pasokan air di daerah dan menghasilkan pendapatan dari bisnis air bersih tersebut. Namun penyediaan air bersih masih belum efektif sehingga menyebabkan kualitas air yang tidak memadai, distribusi air yang rendah, bahkan kerugian finansial. Untuk mengukur dan menganalisa inefisiensi pelayanan air minum dan pertumbuhan produktivitas PDAM dari tahun 2012-2016, penelitian ini menggunakan teknik non-parametrik, yaitu Data Envelopment Analysis (DEA) dan Malmquist Index Calculation untuk mengukur produktivitas setiap PDAM di Indonesia. Penelitian ini mengungkapkan bahwa terdapat inefisiensi yang signifikan di antara PDAM dari berbagai daerah di Indonesia. Ditemukan bahwa PDAM di luar Jawa berkinerja lebih baik daripada di Jawa; Oleh karena itu, PDAM membutuhkan intervensi kebijakan. Operasional PDAM di kota besar harus direstrukturisasi untuk meningkatkan produktivitas. Selain itu, penyesuaian teknologi (TECCH) tidak secara signifikan meningkatkan efisiensi. Namun, peningkatan produktivitas sebagian besar disebabkan oleh kemajuan teknologi

Sufficiently clean water is accessible in Indonesia where municipally-owned cooperation (BUMD) handles the management of the PDAM. It allows local governments authority over water management in their administrative districts. This organization is responsible for maintaining the region's water supply while earning income from water business operations. However, this effort is not deemed effective since having a large number of PDAMs results in inadequate water quality, low water distribution, and even financial losses. However, the assumption lack factual evidence as they are not assessed alongside the government audit. In order to analyze the inefficiencies of water supply services and the productivity growth of PDAMs from 2012-2016, this research proposes to use a non-parametric technique, namely data envelopment analysis (DEA) and Malmquist Index Calculation, respectively. The research findings reveal that there were significant inefficiencies among PDAM from various regions in Indonesia. It was found that PDAMs outside Java performed better than those in Java; thus, PDAM needs policy intervention. The operations of larger municipal PDAMs should be restructured to increase productivity. There was no TFP growth (TFPCH) in PDAMs evidenced by the reduction in pure technical (TECH) and scale efficiency change (SECH). In addition, the positive technological adjustment (TECCH) did not significantly improve efficiency. Regarding the increase in the number of PDAMs resulting from technological improvement, the increase in productivity was largely due to technological advancement.
"
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marchia Primarhyani
"Hiperurisemia atau yang disebut peningkatan asam urat bisa menjadi risiko untuk terjadinya penyakit lain seperti stroke. Stroke diketahui berhubungan juga dengan nilai viskositas darah. Peneliti ingin mengetahui lebih lanjut tentang hubungan antara viskositas darah dengan hiperurisemia. Untuk mengetahui viskositas darah di laboratorium dengan harga alat yang mahal, maka dibuat alat mikrokapiler digital untuk mempermudah pasien mengecek viskositas darah.
Maka dari itu dilakukan penelitian dengan menggunakan alat mikrokapiler digital untuk melihat hubungan pasien penderita hiperurisemia dengan hiperviskositas darah. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional dengan mengambil data sekunder dari pemeriksaan kadar asam urat dan viskositas darah (n = 193) pada pasien yang datang ke Pos Binaan Terpadu (Posbindu) binaan Departemen Ilmu Kesehatan Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di bulan Januari dan Maret 2015 dan data orang sehat dari Al Rasyid, dkk8.
Pada hasil analisis data diketahui terdapat proporsi pasien hiperurisemia sebesar 21,2% (n = 41) dan pasien hiperviskositas 86,5% (n=167). Pada hasil uji Chi ? Square terdapat perbedaan bermakna antara pasien hiperurisemia dengan orang sehat dari data Al Rasyid, dkk8 sebagai kontrol. Digunakan uji korelasi Spearman untuk menganalisis hubungan hiperurisemia dengan hiperviskositas darah. Didapatkan hasil uji korelasi yaitu tidak terdapat hubungan yang bermakna diantara nilai asam urat dengan viskositas darah pasien yang datang ke Posbindu.

Hyperuricemia, or the increasing of uric acid level above normal level, is a risk factor for many diseases, such as stroke. Stroke is associated with blood viscosity. The measurement of blood viscosity can only be done in laboratory setting and the equipment is expensive, therefore digital microcapillary instrument is made to measure blood viscosity practically.
The aim of this research was to determine the association between hyperuricemia and blood viscosity which is measured using digital microcapillary instrument. This cross-sectional study used secondary data from the blood viscosity and uric acid level of 193 people who came to Pos Binaan Terpadu (Posbindu) of Departemen Ilmu Kesehatan Komunitas Faculty of Medicine University of Indonesia between January and March 2015 and used secondary data of healthy patient from Al Rasyid,et al8. The proportion of hyperuricemia patients in this research is 21,2% (n=41) and 86,5% hyperviscosity patients (n=167). Hyperuricemia patients and healthy people from secondary data Al Rasyid,et al8 as control was analyzed using Chi - Square test and showed a significant difference. The association of hyperuricemia and blood hyperviscosity was then analyzed using Spearman test.
The result showed that hyperuricemia and blood hyperviscosity was statistically insignificant with patient who came to Posbindu.hyperuricemia, hyperviscosity, uric acid, stroke, digital microcapillary instrumen."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Boedi
"Pelayanan air minum perkotaan mengandung elemen kebijakan sosial yang kuat, karena pelayanan air minum merupakan salah satu jenis pelayanan umum yang berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat luas. Kondisi pelayanan air minum yang dilaksanakan oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di seluruh Indonesia dinilai oleh banyak pihak tidak baik dan bermasalah. Kondisi ini diasumsikan bersumber dari permasalahan rendahnya tarif jual air dan kebocoran air pada pelaksanaan pelayanan, serta permasalahan sumber daya manusia pengelola. Akibatnya, secara umum, 306 PDAM yang tersebar di seluruh Indonesia mengalami masalah inefisiensi dan terlalu besarnya hutang yang harus di tanggung oleh masing-masing PDAM.
Keterpurukan pengelolaan pelayanan air minum ini banyak dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah akibat pengaruh sifat birokrasi pelayanannya yang tidak mengikuti kaidah sifat birokrasi modern. Sikap birokrasi yang tidak modern pada jajaran Direksi PDAM ini mengikuti sikap yang ada pada birokrasi pemerintahan di Indonesia. Birokrasi pemerintah di Indonesia masih merupakan birokrasi tempat saling berbenturannya nilai-nilai modern dan tradisional yang terbentuk dari sejarah yang cukup panjang.
Untuk memperbaiki kondisi pelayanan air minum di Indonesia saat ini diperlukan jiwa kewirausahaan sejati dan akuntabilitas dari jajaran Direksi PDAM, sehingga mampu untuk mengatasi berbagai masalah yang menimpa manajemen PDAM. Dalam penelitian ini disusun dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Apakah terdapat pengaruh Sikap Birokrasi Pemerintah terhadap kewirausahaan Jajaran Direksi Perusahaan Daerah Air Minum di Indonesia? 2. Apakah terdapat pengaruh Sikap Birokrasi Pemerintah terhadap Akuntabilitas Jajaran Direksi Perusahaan Daerah Air Minum di Indonesia?
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui :
1.Seberapa besar pengaruh Sikap Birokrasi Pemerintah terhadap Kewirausahaan JajaranDireksi Perusahaan Daerah Air Minum di Indonesia?
2.Seberapa besar pengaruh Sikap Birokrasi Pemerintah terhadap Akuntabilitas Jajaran Direksi Perusahaan Daerah Air Minum di Indonesia?
Hipotesis yang diajukan :
1.Terdapat pengaruh Sikap Birokrasi Pemerintah terhadap Kewirausahaan .Jajaran Direksi Perusahaan Daerah Air Minum di Indonesia.
2.Terdapat pengaruh Sikap Birokrasi Pemerintah terhadap Akuntabilitas Jajaran Direksi Perusahaan Daerah Air Minum di Indonesia.
Metodologi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Pengambilan sampel penelitian sebanyak 36 responden dari populasi 306 PDAM, menggunakan Teknik Stratified Random Sampling, stratum sample terdiri dari Direktur Utarna, Direktur Teknik/Operasi, dan Direktur administrasifKeuangan pada PDAM yang terdapat di selurub Indonesia.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dan alat pengumpulan data yang meliputi Teknik Wawancara, Teknik Kuesionering, Observasi dan Studi Kepustakaan. Penyusunan Kuesionering menggunakan penskalaan Teknik Skala Likert; Teknik analisa data menggunakan Metoda Analisis Deskriptif Kuantitatif yang didukung dengan Metoda Analisis Deskriptif Kualitatif.
Hasil Penelitian mencakup gambaran umum permasalahan pelayanan air minum di Indonesia yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Budaya organisasi yang berlaku di dalam birokrasi pemerintahan merupakan sumber atau acuan sikap manajerial yang masih melekat pads jajaran Direksi PDAM. Atau dengan kata lain, terdapat sikap birokrasi pemerintah di kalangan jajaran Direksi PDAM di Indonesia.
2. Sikap birokrasi pemerintah yang melekat pada Direksi PDAM secara sadar atau tidak disadari telah memotivasi dan menjadi sifat kebijakan dan gaya kepemimpinan pada jajaran Direksi PDAM di Indonesia.
3. Kebijakan dan kepemimpinan yang demikiian itu mendorong terbentuknya sikap dan perilaku organisasi tertentu dikalangan staf atau pegawai PDAM, yang pada umunya juga berasal dari instansi-instansi pemerintahan.
4. Sikap dan perilaku organisasi tersebut kemudian membentuk dan sekaligus menjadi ciri kinerja PDAM.
5. Kineija PDAM menunjukan fenomena permasalahan inefisiensi perusahaan yang antara lain disebabkan oleh faktor internal yaitu rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan faktor eksternal, yaitu rendah dan tidak layaknya tarif air minum akibat resistensi masyarakat.
6. Rendahnya kualitas sumber daya manusia tersebut dapat diartikan sebagai masalah kewirausahaan pada jajaran Direksi PDAM, dan rendah serta tidak Iayaknya tarif air minum dapat diartikan sebagai masalah akuntabilitas publik PDAM."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Seina Rizky Priambodo
"Perkembangan‌ ‌jumlah‌ ‌masyarakat/penduduk‌ ‌yang‌ ‌tidak‌ ‌diikuti‌ ‌dengan‌ ‌perkembangan‌ ‌fasilitas‌ ‌serta‌ ‌utilitas‌ ‌yang‌ ‌memadai‌ ‌tentu‌ ‌akan‌ ‌mengakibatkan‌ ‌defisit‌ ‌dalam‌ ‌pemenuhan‌ ‌kebutuhan‌ ‌masyarakat‌ ‌tersebut.‌ ‌Terdapat‌ ‌isu‌ ‌terkait‌ ‌ terbatasnya‌ ‌penawaran‌ ‌(supply)‌ ‌air‌ ‌yang‌ ‌ada‌ ‌di‌ ‌wilayah‌ ‌DKI‌ ‌Jakarta‌ ‌yang‌ ‌disebabkan‌ ‌oleh‌ ‌bertambahnya‌ ‌jumlah‌ ‌penduduk,‌ ‌terbatasnya‌ ‌supply‌ ‌air‌ ‌baku,‌ ‌tingginya‌ ‌tingkat‌ ‌pencemaran‌ ‌sebagai‌ ‌sumber‌ ‌air‌ ‌permukaan,‌ ‌eksploitasi‌ ‌air‌ ‌secara‌ ‌besar-besaran,‌ ‌dan‌ ‌berkurangnya‌ ‌daerah‌ ‌tangkapan‌ ‌air‌ ‌akibat‌ ‌menurunnya‌ ‌jumlah‌ ‌wilayah‌ ‌serapan.‌ ‌Tujuan‌ ‌ untuk‌ ‌menganalisa‌ ‌bagaimana‌ ‌kualitas‌ ‌air‌ ‌minum‌ ‌yang‌ ‌ada‌ ‌di‌ ‌Jabodetabek‌ ‌berdasarkan‌ ‌data‌ ‌sekunder‌ ‌Susenas‌ ‌(Survei‌ ‌ Sosial‌ ‌Ekonomi‌ ‌Nasional)‌ ‌dan‌ ‌keterkaitannya‌ ‌dengan‌ ‌kondisi‌ ‌sosial,‌ ‌ekonomi,‌ ‌dan‌ ‌demografi‌ ‌rumah‌ ‌tangga‌ ‌dengan‌ ‌ menggunakan‌ ‌metode‌ ‌penelitian‌ ‌kuantitatif‌ ‌analisis‌ ‌menggunakan‌ ‌regresi logistik binary. Hasil menunjukkan pada Provinsi DKI Jakarta sudah memiliki akses sumber air minum layak 90.62% dan Bodetabek sebesar 80.03%. Namun masih terdapat 9.38% rumah tangga di Provinsi DKI Jakarta dan 19.97% wilayah Bodetabek rumah tangga yang tidak mendapatkan akses tersebut. Analisis regresi pada Provinsi DKI Jakarta menunjukkan faktor seperti status migrasi, pendidikan kepala rumah tangga, pengeluaran kapita, daerah lokasi rumah tinggal, keluhan terhadap penyakit, dan kepemilikan asuransi berpengaruh signifikan terhadap ketersediaan air minum layak. Sedangkan pada wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi menunjukkan faktor jumlah ART, status menikah, jenis kelamin KRT, pendidikan terakhir, pengeluaran kapita, status kepemilikan rumah, dan daerah rumah tangga berpengaruh signifikan terhadap ketersediaan fisik air minum yang layak.

The development of the number of communities / residents who are not followed by the development of facilities and adequate utilities will certainly result in a deficit in the fulfillment of the needs of the community. There are issues related to the limited supply (supply) of water in the DKI Jakarta area caused by increasing population , The limited supply of raw water, the high level of pollution as a surface source, massive water exploitation, and reduced water catchment areas due to the decline in the amount of absorption area. The purpose of analyzing how the quality of drinking water in Jabodetabek is based on Secondary Susenas data (National Socio-Economic Survey) and its relevance to household social, economic, and demographic conditions using the research method AND quantitative analysis using binary logistic regression. The results showed that in DKI Jakarta Province already had access to drinking water sources worth 90.62% and Bodetabek was 80.03%. But there are still 9.38% of households in DKI Jakarta Province and 19.97% of household bodetabek areas that do not get these access. Regression analysis in DKI Jakarta Province showed factors such as migration status, household head education, capita expenditure, residential location area, complaints against disease, and insurance ownership significantly influence the availability of decent drinking water. Whereas the Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi regions show factor number of ART, married status, KRT gender, last education, capita expenditure, home ownership status, and household regions have a significant effect on the physical availability of decent drinking water."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryaldi Aries
"Air merupakan kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi karena fungsinya yang utama yaitu untuk kelangsungan hidup manusia. Bertambahnya jumlah penduduk namun tidak disertai dengan bertambahnya supply air minum, adanya tuntutan hidup sehat, serta pertumbuhan ekonomi mendorong pertumbuhan industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) sehingga menciptakan persaingan. Kecamatan Pademangan merupakan wilayah yang rawan akan penyediaan air bersih. Memicu masyarakat sekitar untuk beralih menggunakan AMDK sebagai kebutuhan akan air minum yang bersih dan higienis. Penelitian ini ingin mengkaji persaingan AMDK yang berlangsung di tingkat retail dalam Kecamatan Pademangan. Penggunaan teknik overlay peta dan skoring adalah untuk menghasilkan wilayah persaingan di Kecamatan Pademangan. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa Kecamatan Pademangan merupakan wilayah dengan tingkat persaingan sedang yang mencakup sebagian besar wilayah di Kecamatan Pademangan yaitu wilayah industri, pemukiman teratur, pemukiman tidak teratur serta wilayah perdagangan. Wilayah dengan tingkat persaingan sedang, sangat didominasi oleh ketersediaan AMDK merk baru, variasi merk dan keragaman kemasan AMDK dengan kelas sedang.

Abstract
Water is a fundamental requirement to be met because the main function is to human survival. Increase of population but is not accompanied by increased supply of drinking water, the demands of a healthy life, and encourage economic growth in industrial growth in Package Drinking Water (bottled drinking water) so as to create competition. Subdistrict Pademangan is a region prone to water supply. Triggering the surrounding community to switch to using bottled drinking water as the need for clean drinking water and hygienic. This study wanted to assess the competition that took place in bottled drinking water in Sub Pademangan retail level. The use of map overlay techniques and scoring is to generate competition in the Sub-region Pademangan. Based on the research results can be seen that Pademangan District is a region with a level of medium competition are covering most areas of the District Pademangan ie industrial areas, residential regular, irregular settlements and trade areas. Areas with the level of competition is, very much dominated by the availability of a new brand bottled drinking water, variety and diversity of packaging brand bottled drinking water with the class being."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2011
S639
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Muhfiyanti
"ABSTRAK
Pulsator merupakan unit proses pengolahan gabungan yang menggabungkan peristiwa flokulasi dan sedimentasi dalam klarifikasi (proses penjernihan) air baku menjadi air bersih.
Unit proses ini memanfaatkan Sludge Blanket (selimut lumpur) untuk menyaring lumpur yang terbentuk pada peristiwa flokulasi. Pulsator adalah salah satu model unit proses dan sekian banyak jenis Sotids Contact Ctarifiar (unit pengendapan yang memanfaatkan sistem kontak antar lumpur) yang memanfaatkan lapisan lumpur untuk mempercepat proses pengendapan dalam aliran arah ke atas.
Keistimewaan pulsator ialah dengan memanfaatkan gerakan pulsasi dan hasil penghisapan air satinggi AH secara berkaia, yang bertujuan untuk mengatasi timbulnya endapan lumpur dldasar tanki yang mudah terjadi pada jenis Solids Contact Clarttier.
Salah satu penerapan unit proses tersebul terdapat di Instalasi PDAM Buaran Jakarta Timur yang memanfaatkan air baku dari Saluran Kanal Tarum Barat dimana pada saat-saat tertentu kualitas air baku mengalami fluktuasi yang besar, sampai unit pulsator tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
Dengan tujuan untuk meneliti pemasalahan ini, dibuatlah model miniatur unit yang berasal dari Scale Down (pengurangan dimensi ) unit sesungguhnya, dengan tujuan agar sifat-sifat dan proses yang terjadi tidak akan jauh berbeda.
Model dibuat dari bahan mika (t = 10 mm), berukuran skala Iaboratorium (0.77 x 0.65 x 0.4 ma) dilengkapi dengan unit Mixing ( pengaduk (cepat) pada pernbubuhan koaguian ) dan unit pengkondisian ( dengan pompa pengaduk ) untuk membuat air baku buatan. Untuk menunjang proses pulsasi sendiri, pulsator juga dilengkapi dengan sebuah pompa vakum.
Air baku yang digunakan berasat dari Saluran Kanal Tarum Barat, dan untuk pengkondisian kekeruhan digunakan deposit lumpur saluran tersebut, dengan tujuan sifat dan karakterisik kualitas air baku tidak akan jauh berbeda.
Variabel penelitian meliputi tingkat kekeruhan air baku (1000 - 7000 NTU), waktu dan frakuensi pembukaan katup, ketinggian pulsasi serta dosis dan jenis koagulan yang dipakai.
Debit pengolahan sebesar 1 m3/jam.
Parameter yang dianalisis antara lain : Dosis koagulan, frekuensi katup, ketlnggian puisasi. dan derajat pH. Penelitian dilakukan di lapangan pada Instalasi PDAM Buaran, sedangkan pemenksaan parameter ( pH dan derajat kekeruhan ) dilakukan di laboratorium lnstalasi PDAM Buaran. Pelaksanaan penelitian dimulai bulan Dasember 1995 berakhir bulan Januari 1996.
Dari hasil penelitian, kemampuan pengolahan dapat ditingkatkan sampai 7 x disain rencana yang semula direncanakan memiliki kemampuan pengolahan 1000 NTU (maksimal 2000 NTU) pada pereobaan memiliki kemampuan pengolahan sampai 7000 NTU, dan memberikan hasil yang menyatakan hubungan antara dosis/kombinasi dengan fungsi waktu, frekuensi pembukaan ltatup dan A pulsasi untuk menghasilkan air sesuai syarat baku mutu yang telah ditetapkan.

"
1996
S34629
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilasari Darmastuti
"Baku mutu yang lebih longgar dan seringkali lebih murah serta lebih realistis bagi negara berkembang mengandung resiko lebih tinggi terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat sehingga sedikit para pembuat keputusan yang mau merekomendasikan tingkat resiko yang lebih tinggi daripada yang digunakan negara industri (maju).
Dengan pertimbangan bahwa negara maju tidak memulai program perlindungan lingkungan mereka dengan standard seperti saat ini, maka seharusnya negara berkembang tidak perlu menetapkan baku mutu seketat negara maju saat ini.
Evolusi suatu negara dari negara berkembang menjadi negara maju memperihatkan pola bahwa meningkatnya kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonomi negara tersebut diikuti dengan bertambah ketatnya baku mutu lingkungan negara tersebut.
Dengan demikian apabila suatu negara memiliki nilai kondisi kesehalan masyarakat dan sosial ekonomi yang sama dengan negara lain maka nilai baku mutu lingkungan kedua negara tersebut akan sama. Lohani (1993) meneliti mengenai indikator dalam penentuan baku mutu lingkungan. Indikator tersebut adalah Angka harapan hidup (X1), Angka Kematian Bayi (X2), Angka Kematian Akibat TBC dan Kanker (X3), Angka Kematian Akibat Typhus dan Paralyphus (X4), Laju Pertumbuhan Penduduk (X5), GNP perkapita (X6), Aset per kapila (X7), Upah Buruh Mingguan (Xs), Konsumsi Listrik per Kapita (Xs), dan Jumlah Pegawai Negeri (X1o). Dalam penelitian ini indikator (X1) sampai (X4) dikelompokkan sebagai kondisi kesehalan masyarakat dan indikator (Xs) sampai (X1o) dikelompokkan sebagai kondisi sosial ekonomi.
Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai: (1) Berapa nilai baku mutu lingkungan di Indonesia yang sesuai dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya bila dibandingkan dengan negara lain yang lebih maju? (2) Apakah baku mutu yang ditetapkan di Indonesia terlalu ketat bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya?
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) membandingkan baku mutu air permukaan antara beberapa negara Asia Tenggara yang memiliki kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya sama dengan kondisi Indonesia pada tahun 1999 dan 2000 (berdasarkan PP No. 20 tahun 1990 dan PP No. 82 tahun 2001), mengkaji ketat atau tidaknya baku mutu lingkungan di Indonesia bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya.
Untuk mencapai tujuan tersebut metode penelitian terbagi dalam lima tahapan yakni (1) melihat hubungan antara baku mutu dengan indikator penentuan baku mutu berdasarkan penelitian Lohani (1993) (2) menentukan negara pembanding (3) menentukan tahun acuan (4) membandingkan baku mutu air permukaan (5) mengkaji baku mutu air permukaan di Indonesia.
Penelitian ini bersifat ex post facto tipe korelasional dengan menggunakan perbandingan antara indikator penentuan baku mutu lingkungan di Indonesia dengan negara-negara Asia Tenggara di masa lalu. Variabel terikat yang digunakan adalah baku mutu air permukaan. Sementara data yang digunakan adalah data kuantitatif dan runtun waktu dari berbagai sumber yang telah dipublikasikan seperti Recent trends in Health Statistics in Southeast Asia 1974-1993, Key indicators of Asia Development Bank 1970-2000, dan Yearbook of Labour Statistics 1974-1993.
Hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: (1) Perbandingan baku mutu lingkungan di beberapa negara akan sama apabila kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya sama (2) Baku mutu lingkungan yang ditetapkan di Indonesia terlalu ketat bila dibandingkan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya.
Dengan menggunakan data penelitian dari Lohani dan dianalisis dengan SPSS versi 10.0. hasil penelitian memperlihatkan bahwa 48% perbedaan dalam penentuan batas baku mutu disebabkan oleh indikator penentuan baku mutu diatas. Dengan menggunakan interval kepercayaan sebesar 70%, indikator kematian akibat TBC dan kanker serta kematian akibat typhus dan paratyphus tidak signitikan, selain nilai korelasinya juga lemah (r c 0,5). Penelitian ini tidak secara khusus ditujukan untuk mendapatkan hubungan antara baku mutu dengan indikalor penentuan baku mutu, akan tetapi dibatasi untuk memperlihatkan bahwa indikalor tersebut cukup signilikan untuk digunakan sebagai perbandingan.
Hasil uji hipotesis adalah sebagai berikut (1) hipotesis dapat diterima sebesar 64,29%, yang berarti bahwa baku mutu air permukaan di Indonesia sama dengan baku mutu air permukaan negara-negara di Asia Tenggara, (2) 55,56% dari baku mutu yang diterima oleh uji hipotesis diatas adalah lebih ketat, yang berarti bahwa baku mutu yang ditetapkan di Indonesia ketat bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya.
Sedangkan baku mutu Indonesia tersebut adalah serupa dengan baku mutu negara Malaysia (antara tahun 1976-1977), Philipina (antara tahun 1990-1992), Singapura (antara tahun 1978-1981) dan Thailand (antara tahun 1990-1991).
Berdasarkan analisis pengujian hipotesis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Baku mutu di Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara sudah sesuai dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya.
Penentuan batas baku mutu air permukaan di Indonesia lebih ketat bila dihubungkan dengan kondisi kesehatan masyarakat dan sosial ekonominya.

Lower and often cheaper, and as a consequence more realistic environmental standards for developing countries involve higher risks to the environment and public health. Therefore, few environmental policy makers are willing to recommend higher risk levels than used in developed countries.
Developed countries did not begin their environmental protection by applying high standards as using now. Therefore developing countries do not have to apply standards as high as developed countries do.
The evolution of a country from developing to developed country shows a pattern that the improvement of its public health and socio-economic conditions are followed by higher allowable limits of environmental quality standards.
Consequently, countries that have similar public health and socio economic conditions will have similar allowable limits of environmental quality standards. Lohani (1993) stated that there are indicators for setting environmental quality standards. The indicators are life expectancy level (Xi), infant mortality rate (X2), TBC and cancer death (X3), typhus and paratyphus death (X4), population (X5), GNP per capita (X6), asset per capita (X7), average weekly salary ()(a), electricity consumption per capita (X9), and federal employment (Xio). In this research those indicators are grouped as public health and socio-economic.
Based on the reasons above, the research problem can be formulated as: (1) what is the Indonesia allowable limits of surface water quality standards which appropriate to its public health and socio-economic conditions? (2) in relation to its public health and socio-economic conditions, are Indonesia allowable limits of surface water quality standards too high?
The objectives of the research are: (1) to compare environmental quality standards among South-east Asian countries which had the same level in public health and socio-economic conditions with Indonesia in 1999 and 2000 (refer to PP No. 20 1990 and PP No. 82 2001) (2) to evaluate Indonesia environmental quality standards in relation with its public health and socio-economic conditions.
To meet the objectives of the research, the methodology is divided into five stages i.e (1) to see the corelation between allowable limits of environmental quality standards with environmental quality standards setting indicators based on Lohani's (1993) (2) to select the comparable countries (3) to decide the reference years (4) to compare the surface water quality standards of selected countries with those of Indonesia (5) to review the allowable limits of Indonesia surface water quality standards.
This is an ex-post facto correlation type research. In this research the current Indonesia environmental quality standards are compared to those of South East Asian countries in the past. Independent variables which are setting environmental quality standard indicators. Data used in this research are quantitative and time series secondary data. Data were collected from some publication source such as Recent trends in Health Statistics in Southeast Asia 1974-1993, Key indicators of Asian Development Bank year 1970-2000, and Yearbook of labour statistics 1974-1993. While dependent variables are allowable limits of environmental quality standards in Indonesia.
Hypothetical research are formulated as follows (1) comparison of surface water quality standards allowable limits in some countries will be similar if they have similar conditions on public health and socio-economic (2) Indonesia surface water quality standards is too high compare with considering its public health and socio-economic conditions.
This research found that 48% in setting surface water quality standards could be explained by the above indicators. Using confidence level of 70%, indicator of TBC and cancer death also typhus and paratyphus death are not significant, beside the correlation are weak ( r < 0.5). This research is held not only to see the relationship between allowable limit quality standards and setting environmental quality standard indicators but also to show that those indicators are significant to be used for comparison.
Hypothetical analysis shows that hypothesis is accepted by 64,29%. It means that Indonesia surface water quality standards are appropriate with its public health and socio-economic conditions.
Hypothetical analysis for the second hypothesis shows that it is accepted by 55,56%. With reference to the criteria set before, it means that the surface water quality standards in Indonesia are too high.
The appropriate level of Indonesian allowable limits of environmental quality standards in 1999 and 2000 are similar to that of Malaysia during 1976-1977, Philippine 1990-1992, Singapore 1978-1981, and Thailand 1990-1991.
Based on the results of hypothesis analysis, here are the conclusions based on review both the PP No. 20 year 1990 and PP No. 82 year 2001:
Allowable limits of environmental quality standards in Indonesia are appropriate with its public health and socio-economic conditions if compare to other countries in Southeast Asian.
The setting of Indonesia surface water allowable limit quality standards are high related to its public health and socio-economic conditions.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T1464
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>