Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 203616 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raphael Kosasih
"Kanker payudara merupakan penyebab kematian tersering pada wanita. Salah satu faktor risiko kanker payudara adalah obesitas. Obesitas merupakan masalah kesehatan global yang diderita 13% populasi dunia. Sekitar 56 % pasien kanker payudara mengalami obesitas. Sebagian besar pasien kanker payudara dengan obesitas mengalami peningkatan berat badan setelah diagnosis dan semakin memberat saat mejalani terapi anti-kanker. Peningkatan massa lemak berperan dalam progresivitas sel kanker dan resistensi kanker terhadap kemoradiasi. Asam lemak omega-3, yaitu eicosapentaenoic acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) merupakan nutrien spesifik dalam terapi medik gizi pasien kanker. Penelitian menunjukkan EPA dan DHA dapat memiliki efek anti-kanker, antiinflamasi, dan anti-obesitas yang dapat menurunkan massa lemak, berat badan, dan meningkatkan sensitivitas terapi anti-kanker. Terapi medik gizi dilakukan pada empat pasien kanker payudara dengan obesitas dengan rentang usia 44–58 tahun. Satu pasien tidak mencapai target asupan energi dan satu pasien melebihi target asupan energi, dengan rentang rerata asupan 23–31 kkal/kgBB. Satu pasien tidak mencapai target asupan protein dengan rentang rerata asupan 1–1,4 g/kgBB. Asupan nutrien spesifik asam amino rantai cabang keempat pasien belum mencapai 10 g/hari dengan rentang rerata asupan 8,3–9,3 g/hari. Asupan EPA dan DHA keempat pasien memiliki rentang rerata 1,8–1,9 g/hari. Tiga dari empat pasien mengalami penurunan berat badan dan free fat mass index (FFMI), satu pasien mengalami peningkatan BB dan FFMI, dan dua dari empat pasien mengalami peningkatan kekuatan genggam. Satu pasien mengalami peningkatan C-reactive protein (CRP) dan satu pasien mengalami penurunan CRP. Keempat pasien memiliki rasio neutrofil limfosit diatas 3,49 yang mengindikasikan peningkatan risiko rekurensi. Keempat pasien mengalami toksisitas akur ringan selama radioterapi. Kendala utama dalam aplikasi terapi medik gizi pada keempat pasien adalah tingkat kepatuhan terhadap preskripsi yang semakin menurun menjelang minggu akhir pemantauan Dibutuhkan tatalaksana gizi lebih lanjut pasca radiasi untuk mencapai target nutrisi disertai peningkatan aktivitas fisik untuk mempertahankan atau meningkatkan massa otot.

Breast cancer is a leading cause of death in women. One risk factor for breast cancer is obesity, a global health problem affecting 13% of the world's population. About 56% of breast cancer patients are obese. Most breast cancer patients with obesity gain weight after diagnosis and get worse while undergoing anti-cancer therapy. Increased fat mass plays a role in the progression of cancer cells and cancer resistance to chemoradiation. Omega-3 fatty acids, namely eicosapentaenoic acid (EPA) and docosahexaenoic acid (DHA), are specific nutrients in medical nutrition therapy for cancer patients. Research shows that EPA and DHA have anti-cancer, anti-inflammatory, and anti-obesity effects that can reduce fat mass and body weight and increase the sensitivity of anti-cancer therapy. Medical nutrition therapy was done on four obese breast cancer patients aged 44–58. One patient did not reach the energy intake target, and one exceeded the energy intake target, with a mean intake range of 23–31 kcal/kg BW. One patient did not achieve the target protein intake with an average intake of 1–1.4 g/kg BW. The intake of specific nutrients for branched-chain amino acids in the four patients had not yet reached ten g/day with a mean intake range of 8.3–9.3 g/day. The EPA and DHA intakes of the four patients had a mean range of 1.8–1.9 g/day. Three of four patients experienced weight loss and free fat mass index (FFMI), one patient experienced an increase in weight and FFMI, and two of four patients experienced an increase in grip strength. One patient had an increase in C-reactive protein (CRP), and one had a decrease in CRP. All four patients had a neutrophil-lymphocyte ratio above 3.49, indicating an increased risk of recurrence. All four patients experienced mild acute toxicity during radiotherapy. The main obstacle in applying medical nutrition therapy to the four patients was the level of adherence to prescriptions which decreased towards the end of the monitoring week. Further nutritional management after radiation was needed to achieve nutritional targets with increased physical activity to maintain or increase muscle mass."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vikie Nouvrisia Anandaputri
"Latar Belakang. Pasien kanker laring dapat mengalami malnutrisi sebelum
menjalani radioterapi yang ditandai dengan penurunan berat badan yang tidak
disengaja akibat penurunan massa bebas lemak. Kasus serial ini bertujuan untuk
mengamati kaitan asupan protein dengan perbaikan fat free mass index (FFMI).
Metode. Empat pasien pada serial kasus ini didiagnosis karsinoma sel skuamosa
laring pascalaringektomi total dan diseksi leher stadium III dan IV dengan status
gizi malnutrisi berat dan sedang, berat badan normal, dan obes I, berusia 51-62
tahun yang dikonsulkan ke dokter Gizi Klinik pada bulan Agustus sampai
November 2019 sejak awal radioterapi. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan
kondisi klinis melalui jalur oral. Pemantauan dilakukan pada minggu pertama
radiasi, selama radiasi, minggu terakhir radiasi, dan pascaradiasi.
Hasil. Kadar albumin serum keempat pasien dalam batas normal dan meningkat
saat akhir radiasi pada tiga orang pasien. Pasien malnutrisi sedang mengalami
penurunan FFMI dengan asupan protein <2 g/kg BB, pasien malnutrisi berat
mengalami peningkatan FFMI dengan asupan protein 1,1-1,4 g/kg BB. FFMI
pasien obes meningkat lalu menurun dengan asupan protein 0,8-1,7 g/kg BB.
FFMI pasien BB normal meningkat dengan asupan protein 2 g/kg BB. Rentang
asupan protein adalah 0,7-1,5 g/kg BB saat awal radiasi, selama radiasi 0,8-2 g/kg
BB, akhir radiasi 1,1-2 g/kg BB.
Kesimpulan. FFMI cenderung mengalami peningkatan sampai akhir radiasi pada
asupan protein yang mencapai 2 g/kg BB pada pasien BB normal. Perlu penelitian
lebih lanjut mengenai hubungan asupan protein dan FFMI pada pasien KSS laring
yang menjalani radioterapi.

Bacground. Laryngeal cancer patients can experience malnutrition before
undergoing radiotherapy characterized by unintentional weight loss due to a
reduction in fat free mass. Aim of the case series to observe protein intake with fat
free mass index (FFMI) improvement.
Method. Four patients were diagnosed with laryngeal squamous cell carcinoma
post total laryngectomy and neck dissection with nutritional status of severe and
moderate malnutrition, normal weight, and obese grade I, aged 51-62 years who
were consulted to Clinical Nutrition physician in August to November 2019 which
underwent radiotherapy. Medical nutrition therapy is given according to the
clinical condition of each patient through oral. Monitoring was carried out in the
first week, during, the end, and after radiation.
Results. Serum albumin were within normal level and increased at the end of
radiation in 3 patients. FFMI of malnourished patients was decreased with
protein intake <2 g/kg BW. FFMI of severely malnourished patients increases
with protein intake from 1.1 to 1.4 g/kg body weight. FFMI of obese patients
increases then decreases with protein intake from 0.8 to 1.7 g/kg body weight.
FFMI of normoweight patients increases with a protein intake of 2 g/kg BW. The
range of protein intake is 0.7-1.5 g/kg BW at first week, 0.8-2 g/kg BW during,
and 1.1-2 g/kg BW at the end of radiation.
Conclusion. FFMI tends to increase on protein intake 2 g/kg BW in normoweight
patients. Further research is needed regarding the relationship of protein intake
and FFMI in laryngeal patients undergoing radiotherapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Kelvianto
"Gangguan psikiatri meningkatkan risiko penderitanya mengalami obesitas dan sindroma metabolik akibat interaksi faktor genetik, lingkungan, gejala penyakit psikiatri dan pengobatannya. Pengaturan asupan makan dan perubahan pola hidup tetap menjadi tatalaksana awal pada pasien dengan gangguan psikiatri. Penggunaan metformin telah disarankan dalam studi sebagai adjuvan dalam tatalaksana berat badan pada pasien gangguan psikiatri terutama yang menggunakan obat psikiatri dalam jangka panjang. Empat pasien rawat inap dengan gangguan psikiatri dipantau selama perawatan dan sebulan setelah rawat jalan dengan kontak per minggu. Dilakukan pencatatan masalah subjektif, objektif, riwayat peningkatan berat badan, riwayat pengobatan pola asupan serta pengukuran antropometri dan komposisi tubuh. Pola asupan harian dan 24 jam terakhir dikumpulkan dengan metode FFQ semi kuantitatif dan 24h dietary recall. Perencanaan terapi medik gizi dilakukan dengan restriksi kalori, peningkatan asupan protein, penyesuaian asupan karbohidrat, motivasi melakukan aktivitas fisik yang cukup dan pemberian metformin dengan dosis bertahap. Tiga pasien memiliki status gizi obes 2, 1 pasien memiliki status gizi obes morbid yang disertai massa lemak yang tinggi dan massa otot yang rendah. Seluruh pasien memiliki lingkar pinggang diatas normal, kadar kolesterol total, LDL yang tinggi dan HDL yang rendah. Tiga pasien tidak mematuhi preskripsi selama perawatan. Setelah rawat jalan, dua pasien memiliki caregiver yang memberikan pemantauan dan motivasi yang baik terhadap pasien selama sebulan dan terdapat penurunan berat badan, penurunan lingkar pinggang, dan perbaikan komposisi tubuh. Terapi medik gizi pada pasien dengan gangguan psikiatri membutuhkan kerjasama dengan caregiver agar dapat bermanfaat bagi pasien.

Patients with psychiatric disorders experienced an increased risk of obesity and metabolic syndrome due to genetic, environmental, disease symptoms and medication factor. Diet and lifestyle modification remained the firstline modalities for management of obesity in patients with psychiatric disorders. Metformin as an adjuvant therapy is recommended for preventing weight gain in patients especially with long-time psychiatric medication usage. Four inpatients with various psychiatric disorders were monitored during hospital stay and one month after discharge with weekly contact for monitoring. Subjective symptoms and objective signs, including history of weight gain, psychiatric medication history, intake pattern, anthropometric and body composition measurements were recorded. Daily intake pattern and 24 hour food intake were recorded and analyzed with semi-quantitative FFQ method and 24h food recall, respectively. Energy restriction, adjustment of protein and carbohydrate intake, physical activity encouragement and oral metformin administration with increasing dose were implemented in all patients. Three patients were grade 2 obese, one patients was morbidly obese with high fat mass and low muscle mass. All patients showed an increased waist circumference, high total cholesterol and LDL level, and low HDL level. Three patients failed to comply with nutrition prescription. After discharge, two patients had a supportive caregivers that gave an adequate monitoring and encouragement. Weight loss, reduced waist circumference, and better body compositition were found in 2 patients with supportive caregivers. Medical nutrition therapy on patient with psychiatric disorder will benefit greatly from supportive caregiver to bring benefit for patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amelya Augusthina Ayusari
"Latar Belakang: Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering terjadi di dunia dengan insidensi 25,1% dari semua jenis kanker. Pasien kanker payudara yang menjalani radiasi, umumnya tidak memenuhi kriteria malnutrisi pada skrining gizi namun kebanyakan pasien memiliki massa otot yang rendah, sehingga berpotensi mengalami penurunan kapasitas fungsional. Proses keganasan dan radiasi dapat menyebabkan peningkatan IL-6 yang berdampak pada penurunan kadar Hb. Kadar kolesterol LDL yang tinggi juga sering ditemukan pada pasien dengan obes/riwayat obes, peningkatan ini merugikan karena berdampak pada prognosis dan kesintasan pasien. Terapi medik gizi yang adekuat diperlukan pada pasien kanker payudara.
Metode: Pasien kanker payudara berusia antara 36-79 tahun. Empat pasien telah menjalani mastektomi dan tiga di antaranya telah dikemoterapi. Pasien memiliki hasil skrining MST ≥2. Pemantauan yang dilakukan meliputi keluhan subjektif, kondisi klinis, tanda vital, pemeriksaan laboratorium, antropometri, komposisi tubuh, kapasitas fungsional dan analisis asupan 24 jam. Keempat pasien mendapatkan edukasi nutrisi, oral nutrition support (ONS), suplementasi vitamin dan mineral serta omega-3.
Hasil: Dari hasil pemantauan diketahui bahwa pasien kanker payudara yang mendapatkan terapi medik gizi dapat meningkatkan asupan makanannya, berat badan, massa otot, kekuatan genggam tangan, kadar hemoglobin dan perbaikan kadar kolesterol LDL. Skor ECOG/Karnofsky Performance dari keempat pasien mengalami perbaikan bila dibandingkan dengan pemeriksaan awal.
Kesimpulan: Terapi medik gizi dapat memperbaiki outcome klinis, kapasitas fungsional, antropometri, dan laboratorium pada semua pasien dalam serial kasus ini.

Background: Breast cancer is the most common cancer in the world with an incidency 25.1% of all types of cancer. Generally, breast cancer patients who had undergoing radiation did not meet the criteria for malnutrition based on nutritional screening, but most patient had low muscle mass that reduce functional capacity. Malignancy and radiation cause an increase of IL-6 which result a decrease in Hb levels. High LDL cholesterol levels were also found in obesity or history of obesity which affected the prognostic and survival of breast cacer patient. The patients mostly had skeletal mass decreased. Adequate nutritional therapy is needed for breast cancer patients.
Method: The case saries reported breast cancer patients aged between 36-79 years. Three patients had mastectomy and chemotherapy, while the other had only mastectomy. Patients had MST screening ≥ 2. Patiens were examined of subjective complaints, clinical conditions, vital signs, laboratory examination, anthropometry, body composition, functional capacity and 24-hour intake analysis. The four patients received nutritional education, oral nutrition support (ONS), vitamin and mineral supplement and omega-3.
Results: Breast cancer patients who got adequate nutritional therapy had increased their food intake, body weight, skeletal mass, handgrip strength, hemoglobin levels and improvement of LDL cholesterol levels. The ECOG/Karnofsky Performance Score of the all patients showed improvement from the initial examination.
Conclusion: Medical nutrition therapy improves the outcome, nutritional status, laboratory parameters and body composition in breast cancer patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Novianti
"Latar Belakang: Obesitas merupakan kondisi inflamasi kronik yang dapat mengakibatkan penurunan massa otot dan kekuatan genggam tangan. Salah satu nutrisi yang berperan untuk meningkatkan sintesis protein dan menurunkan degradasi protein, yaitu eicosapentaenoic acid (EPA). Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara asupan EPA dengan massa otot dan kekuatan genggam tangan pada karyawan kantoran dengan obesitas.
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan pada subjek karyawan kantoran dengan obesitas. Asupan EPA dinilai dengan food frequency questionnaire semi kuantitatif. Massa otot diukur dengan menggunakan multifrequency bioelectrical impedance analysis. Sedangkan, kekuatan genggam tangan diukur menggunakan electric dynamometer.
Hasil: Penelitian ini mencakup 41 subjek penelitian yang memiliki median usia 35 (21-56) tahun dengan jumlah subjek perempuan lebih banyak dibandingkan dengan subjek laki-laki. Subjek penelitian dengan obesitas derajat 1 sebanyak 16 orang (39%) dan obesitas derajat 2 sebanyak 25 orang (61%). Subjek memiliki rerata asupan EPA sebesar 152,3±64,64 mg. Subjek penelitian memiliki median massa otot sebesar 19,8 (15,3-46,5) kg dan median kekuatan genggam tangan sebesar 24,5 (17,8-42,9) kg. Penelitian ini mendapatkan nilai koefisien korelasi cukup dan signifikan antara asupan EPA dengan massa otot (r=0,335, p=0,032). Sedangkan, tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara asupan EPA dengan kekuatan genggam tangan.
Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna antara asupan EPA dengan massa otot pada karyawan kantoran dengan obesitas. Namun, tidak didapatkan korelasi antara asupan EPA dengan kekuatan genggam tangan.

Background: Obesity is a chronic inflammatory condition that can lead to decrease muscle mass and handgrip strength. One of the nutrients that plays role in increasing protein synthesis and reducing protein degradation is eicosapentaenoic acid (EPA). This study aims to investigate the correlation between EPA intake with muscle mass and handgrip strength in office workers with obesity.
method: This cross-sectional study was conducted on the subject of office workers with obesity. EPA intake was assessed with semi-quantitative food frequency questionnaire. Muscle mass was measured using a multifrequency bioelectrical impedance analysis. Meanwhile, handgrip strength was measured using a electric dynamometer
Results: This study included fourty one subjects with a median age of 35 (21-56) years old, mostly were female subjects. There were 16 people with obesity grade 1 (39%) and 25 people with obesity grade 2 (61%). Average EPA intake was 152,3±64,64 mg. The subjects had a median muscle mass of 19,8 (15,3-46,5) kg and median handgrip strength of 24,5 (17,8-42,9) kg. There was adequate correlation between EPA intake and muscle mass (r=0,335, p=0,032). There was no significant correlation between EPA intake and handgrip strength
Conclusion: There was a significant correlation between EPA intake muscle mass in office workers with obesity. However, there was no correlation between EPA intake and handgrip strength.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evania Astella Setiawan
"Latar belakang. Meningkatnya prevalensi obesitas diikuti pula dengan kejadian sakit kritis pada pasien obesitas. Obesitas merupakan suatu kondisi inflamasi kronis yang memengaruhi disregulasi respon imun dan meningkatkan risiko sepsis. Sepsis merupakan penyebab tersering perawatan di intensive care unit (ICU) dan berkaitan dengan tingginya mortalitas dan morbiditas. Terapi medik gizi yang adekuat diperlukan untuk menopang diregulasi metabolisme pada sakit kritis dan mencegah penurunan status gizi. Pasien obesitas dengan sepsis menunjukkan prognosis yang buruk pada kondisi hiperlaktatemia. Salah satu mikronutrien yang berperan dalam bersihan laktat adalah tiamin. Beberapa studi menunjukkan efek positif suplementasi tiamin pada penurunan kadar laktat dan mortalitas pada pasien sepsis.
Kasus. Serial kasus ini memaparkan tiga pasien laki-laki dan satu pasien perempuan, berusia 33-68 tahun dengan status gizi obesitas, mengalami sakit kritis, dan sepsis. Seluruh pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak fase akut sakit kritis. Pemberian energi dan protein sesuai dengan kondisi klinis dan toleransi pasien. Seluruh pasien mendapatkan suplementasi tiamin 2x100 mg per enteral yang dimulai pada 24 jam pertama pasca penegakkan diagnosis sepsis selama 7 hari.
Hasil. Selama perawatan, asupan energi pasien kasus dapat mencapai 30 kkal/kgBB dan asupan protein mencapai 1,3–1,7 g/kgBB sesuai dengan fungsi ginjal pasien. Tiga pasien mengalami penurunan kadar laktat dan skor SOFA setelah 7 hari suplementasi tiamin. Ketiga pasien tersebut dapat melewati fase kritis di ICU dan pindah ke ruang perawatan biasa, sedangkan satu pasien mengalami peningkatan enzim transaminase dan peningkatan kadar laktat. Pasien tersebut mengalami 3 kali periode sepsis dan meninggal dunia saat perawatan sakit kritis.
Kesimpulan. Suplementasi tiamin memberikan efek positif pada penurunan kadar laktat darah dan skor SOFA pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang luaran klinis dan kesintasan pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas.

Background. The prevalence of obesity is rising worldwide followed by the incidence of critical illness in obese patients. Obesity is a chronic inflammatory condition that affects dysregulation of immune response and increases the risk of sepsis. Sepsis is the most common cause of hospitalization in the intensive care unit (ICU) and is associated with high mortality and morbidity. Adequate medical nutrition therapy is required to support metabolism in the critically ill and prevent deterioration in nutritional status. Obese patients with sepsis and hyperlactatemia exhibit poor prognosis. One of the micronutrients that play a role in lactate clearance is thiamine. Several studies have shown a positive effect of thiamine supplementation on reducing lactate levels and mortality in septic patients.
Case. This case series described three male patients and one female patient, aged 33-68 years with obesity, critical illness, and sepsis. All patients obtained medical nutrition therapy ever since the acute phase of critical illness. Administration of energy and protein was adjusted to clinical conditions and patients` tolerance. All patients received thiamine supplementation 2x100 mg enteral starting in the first 24 hours after diagnosis of sepsis for 7-day period.
Result. During treatment, the energy dan protein intake of case patients attained 30 kcal/kgBW and 1.3–1.7 g/kgBW respectively, according to the patients' tolerance. Three patients had decrement of lactate levels and SOFA scores after 7 days of thiamine supplementation. The three patients were able to surpass the critical phase in the ICU and step down to ward. Meanwhile, one patient experienced an increment in transaminases enzymes and lactate levels. The patient had 3 periods of sepsis and died during critical care.
Conclusion. Thiamine supplementation exhibited positive impact on lactate levels and SOFA scores decrement in critically ill patients with sepsis and obesity. Adequate medical nutritional therapy could promote clinical outcomes and survival in critically ill patients with sepsis and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Araminta Ramadhania
"Pasien kanker kepala-leher berisiko tinggi mengalami malnutrisi disebabkan oleh perubahan metabolisme, lokasi tumor, serta gejala toksisitas akut akibat kemoradiasi. Terapi medik gizi secara dini sejak pasien terdiagnosis kanker untuk mencapai asupan energi dan protein yang adekuat, didukung asupan branched-chain amino acid (BCAA) dan eicosapentaenoic acid (EPA) sesuai target, serta aktivitas fisik dapat menjaga massa otot dan status gizi pasien. Acute kidney injury (AKI) merupakan efek toksisitas obat kemoterapi berbasis platinum yang sering dialami pasien. Kondisi tersebut dapat menghambat optimalisasi pemberian nutrisi khususnya protein pada pasien kanker. Tiga dari empat pasien serial kasus sudah mengalami penurunan berat badan drastis, juga pre-kaheksia atau kaheksia sebelum mendapat terapi medik gizi. Selama menjalani kemoradiasi, asupan keempat pasien mengalami penurunan akibat gejala toksisitas akut yang semakin memberat mulai minggu ke-2 radiasi, sehingga tiga dari empat pasien tidak dapat mencapai target asupan energi dan protein pada sebagian besar pemantauan, dengan kisaran antara 6–41 kkal/kgBB/hari dan 0,3–1,6 g/kgBB/hari. Pemberian oral nutrition supplements (ONS) dan nutrisi enteral melalui nasogastric tube (NGT) membantu pemenuhan makronutrien, mikronutrien, serta nutrien spesifik. Berbagai studi menyatakan bahwa pasien yang mendapat terapi medik gizi disertai konseling nutrisi rutin mengalami penurunan berat badan lebih sedikit selama menjalani kemoradiasi. Keempat pasien serial kasus ini mengalami penurunan berat badan >10% selama menjalani kemoradiasi, terutama dari penurunan massa otot. Pasien juga mengalami penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup. Dua orang pasien yang mendapat terapi medik gizi sejak sebelum kemoradiasi disertai asupan nutrien spesifik sesuai target, dengan rentang asupan BCAA 3,5–16,2 g/hari dan EPA 1–1,38 g/hari, mengalami penurunan berat badan dan kualitas hidup relatif lebih sedikit dibanding dua pasien lainnya. Dibutuhkan asupan energi ≥30 kkal/hari dan asupan protein ≥1,2 g/hari disertai peningkatan aktivitas fisik untuk mempertahankan atau meningkatkan massa otot. Penurunan asupan masih dapat terjadi hingga beberapa minggu pascakemoradiasi, sehingga pemberian terapi medik gizi juga harus dilanjutkan setelah terapi kanker selesai.

Patients with head and neck cancer are at risk of malnutrition as a result of the metabolic alteration, site of their cancer, also acute toxicity following chemoradiation therapy. Early nutrition intervention consisted of adequate energy, protein, BCAA, and EPA intake, including physical activity initiated immediately after diagnosis was made, may maintain skeletal muscle mass and nutritional status. Platinum-based chemotherapy drug-induced nephrotoxicity can hinder the optimization of protein intake in cancer patients. Three out of four patients in this case series had experienced severe weight loss, also pre-cachexia and cachexia before initiation of nutrition intervention. Energy and protein intake of three patients remained insufficient until the end of chemoradiation therapy, ranged from 6–41 kcal/kg/day and 0,3–1,6 g/kg/day. These inadequacies were mainly caused by acute radiation toxicities that worsen as radiation went on. Oral nutrition supplements and enteral tube feeding may help to achieve adequate macronutrient, micronutrient, and specific nutrient intake. A number of studies demonstrated that regular dietary counseling during chemoradiation was associated with less weight loss. All patients in this case series suffered from weight loss >10%, mainly from skeletal muscle loss. Functional status and quality of life during chemoradiation therapy were also reduced. Better quality of life and less weight loss were seen in two patients who received early nutrition intervention and reached the daily intake target of specific nutrient, ranged from 3,5–16,2 g/day for BCAA and 1–1,38 g/day for EPA. Energy intake ≥30 kcal/day and protein intake ≥1,2 g/day combined with increased physical activity are needed to maintain or increase muscle mass. Side effects of radiation can last for months after treatment; therefore, nutrition intervention should be continued to maintain good nutrition after radiation therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kwan Francesca Gunawan
"ABSTRAK
Diabetes melitus DM merupakan suatu epidemik global. Obesitas merupakan faktor risiko tersering pada terjadinya DM tipe 2. Salah satu komplikasi yang sering dialami oleh penderita DM ialah kaki diabetik. Pada pasien DM dengan obesitas dan kaki diabetik, terapi medik gizi penting untuk mencapai target berat badan, menjaga kadar glikemik, serta mencegah komplikasi DM. Selain itu pemberian nutrisi yang adekuat juga penting untuk mendukung penyembuhan luka. Pasien pada serial kasus ini berusia antara 41 ndash;59 tahun dengan dengan proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Keempat pasien memiliki status gizi obes dengan IMT sebesar 26-54,4 kg/m2. Awitan DM pada keempat pasien diketahui bervariasi antara 1-13 tahun. Terapi medik gizi diberikan sesuai dengan klinis, hasil laboratorium, dan asupan terakhir masing-masing pasien. Dari hasil pemantauan didapatkan bahwa dengan terapi nutrisi yang diberikan terjadi penurunan berat badan sebesar 3,2-4,8 kg 3,2-5,8 dan penurunan nilai HbA1c sebanyak 0,3-0,7. Selain itu juga didapatkan ukuran luka yang mengecil dan gejala neuropati berkurang. Pada pasien DM tipe 2 dengan obesitas dan kaki diabetik, terapi medik gizi yang adekuat berkaitan dengan penurunan berat badan, perbaikan kontrol glikemik, dan penyembuhan luka yang baik.

ABSTRACT<>br>
Diabetes mellitus is now a global epidemic. Obesity is a common risk factor in the occurrence of type 2 diabetes. One of the complications that are often experienced by people with diabetes is diabetic foot. In diabetic patients with obesity and diabetic foot, medical nutrition therapy is important to achieve targeted body weight, maintain glycemic levels, and prevent diabetes complications. Good nutrition is also essential for wound healing. This case series consists of four patients who are between 41-59 years old and obese with BMI of 26-54.4 kg/m2. The onset of DM in all four patients is known to vary between 1-13 years. Nutritional therapy is given in accordance with the clinical, laboratory outcomes, and patients' daily intake. It was found that medical nutrition therapy can lead to weight loss of 3.2-4.8 kg (3.2-5.8%) and decreased HbA1c by 0.3-0.7%. It was also observed that the wound size and neuropathy symptoms are reduced. Adequate medical nutrition therapy in type 2 DM patients with obesity and diabetic foot is associated with weight loss, improved glycemic control, and good wound healing."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mutia Winanda
"ABSTRAK
Latar belakang: Prevalensi obesitas di seluruh dunia telah diketahui mengalami peningkatan yang signifikan dalam tiga dekade terakhir. Tingginya prevalensi obesitas tersebut dapat memengaruhi peningkatan prevalensi pasien luka bakar dengan obesitas yang dirawat di unit luka bakar. Pasien luka bakar dengan obesitas mengalami fenomena 'second hit', yaitu peningkatan respon hipermetabolisme pasca luka bakar akibat inflamasi kronik yang sebelumnya sudah dialami. Masalah tersebut memiliki kaitan erat dengan nutrisi sehingga membutuhkan terapi medik gizi yang optimal untuk memodulasi respon hipermetabolisme yang meningkat pada pasien luka bakar dengan obesitas. Metode: Pada serial kasus ini terdapat empat pasien luka bakar berat karena api. Keempat pasien tersbeut memiliki status nutrisi obes berdasarkan kriteria indeks massa tubuh IMT menurut WHO untuk Asia Pasifik. Target kebutuhan energi dihitung menggunakan formula estimasi Xie dengan berat badan kering. Terapi medik gizi diberikan sesuai panduan terapi medik gizi pasien sakit kritis berupa nutrisi enteral dini dengan target energi awal 20-25 kcal/kg BB dengan target protein 1,5-2 gram/kg BB. Terapi medik gizi selanjutnya diberikan sesuai dengan klinis dan toleransi pasien. Mikronutrien yang diberikan berupa vitamin C, vitamin B, asam folat, dan seng.Hasil: Tiga pasien meninggal selama perawatan karena syok sepsis yang tidak teratasi, sedangkan satu pasien mengalami perbaikan luas luka bakar dari 47 menjadi 36 luas permukaan tubuh LPT serta peningkatan kapasitas fungsional. Kesimpulan: Status nutrisi obesitas pada pasien dalam serial kasus ini dapat menjadi faktor yang memperberat penyulit yang dialami. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang proses penyembuhan luka serta meningkatkan kapasitas fungsional.

ABSTRACT<>br>
Background The prevalence of obese patients presenting to burn unit facilities is expected to increase over the next three decades due to global epidemic of obesity. Given that the metabolic derrangements seen in burn mirror those found in association in obesity, it is plausible that excess adipose tissue contributes to a 'second hit' phenomenon in patients affected by burn injury. Optimal and adequate medical nutrition therapy is required in order to modulate the inflammatory and metabolic response, therefore enhance burn wound healing.Methods The current case series consist of four severly flame burned patient. The nutritional status of these patients was moderately obese according to WHO criteria for Asia Pacific. Enery requirement was calculated using the Xie formula based on patient rsquo s dry weight. Medical nutrition therapy was initiated with eraly enteral nutrition started at 20-25 kcal kg day with protein target at 1,5-2 gram kg day. Micronutrient supplementation was also given to these patients. Results Three patients died during hospitalization due to septic shock. The last patient had satisfactory wound healing and improved functional capacity at discharge. Kesimpulan: Obesity in this case series may be one of the risk factor for mortality. Adequate medical nutrition therapy inline with patient's clinical condition leads to enhancement healing process and improved functional capacity."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marisa
"Latar belakang: Kanker sel skuamosa (KSS) lidah adalah keganasan rongga mulut tersering dengan prognosis terburuk. Insiden KSS lidah cenderung meningkat dan semakin banyak pada usia kurang dari 45 tahun. Hampir semua pasien kanker kepala leher mengalami malnutrisi saat didiagnosis kanker. Tiga puluh satu persen pasien KSS kepala leher dengan kaheksia memiliki disease-free survival lebih rendah dibandingkan pasien yang tidak kaheksia. Modalitas terapi KSS lidah seperti radioterapi, kemoterapi, pembedahan, maupun kombinasi ketiganya dapat memperburuk malnutrisi atau kaheksia yang telah terjadi jika tidak ditatalaksana dengan baik. Terapi medik gizi diperlukan pada pasien KSS lidah yang menjalani radioterapi untuk mencegah malnutrisi atau kaheksia.
Metode: Pasien KSS lidah berusia 41-53 tahun. Tiga pasien berjenis kelamin perempuan dan satu orang laki-laki. Dua pasien telah menjalani pembedahan, semua pasien menjalani radioterapi bersamaan dengan kemoterapi. Satu pasien memiliki hasil skrining MST kurang lebih 5, dan selebihnya memiliki nilai 4. Pemantauan dilakukan sebelum, saat, dan sesudah radioterapi meliputi keluhan subjektif, kondisi klinis, pemeriksaan laboratorium, antropometri, komposisi tubuh, kapasitas fungsional dan analisis asupan. Keempat pasien mendapatkan edukasi nutrisi, oral nutrition support (ONS), suplementasi vitamin dan mineral serta asam lemak omega-3.
Hasil: Keempat pasien dapat meningkatkan asupan makanannya. Pasien mengalami penurunan berat badan, tiga pasien mengalami kenaikan berat badan pasca radioterapi. Dua pasien menggunakan NGT serta memiliki penyulit berupa hipertiroid subklinis dan DM tipe 2. Pasien mengalami anemia, dua di antaranya mengalami perbaikan kadar Hb. Terjadi penurunan massa otot namun terdapat perbaikan kekuatan genggaman tangan dan skor EGOG.
Kesimpulan: Terapi medik gizi dapat memperbaiki keluaran klinis, kapasitas fungsional, antropometri, dan laboratorium terutama pada pasien tanpa penyulit

Background. Squamous cell carcinoma of the tongue (SCCOT) is the most common oral cavity cancer with the worst prognosis. The incidence of SCCOT tends to increase at the age of less than 45 years old. Almost all head and neck cancer patients are malnourished at the time of diagnosis. Thirty-one percent of head and neck SCC cachexia patients have a lower disease-free survival than non cachexia. Modalities of tongue SCC therapy such as radiotherapy, chemotherapy, surgery, or a combination of all three can worsen malnutrition or cachexia that has occurred if it is not managed properly. Early medical nutrition therapy is required in SCCOT patients undergoing radiotherapy to prevent cachexia or malnutrition.
Method. Four SCCOT patients 41-53 years old. Three patients were females and one patient was male. Two patients underwent surgery, and all patients underwent concurrent radio-chemotherapy. One patient had MST score more less than 5, and the rest had a score of 4. Monitoring was carried out before, during and after radiotherapy including subjective complaints, clinical conditions, laboratory examinations, anthropometry, body composition, functional capacity and food intake analysis. Four patients received nutritional education, oral nutrition support (ONS), supplementation of vitamins and minerals and omega-3 fatty acid.
Results. All patients can increase their food intake. Patients experienced weight loss, most of them experienced weight gain after radiotherapy. Two patients used tube feeding and had complications of subclinical hyperthyroidism and type 2 diabetes. Patients had anemia, two of them had improved hemoglobin level. There was a decrease in muscle mass but there was an improvement in the strength of hand grip and EGOG score, especially after radiotherapy.
Conclusion. Medical nutrition therapy can improve clinical outcomes, functional capacity, anthropometry, and laboratory especially in patients without complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>