Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129669 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurul Zamzami
"Perubahan iklim dirunut menjadi penyebab bagi para pihak atas kerugian yang mereka hadapi. Meningkatnya emisi karbon dioksida, melelehnya es glasial, munculnya banjir, dan banyak efek dari perubahan iklim lainnya diklaim sebagai penyebab rusaknya properti pribadi para pihak, sehingga mereka tidak dapat menikmati hak mereka atas properti pribadi tersebut. Keadaan ini mendorong banyak pihak, baik pemerintah, individu, maupun kelompok, untuk menggugat korporasi atas kontribusi mereka terhadap perubahan iklim. Walaupun secara garis besar para penggugat meminta ganti rugi menggunakan hukum perdata, mereka mengklaim argumentasi yang berbeda-beda mengenai mengapa korporasi harus membayar ganti rugi pada mereka. Klaim yang paling banyak diajukan adalah klaim atas nuisance, negligence, producer liability, civil conspiracy, dan unjust enrichment. Di sisi lain, tidak semua gugatan perdata meminta ganti rugi. Beberapa di antaranya meminta injunction berupa perintah pengadilan agar korporasi mengurangi emisi gas rumah kaca mereka di masa depan untuk memenuhi target Paris Agreement. Dari sekian kasus litigasi iklim yang tersebar di berbagai negara, beberapa kasus menandai argumentasi-argumentasi yang menggarisbawahi bagaimana pengadilan di berbagai negara melihat perubahan iklim serta bagaimana korporasi berperan atau tidak berperan dalam menyebabkan kerugian penggugat. Penelitian akan membahas mengenai sejarah litigasi iklim dan masalah hukum yang muncul dalam gugatan iklim. Setelah itu, dibahas pula gambaran umum argumentasi popular dari penggugat serta contoh-contoh landmark cases yang diseleksi dengan beberapa pertimbangan. Penelitian akan menganalisis alasan ditolak dan dikabulkannya gugatan iklim, memberikan kontekstualisasi peranan majelis hakim terhadap putusan, dan aplikasi analisis tersebut terhadap gugatan iklim di Indonesia. Berdasarkan penelitian normatif yang dilakukan, ditemukan bahwa permintaan ganti rugi dan pembuktian kausalitas adalah dua rintangan utama bagi penggugat untuk memenangkan gugatan. Selain itu, Indonesia juga memiliki skema ganti rugi yang cukup unik dibandingkan dengan negara lain dalam kasus kebakaran hutan. Sebagai penutup, penelitian menyertakan saran bagi para pihak yang ingin mengajukan gugatan iklim.

Climate change is traced to be the cause for the losses that certain parties face. Increased carbon dioxide emissions, melting of glacial ice, the emergence of floods, and many other effects of climate change are claimed to be the cause of damage to the parties’ private property, rendering them unable to enjoy their rights to their private property. This situation has prompted many parties, be it governments, individuals, or groups, to sue corporations for their contribution to climate change. Although in general the plaintiffs seek compensation using tort law, they claim different arguments as to why the corporation should pay compensation to them. The most frequently submitted claims are claims for nuisance, negligence, producer liability, civil conspiracy, and unjust enrichment. On the other hand, not all civil lawsuits seek compensation. Some of them asked for an injunction in the form of a court order for corporations to reduce their greenhouse gas emissions in the future to meet the Paris Agreement targets. Of the many climate litigation cases across various countries, several cases highlight arguments that underline how courts in various countries view climate change and whether corporations play or do not play a role in causing the plaintiff's losses. The research will discuss the history of climate litigation and the legal issues that arise in climate lawsuits. After that, an overview of the popular arguments of the plaintiffs and examples of landmark cases, which were selected with several considerations, are also discussed. The study will analyze the reasons for the rejection and granting of climate lawsuits, provide contextualization of the role of the panel of judges in the decision, and the application of the analysis to climate lawsuits in Indonesia. Based on the normative research conducted, it was found that the request for compensation and the proof of causality were the two main obstacles for the plaintiff to win the lawsuit. In addition, Indonesia also has a compensation scheme that is quite unique compared to other countries in the case of forest fires. In closing, the research includes suggestions for parties wishing to file a climate lawsuit."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Halim
"Dalam perkembangan pengendalian perubahan iklim di dunia muncul mekanisme fleksibel yang diatur dalam Protokol Kyoto. Dalam perkembangannya terbentuk mekanisme mitigasi baru yaitu JCM sebagai mekanisme mitigasi yang diajukan Jepang kepada UNFCCC di bawah framework for various approaches. JCM sendiri merupakan mekanisme carbon offsetting yang dimana Jepang memberikan bantuan kepada negara berkembang untuk mengurangi karbon dengan timbal balik pemberian kredit karbon kepada Jepang. Dalam tulisan ini Penulis mencoba menelusuri bagaimana JCM itu diletakkan dalam pengaturan perubahan iklim global dan melihat bagaimana JCM diatur dan diimplementasikan dalam mitigasi perubahan iklim di Indonesia. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif, dan menggunakan bahan- bahan kepustakaan serta data yang disediakan oleh instansi terkait. Temuan yang disampaikan dalam penelitian ini adalah aspek-aspek dari mitigasi perubahan iklim yang harus diperhatikan Indonesia jika ingin meningkatkan lagi kebermanfaatan dari mekanisme JCM atau ingin mengimplementasiken mekanisme mitigasi dengan bentuk carbon ofsetting lainnya.

In the development of climate change mitigation in the world, flexible mechanisms are created under the Kyoto Protocol. In its development, a new mitigation mechanism was formed, namely JCM as a mitigation mechanism proposed by Japan to the UNFCCC under the framework for various approaches. JCM itself is a carbon offsetting mechanism in which Japan provides assistance to developing countries to reduce carbon in exchange for giving carbon credits to Japan. In this paper, the author tries to explore how the JCM is put into global climate change regulation and see how JCM is regulated and implemented in climate change mitigation in Indonesia. The research method in writing this thesis is juridical-normative research with a qualitative approach, and uses library materials and data made available by the relevant agencies. The findings presented in this study are aspects of climate change mitigation that Indonesia must pay attention to if it wants to increase the usefulness of the JCM mechanism or to implement mitigation mechanisms with other forms of carbon offsetting."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiah Salsabilla
"Perubahan iklim dapat memberikan dampak negatif terhadap penikmatan dari hak asasi manusia (HAM), salah satu hak yang dianggap paling signifikan terancam adalah hak untuk hidup. Hak untuk hidup merupakan non-derogable rights yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun. Salah satu akibat dari perubahan iklim dapat dilihat melalui fenomena terpaksanya perpindahan manusia terhadap mereka yang disebut sebagai Environmentally-Displaced Persons (EDPs). Terlepas dari urgensi permasalahan ini, belum terdapat instrument hukum internasional yang dapat melindungi mereka. Namun, Human Rights Committee (HRC) memberikan peluang perlindungan terhadap para EDPs akibat perubahan iklim untuk tidak dikembalikan ke negara asalnya. HRC menyatakan bahwa perubahan iklim merupakan salah satu ancaman yang paling mendesak dan serius serta dapat menghadapkan individu terhadap pelanggaran atas hak untuk hidup. Hal ini maka dapat memunculkan kewajiban bagi Negara untuk tidak mengembalikan mereka ke negara asal atau non-refoulement obligations. Walaupun demikian, terdapat komponen-komponen yang harus dipenuhi oleh EDPs akibat perubahan iklim untuk mendapatkan perlindungan tersebut, termasuk risiko yang ia hadapi haruslah nyata dan tidak dapat diperbaiki, serta bersifat pribadi. Pemenuhan komponen hak untuk hidup dalam konteks lingkungan ini dapat dilihat dalam kasus Ioane Teitiota v. New Zealand yang dianggap sebagai suatu landmark decision dalam perlindungan EDPs akibat perubahan iklim

Climate change can have a negative impact on the enjoyment of human rights, one of the rights that is considered to be the most significantly threatened is the right to life. The right to life is a non-derogable right which cannot be reduced under any circumstances. One of the consequences of climate change can be seen through the phenomenon of forced displacement of people against them which is called Environmentally-Displaced Persons (EDPs). Despite the urgency of this problem, there is no international legal instrument that can protect them. However, the Human Rights Committee (HRC) provides an opportunity to protect EDPs due to climate change from being returned to their countries of origin. The HRC states that climate change is one of the most urgent and serious threats and can expose individuals to violations of the right to life. This can then give rise to an obligation for the State not to return them to the country of origin or non-refoulement obligations. However, there are components that must be met by EDPs due to climate change in order to obtain such protection, including the risks that they face must be real and irreversible, as well as personal. The fulfillment of the right to life component in this environmental context can be seen in the case of Ioane Teitiota v. New Zealand that is considered as a landmark decision in protecting EDPs due to climate change."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alfitras Tavares
"Perubahan iklim merupakan permasalahan besar manusia saat ini. Dampak dari perubahan iklim dapat melanggar hak asasi manusia. Mengutip beberapa penelitian mengenai Carbon Majors, ditemukan bahwa emisi yang utamanya berasal dari industri bahan bakar fosil merupakan salah satu pihak yang berkontribusi besar terhadap perubahan iklim melalui gas rumah kacanya. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah korporasi yang berkontribusi menyebabkan dampak perubahan iklim dapat dimintakan pertanggungjawaban atau tidak. Penelitian ini akan mengkaji dan menganalisis bagaimana perubahan iklim berdampak pada hak asasi manusia, bagaimana kewajiban hak asasi manusia oleh korporasi terkait dampak perubahan iklim serta bagaimana pertanggungjawaban korporasi melalui mekanisme litigasi perubahan iklim berbasis hak asasi manusia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dan analisis kualitatif terhadap berbagai jenis data. Data penelitian yang digunakan adalah data sekunder mulai dari peraturan, putusan pengadilan, jurnal ataupun buku. Hasil penelitian ini menemukan bahwa perubahan iklim memang berdampak pada hak asasi manusia dan bahwa korporasi memiliki kewajiban hak asasi manusia dan dapat dimintakan tanggung jawab atas kontribusinya terhadap perubahan iklim. Terdapat dua jalur yang dapat digunakan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dengan menggunakan argumen hak asasi manusia atas dampak perubahan iklim, yaitu melalui gugatan pelanggaran hak dan gugatan perdata perbuatan melawan hukum. Alangkah baiknya apabila Pemerintah membuat peraturan yang mengikat yang mengatur mengenai kewajiban korporasi terkait hak asasi manusia dan perubahan iklim. Hal ini diperlukan agar setiap tindakan melakukan pencegahan pelanggaran hak asasi manusia perubahan iklim melalui aktivitasnya.

Climate change is a major problem for mankind right now. The impact of climate change can violate many human rights. Citing several studies on Carbon Majors, it was found that emissions mainly from the fossil fuel industry are one of the major contributors to climate change through their greenhouse gases. This raises the question of whether corporations that contribute to climate change impacts can be held accountable or not. This research will examine and analyze how climate change impacts on human rights, how the obligations of human rights by corporations are related to the impacts of climate change as well as how the corporation is accountable through human rights-based climate change litigation mechanisms. This research is a juridical-normative research and qualitative analysis of various types of data. This research used secondary data ranging from regulations, court decisions, journals or books. The results of this study find that climate change does have an impact on human rights and that corporations have human rights obligations and can be held accountable for their contribution to climate change. There are two ways that can be used to hold corporations accountable, those are, using human rights arguments for the impacts of climate change through lawsuits for violation of rights and civil lawsuits for unlawful acts. It would be better if the Government made binding regulations governing corporate obligations related to human rights and climate change. This is necessary so that every action takes to prevent climate change human rights violations through their activities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ravel Dillon Chandra
"Status konservasi komodo yang berubah menjadi endangered akibat perubahan iklim menyebabkan perlunya pelaksanaan aksi adaptasi perubahan iklim sebagai bentuk konservasi komodo di Pulau Komodo. Bentuk konservasi ditentukan berdasarkan kewenangan dan kebijakan konservasi komodo supaya strategi adaptasi perubahan iklim yang tepat dapat diimplementasikan. Kewenangan konservasi komodo berada di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdasarkan UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun, pelaksanaannya sendiri melibatkan pihak-pihak lain termasuk lembaga negara dan keterlibatan pihakpihak di luar pemerintahan. Sementara itu, kebijakan konservasi di Indonesia terpusat pada UU Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. Namun, kebijakan tersebut tidak mengakomodir dampak dari perubahan iklim sehingga sulit untuk mengimplementasikan aksi adaptasi perubahan iklim ke dalam kawasan lindung. Untuk menghadapi perubahan iklim, kebijakan yang ideal di Pulau Komodo adalah dengan memanfaatkan ekosistem mangrove. Kewenangan utama penyusunan aksi adaptasi perubahan iklim seharusnya diberikan kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal ini disebabkan peran Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur sebagai instansi pemerintah yang berwenang di wilayah implementasi aksi adaptasi perubahan iklim dan kewenangannya untuk melaksanakan pengelolaan kawasan pelestarian alam, yaitu Pulau Komodo sebagai bagian dari Taman Nasional Komodo.

The conservation status of the komodo dragon, which has become endangered due to climate change, has led to the need to implement climate change adaptation actions as a form of komodo dragon conservation on Komodo Island. The form of conservation is determined based on the authority and policy of Komodo dragon conservation, so that appropriate climate change adaptation strategies can be implemented. The authority for the conservation of komodo dragon rests with the Ministry of Environment and Forestry based on the Law on Conservation of Natural Resources and Ecosystems. However, the implementation itself involves other parties including state institutions and the involvement of parties outside the government. Meanwhile, the conservation policy in Indonesia is in the Law on Conservation of Biological Natural Resources. However, the policy does not accommodate the impacts of climate change, making it difficult to implement climate change adaptation actions into protected areas. To deal with climate change, the ideal policy on Komodo Island is to utilize the mangrove ecosystem. The main authority for preparing climate change adaptation actions should be given to the Provincial Government of East Nusa Tenggara. This is due to the role of the Provincial Government of East Nusa Tenggara as the government agency in charge in the area of implementing climate change adaptation actions and its authority to carry out the management of nature conservation areas, namely Komodo Island as part of the Komodo National Park."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liliek Sofitri
"Indonesia menghadapi risiko yang signifikan terhadap perubahan iklim, yang dampaknya dapat dikurangi dengan partisipasi aktor negara dan aktor bukan negara baik skala nasional, internasional, regional dan lokal. Upaya menanggulangi perubahan iklim membutuhkan sumber daya yang signifikan yang perlu dipersiapkan dengan cermat.

Penelitian ini bertujuan untuk (i) menganalisis bagaimana aliran pendanaan iklim menggunakan pendekatan Social Network Analysis (SNA); (ii) menjelaskan urgensi rekonstruksi kebijakan pendanaan perubahan iklim; (iii) mengembangkan desain model kebijakan pendanaan perubahan iklim. Paradigma yang digunakan adalah konstruktivisme dengan pendekatan multi metode, menggunakan tools SNA dan modelling System Dynamics (SD). SD digunakan untuk menentukan proporsi kebijakan fiskal pembiayaan dan kebijakan non fiskal hingga 2030. Informan  terdiri dari aktor, pejabat pemerintah, profesional, aktor perbankan, dan individu.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa beban APBN sangat tinggi mencapai 92% hingga 2030 untuk membiayai kegiatan perubahan iklim, ada urgensi untuk mendesak share pendanaan dari negara maju, diperlukan layer pembagian peran dan tanggung. Fakta empiris menunjukan aliran dana iklim sejak 2007-2017 didominasi oleh sektor publik dan masih menjadi tantangan bagi keterlibatan sektor swasta. Pendapatan pajak mendominasi dan sebagai sumber pendanaan terbesar untuk membiayai kegiatan mitigasi dan adaptasi iklim selama periode penelitian. Model desain kebijakan pendanaan perubahan iklim terdiri dari kluster kebijakan pendanaan fiskal dan kluster kebijakan pendanaan non fiskal.
Penelitian ini memberikan rekomendasi bahwa harus ada keseimbangan kebijakan pendanaan antara kebijakan pendanaan fiskal dan kebijakan pendanaan non fiskal, shifting burden dari APBN perlu dilakukan sehingga tidak membebani APBN terutama dari sektor swasta dan secara berkelanjutan memperjuangkan kontribusi pendanaan dari negara yang memberikan share kenaikan emisi tinggi. Penelitian juga mengusulkan desain model kebijakan pendanaan perubahan iklim meliputi mitigasi dan adaptasi, serta kerangka kerja Allocative Efficiency untuk perubahan iklim pada belanja publik.

Indonesia presents significant risks to the climate change by increased variability and intensity of rainfall and to sea level rise. The impact of climate change can be reduced by participating state actor and non state actor both national and international efforts to reduce GHG emissions and by investing in adaptation to climate change to protect against loss and damage to the country's natural resources. Reducing emissions and building resilience will require  significant financial resources which needs to be  prepared carefully. The research aims  to (i) analyse how is the climate finance flow using Social network Analysis (SNA) approach; (ii) analyse the urgency of climate finance policy reconstruction; (iii) develop design model of climate finance policy using System Dynamics approach. The research using constructivism paradigm with multi methode method using Social Network Analysis and System Dynamics Model to determine the  proportion of financing fiscal policy and non fiscal policy up to 2030 as well as construct the climate finance policy. Informan consist of actors, governemnt officials, professional, banking actor, and individual.
The result shows that there is urgent to reconstruct the climate finance policy in Indonesia due to high burdern of APBN reached 92% until 2030 for financing climate change activities in Indonesia. It is also proven that with empirical evidence that the flow of climate fund since 2007 until 2017 dominated by public sectors and still challenges for private sectors involvement. Tax revenue is found as the most funding resources to finance the climate activities of mitigation and adaptation during period of research. Design model of climate finance policy consist of cluster fiscal policy and non fiscal policy.
The research provide recommendation due to the externalites of climate change and as global public goods there should be balanced of climate finance policy between climate fiscal policy and non fiscal policy, shifting burden from APBN need to be conducted especially financing form private sector and fighting continously on the contribution from countries that share high emission increases. The research also propose the model of climate finance policy framework and  framework of climate allocative efficiency in public spending."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
D2716
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Difa Shafira
"Perkara litigasi perubahan iklim kini semakin berkembang dan dapat diidentifikasi
dalam berbagai yurisdiksi, termasuk Indonesia. Namun, karakteristik khusus dari
isu perubahan iklim yang berbeda dengan permasalahan lingkungan hidup
konvensional telah membawa berbagai isu hukum dalam litigasi perubahan iklim.
Salah satu isu yang muncul dalam litigasi perubahan iklim yang ditemukan adalah
kedudukan hukum sebagai hambatan prosedural. Dalam perkara Izin Lingkungan
PLTU Celukan Bawang yang merupakan perkara litigasi perubahan iklim terkait
Amdal pertama di Indonesia, gugatan Penggugat ditolak oleh PTUN Denpasar
karena dinilai tidak memiliki kedudukan hukum. Penelitian ini akan melihat
bagaimana kedudukan hukum dalam perkara litigasi perubahan iklim di Indonesia
muncul sebagai hambatan dengan membandingkan dengan Perkara Earthlife v.
MoE dan Border Power Plant v. DoE dan BLM . Lebih jauh lagi, Penelitian ini
akan melihat bagaimana PTUN Denpasar mempertimbangkan isu emisi Gas
Rumah Kaca sebagai elemen penting dalam litigasi perubahan iklim. Penelitian
ini berkesimpulan bahwa kedudukan hukum dapat menjadi hambatan bagi litigasi
perubahan iklim apabila terdapat inkonsistensi interpretasi terkait kedudukan
hukum di Pengadilan. Selain itu, PTUN Denpasar belum dapat melihat
kekhususan dari emisi gas rumah kaca yang merupakan karakteristik isu
perubahan iklim. Padahal, dengan kerangka hukum yang ada di Indonesia, perkara
ini memiliki potensi besar untuk mendorong pembaruan hukum.

Climate change litigation cases have been growing in numbers and identified in
various jurisdictions, including Indonesia. However, the characteristic on climate
change issues that differ from conventional environmental problems lead to
several legal issues arise in climate change litigation. One of them is legal
standing as the procedural barrier on climate change litigation. On Indonesia’s
first EIA related climate change litigation case, Celukan Bawang Coal-Fired
Power Plant, PTUN Denpasar rejected the plantiff’s claim as they failed to fullfill
the legal standing criteria. This study will examine how is standing provision in
Indonesia arises as a procedural barrier by comparing the case with two other
cases in two different jurisdictions,such as Earthlife v. MoE and Border Power
Plant v. DoE and BLM. Furthermore, this study will examine PTUN Denpasar’s
consideration on greenhouse gases emission as one of the core characteristics of
climate change issue. This study concludes that standing provision in Indonesia
may pose a procedural barrier for climate change litigation if interpreted
inconsistently by the court. In addition, PTUN Denpasar has failed to show an
adequate understanding on greenhouse gasses as the core of climate change issue.
Reflecting on Indonesia’s current legal framework, this case used to have a huge
potential on promoting legal reform.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2012
346.046 KON
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Butarbutar, Tigor
Jakarta: Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 2009
JAKK 6(1-3)2009
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>