Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193196 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maria Maghdalena
"Temozolomide (TMZ) seringkali dijadikan terapi standar glioblastoma multiforme (GBM). Namun, terdapat kejadian resistensi pada sel kanker terhadap TMZ. Adanya kejadian resistensi ini berhubungan dengan enzim MnSOD dan stress oksidatif yang mekanismenya tidak diketahui. Penelitian terbaru menyarankan untuk mengkombinasikan terapi kanker dengan senyawa aktif bahan alam untuk mencegah resistensi pada sel kanker. Andrografolida merupakan salah satu bahan aktif dalam ekstrak sambiloto yang memiliki sifat anti kanker. Menanggapi hal tersebut, penelitian ini menggunakan dua jenis sel yang secara intrinsik resisten terhadap temozolomide (T98G) dan sensitif terhadap temozolomide (U87MG). Terlebih dahulu dilakukan analisis viabilitas sel pada tiga jenis ekstrak sambiloto untuk mengetahui jenis ekstrak yang terbaik. Setiap perlakuan menggunakan terapi tunggal TMZ, andrografolida murni (AM), dan ekstrak kering (EK) serta terapi kombinasi TMZ+AM dan TMZ+EK menggunakan dosis CC50 dan CC25. Sel T98G diberikan perlakuan selama 48 jam sedangkan sel U87MG diberikan TMZ berulang hingga hari ke-17 dan diberikan terapi tunggal maupun terapi kombinasi mulai hari ke-17 hingga hari ke-21. Viabilitas sel, analisis ROS, penentuan aktivitas dan ekspresi mRNA MnSOD dilakukan. Diketahui bahwa pemberian terapi kombinasi ekstrak sambiloto dengan dosis CC50 efektif mengatasi resistensi sel GBM. Pemberian terapi kombinasi dapat menurunkan ekspresi gen dan aktivitas MnSOD sehingga meningkatkan ROS dan menurunkan viabilitas sel.

Temozolomide (TMZ) used as standard therapy for glioblastoma multiforme (GBM). However, there is an incidence of resistance in cancer cells with TMZ. This phenomenon is related with MnSOD enzyme and oxidative stress whose mechanism is unknown. Latest research suggests combining cancer therapy with natural active compounds to prevent resistance in cancer cells. Andrographolide is one of the active compounds in sambiloto extract which has anti-cancer properties. Therefore, this study used intrinsically resistant (T98G) and sensitive to temozolomide (U87MG) cells. Firstly, cell viability was analyzed on three types of sambiloto extract. Each treatment used single therapy TMZ, pure andrographolide (AM), and dry extract (EK) as well as combination therapy TMZ+AM and TMZ+EK using CC50 and CC25 doses. T98G cells were given treatment for 48 hours while U87MG cells were given TMZ repeatedly until the 17th day and given single therapy or combination therapy from the 17th day to the 21st day. Cell viability, ROS analysis, determination of MnSOD activity and expression were performed. It was known that the combination therapy of sambiloto extract with CC50 dose was effective in overcoming the resistance of GBM cells. Combination therapy can reduce gene expression and MnSOD activity thereby increased ROS and decreased cell viability."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Tiarma Ully Banjarnahor
"Latar Belakang: Glioblastoma multiforme (GBM) merupakan tumor intrakranial yang sangat agresif dengan prognosis buruk meskipun telah diberikan terapi standar yang optimal. Kerusakan untai ganda DNA spontan dianggap berhubungan dengan ketidakstabilan genomik serta progresivitas kanker. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh parameter molekuler baru sebagai faktor prognostik yang diharapkan dapat digunakan dalam praktik klinis rutin pada GBM. Penelitian ini melakukan analisis korelasi antara miRNA-328 dengan gamma-H2AX (petanda kerusakan untai ganda DNA) serta perannya terhadap caspase-3 (petanda apoptosis), jalur PI3K/Akt (jalur sinyal teraktivasi), faktor klinis, dan kesintasan pada GBM.
Metode: Penelitian kohort retrospektif menggunakan jaringan tersimpan dari 26 pasien GBM yang diambil sebelum mendapat terapi lengkap. Jaringan dari 7 pasien glioma grade 1 digunakan sebagai kontrol. Analisis miRNA-328 menggunakan metode two-step qRT-PCR; analisis gamma-H2AX, PI3K, Akt, dan caspase-3 menggunakan metode Sandwich ELISA. Uji eksperimental in vitro menggunakan cell line GBM, U-87 MG, yang ditransfeksi dengan miRNA-328 untuk menganalisis peran miRNA-328 terhadap aktivitas ?-H2AX, caspase-3, serta viabilitas sel.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna pada konsentrasi miRNA-328, gamma-H2AX, PI3K, Akt antara kelompok GBM dengan glioma grade 1 (p<0,05). Pada kelompok GBM diperoleh korelasi negatif antara miRNA-328 dengan gamma-H2AX dan Akt (p<0,05); korelasi positif antara gamma-H2AX dengan PI3K, Akt, serta caspase-3 (p<0,05). Korelasi positif antara gamma-H2AX dengan ukuran tumor (p<0,05). Analisis Kaplan–Meier menunjukkan bahwa pada kelompok GBM dengan konsentrasi miRNA-328 tinggi memiliki kesintasan lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan konsentrasi miRNA-328 rendah (p<0,05); sedangkan pada kelompok GBM dengan konsentrasi gamma-H2AX tinggi memiliki kesintasan lebih rendah dibandingkan kelompok dengan konsentrasi gamma-H2AX rendah (p<0,05). Hasil analisis univariat cox regression menunjukkan miRNA-328 dan gamma-H2AX memiliki peran sebagai faktor prognostik potensial pada GBM (p<0,05), sedangkan analisis bivariat menunjukkan potensi miRNA-328 sebagai faktor prognostik independen (p<0,05). Hasil uji in vitro menunjukkan bahwa konsentrasi miRNA-328 berbanding terbalik dengan gamma-H2AX dan viabilitas sel; konsentrasi miRNA-328 berbanding lurus dengan caspase-3; konsentrasi gamma-H2AX berbanding terbalik dengan caspase-3; serta konsentrasi gamma-H2AX berbanding lurus dengan viabilitas sel GBM.
Kesimpulan: MiRNA-328 dan gamma-H2AX sebagai parameter molekuler memiliki potensi sebagai faktor prognostik yang berpengaruh terhadap kesintasan sehingga diharapkan penggunaannya dalam praktik klinis rutin dapat meningkatkan respons terapi serta prognosis pada pasien GBM. Penelitian lebih lanjut dengan metode kohort prospektif serta penelitian in vivo guna mendukung hasil penelitian ini.

Background: Glioblastoma multiforme is an intracranial tumor which has very aggressive behavior with poor prognosis even though optimal standard therapy has been given. The spontaneous DNA double-strand breaks have association with genomic instability and tumor progression. The objective of this study is to obtain the new molecular parameters that can be used in routine clinical practice as potential prognostic factors in GBM. This study analyzed the correlation between miRNA-328 and gamma-H2AX (marker of spontaneous DNA double-strand breaks) as well as their roles in caspase-3 (marker of apoptosis), PI3K/Akt pathway (activated signal transduction pathway), clinical factors, and survival in GBM.
Methods: A cohort retrospective study using pre-treatment tumor tissue specimens from 26 patients with GBM before undergoing complete therapy. Tumor tissue specimens from 7 patients with grade 1 glioma were used as controls in this study. The two-step qRT-PCR method was used to analyze the concentration of miRNA-328 and the Sandwich ELISA methods were used to analyze the concentrations of gamma-H2AX, PI3K, Akt, caspase-3.
Results: The comparison analyses between GBM group and grade 1 glioma group showed significant differences in miRNA-328, ?-H2AX, PI3K, and Akt concentrations (p<0.05). In GBM group, the results of statistical analyses showed negative correlations between miRNA-328 and gamma-H2AX, as well as Akt (p<0.05); positive correlations between ?-H2AX and PI3K, Akt, caspase-3 (p<0.05). Kaplan–Meier analysis in GBM showed that the high-concentration miRNA-328 group had a higher survival rate than the low-concentration miRNA-328 group (p<0.05); and the high-concentration gamma-H2AX group had a lower survival rate than the low-concentration gamma-H2AX group (p<0.05). The univariate cox regression analysis showed the potential roles of miRNA-328 and gamma-H2AX as prognostic factors in GBM (p<0.05), however the bivariate analysis showed miRNA-328 had potency as an independent prognostic factor (p<0.05).
Conclusion: MiRNA-328 and gamma-H2AX as molecular parameters have potency as prognostic factors that effect the survival rate so that the routine clinical application of these parameters can be expected to improve the therapy response and prognosis in GBM patients. Further studies with cohort prospective method and in vivo study to support the results of this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edward Christopher Yo
"Pendahuluan: Sejumlah penelitian menunjukkan potensi sel punca mesenkimal untuk
terapi pada glioblastoma multiforme (GBM), namun kajian terbaru menunjukkan bahwa
efek terapeutik utamanya terdapat pada sekretomnya. Salah satu komponen pada
sekretom sel punca mesenkimal adalah TNF-related apoptosis-inducing ligand (TRAIL).
TRAIL dapat menyebabkan kematian sel kanker jika berikatan dengan reseptor
agonis/death receptor-4 (DR4), namun kehilangan fungsinya jika berikatan dengan
reseptor antagonis/decoy receptor-1 (DcR1). Studi ini bertujuan untuk mempelajari
pengaruh sekretom sel punca mesenkimal terhadap tingkat ekspresi DR4 dan DcR1 pada
sel glioblastoma multiforme (GBM).
Metode: Conditioned medium (CM) yang mengandung sekretom disiapkan dengan cara
menumbuhkan sel punca mesenkimal tali pusat dalam serum-free aMEM selama 24 jam.
Setelah itu, sel glioblastoma T98G dikultur bersamaan dengan CM selama 24 jam.
Quantitative real time polymerase chain reaction (qRT-PCR) digunakan untuk mengukur
tingkat ekspresi mRNA dari DR4 dan DcR1. Student’s t-test dengan aplikasi IBM SPSS
digunakan untuk perhitungan statistik.
Hasil: Ekspresi mRNA DR4 dan DcR1 meningkat pada sel GBM yang dikultur dengan
CM dibandingkan kontrol, namun ekspresi DcR1 jauh lebih tinggi (1368.5-kali)
dibandingkan ekspresi dari DR4 (3.5-kali). Melalui perhitungan statistik, seluruh hasil
yang ditemukan terbukti signifikan (P < 0.05 untuk semua angka).
Kesimpulan: Ekspresi DR4 pada sel GBM yang dikultur dengan sekretom sel punca
mesenkimal dalam CM jauh lebih rendah dibandingkan dengan ekspresi DcR1. Temuan
tersebut menandakan bahwa terapi pengobatan kanker khususnya GBM menggunakan
sekretom sel punca mesenkimal belum tentu efektif dan perlu dievaluasi kembali.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mempelajari mekanisme dari peningkatan pesat
reseptor antagonis TRAIL dalam studi kami beserta efeknya terhadap perkembangan
kanker dan GBM.

Introduction: Mesenchymal stem cell-based therapy has been proposed to treat
glioblastoma multiforme (GBM), but recent evidence has pointed to its secreted factors
– the secretome – as the main therapeutic substance. One of the secreted factors is TNFrelated
apoptosis-inducing ligand (TRAIL), which promotes cancer cell death when
bound to its agonistic receptor/death receptor-4 (DR4) on the cell surface but becomes
dysfunctional when bound to antagonistic receptor/decoy receptor-1 (DcR1). This study
aims to analyze glioblastoma multiforme (GBM) cell’s expression level of DR4 and
DcR1 following treatment with MSCs secretome.
Methods: Conditioned medium of umbilical cord-derived MSCs (UCSC-CM) was
generated by culturing the cells on serum-free aMEM for 24 hours. Following this,
Human GBM T98G cells were treated with UCSC-CM for another 24 hours. Quantitative
RT-PCR was then performed to measure mRNA expression of DR4 and DcR1. Finally,
data analysis was carried out using Student’s t-test using IBM SPSS Statistics software.
Results: Both mRNA expression of DR4 and DcR1 increased in CM-treated cells
compared to control, but DcR1 expression level was higher (1368.5-fold) than that of
DR4 (3.5-fold). The result was statistically significant (P < 0.05 for all values).
Conclusion: Expression of DR4 in GBM cell was significantly lower than that of DcR1
following UCSC-CM treatment, suggesting that MSC secretome-based therapy for
cancer could actually be less effective than claimed. Further research is needed to clarify
the mechanism behind the sharp rise in TRAIL antagonistic receptor expression and its
effect on GBM progression.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronica Hesti Candraningrum
"Glioblastoma multiforme (GBM) tergolong sebagai penyakit tumor agresif pada otak dan menyerang orang dewasa. Protocol Stupp digunakan sebagai regimen pengobatan GBM dimana melibatkan reseksi bedah, kemoradiasi, dan terapi monoagent kemoterapi dengan TMZ. Penggunaan TMZ yang berulang menimbulkan resistensi pada sel GBM dan membawa prognosis yang buruk pada pasien. Resistensi pada GBM didukung oleh sejumlah faktor intrinsik. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh kandidat biomarker resistensi terkait kepuncaan berhasil dilakukan melalui pencarian dataset dari GEO, analisis irisan diagram Venn, analisis pengayaan GO dengan DAVID dan ENRICHR, analisis pengayaan jalur dengan KEGG dan REACTOME, analisis survival dengan GEPIA, dan analisis pembanding ekspresi RNA dengan Human Protein Atlas, disertai dengan validasi qRT-PCR. Hasil penelitian uji in silico dan in vitro menunjukkan bahwa ekspresi mRNA PAQR6 dan ITPKB konsisten lebih tinggi pada sel T98G resisten TMZ, namun ekspresi mRNA TGFBI ditemukan signifikan lebih tinggi pada sel T98G resisten TMZ dibandingkan dengan sel U87MG. Selain itu, ditemukan ekspresi mRNA CD133 yang signifikan lebih tinggi sebagai penanda kepuncaan pada sel T98G dibandingkan sel U87MG. Kandidat biomarker resistensi terkait kepuncaan yang diperoleh diharapkan mampu digunakan pada level klinis dalam hal deteksi dini non- invasive pada pasien GBM. Meskipun demikian, masih diperlukan sejumlah studi lanjutan untuk mendukung studi awal penemuan biomarker ini.

Glioblastoma multiforme (GBM) is classified as an aggressive tumor disease of the brain and attacks adults. The Stupp Protocol is used as a treatment regimen for GBM which involves surgical resection, chemoradiation, and monoagent chemotherapy therapy with TMZ. Repeated use of TMZ creates resistance in GBM cells and carries a poor prognosis in patients. Resistance in GBM is supported by a number of intrinsic factors. The aim of this study was to obtain candidate biomarkers of resistance related to stemness successfully through dataset searches from GEO, Venn diagram intersection analysis, GO enrichment analysis with DAVID and ENRICHR, pathway enrichment analysis with KEGG and REACTOME, survival analysis with GEPIA, and comparative analysis of RNA expression with the Human Protein Atlas, accompanied by qRT-PCR validation. The results of in silico and in vitro studies showed that PAQR6 and ITPKB mRNA expression was consistently higher in TMZ-resistant T98G cells, but TGFBI mRNA expression was found to be significantly higher in TMZ-resistant T98G cells compared to U87MG cells. In addition, a significantly higher CD133 mRNA expression as a stemness marker was found in T98G cells compared to U87MG cells. It is hoped that the acquired disease-related resistance biomarker candidates will be able to be used at the clinical level in terms of non-invasive early detection in GBM patients. However, a number of further studies are still needed to support this initial study of biomarker discovery."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purnamawati
"Latar belakang : Glioblastoma Multiforme (GBM) merupakan kanker otak primer yang paling umum terjadi pada orang dewasa dan merupakan glioma yang paling agresif yang diklasifikasikan oleh WHO sebagai tingkat keempat dari astrositoma. Penatalaksanaan utama GBM dengan operasi disertai dengan kemoradiasi memberikan rata-rata harapan hidup sekitar 14,6 bulan saja, ini disebabkan
pertumbuhan tumor yang difus disertai tingginya resistensi. Apoptosis, dinamakan juga “kematian sel terprogram” merupakan mekanisme kematian sel yang berperan penting dalam terapi kanker dan menjadi target utama dalam berbagai tehnik terapi kanker. Dua jalur utama apoptosis adalah jalur intrinsik yang melibatkan mitokondria dan jalur ekstrinsik yang diinduksi oleh ikatan ligan dengan reseptornya. Rotenon, inhibitor rantai respirasi kompleks I mitokondria dapat menyebabkan peningkatan kadar superoksida (ROS) endogen sehingga menginduksi jalur apoptosis intrinsik melalui lepasnya sitokrom C dan agen-agen proapoptotik ke sitosol. Rotenon bersifat lipofilik dan dapat menembus sawar darah otak dengan mudah, menjadikannya kandidat yang menarik untuk digunakan pada terapi GBM. Hingga kini mekanisme apoptosis yang disebabkan oleh rotenon pada GBM masih belum jelas diketahui, karena itu penelitian ini bertujuan untuk menelusuri jalur-jalur apoptosis yang timbul akibat induksi rotenon pada galur sel Glioblastoma Multiforme T98G. Metode : Penelitian eksperimental in vitro menggunakan kultur galur sel Glioblastoma Multiforme T98G yang diinduksi stres oksidatif dengan rotenon dosis 10μM, 20μM, dan 40μM selama enam jam, selanjutnya dilakukan identifikasi morfologi sel menggunakan inverted mikroskop. Identifikasi jalur apoptosis intrinsik dengan cara menganalisis ekspresi protein sitokrom-C dan protein kaspase-9
menggunakan metode sandwich ELISA (Enzyme Linked Immuno Assay) serta identifikasi jalur apoptosis ekstrinsik dengan menganalisis ekspresi mRNA TRAIL (Tumor Necrosis Factor Related Apoptosis Inducing Ligand) menggunakan q-RTPCR (quantitative-reverse transcriptase-Polymerase Chain Reaction) selain itu
dilakukan pula elektroforesis hasil amplifikasi cDNA TRAIL pada agarosa 2%. Analisis statistik dilakukan menggunakan uji Mann Whitney pada tingkat kepercayaan 95%. Hasil : Induksi rotenon 10 μM pada galur sel T98G menyebabkan meningkatnya kadar sitokrom C yang tidak disertai meningkatnya kadar kaspase-9 dan ekspresi
mRNA TRAIL. Kadar sitokrom C turun menjadi setara dengan kadar pada sel kontrol saat induksi rotenon 20μM disertai meningkatnya kadar kaspase-9 dan ekspresi mRNA TRAIL yang bermakna. Sedangkan Induksi rotenon 40μM menyebabkan turunnya kadar sitokrom C, kaspase-9 dan mRNA TRAIL. Pada pemeriksaan elektroforesis hasil RT-PCR kami mendapatkan varian TRAIL sepanjang sekitar 300 bp yang ikut teramplifikasi bersama varian sTRAIL (soluble TRAIL) sepanjang 232 bp. Varian TRAIL panjang ini nampak ditranskripsi lebih banyak saat dilakukan induksi rotenon hingga 20μM sementara varian pendek transkripsinya nampak semakin berkurang.
Kesimpulan : Pada penelitian kami, induksi rotenon 20μM dapat menyebabkan terinduksinya jalur apoptosis intrinsik yang melibatkan kaspase serta jalur apoptosis ekstrinsik melalui pengaturan post transkripsi mRNA TRAIL pada galur sel Glioblastoma Multiforme T98G.

Background : Glioblastoma Multiforme (GBM) is the most common primary brain tumor in adults and the most aggressive gliomas classified by WHO as grade IV astrocytoma. Primary treatment of GBM is surgery followed by Chemoradiation give
the median survival only for about 14,6 months, this is due to difusse tumor growth with high therapy resistance. Apoptosis, named as “programmed cell death” is a mechanism of cell death that plays an important role in the treatment of cancer and
being a primary target of many cancer treatment strategies. There are two central pathways of apoptosis, the intrinsic pathway that involves the mitochondria and the extrinsic pathway induced by ligands binding to the death receptors. Rotenone,
respiratory chain inhibitor complex I mitochondria may increase endogenous superoxide (ROS) levels that induce intrinsic apoptotic pathway by release of cytochrome-C and several proapoptotic agents to cytosol. Rotenone is a lipophilic
compound and could easily cross the Blood Brain Barrier that makes rotenone become an interesting candidate for GBM therapy. Up to now, the apoptosis mechanism induced by rotenone in GBM is not well known yet, therefore we aim to investigate the apoptosis pathways in Glioblastoma Multiforme T98G cell line
induced by rotenone. Methods : This experimental study in vitro using GBM T98G cell line cultured in complete DMEM medium. We induced oxidative stress for six hours with 10 μM, 20 μM and 40 μM of rotenone respectively. After harvested, the cell morphology was identified using inverted microscope. We identified the intrinsic apoptotic pathway by analyzing the expression of cytochrome C protein and Caspase-9 protein using
sandwich ELISA method, furthermore we identified the extrinsic apoptotic pathway by analyzing the expression of mRNA TRAIL using q-RT-PCR followed by gel electrophoresis to confirm the amplification of cDNA TRAIL. Statistical analysis was performed by Mann Whitney test with 95% confidence intervals. Results : Rotenone treatment of T98G resulted in increase of cytochrome C by 10μM of rotenone but no increase of caspase-9 and mRNA TRAIL. While rotenone 20 μM showed relative decrease of cytochrome C and increase of caspase-9 expression together with significant increase of the mRNA TRAIL expression (p<0,05) and induction with 40μM showed decrease of cytochrome C, caspase-9 and mRNA TRAIL expression. In the electrophoresis examination of the RT-PCR product we obtain an isoform of TRAIL (length about 300 bp) was coamplified along with our isoform (soluble TRAIL, length about 232 bp). This long isoform band become more dens in samples induced by rotenone 20μM, while the short isoform was gradually missing. Conclusions : In our study, 20μM of rotenone was able to induced both the intrinsic apoptotic pathway by caspase dependent mechanism and the extrinsic apoptotic pathway through post transcriptional regulating of mRNA TRAIL in Glioblastoma Multiforme T98G cell line.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Afdhal
"Latar belakang: Pemeriksaan MRI pada glioblastoma dapat membantu diagnosis dengan tingkat akurasi tinggi. Nilai ADC pada MRI bisa menjadi indikator prognosis, meskipun belum sering diterapkan di Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk memahami peran nilai ADC dalam meningkatkan prediksi kesintasan pasien glioblastoma.
Tujuan: Mengkaji angka kesintasan pasien glioblastoma yang mendapatkan terapi kemoradiasi serta hubungannya dengan nilai ADC dan faktor lainnya.
Metode: Angka kesintasan dan nilai ADC minimum diambil dari pemeriksaan MRI kepala post-operasi, pre-kemoradiasi pada 20 pasien dari periode 2017 hingga 2023 yang memenuhi kriteria penelitian. Analisis kesintasan dilakukan dengan metode Kaplan-Meier. Uji Log Rank digunakan untuk mengevaluasi pengaruh faktor-faktor determinan termasuk nilai ADC terhadap kelangsungan hidup.
Hasil: Rerata usia sampel dalam pemelitian ini adalah 43,6 +/- 16,4 tahun. Terdapat 14 pasien laki-laki (70%), dan 6 pasien perempuan (30%). sebanyak 6 pasien (30%) memiliki nilai ADC ≥ 0,8 x 10-3 mm2/s dan terdapat 14 pasien (70%) memiliki nilai ADC < 0,8 x 10-3 mm2/s. Analisis kesintasan memperlihatkan perbedaan median kesintasan hidup pada kelompok nilai ADC ≥ 0,8 x 10-3 mm2/s dan < 0,8 x 10-3 mm2/s, yaitu sebesar 12 bulan dan 10 bulan dengan nilai p=0,850.
Kesimpulan: Pasien dengan nilai ADC < 0,8 x 10-3 mm2/s memiliki tren kesintasan yang lebih singkat dua bulan dibandingkan dengan pasien dengan nilai ADC ≥ 0,8 x 10-3 mm2/s yang masing-masing median kesintasannya sebesar 10 bulan dan 12 bulan.

Background: MRI examinations for glioblastoma can aid in diagnosis with a high level of accuracy. The Apparent Diffusion Coefficient (ADC) value in MRI can serve as a prognostic indicator, although it has not been widely applied in Indonesia. This study was conducted to understand the role of ADC values in improving the prediction of survival in glioblastoma patients.
Objective: To examine the survival rates of glioblastoma patients undergoing chemoradiation therapy and its relationship with ADC values and other factors.
Methods: Survival rates and minimum ADC values were extracted from post- operative, pre-chemoradiation head MRI examinations of 20 patients meeting the study criteria from the period 2017 to 2023. Survival analysis was performed using the Kaplan-Meier method, and the Log Rank test was employed to evaluate the impact of determinants, including ADC values, on survival.
Results: The mean age of the sample in this study was 43.6 +/- 16.4 years. There were 14 male patients (70%) and 6 female patients (30%). Six patients (30%) had ADC values ≥ 0.8 x 10-3 mm2/s, while 14 patients (70%) had ADC values < 0.8 x 10-3 mm2/s. Survival analysis revealed a median survival difference in the ADC ≥ 0.8 x 10-3 mm2/s and < 0.8 x 10-3 mm2/s groups, namely, 12 months and 10 months, with a p-value of 0.850.
Conclusion: Patients with ADC values < 0.8 x 10-3 mm2/s had a trend of two months shorter survival compared to patients with ADC values ≥ 0.8 x 10-3 mm2/s whose median survival was 10 months and 12 months.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karunia Ramadhan
"Latar Belakang: Edema peritumoral kerap dihubungkan dengan gejala neurologis dan progresivitas pada glioblasoma. Peran nilai Apparent Diffusion Coefficient (ADC) pada Magnetic Resonance Imaging (MRI), faktor demografi dan gejala klinis dalam memrediksi derajat edema peritumoral masih belum banyak diketahui, sehingga perlu telaah lebih lanjut.
Tujuan: Menilai hubungan nilai ADC intratumoral, faktor demografi dan gejala klinis dengan derajat edema peritumoral.
Metode: Studi crossectional dengan data sekunder di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2014-2022. Seluruh sampel memiliki hasil MRI dengan sekuens DWI-ADC. Setiap variabel bebas dan tergantung dianalisis secara bivariat menggunakan uji Chi-square; untuk variabel bebas dengan nilai p<0,25 dilakukan analisis multivariat. Derajat edema peritumoral pada MRI dibagi menjadi mayor (>1cm) dan minor (<1cm).
Hasil: 78 pasien dianalisis; didapatkan hubungan yang bermakna antara nilai ADC intratumoral dengan derajat edema peritumoral pada nilai cut off  ≤0,75 x 10-3 mm2/s (p <0,001). Tidak terdapat hubungan antara usia ≤60 tahun, jenis kelamin, sakit kepala, penurunan kesadaran dan papil edema dengan derajat edema peritumoral, sedangkan usia >60 tahun mutlak mengalami edema mayor.
Kesimpulan: Pasien dengan nilai ADC ≤0,75 x 10-3 mm2/s memiliki kemungkinan mengalami edema peritumoral mayor lebih besar.

Background: Peritumoral edema is often associated to neurological symptoms and progression in glioblastoma. The role of the Apparent Diffusion Coefficient (ADC) in Magnetic Resonance Imaging (MRI), demographic and clinical symptoms in predicting the degree of peritumoral edema not much known, so further studies are needed.
Objective: To assess the relationship between intratumoral ADC value, demographic and clinical symptoms with the degree of peritumoral edema.
Methods: Cross-sectional study with secondary data at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo in 2014-2022. All samples had MRI with DWI-ADC sequence. Each independent and dependent variable was analyzed bivariately using the Chi-square test; independent variables with p <0.05, multivariate analysis was performed. Peritumoral edema on MRI are divided into major (>1cm) and minor (<1cm).
Results: 78 patients were analyzed; a significant relationship was found between intratumoral ADC value and degree of peritumoral edema at cut-off value of ≤0.75 x 10-3 mm2/s (p <0.001). There is no relationship between age ≤60, gender, headache, loss of consciousness and papilledema with the degree of peritumoral edema, whereas age >60 years has absolute major edema.
Conclusion: Patients with ADC values ≤0.75 x 10-3 mm2/s have a greater likelihood of developing major edema.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oluebube Magnificient Eziefule
"Doxorubicin (DOX) dilemahkan oleh toksisitas jantung dan ginjal meskipun efektif melawan kanker. Walaupun dexrazoxane tersedia untuk mengatasi toksisitas DOX, efektivitasnya terbatas, begitu pula obat konvensional seperti beta-blocker dan statin. Penelitian ini menyelidiki efek perlindungan ekstrak etanol daun Andrographis panikulata (EEAP) terhadap toksisitas jantung dan ginjal yang diinduksi oleh DOX pada tikus sehat dengan fokus pada mekanisme anti-inflamasi dan mitokondria. Sebanyak 30 ekor (5 kelompok) tikus Sprague Dawley diaklimatisasi selama 2 minggu. Kelompok normal mendapat saline (ip) selama 4 minggu. Kelompok DOX menerima doxorubicin (4mg/kg/minggu). Kelompok perlakuan (DOX+EEAP) menerima doksorubisin dan ekstrak daun Andrographis Paniculata dengan dosis bervariasi (125, 250, 500 mg/kg/hari) secara oral selama 4 minggu. Setelah darah dan organ (jantung, ginjal) dikumpulkan, darah dianalisis untuk elektrolit (kalsium dan natrium). Jaringan dianalisis sebagai penanda inflamasi (NF-κB, IL-1β, NLRP-3), fungsi mitokondria (PGC1-α, TFAM), dan gambaran histopatologis yang menggunakan pewarnaan hematoxylin dan eosin (H&E) serta pewarnaan trikrom Masson. Kadar kalsium jantung juga diukur. Pengobatan bersama EEAP menurunkan natrium dan kalsium plasma dan kadar penanda inflamasi IL-1β dan NLRP-3 di jaringan jantung dan ginjal tetapi tidak menunjukkan efek signifikan pada ekspresi PGC1-α dan TFAM dibandingkan dengan kelompok DOX. Selain itu, kadar kalsium jantung berkurang. Lebih lanjut, konsentrasi NF-кB berkurang sedikit oleh EEAP dibandingkan dengan kelompok DOX saja. EEAP kemungkinan besar terlindungi dari peradangan yang disebabkan oleh DOX yang mengarah pada pemulihan histologi jantung dan ginjal menjadi normal. Efek perlindungan EEAP dalam penelitian ini dimediasi, setidaknya sebagian, oleh modulasi jalur NF-ĸB/NLRP3/IL-1β.

Doxorubicin (DOX), despite its effectiveness against cancer, is compromised by cardiac and renal toxicity. While dexrazoxane exists for DOX toxicity, its effectiveness is limited, as are conventional drugs like beta-blockers and statins. This study investigates the protective effects of an ethanolic extract of Andrographis paniculata leaves (EEAP) against DOX-induced cardiac and renal toxicity in healthy rats, focusing on anti-inflammatory and mitochondrial mechanisms. 30 Sprague Dawley rats (5 groups) were acclimatized for 2 weeks. The normal group received saline (ip) for 4 weeks. The DOX group received only doxorubicin (4mg/kg/week). Treatment groups (DOX+EEAP) received doxorubicin and varying doses (125, 250, 500 mg/kg/day) of Andrographis paniculata leaf extract orally for 4 weeks. After sacrifice, blood and organs (heart, kidneys) were collected. Blood was analysed for electrolytes (calcium and sodium). Tissues were analysed for inflammatory markers (NF-κB, IL-1β, NLRP-3), mitochondrial function (PGC1-α, TFAM), and histopathological features using hematoxylin and eosin (H&E) or Masson’s trichrome stain. Cardiac calcium levels were also measured. EEAP co-treatment lowered plasma sodium and calcium, decreased levels of inflammatory markers (IL-1β and NLRP-3) in heart and kidney tissues, but showed no significant effect on PGC1-α and TFAM expression compared to the DOX group. Additionally, cardiac calcium levels were reduced. Further, NF-кB concentration was slightly reduced by EEAP compared to the DOX only group. EEAP likely protected against DOX-induced inflammation, leading to a restoration of normal heart and kidney histology. EEAP's protective effects in this study were mediated, at least in part, by modulation of the NF-ĸB/NLRP3/IL-1β pathway."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Johanes Kawengian
"Glioblastoma multiforme (GBM) merupakan tipe kanker yang agresif dan malignan dengan persentase kejadian tertinggi untuk tumor malignan primer pada sistem saraf pusat. Pengobatan standar pasien GBM yang salah satunya menggunakan kemoterapi temozolomide (TMZ) masih belum optimal dikarenakan dapat memicu resistensi GBM terhadap terapi. Studi terdahulu memperlihatkan adanya pengaruh senesens terhadap pembentukan kemoresistensi dan regulasi immunosurveillance (pengawasan imun) antikanker sel NK dan sel T sitotoksik, salah satunya melalui MICA/B. Namun, kaitan antara regulasi kemoresistensi dengan ekspresi MICA/B maupun dengan senesens pada GBM masih belum dipahami secara jelas. Untuk itu, pada penelitian ini dilakukan analisis ekspresi dan sekresi MICA/B juga analisis ekspresi marka senesens p16/p21 menggunakan RT-qPCR, flow cytometry, dan ELISA pada sel GBM yang sensitif maupun yang resisten terhadap TMZ. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pada sel GBM yang resisten terhadap TMZ terjadi penurunan ekspresi permukaan MICA/B dan peningkatan sekresi MICB, jika dibandingkan dengan sel GBM yang sensitif TMZ. Kemudian, hasil analisis tingkat senesens menunjukkan bahwa pada sel GBM yang resisten TMZ memiliki ekspresi p16/p21 yang lebih tinggi dari sel yang sensitif TMZ. Berdasarkan hasil-hasil tersebut dapat diketahui bahwa pembentukan kemoresistensi TMZ pada GBM terasosiasi dengan induksi senesens dan dapat berpengaruh terhadap regulasi MICA/B sehingga dapat menghambat sistem pengawasan imun GBM.

Glioblastoma multiforme (GBM) is an aggressive and malignant cancer, having the highest incidence rate among primary malignant tumors of the central nervous system. Standard GBM treatment, including temozolomide (TMZ) chemotherapy, remains suboptimal due to potential GBM resistance to therapy. Prior studies have indicated that senescence influences the development of chemoresistance and the regulation of immunosurveillance by anticancer NK cells and cytotoxic T cells, particularly through MICA/B. However, the relationship between chemoresistance regulation, MICA/B expression, and senescence in GBM is not well understood. This study, therefore, examined MICA/B expression and secretion, along with the expression of the senescence markers p16/p21, in TMZ-sensitive and TMZ-resistant GBM cells using RT-qPCR, flow cytometry, and ELISA. The findings revealed that TMZ-resistant GBM cells exhibited reduced MICA/B surface expression and increased MICB secretion compared to TMZ-sensitive cells. Furthermore, the analysis of senescence levels showed that TMZ-resistant GBM cells had higher p16/p21 expression than TMZ-sensitive cells. These results suggest that the development of TMZ chemoresistance in GBM is linked to the induction of senescence and can impact MICA/B regulation, thereby hindering the immune surveillance system of GBM."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paramita Dewi
"Latar Belakang
Resistansi insulin dapat menyebabkan glukotoksisitas dan inhibisi jalur persinyalan PI3K-Akt yang dapat mengakibatkan terjadinya penuaan endotel. Andrographis paniculata (sambiloto) merupakan sebuah tanaman yang diketahui memiliki efek antihiperglikemi, antioksidan, dan antiinflamasi. Terdapat beberapa penelitian yang telah membahas efek farmakologis dari Andrographis paniculata terhadap penyakit kardiovaskular dan diabetes. Namun, hubungan langsung antara sambiloto dan penuaan endotel masih belum diketahui dengan jelas. Untuk itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui peranan Andrographis paniculata terhadap penuaan sel endotel akibat glukotoksisitas yang disebabkan oleh resistansi insulin.
Metode
Penelitian dilakukan dengan membagi sel HUVEC menjadi enam kelompok perlakuan. Beberapa perlakuan tersebut antara lain glukosa 33mM, glukosa 33mM + ekstrak A. paniculata 3,75μg/mL, glukosa 33mM + ekstrak A. paniculata 7,5μg/mL, glukosa 33mM + ekstrak A. paniculata 15μg/mL, glukosa 33mM + metformin 50μM, dan glukosa 5mM. Sel-sel tersebut kemudian diinkubasi, difiksasi, dan dicuci sebelum dilihat dibawah mikroskop. Aktivitas SA β-Galaktosidase diketahui dengan penghitungan sel HUVEC positif SA β-Galaktosidase dibandingan total sel.
Hasil
Glukosa konsentrasi tinggi meningkatkan aktivitas SA β-Galaktosidase sel HUVEC secara signifikan (16,49%; p = 0,011) dan pemberian ekstrak A. paniculata dapat menurunkan aktivitas SA β-Galaktosidase sel HUVEC secara signifikan (p = 0,001). Sel HUVEC yang diberikan ekstrak A. paniculata 3,75μg/mL, 7,5μg/mL, dan 15μg/mL memiliki aktivitas SA β-Galaktosidase yang menurun dengan signifikan dengan nilai p = 0,01, p = 0,022, dan p = 0,011 secara berurutan, serta memiliki perbedaan yang tidak signifikan dengan pemberian metformin 50μM (p = 1).
Kesimpulan
Aktivitas SA β-Galaktosidase pada sel HUVEC meningkat ketika distimulasi glukosa konsentrasi tinggi dan menurun ketika diberikan ekstrak daun Andrographis paniculata.

Introduction
Insulin resistance can cause glucotoxicity and inhibit the PI3K-Akt pathway, leading to endothelial senescence. Andrographis paniculata (sambiloto) is known for its antihiperglicemic, antioxidant, and antiinflamatory effect. Some studies have discussed the pharmacological effects of Andrographis paniculata on cardiovascular diseases and diabetes. However, its effect on endothelial senescence is still unknown. Therefore this study aims to determine the role of Andrographis paniculata on endothelial senescence caused by insulin resistance-induced glucotoxicity.
Method
The research was conducted by dividing the HUVEC cells into six treatment groups: 33mM glucose, 33mM glucose + 3.75μg/mL A. paniculata extract, 33mM glucose + 7.5μg/mL A. paniculata extract, 33mM glucose + 15μg/mL A. paniculata extract, 33mM glucose + 50 μM metformin, and 5mM glucose. These cells were then incubated, fixed, and washed before being examined under the microscope. The activity of SA β- Galaktosidase was determined by counting SA β-Galaktosidase positive cells and dividing by the total number of cells.
Results
High glucose concentration increases HUVEC cell’s SA β-Galaktosidase activity significantly (16.49%; p = 0,011), while administration of A. paniculata extract can significantly reduce SA β-Galaktosidase activity in HUVEC cells (p = 0,001). HUVEC cells treated with A. paniculata extract at 3.75μg/mL, 7.5μg/mL, dan 15μg/mL show a significant decrease in SA β-Galaktosidase activity, with p-values of 0.01, 0.022, and 0.011 respectively. Beside, these treatments exhibited no significant differences compared to 50 μM metformin treatment (p = 1).
Conclusion
SA β-Galaktosidase activity in HUVEC cells increases in response to high concentration glucose and decreases by the administration of Andrographis paniculata leaf extract.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>