Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160498 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dana Dharaniyadewi
"Pendahuluan. Sepsis merupakan suatu kondisi klinis yang serius dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Procalcitonin (PCT) merupakan suatu penanda yang baik untuk diagnosis dini dan pengawasan infeksi. Studi ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemeriksaan PCT semikuantitatif terhadap kecepatan dan ketepatan pemberian antibiotik empirik awal serta mortalitas pada pasien sepsis.
Metode. Desain studi ini adalah uji klinis diagnostik acak yang merupakan suatu pragmatic trial. Subjek pada penelitian ini adalah semua pasien sepsis berusia 18 tahun atau lebih dengan atau tanpa tanda hipoperfusi atau disfungsi organ yang berobat ke Instalasi Gawat Darurat Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Subjek dirandomisasi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang diperiksa PCT semikuantitatif dan tidak diperiksa PCT semikuantitatif. Hasil pemeriksaan PCT semikuantitatif akan diberitahukan kepada dokter yang merawat pasien. Luaran primer yang dinilai pada studi ini adalah mortalitas 14 hari dan Luaran sekunder adalah kecepatan dan ketepatan antibiotik empirik awal. Penilaian ketepatan antibiotik empirik dilakukan oleh sorang Konsultan Penyakit Tropik Infeksi berdasarkan Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Hasil. Dua ratus lima subjek memenuhi kriteria inklusi. Sembilan puluh lima dari 100 subjek pada kelompok yang diperiksa PCT dan 102 dari 105 subjek pada kelompok yang tidak diperiksa PCT dimasukkan ke dalam analisis. Mortalitas ditemukan lebih rendah pada kelompok yang diperiksa PCT (RR 0,53; IK 95% 0,36–0,77). Kelompok yang diperiksa PCT memiliki kemungkinan lebih besar untuk mendapatkan antibiotik empirik < 6 jam dibandingkan kelompok yang tidak diperiksa PCT (RR 2,48; IK 95% 1,88–3,26). Ketepatan jenis antibiotik empirik hampir sama pada kedua kelompok (RR 0,99; IK 95% 0,92–1,08).
Simpulan. Pemeriksaan PCT semikuantitatif mempengaruhi mortalitas dan kecepatan pemberian terapi antibiotik empirik awal pada pasien sepsis, namun tidak mempengaruhi ketepatan terapi antibiotik empirik awal yang diberikan.

Introduction. Sepsis is a serious clinical condition with a considerable morbidity and mortality. Procalcitonin (PCT) is a good biomarker for early diagnosis and infection monitoring. The present study aimed to investigate the effect of semi-quantitative PCT test to the empirical antibiotic initiation time, the appropriateness of empirical antibiotics and mortality in septic patients.
Methods. Study design was randomized diagnostic trial which was also a pragmatic trial. Septic patients more than 18 years old with and without signs of organ hypoperfusion or dysfunction who were admitted to Cipto Mangunkusomo hospital emergency department in internal medicine unit were eligible. Subjects were randomly assigned to either a semi-quantitative PCT-examined (study group) or a control group. Semi-quantitative PCT test result will be informed to physician who were taking care of the patients. The primary outcome was 14-day mortality. Secondary outcomes were the time of initiation and appropriateness of empirical antibiotics. A Tropical Infection Consultant will assess the appropriateness of empirical antibiotics based on Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Results. Two hundred five patients met the inclusion criteria. Ninety five of 100 subjects from study group and 102 of 105 subjects from control group were included in analysis. Mortality risk was lower in study group (RR 0.53; 95% CI 0.36–0.77). The study group had a greater probability to have a first dose of empirical antibiotic in less than 6 hours compared to the control group (RR 2.48; 95% CI 1.88–3.26). No effect was seen in appropriateness of empirical antibiotics between groups (RR 0.99; 95% CI 0.92–1.08).
Conclusions. Semi-quantitative PCT examination affect the empirical antibiotic initiation time and mortality in septic patients, but not the appropriateness of empirical antibiotics.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rello, Jordi, editor
"This book is unique in approaching multiple organ dysfunction syndrome (MODS) from the perspective of its pathophysiological mechanism, and addressing aspects that are overlooked in most of the available literature. Eminent experts in the field from Europe and beyond offer new insights into risk stratification, severity assessment, and management of critically ill patients with sepsis. The principal focus is on recently developed concepts in infection management and in antibiotic use, bearing in mind that in these patients the pharmacokinetics of antibiotics are altered, affecting renal clearance and requiring dosage adjustments. The significance of the PIRO (predisposing factors, infection, response, organ dysfunction) model in the development of effective treatment strategies is emphasized. "
Berlin : Springer, 2012
e20426009
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Mas Masyrifah
"Sepsis masih menjadi masalah kesehatan dunia dengan angka kematian yang cukup tinggi berkisar 20 – 50%. Penggunaan terapi antibiotik yang rasional dengan segera dapat menurunkan angka kematian. Sebaliknya, penggunaan terapi antibiotik tidak rasional akan meningkatkan terjadinya resistensi yang berdampak pada tingginya morbiditas, mortalitas dan biaya kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik dengan metode gyssens pada pasien sepsis. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode cross-sectional yang dilakukan di RSUP Fatmawati Jakarta. Subyek penelitian adalah 110 pasien sepsis pada periode Januari hingga Desember 2020 yang memenuhi kriteria inklusi yaitu pasien usia > 18 tahun dan mendapatkan terapi antibiotik. Pasien sepsis umumnya berusia ≤ 65 tahun (66,4%) dengan rerata usia 60,60±13,88, berjenis kelamin perempuan (52,7%), termasuk dalam kategori sepsis (53,6%), memiliki > 1 penyakit penyerta (86,4%), mengalami infeksi paru (66,4%), dan lama rawat ≤ 14 hari (85,5%). Berdasarkan distribusi penggunaan antibiotik, sebagian besar (93,66%) pasien menggunakan antibiotik empiris. Antibiotik tunggal digunakan pada 46,37% pasien dengan presentase terbanyak adalah meropenem (14,55%). Sedangkan 53,63% pasien menggunakan antibiotik kombinasi dengan presentase terbanyak adalah kombinasi ceftriaxon+levofloxacin (19,09%). Sejumlah 92,73% pasien menggunakan antibiotik selama ≤ 14 hari. Berdasarkan evaluasi kualitas antibiotik menggunakan metode gyssens diperoleh hasil 49,09% pasien menggunakan antibiotik yang rasional dan 50,91% pasien menggunakan antibiotik yang tidak rasional dan tersebar dalam kategori VI (0,91%), V (17,28%), IV a (3,63%), IV b (0,91%), IV c (0,91%), III a (3,63%), III b (20%), II a (0,91%) dan II b (2,73%).

Sepsis is still a global health problem with a fairly high mortality rate ranging from 20-50%.
Rational use of antibiotic therapy immediately can reduce mortality. Conversely, irrational use of
antibiotic therapy will increase the occurrence of resistance which has an impact on high morbidity,
mortality and health costs. This study aims to evaluate the quality of antibiotics use with the Gyssens
method in sepsis patients. This study was an observational study with a cross-sectional method conducted
at Fatmawati Hospital, Jakarta. The subjects were 110 septic patients from January to December 2020 who
met the inclusion criteria, namely aged > 18 years and received antibiotic therapy. Sepsis patients were
generally aged 65 years (66.4%) with a mean age of 60.60 ± 13.88, female (52.7%), included in the category
of sepsis (53.6%), had >1 comorbidities (86,4%), had lung infection (66.4%), and length of stay ≤ 14 days
(85.5%). Based on the pattern of antibiotic use, most (93.66%) patients used empiric antibiotics. A single
antibiotic used in 46.37% of patients with the highest percentage was meropenem (14.55%). Meanwhile,
53.63% of patients used combination antibiotics with the highest percentage were combination of
ceftriaxone+levofloxacin (19.09%). A total of 92.73% of patients used antibiotics for ≤ 14 days. Based on
the evaluation of the quality of antibiotics using the Gyssens method, the study found the result that
49.09% of patients using rational antibiotics and 50.91% of patients using irrational antibiotics and
were spread in category VI (0.91%), V (17.28%), IV a (3.63%), IV b (0.91%), IV c (0.91%), III a (3.63%),
III b (20%) , II a (0.91%) and II b (2.73%).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Dzatir Rohmah
"Meningitis bakterial dianggap sebagai kasus kegawatdaruratan neurologik dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Mortalitas akibat meningitis bakterial dapat mencapai 34% terutama pada infeksi yang disebabkan oleh S. pneumoniae dan L. meningitidis. Sementara morbiditas pada pasien meningitis bakterial yaitu sekuele neurologis jangka panjang dapat mencapai 50% pada survivor meningitis. Terapi antibiotik dengan penggunaan yang rasional dapat menurunkan angka kematian. Sebaliknya, penggunaan terapi antibiotik yang tidak rasional akan meningkatkan terjadinya resistensi yang berdampak pada peningkatan morbiditas, mortalitas, dan biaya kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas penggunaan antibiotik pada pasien meningitis bakteri dengan metode Gyssens. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode retrospektif cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Fatmawati, Jakarta. Subyek penelitian adalah 27 pasien meningitis bakterial yang memenuhi kriteria inklusi. Berdasarkan evaluasi penggunaan antibiotik diagram alir Gyssen diperoleh hasil 11 (40,7%) subyek menggunakan antibiotik yang tepat dan 16 subyek (59,3%) menggunakan antibiotik yang tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang belum tepat tersebar dalam beberapa kategori sebagai berikut yaitu kategori IVc sejumlah 2 subyek (7,4%), kategori IVd sejumlah 2 subyek (7,4%), kategori IIIA sejumlah 3 subyek (11,1%), kategori IIIB sejumlah 1 subyek (3,7%), kategori IIA sebanyak 13 subyek (48,1%), dan kategori IIB sebanyak 3 subyek (11,1%). Penggunaan antibiotik yang sesuai berdasarkan evaluasi menggunakan algoritma Gyssen pada penelitian ini tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap outcome pasien dengan nilai p=1,000 (nilai p>0.05). Variabel jenis kelamin merupakan variabel yang berpengaruh secara signifikan (p<00,5) terhadap kerasionalan antibiotik pada pasien meningitis bakterial.

Bacterial meningitis is considered as neurologic emergency with high morbidity and mortality rates. Mortality can reach 34%, especially in infections caused by S. pneumoniae and L. meningitides, while morbidity in bacterial meningitis patients, namely long-term neurologic sequelae, can reach 50% amongst survivors. If antibiotics are used properly, they can lower mortality rates. On the other hand, the irrational use of antibiotic therapy will raise the likelihood of resistance, which raises morbidity, mortality, and costs for health care. This study aims to determine the quality of antibiotic use in bacterial meningitis patients using the Gyssens method. It is an observational study employing the retrospective crosssectional method conducted at Fatmawati General Hospital, Jakarta. The research subjects were 27 patients with bacterial meningitis who met the inclusion criteria. In this study, 40.7% of the subjects had been administered appropriate antibiotics and 59.3% inappropriate ones, which were spread across several categories, namely category IVc for two subjects (7.4%); category IVd for two subjects (7.4%); category IIIA for three subjects (11.1%); category IIIB for one subject (3.7%); category IIA for 13 subjects (48.1%); and category IIB for three subjects (11.1%). The use of appropriate antibiotics based on evaluation using the Gyssens algorithm did not significantly affect patient outcomes (p=1,000). Gender is a variable that has a significant effect (p<00.5) on the rationale for antibiotics in patients with bacterial meningitis."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Fatkhur Rohman
"Penggunaan antibiotik yang tinggi pada pasien sepsis dapat memicu penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Upaya untuk memaksimalkan penggunaan antibiotik yang rasional merupakan salah satu tanggung jawab apoteker. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas dan kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien sepsis di ruang rawat Intensive care unit (ICU) dengan metode Gyssens dan ATC/DDD dan mengevaluasi pengaruh intervensi apoteker dalam meningkatkan kualitas penggunaan antibiotik dan outcome terapi. Penelitian dilakukan secara prospektif selama periode Agustus-November 2018 dengan menggunakan rancangan studi pra eksperimen one grup pretest-posttest. Rekomendasi diberikan kepada penulis resep terhadap masalah ketidaktepatan penggunaan antibiotik yang ditemukan. Evaluasi kualitatif dengan metode Gyssens diperoleh hasil bahwa penggunaan antibiotik pada pasien sepsis yang rasional sebesar 85,09 % dan yang tidak rasional sebesar 14,91 %. Jenis antibiotik, jenis terapi antibiotik, jumlah antibiotik  dan lama penggunaan antibiotik berpengaruh terhadap kualitas penggunaan antibiotik. Intervensi meningkatkan ketepatan penggunaan antibiotik (0 % menjadi 64,71 %), menurunkan masalah pemilihan antibiotik (88,24 % menjadi 32,35 %), masalah lama pemberian antibiotik (5,88 % menjadi 0 %) dan masalah rute pemberian obat (5,88 % menjadi 0 %). Kualitas penggunaan antibiotik yang rasional dan yang tidak rasional berpengaruh terhadap hasil terapi. Kuantitas penggunaan antibiotik sebesar 63,84 DDD/patient-day dengan nilai terbesar pada antibiotik meropenem yaitu 32,91 DDD/patient-day.

High use of antibiotics in sepsis patients can lead to irrational use of antibiotics. Pharmacist has responsibility to improve appropriate antibiotics usage. This study was proposed to evaluate quality and quantity of antibiotics usage in sepsis patients in the Intensive care unit (ICU) ward with the Gyssens and ATC/DDD methods and evaluate whether intervention of pharmacy can improve quality of antibiotics usage and therapy outcome. The study was conducted prospectively during the period August - November 2018 using pre experiment one grup pretest-posttest design. Recommendations were given to prescribers to solve the problems of inappropriate antibiotics usage. Qualitative evaluation using that about 85.09 % antibiotic prescriptions were appropriate, and 14.91 % were inappropriate. Type of antibiotics, type of antibiotic therapy, total and duration antibiotics used by patients have effect on quality and quantity antibiotics usage. Intervention of pharmacist improve appropriateness of antibiotics (0% to 64.71 %), decrease drug choice problems (88.24 % to 32.35 %), duration problems (5.88 % to 0 %) and route of administration problems (5.88 % to 0 %). Appropriate used of antibiotics had significant different effect to outcome therapy compare with inappropriate used of antibiotics. The quantity of antibiotic use is 63.84 DDD/patient-day with the greatest value on meropenem antibiotics is 32.91 DDD/patient-day."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
T53678
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jaswin Dhillon
"Latar belakang dan tujuan: Dari berbagai literatur, salah satu penyebab kegagalan respons klinis pasien pneumonia komunitas adalah akibat pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat. Pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat dapat meningkatkan risiko kematian dan resistensi antibiotik di kemudian hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi ketepatan penggunaan antibiotik dengan menggunakan metode Gyssens yang merupakan alat penilaian kualitatif yang dipakai oleh PPRA di Indonesia serta membandingkannya dengan luaran pasien pneumonia komunitas.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan. Data diambil dari rekam medis pasien berusia di atas 18 tahun yang didiagnosis pneumonia komunitas dan dirawat inap selama periode Januari- Desember 2019. Penelitian ini menganalisis pemberian antibiotik empiris pada saat pasien pertama kali didiagnosis pneumonia komunitas.
Hasil: Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 108 subjek. Proporsi pasien yang diberikan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens adalah 58,3% dan yang diberikan antibiotik empiris telah tepat adalah 41,7%. Pasien yang mendapatkan terapi antibiotik empiris tidak sesuai dengan pedoman PDPI memiliki risiko meninggal sebesar 2,875 kali lipat (IK 95% 1,440 – 5,739, p=0,004). Pasien yang diberikan antibiotik empiris dalam waktu setelah 8 jam didiagnosis pnemunia komunitas memiliki risiko meninggal sebesar 3,018 kali lipat (IK 95% 1,612 – 5,650, p=0,002). Dari analisis multivariat, faktor prediktor independen yang berhubungan dengan kejadian mortalitas pasien pneumonia komunitas dalam 30 hari adalah kejadian pneumonia berat dengan risiko sebesar 7,3 kali lipat (IK 95% 2,24-23,88, p=0,001), penyakit CVD dengan risiko sebesar 5,8 kali lipat (IK 95% 1,28-26,46, p=0,023), dan ketidaktepatan pemberian antibiotik empiris dengan risiko sebesar 4,2 kali lipat (IK 95% 1,02-17,74, p=0,048).
Kesimpulan: Pada penelitian ini terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan antibiotik empiris tidak tepat berdasarkan metode Gyssens dengan luaran pasien yaitu kejadian mortalitas 30 hari (p=0,001).

Background and Purpose: From many literatures, one of the causes of clinical response failure in community-acquired pneumonia patients is due to the inappropriate empirical antibiotics use. Improper administration of empirical antibiotics can increase the risk of death and antibiotic resistance later in life. The purpose of this study is to evaluate the appropriateness of the empirical antibiotics use using the Gyssens method which is a qualitative assessment tool used by the antibiotic stewardship program in Indonesia and to compare it with the outcome of community-acquired pneumonia patients.
Method: This study is a retrospective cohort study at the Persahabatan General Hospital. Data is taken from the medical records of patients over the age of 18 who are diagnosed with community-acquired pneumonia and hospitalized during the January- December 2019 period. This study analyzes the administration of empirical antibiotics when the patient is first diagnosed with community-acquired pneumonia.
Results: The number of samples in this study were 108 subjects. The proportion of patients who were given empirical antibiotics incorrectly based on the Gyssens method was 58.3% and those given empirical antibiotics were appropriate was 41.7%. Patients who received empirical antibiotic therapy not in accordance with PDPI guidelines had a 2.875-fold risk of death (95% CI 1.440 - 5.739, p = 0.004). Patients who were given empirical antibiotics after 8 hours of being diagnosed by the community-acquired pneumonia had a risk of death of 3,018-fold (95% CI 1.612 – 5.650, p = 0,002). From a multivariate analysis, independent predictors related to the mortality of community- acquired pneumonia patients within 30 days were the incidence of severe pneumonia with a risk of 7.3-fold (95% CI 2.24-23.88, p = 0.001), CVD with a risk of 5.8-fold (95% CI 1.28-26.46, p = 0.023), and inappropriate empirical antibiotics use with a risk of 4.2 fold (95% CI 1.02-17.74, p = 0.048).
Conclusion: In this study there was a significant relationship between the use of inappropriate empirical antibiotics use based on the Gyssens method and the outcome of community-acquired patients, which was the 30-days mortality (p = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shahyawidya Ramadhanti
"Ventilator-associated pneumonia VAP adalah infeksi paru yang muncul setelah lebih dari 48 jam pemakaian ventilator mekanik atau pemasangan intubasi endotrakeal. Insidensi VAP bervariasi antara 8 hingga 28 dan memiliki angka mortalitas sampai 50 . Hal ini tentu saja berhubungan dengan peningkatan resiko infeksi lain, peningkatan biaya rawat inap biaya kesehatan dan peningkatan lama rawat di ICU. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kualitas penggunaan antibiotik untuk pengobatan VAP di ruang ICU RS Kanker Dharmais dengan metode Gyssens dan mengevaluasi perbedaan outcome pasien dengan antibiotik rasional dan antibiotik tidak rasional. Penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan prospektif ini dilaksanakan dari Februari sampai Mei 2017. Peneliti mengambil sampel dengan metode total sampling, sehingga mengikutsertakan seluruh pasien yang berada di ruang ICU dengan memberikan beberapa kriteria inklusi dan eksklusi kemudian dianalisis dengan metode Gyssens. Dari 159 pasien yang menggunakan ventilator ada 29 pasien 18,24 yang memenuhi kriteria VAP dan menjadi subyek penelitian ini. Antibiotik yang paling sering digunakan adalah meropenem dan kemudian diikuti dengan levofloxacin. Faktor yang mempengaruhi kualitas penggunaan antibiotik antara lain adalah jenis terapi, jumlah antibiotik yang digunakan oleh pasien dan lama perawatan pasien P

Objectives This study aims to evaluate the quality of antibiotic use for VAP treatment in ICU Dharmais Cancer Hospital using Gyssens method, evaluate the different outcomes of antibiotic therapy that are rational and irrational according to the Gyssens method, and evaluating the distribution of rational category 0 and irrational category 1 5 antibiotic use. Methods This prospective study was carried out from February to May 2017 with descriptive analyses. Antibiotic uses were documented prospectively by a pharmacist and analyse by using Gyssens method. Pharmacist was used total sampling method, which is included all adult VAP patients in ICU. Results A total of 29 patients 18,24 were reviewed from 159 patients. The most dominant antibiotic use for VAP empiric treatment was meropenem and the most dominant antibiotic use for VAP definitive treatment was levofloxacin. Factors affecting the quality of antibiotic use include type of therapy, number of antibiotic used by patient and length of stay P"
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T49567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrid Shabrina Agustia Rahmah
"Angka prevalensi penemuan pneumonia anak Indonesia pada tahun 2018 sebesar 56,51%. Pneumonia juga menduduki penyebab kematian anak tertinggi di Indonesia pada tahun 2018, yaitu lebih dari 19.000 anak. Bakteri merupakan salah satu penyebab pneumonia, maka dapat diberikan terapi kuratif dengan antibiotik. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran tatalaksana penggunaan antibiotik pasien pneumonia anak, yang kemudian dievaluasi secara kualitatif menggunakan metode Gyssens. Penelitian ini bersifat deskriptif, dilakukan secara observasional dengan rancangan studi potong lintang (cross sectional). Pengambilan data dilakukan secara retrospektif menggunakan catatan rekam medik selama periode Maret-September 2020. Sebanyak 81 pasien pneumonia anak di ruang rawat inap RSAB Harapan Kita digunakan sebagai sampel dan telah memenuhi kriteria inklusi. Pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling. Data tersebut selanjutnya dianalisis dan dievaluasi menggunakan metode kriteria Gyssens. Pada penelitian ini, kelompok usia berusia 1 bulan hingga 1 tahun (68%). Pasien anak laki-laki (51,85%) lebih banyak dibandingkan pasien anak perempuan (48,15%), dan frekuensi lama rawat paling banyak 6-10 hari sebanyak 36 pasien (44,4%). Penggunaan antibiotik terbanyak di ruang rawat inap RSAB Harapan Kita untuk pneumonia secara beturut-turut adalah seftriakson (30,91%), lalu gentamisin (13,94%), dan azitromisin (12,73%). Total 165 regimen dari 81 pasien diperoleh hasil 109 regimen (66,06%) termasuk ke dalam kategori 0 dan 56 regimen (33,94%) termasuk ke dalam kategori I-VI. Hasil analisis menunjukkan adanya 33,94% ketidaktepatan penggunaan antibiotik pada pasien pneumonia anak di RSAB Harapan Kita.

Child mortality rate is due to pneumonia rather than other infectious diseases were the highest, with up to 56,51% cases in Indonesia or more than 19.000 children died in 2018. Since most of pneumonia is caused by bacteria, the therapy given for this infection is antibiotic. The objective of this research was described and evaluated the used of antibiotics qualitatively in pediatric pneumonia patients with Gyssens method. Method used in this study was cross-sectional, observational with descriptive data analysis. Data collection has been conducted retrospectively based on medical records during the period March-September 2020. 81 samples of pediatric pneumonia patients in RSAB Harapan Kita’s inpatient room who met the inclution criteria was taken used total sampling method. Then, data were analyzed and evaluated by Gyseens criteria method. In this research, there group age 1 – 12 months (68%) was being the highest population who used antibiotic due to 6-10 days length of stay (44,4%). It’s consists of male children (51,58%) and female children (48,15%). The most used antibiotic coherently ceftriaxone (30,91%), gentamycin (13,92%), and azithromycin (12,73%). The total 165 regimen, from 81 samples show that 109 regimens (66,06%) were categorized as Category 0 and 56 regimens (33,94%) as Category I-VI. Result show inaccuracy used of antibiotic up to 33,94% in RSAB Harapan kita."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lathifah Novanti Putri
"Penggunaan antibiotik yang relatif tinggi dan tidak rasional dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti resistensi. Kejadian resistensi terhadap antibiotik menjadi salah satu ancaman besar kesehatan seluruh dunia dan akan semakin meningkat seiring dengan meluasnya penyalahgunaan antibiotik. Kejadian resistensi dapat dikendalikan dengan adanya penggunaan antibiotik secara bijak, sehingga dibutuhkan evaluasi untuk memastikan dan menilai apakah antibiotik tersebut digunakan secara tepat dan rasional. Terdapat dua metode yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik, yakni secara kualitatif maupun kuantitatif. Evaluasi antibiotik secara kuantitatif dapat dilakukan dengan metode ATC/DDD, dimana klasifikasi penggunaan antibiotik secara Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) Classification dan pengukuran jumlah penggunaan antibiotik dengan Defined Daily Dose (DDD)/100 patientdays. Metode ini telah direkomendasikan oleh WHO dan Kemenkes RI sebagai standar analisa kuantitas penggunaan antibiotik di Rumah Sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penggunaan antibiotik secara kuantitatif dengan menggunakan metode ATC/DDD dan DU90% pada pasien rawat inap di Gedung Prof. Soelarto Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati Periode JanuariMaret 2023. Pengambilan data dilakukan secara retrospektif menggunakan data sekunder berupa rekam medik. Hasil analisis kuantitatif dengan metode ATC/DDD menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik yang paling sering dijumpai adalah ceftriaxone sebesar 40.89 DDD/100 patient-days. Antibiotik yang termasuk ke dalam segmen 90% yaitu ceftriaxone, cefixime, meropenem, metronidazole, amoxicillin-clavulanic acid, dan cefoperazone.

The relatively high and irrational use of antibiotics can lead to various health problems such as resistance. Antibiotic resistance is one of the major global health threats and will continue to increase with the widespread misuse of antibiotics. Resistance can be controlled by the prudent use of antibiotics, necessitating evaluations to ensure and assess whether antibiotics are used appropriately and rationally. There are two methods to evaluate antibiotic use: qualitative and quantitative. Quantitative evaluation of antibiotics can be conducted using the ATC/DDD method, which classifies antibiotic use according to the Anatomical Therapeutic Chemical (ATC) Classification and measures the amount of antibiotic use with Defined Daily Dose (DDD) per 100 patient-days. This method has been recommended by the WHO and the Indonesian Ministry of Health as the standard for analyzing the quantity of antibiotic use in hospitals. This study aims to evaluate antibiotic use quantitatively using the ATC/DDD and DU90% methods in inpatients at the Prof. Soelarto Building, Fatmawati Central General Hospital, for the period of January-March 2023. Data collection was carried out retrospectively using secondary data from medical records. The quantitative analysis results using the ATC/DDD method showed that the most frequently used antibiotic was ceftriaxone at 40.89 DDD/100 patient-days. The antibiotics included in the 90% segment were ceftriaxone, cefixime, meropenem, metronidazole, amoxicillin-clavulanic acid, and cefoperazone.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Cindy Nathania Usman
"Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi. Antibiotik yang biasa digunakan memiliki spektrum sempit, toksisitas rendah, memiliki sifat bakterisidal dan spesifik. Tujuan penelitian ini adalah melihat kesesuaian penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien yang dilakukan pembedahan di Instalasi Bedah Sentral RSUP Fatmawati periode Januari ndash; Maret 2017 dengan PPAB RSUP Fatmawati tahun 2016 dan ASHP Guidelines tahun 2013. Metode penelitian ini dilakukan secara deskriptif analitik dengan pengambilan data secara retrospektif. Pengambilan sampel dengan teknik total sampling. Pasien yang paling banyak dilakukan pembedahan adalah pasien perempuan 57,54 dan kelompok usia yang paling banyak adalah >45-55 tahun. Rencana pembedahan yang paling banyak dilakukan adalah elektif 73,75 . Divisi pembedahan yang paling banyak dilakukan adalah bedah kebidanan 20,37 . 2.191 pasien mendapatkan antibiotik profilaksis sebelum pembedahan dan persentase divisi pembedahan yang paling banyak menggunakan antibiotik profilaksis adalah bedah digestif 89,15 . Antibiotik profilaksis yang paling banyak digunakan adalah penggunaan tunggal sefazolin 41,05 . Kesesuaian penggunaan antibiotik profilaksis dengan PPAB RSUP Fatmawati tahun 2016 sebesar 51,92 dan kesesuaian penggunaan antibiotik profilaksis dengan ASHP Guidelines 2013 sebesar 43,13.

Prophylactic antibiotics are antibiotics used to prevent infection. Commonly used antibiotics have a narrow spectrum, low toxicity, have a bactericidal activity and specific. The purpose of this study is to see the suitability of the use of prophylactic antibiotics in surgical patients at the Central Surgery Installation of Fatmawati Central General Hospital January March 2017 with Antibiotic Guidelines from Fatmawati Central General Hospital 2016 and ASHP Guidelines 2013. This research method is done analitical descriptively with retrospective retrieval data. Sampling with total sampling technique. Patients most widely performed surgery were female 57.54 and the age group most was 45 55 years. The most widely performed surgical plan was elective 73.75 . The most widely performed surgical division was midwifery surgery 20.37 . 2,191 patients received prophylactic antibiotics before surgery and surgery division percentage of the most widely used surgical antibiotic prophylaxis was digestive 89.15 . The most widely used prophylactic antibiotic is cefazoline 41.05 . The compliance of prophylactic antibiotic usage with Antibiotic Guidelines from Fatmawati Central General Hospital 2016 was 51,92 and compliance of antibiotic prophylaxis with ASHP Guidelines 2013 was 43,13."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
S69649
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>