Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 195590 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yuni Purnamasari
"Magnesium dan paduannya memiliki sifat biokompatibilitas yang baik dan karakteristik mirip dengan tulang, sehingga baik digunakan sebagai implan tulang di bidang ortopedi. Namun, reaktivitas yang tinggi menyebabkan magnesium dan paduannya mudah mengalami korosi. Salah satu modifikasi permukaan untuk meningkatkan ketahanan korosi pada magnesium dan paduannya adalah plasma elektrolisis atau disebut juga plasma electrolytic oxidation (PEO). Meningkatnya ketahanan korosi yang drastis pada paduan Mg menyebabkan sulitnya terbentuk mineral tulang apatit. Pada penelitian ini, proses PEO pada paduan Mg seri AZ31B dimodifikasi dengan penambahan serbuk nano apatit di dalam elektrolit Na3PO4-KOH. Penyisipan apatit di dalam lapisan diamati dengan memvariasikan waktu proses PEO yaitu 10, 15, dan 20 menit. Sel elektrolisis diberi perlakuan ultrasonikasi selama proses PEO (UPEO) untuk meningkatkan jumlah penyisipan apatit ke dalam lapisan. Berdasarkan hasil XRD, fasa Mg, Mg3(PO4)2, dan MgO terdeteksi pada semua lapisan, dan tambahan fasa Ca5(PO4)3OH terdeteksi pada lapisan UPEO. Hal ini didukung dengan komposisi Ca yang lebih tinggi pada hasil analisis EDS di lapisan UPEO dibandingkan lapisan PEO. Perlakuan ultrasonikasi menghasilkan permukaan lapisan dengan porositas 44% lebih tinggi. lapisan PEO dan UPEO menghasilkan kekerasan 3-5 kali dari substrat. Uji polarisasi menunjukkan nilai rapat arus korosi (Icorr) terendah dimiliki oleh sampel yang dilapisi selama 20 menit. Demikian pula data EIS menunjukkan nilai hambatan total (Rp) paling tinggi pada sampel yang dilapisi selama 20 menit. Analisis EDS setelah uji bioaktivitas di larutan ringer laktat termodifikasi, konsentrasi Ca pada lapisan PEO dan UPEO meningkat.

Magnesium and its alloys exhibit good biocompatibility and similar characteristics to bone, making them suitable for use as bone implants in the orthopedic field. However, its high reactivity causes magnesium and its alloys easily corrode. One of the surface modifications to increase the corrosion resistance of magnesium and its alloys is plasma electrolysis or also known as Plasma Electrolytic Oxidation (PEO). The drastic increase in corrosion resistance in Mg alloys makes it difficult to form apatite bone mineral. In this study, the PEO process in the Mg alloy AZ31B series was modified by adding apatite nanopowder in the Na3PO4-KOH electrolyte. The insertion of apatite in the layer was observed by varying the PEO processing time, namely 10, 15, and 20 minutes. The electrolyzed cell was ultrasonicated during the PEO (UPEO) process to increase the amount of apatite insertion into the coating. Based on XRD results, Mg, Mg3(PO4)2, and MgO phases were detected in all layers, and additional Ca5(PO4)3OH phases were detected in the UPEO layer. This is supported by the higher Ca composition in the EDS analysis results in the UPEO layer compared to the PEO layer. The ultrasonication treatment resulted in a coating surface with 44% higher porosity. PEO and UPEO coatings produce a hardness of 3-5 times that of the substrate. The polarization test showed that the lowest corrosion current density (Icorr) was owned by the coated sample for 20 minutes. Similarly, the EIS data showed the highest total resistance value (Rp) in the samples that were coated for 20 minutes. EDS analysis after the bioactivity test in modified Ringer's lactate solution, the concentration of Ca in the PEO and UPEO layers increased compared to before the test."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firdausi Alif Rahman
"Magnesium (Mg) dan paduannya telah dieksplorasi secara ekstensif sebagai bahan implan biodegradable untuk aplikasi ortopedi. Namun, ketahanan korosi paduan magnesium masih tergolong rendah. Laju korosi yang tinggi menyebabkan proses degradasi yang terlalu cepat dalam lingkungan tubuh dan dapat melemahkan sifat mekanik material sebelum proses pemulihan selesai. Solusi paling efektif untuk mengatasi kekurangan tersebut adalah dengan melakukan pelapisan pada permukaannya. Metode pelapisan yang mutakhir pada magnesium adalah Plasma Electrolytic Oxidation (PEO). Karakteristik coating hasil PEO sangat bergantung pada parameter listrik dan waktu yang digunakan. Dalam penelitian ini, PEO dilakukan pada substrat AZ31B di dalam elektrolit 0,5 M Na3PO4 dengan variasi rapat arus 500, 700, dan 900 A.m-2 selama 3 menit, sedangkan variasi waktu dilakukan pada rapat arus konstan 300 A.m-2 selama 5, 10, dan 15 menit. Berdasarkan hasil analisis fasa XRD, terdapat fasa kristalin MgO dan Mg3(PO4)2 pada semua coating. Hasil tersebut dikonfirmasi oleh hasil analisis EDS. Penebalan coating terjadi dengan penambahan rapat arus dan waktu. Efisiensi proses PEO lebih dipengaruhi oleh waktu daripada rapat arus. Rapat arus yang tinggi cenderung menghasilkan coating dengan porositas lebih tinggi (7-25%) dibandingkan coating pada arus rendah (2-13%). Oleh sebab itu, hasil uji mekanik dan korosi menunjukkan coating yang terbentuk pada rapat arus rendah memiliki nilai kekerasan dan ketahanan korosi yang lebih baik dibandingkan coating yang terbentuk pada rapat arus tinggi.

Magnesium (Mg) and its alloys have been extensively explored as biodegradable implant materials for orthopedic applications. However, the corrosion resistance of magnesium alloys is still relatively low. The high corrosion rate causes the degradation process to be too rapid in the body environment and can weaken the material's mechanical properties before the recovery process is complete. The most effective solution to overcome these shortcomings is to perform a coating on the surface. The latest coating method on magnesium is Plasma Electrolytic Oxidation (PEO). The characteristics of the PEO coating are highly dependent on the electrical parameters and the time used. In this study, PEO was carried out on AZ31B substrate in 0.5 M Na3PO4 electrolyte with variations in current density of 500, 700, and 900 A.m-2 for 3 minutes, while time variations were carried out at a constant current density of 300 A.m-2 for 5, 10, and 15 minutes. Based on the results of XRD phase analysis, there are crystalline phases of MgO and Mg3(PO4)2 in all coatings. The results of the EDS analysis confirmed these results. Coating thickening occurs with the addition of current density and time. The efficiency of the PEO process is more influenced by time than flow density. High current densities tend to produce coatings with higher porosity (7-25%) than coatings at low currents (2-13%). Therefore, the results of mechanical and corrosion tests show that coatings formed at low current densities have better hardness and corrosion resistance than coatings formed at high current densities."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aulia Dhara Permatasari
"Magnesium merupakan merupakan logam struktural yang paling ringan di dunia yang biasa digunakan di bidang otomotif. Dalam aplikasinya, sifat mampu bentuk magnesium sangat penting untuk diketahui agar dapat meningkatkan efektivitas proses produksi. Sifat mampu bentuk ini dapat dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah ketebalan material. Batas limit magnesium saat dibentuk digambarkan pada diagram batas pembentukan (FLD). Pada penelitian ini, material yang digunakan adalah lembaran paduan magnesium AZ31B dengan ketebalan 0,5, 0,8, dan 1 mm. Pengujian tarik dilakukan untuk mengetahui sifat mekaniknya sekaligus mendapatkan koefisien pengerasan regang yang juga mempengaruhi mampu bentuk material. Pengujian stretching dilakukan menurut metode Nakazima dengan berbagai variasi geometri sampel yang sudah dibuat kisi lingkaran berdiameter 2 mm pada area permukaannya, menggunakan punch setengah lingkaran, dan dalam kondisi pelumasan minyak. Metode pengukuran regangan menggunakan Dino-Lite portable digital microscope untuk mendapatkan forming limit strain. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa lembaran paduan magnesium AZ31B memiliki sifat mampu bentuk yang buruk pada temperatur ruang. Koefisien pengerasan regang (nilai n) yang didapat untuk masing-masing tebal, yaitu berturut-turut sebesar 0.32, 0.33, dan 0.3. Terlihat bahwa FLD yang diperoleh tidak dipengaruhi oleh ketebalan tetapi akan semakin tinggi dengan semakin besarnya nilai n.

Magnesium is the lightest structural metal in the world which is commonly used in the automotive field. In its application, it is known that the formability of magnesium is very important to increase the effectiveness of the production process. This formability can be influenced by many factors, one of which is the thickness of the material. The limits of magnesium when formed are depicted on the formation limit diagram (FLD). In this research, the material used was AZ31B magnesium alloy sheet with a thickness of 0.5, 0.8, and 1 mm. Tensile testing is carried out to determine the mechanical properties as well as obtain the strain hardening coefficient which also affects the formability of the material. Stretching tests were carried out according to the Nakazima method with various variations of sample geometry which had been made into a circular grid with a diameter of 2 mm on the surface area, using a hemispherical punch, and under lubrication oil conditions. The strain measurement method uses a Dino-Lite portable digital microscope to obtain the forming limit strain. The results of this research indicate that AZ31B magnesium alloy sheet has poor formability at room temperature. The strain hardening coefficient (n value) obtained for each thickness is 0.32, 0.33, and 0.3 respectively. It can be seen that the FLD obtained is not influenced by thickness but will be higher with the increasing n value."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Putri Khairunisa
"Penggunaan paduan magnesium sebagai material bio-metalik memiliki potensi untuk terurai secara alami dalam cairan tubuh dan berperan penting dalam struktur tulang. Dalam aplikasinya, modifikasi permukaan paduan magnesium diperlukan untuk meningkatkan sifat mekanik dan anti-korosinya. Salah satu metode pelapisan menjanjikan adalah Plasma Electrolytic Oxidation (PEO). Pada penelitian ini, dilakukan pelapisan paduan magnesium AZ31 dengan metode PEO menggunakan pendekatan one-step dan two-step. Parameter ditetapkan sama dalam penggunaan kedua metode ini yaitu meliputi waktu, rapat arus, sumber tegangan, dan suhu. Pada metode two-step PEO, lapisan HA (hidroksiapatit) disisipkan ke dalam lapisan oksida yang terbentuk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode two-step PEO menghasilkan lapisan dengan karakteristik lebih baik dibandingkan metode one-step PEO. Lapisan two-step PEO memiliki persentase pori lebih kecil, ketebalan lapisan lebih besar, dan nilai spesifik abrasi lebih rendah. Selain itu, fasa kristalin baru, yaitu Ca5(PO4)3OH atau HA, terdeteksi dalam lapisan two-step PEO. Penggunaan metode two-step PEO dengan penambahan hidroksiapatit memberikan hasil lebih baik dalam hal karakterisasi morfologi dan sifat ketahanan aus. Dalam konteks aplikasi biomedis, hal ini menunjukkan potensi penggunaan paduan magnesium dengan metode pelapisan two-step PEO sebagai material cocok untuk aplikasi tulang dan gigi manusia.

The use of magnesium alloy as a bio-metallic material has the potential to decompose naturally in body fluids and plays an essential role in bone structure. In its application, surface modification of magnesium alloy is required to improve its mechanical and anti-corrosion properties. One of the promising coating methods is Plasma Electrolytic Oxidation (PEO). In this study, the coating of magnesium alloy AZ31 was carried out using a one-step and two-step approach using the PEO method. The parameters used in both methods include the same time, current density, voltage source, and temperature. In the two-step PEO method, a HA (hydroxyapatite) layer is inserted into the formed oxide layer. The results showed that the two-step PEO method produced layers with better characteristics than the one-step PEO method. The PEO two-step coating has a smaller pore percentage, a larger layer thickness, and a lower abrasion-specific value. In addition, a new crystalline phase, namely Ca5(PO4)3OH or HA, was detected in the two-step PEO layer. The two-step PEO method with hydroxyapatite adds better morphology characterization and wear resistance properties. This demonstrates the potential use of magnesium alloys coated by the two-step PEO method as suitable materials for human bone and tooth applications in biomedical applications."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisa Hajraeni
"Magnesium dan paduannya telah menjadi salah satu fokus menarik dalam penelitian di bidang material, khususnya untuk aplikasi implan biomedis karena bersifat biodegradable. Namun, tantangan utama dari magnesium ialah ketahanan korosinya yang rendah. Modifikasi permukaan yang dapat digunakan karena efektif untuk meningkatkan ketahanan korosi pada magnesium adalah Plasma Electrolytic Oxidation (PEO). Namun, lapisan PEO menunjukkan bioaktivitas yang rendah, sehingga pertumbuhan apatit berlangsung lambat. Dalam penelitian ini, proses PEO dilakukan menggunakan elektrolit berbasis fosfat, yaitu Na3PO4-KOH dan penambahan ion Ca berupa Ca(OH)2. Untuk meningkatkan mobilitas ion khususnya ion Ca agar dapat masuk ke dalam lapisan oksida, proses PEO dimodifikasi menggunakan ultrasonikasi. Proses PEO dilakukan dalam dua kondisi, yaitu tanpa (PEO) dan dengan ultrasonikasi (UPEO), serta waktu oksidasi divariasikan 10, 15, dan 20 menit. Berdasarkan hasil analisis fasa XRD, terdapat fasa kristalin Mg dan Mg3(PO4)2 pada masing-masing lapisan, serta tambahan fasa C5(PO4)3OH atau HA pada lapisan UPEO. Penggunaan ultrasonikasi cenderung meningkatkan persentase pori pada permukaan lapisan oksida hingga 26% dibandingkan lapisan PEO. Kekerasan lapisan PEO meningkat hingga 6 kali dari substrat, sedangkan lapisan UPEO meningkat hingga 2-4 kali dari substrat. Hasil uji polarisasi menunjukkan bahwa sampel lapisan PEO memiliki ketahanan korosi yang lebih baik dibandingkan sampel lapisan UPEO, dengan nilai Icorr terendah yang didapat dari pengujian PDP dan nilai hambatan total (Rp) yang lebih besar yang didapat dari hasil uji EIS. Hasil uji bioaktivitas menunjukkan adanya penumbuhan lapisan baru akibat dari endapan putih yang menutupi pori-pori pada permukaan sampel yang didukung dengan bertambahnya kandungan Ca pada masing-masing sampel dari hasil analisis EDS. Penambahan Ca(OH)2 dalam elektrolit PEO terbukti dapat meningkatkan bioaktivitas lapisan.

Magnesium and its alloys have become an attractive focus of research in materials science, especially for biomedical implant applications, because they are biodegradable. However, the main challenge of magnesium is its low corrosion resistance. The surface modification method that can effectively increase the corrosion resistance of magnesium is Plasma Electrolytic Oxidation (PEO). However, the PEO layer showed low bioactivity, so the apatite grew slowly. In this study, the PEO process used of phosphate-based electrolyte, namely, Na3PO4-KOH and the addition of Ca ions in the form of Ca(OH)2. To increase the mobility of ions, especially to enter the Ca ion into the oxide layer, a PEO process was modified using ultrasonication. The PEO process was carried out in two conditions, namely without (PEO) and with the ultrasonication (UPEO), and time variations were carried out for 10, 15, and 20 minutes. Based on the results of XRD phase analysis, there are crystalline phases of Mg and Mg3(PO4)2 detected in each layer and additional Ca5(PO4)3OH or HA phase detected in the UPEO layer. The use of ultrasonication tends to produce the oxide layer with a higher percentage of pores until 26%. The hardness value of the PEO layer was increased up to 6 times higher than the substrate, while the UPEO layer only reached 2 – 4 times. The results of the polarization test show that the PEO coatings have better corrosion resistance than the UPEO coatings, with the lowest Icorr values obtained from the PDP test and a higher total resistance (Rp) value obtained from the EIS test results. The results of the bioactivity test showed the growth of a new layer because white particles covered the pores on the sample surface, which is supported by the increasing content of the Ca from the EDS analysis in each sample. The addition of Ca(OH)2 in the electrolyte was proven to increase the bioactivity of the PEO coatings."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasna Fitriasih
"

Meningkatnya permintaan akan electronic vehicle (EV) menyebabkan meningkatnya penggunaan Magnesium yang memiliki sifat lebih ringan sehingga mampu mengunggulkan efisiensi bahan bakar. Salah satu paduan Maagnesium yang sering digunakan adalah AZ31B. Namun, sheet metal forming dan perlakuan panas pada manufaktur dapat memengaruhi sifat mekanisnya. Penelitian ini dilakukan pada plat paduan Magnesium AZ31B yang dilakukan cold rolling hingga terjadi deformasi sebesar 22% dan perlakuan panas annealing pada 349℃ pada waktu tahan 0, 10, 30, 60, dan 120 menit. Penelitian ini didukung dengan pengujian metalografi dan kekerasan microvickers. Didapatkan bahwa rolling menghasilkan butir dengan ukuran diameter terkecil, sedangkan annealing pada waktu tahan yang lebih lama menghasilkan butir dengan ukuran diameter yang lebih besar pula. Tak hanya itu, sampel yang memiliki ukuran butir yang kecil memiliki nilai kekerasan yang tinggi. Hal ini terlihat dari sampel yang dilakukan rolling memiliki nilai kekerasan tertinggi, sedangkan sampel yang ditahan pada annealing selama 120 menit memiliki nilai kekerasan terendah. Berdasarkan pertumbuhan butir, didapatkan persamaan empiris yang mampu menunjukkan kinetika pertumbuhan butir sebagai berikut: D^(0,18)=D0^(0,18)+2244,35.exp(-70.000/8,314.T).t^(0,48)


The increasing demand for electric vehicles (EVs) has led to a rise in the use of magnesium, which is lighter and thus enhances fuel efficiency. One commonly used magnesium alloy is AZ31B. However, sheet metal forming and heat treatment during manufacturing can affect its mechanical properties. This study focuses on AZ31B magnesium alloy plates subjected to cold rolling, achieving a deformation of 22%, and annealing heat treatment at 349°C for various holding times: 0, 10, 30, 60, and 120 minutes. The research includes metallographic analysis and microvickers hardness testing. It was found that rolling produces the smallest grain diameters, while longer annealing times result in larger grain diameters. Additionally, samples with smaller grain sizes exhibited higher hardness values. Specifically, the rolled samples had the highest hardness, while samples annealed for 120 minutes had the lowest hardness. From the grain growth observations, an empirical equation was derived to describe the kinetics of grain growth as follows: D^(0.18)=D0^(0.18)+2244.35.exp(-70,000/8.314.T).t^(0.48)

"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khoirun Nisa Ayu Prayitno
"Magnesium menjadi salah satu material berpotensi untuk memberikan solusi energi hijau berkelanjutan. Dalam bidang teknik, paduan magnesium dikenal sebagai logam paling ringan. Sudah banyak aplikasi paduan magnesium di berbagai bidang. Namun, secara komersial penggunaan magnesium belum seluas alumunium. Salah satu penyebabnya, dikarenakan mampu bentuk magnesium lebih rendah dari aluminium, terutama di temperatur ruang. Hal tersebut berkaitan dengan struktur HCP magnesium yang memiliki rasio c/a tinggi membuat bidang basal menjadi sistem slip utama yang terjadi ketika paduan magnesium terdeformasi. Oleh karena itu, energi panas dapat digunakan untuk mengaktifkan sistem slip lain agar dapat memenuhi kriteria von misses. Pemrosesan dan perlakuan panas yang diterapkan pada material mempengaruhi sifat material dan dalam skala mikroskopis akan terjadi berbagai fenomena. Penelitian ini akan menginvestigasi terkait fenomena apa yang terjadi selama deformasi plastis menggunakan metode pencanaian dan perlakuan panas yang dilakukan pada temperatur 350oC. Pada penelitian ini pencanaian dilakukan pada suhu ruang dan perlakuan panas diberikan setelah proses deformasi menggunakan tungku muffle. Shear band, twinning, rekristalisasi butir, dan pertumbuhan butir merupakan fenomena-fenomena yang ditemukan pada penelitian ini.  Fenomena- fenomena tersebut hadir dalam paduan magnesium dipengaruhi oleh struktur kristal yang dimilikinya.

Magnesium is one of the potential materials to provide sustainable green energy. In engineering, magnesium alloys are known as the lightest metals. There have been many applications of magnesium alloys in various industries. However, the commercial use of magnesium has not been as common as aluminum. One of the reasons is because the formability of magnesium is lower than aluminum, especially at room temperature. This is related to the HCP structure of magnesium which has high c/a ratio making the basal plane become the main slip system when the magnesium alloy is deformed at room temperature. Therefore, thermal expected to activate other slip systems in order to fulfill the von misses criterion. Deformation and heat treatment applied to materials can affect material properties and at the microscopic scale various phenomena will occur. This study will investigate phenomena during plastic deformation using rolling method and heat treatment conducted at 350oC. In this study, rolling was carried out at room temperature using pilot rolling machine and heat treatment was conducted after the deformation using muffle furnace. Shear bands, twinning, grain recrystallization, and grain growth were found in this study. Those phenomena are present in magnesium alloys influenced by its crystal structure."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafi Alif Fadilla
"Logam Magnesium (Mg) dan paduannya telah menjadi salah satu fokus menarik di bidang material dikarenakan rasio kekuatan terhadap berat yang tinggi, mudah dibentuk, dan sifat mekanik yang dapat dikendalikan. Namun, reaktivitas permukaan yang tinggi dari paduan Mg menyebabkan degradasi yang cepat dan evolusi gas yang kuat. Tentunya hal ini menandakan ketahanan korosi paduan Mg masih kurang. Metode praktis untuk mengurangi laju korosi Mg adalah dengan metode pelapisan permukaan. Metode mutakhir untuk melapisi permukaan logam Mg adalah plasma electrolytic oxidation (PEO). PEO merupakan metode elektrokimia untuk menumbuhkan lapisan oksida keramik dengan memanfaatkan eksitasi plasma pada permukaan logam. Karakteristik dan komposisi lapisan oksida yang dihasilkan tergantung pada jenis larutan yang digunakan. Pada penelitian ini, coating oksida ditumbuhkan diatas paduan magnesium AZ31B dengan metode PEO di dalam campuran larutan sodium fosfat, sodium hidroksida, dan sodium karbonat. Proses PEO dilakukan pada arus DC konstan 800 A/m2 pada suhu 30°C. Analisis XRD menunjukkan fasa kristal yang terbentuk pada coating adalah Mg3(PO4)2 serta MgO. Hasil observasi morfologi dan cross section coating menunjukkan morfologi yang seragam pada tiap sampel yaitu terdapat crack dan pori. Nilai kekerasan dan ketebalan coating tinggi diperoleh di dalam elektrolit dengan komposisi Na3PO4:NaOH = 9:1. Kehadiran anion hidroksida di dalam larutan meningkatkan nilai kekerasan coating. Penambahan anion karbonat di dalam larutan cenderung menambah populasi pori di dalam coating. Ketahanan korosi terbaik diperoleh pada coating yang ditumbuhkan di larutan Na3PO4:NaOH:Na2CO3 dengan rasio volume 8:1:1, yaitu nilai arus korosinya 2 orde lebih rendah dibandingkan dengan substrat. Penambahan hidroksida dan karbonat di dalam larutan berkontribusi dalam meningkatkan ketahanan korosi coating namun volume rasionya harus dibatasi sebesar 10%.

Magnesium (Mg) and its alloys have become an attractive focus in the material field due to their high strength-to-weight ratio, malleability, and controllable mechanical properties. However, the high surface reactivity of Mg alloys causes rapid degradation and strong gas evolution. Of course this indicates that the corrosion resistance of Mg alloys is still lacking. A practical method to reduce the corrosion rate of Mg is by surface coating method. The latest method for coating Mg metal surfaces is plasma electrolytic oxidation (PEO). PEO is an electrochemical method for growing a ceramic oxide layer by utilizing plasma excitation on a metal surface. The characteristics and composition of the resulting oxide layer depend on the type of solution used. In this study, the oxide coating was grown on magnesium alloy AZ31B by the PEO method in a mixture of sodium phosphate, sodium hydroxide, and sodium carbonate solution. The PEO process was carried out at a constant DC current of 800 A/m2 at a temperature of 30°C. XRD analysis showed that the crystalline phases formed on the coating were Mg3(PO4)2 and MgO. The results of morphological observations and cross section coatings showed a uniform morphology in each sample, namely there were cracks and pores. High hardness and coating thickness values were obtained in the electrolyte with the composition Na3PO4:NaOH = 9:1. The presence of hydroxide anions in the solution increases the hardness of the coating. The addition of carbonate anions in the solution tends to increase the pore population in the coating. The best corrosion resistance was obtained from coatings grown in Na3PO4:NaOH:Na2CO3 solution with a volume ratio of 8:1:1, that is, the corrosion current value was 2 orders lower than the substrate. The addition of hydroxides and carbonates in the solution contributes to increasing the corrosion resistance of the coating but the volume ratio should be limited to 10%. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zikri Desriano Putra
"Plasma electrolytic oxidation (PEO) merupakan metode rekayasa permukaan logam untuk menghasilkan lapisan oksida yang keras dan tahan korosi. Sifat lapisan oksida yang dihasilkan bergantung pada jenis substrat dan komposisi larutan yang digunakan. Dalam penelitian ini, PEO dilakukan pada substrat AZ31B pada kondisi rapat arus tetap 800 A/m2 dan suhu 30°C. Larutan terdiri atas campuran garam basa dan etanol. Larutan A terdiri atas campuran 0,5 M Na3PO4 dan etanol dengan komposisi 9:1, larutan B campuran Na3PO4, NaOH dan Na2CO3 dengan komposisi 8:1:1, larutan C, D, dan E campuran Na3PO4, NaOH, Na2CO3, dan etanol dengan komposisi 7:1:1:1, 6:1:2:1, dan 6:2:1:1. Morfologi dan komposisi lapisan oksida diamati dengan scanning electron microscope dan energy dispersive spectroscopy (SEM – EDS). Komposisi kristal dianalisis dengan x-ray diffraction (XRD). Nilai kekerasan mekanik diuji dengan mesin microVickers Hardness. Perilaku korosi sampel diuji dengan metode electrochemical impedance spectroscopy (EIS) dan potentiodynamic polarization (PDP). Etanol di dalam larutan tidak mempengaruhi morfologi dan komposisi coating. Semua coating memiliki kandungan fasa kristal Mg3(PO4)2 pada puncak 29° hingga 35°. Nilai kekerasan coating yang terbentuk di larutan A, B, C, D, dan E adalah 451,8; 388; 237; 156,8; 158,4 HV. Nilai kekerasan yang rendah pada coating C, D, dan E disebabkan oleh rendahnya konsentrasi Na3PO4 yang menurunkan populasi plasma selama proses coating. Selain itu, kehadiran ion karbonat di dalam larutan mentriger peningkatan pori di dalam coating. Hasil uji polarisasi menunjukkan peningkatan ketahanan korosi dua orde dibanding substrat. Penambahan etanol ke dalam larutan cenderung menurunkan sedikit ketahanan korosi coating.

Plasma Electrolytic Oxidation (PEO) is a method of engineering metal surface treatment to produce a hard and corrosion-resistant oxide layer. The result properties of oxide layer depend on type of substrate and composition solution was used. PEO process is carried out a constant current 800 A/m2 at temperature 30℃. The solution composed of mixture alkaline salts and ethanol. Solution A mixture of 0,5 M Na3PO4 and ethanol with composition of 9:1, solution B a mixture Na3PO4, NaOH and Na2CO3 with composition of 8:1:1, solution C, D, and E a mixture of Na3PO4, NaOH and Na2CO3 with ethanol with composition of 7:1:1:1; 6:1:2:1; and 6:2:1:1. Morphology and composition of the oxide layer were observed by scanning electron microscope and energy dispersive spectroscopy (SEM – EDS). The crystal composition was analyzed by x-ray diffraction (XRD). The value of mechanical hardness was tested with a microVickers Hardness machine. The corrosion behavior of the samples was tested by electrochemical impedance spectroscopy (EIS) and potentiodynamic polarization (PDP) methods. The presence of ethanol in the solution didn’t affect morphology and composition of coating. All coatings contain Mg3(PO4)2 crystal phase at peak 29° to 35°. The hardness value of coating formed in solution A, B, C, D and E is 451.8; 388; 237; 156.8; 158.4 HV. The low hardness values in coatings C, D, and E were caused by the low concentration of Na3PO4 which reduced plasma population during the coating process. In addition, the presence of carbonate ions in the solution triggers an increase in the pores in the coating. The results of the polarization test showed can increase corrosion resistance of two orders compared to substrate. Addition of ethanol to solution tends to slightly lower the corrosion resistance of coating."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Filemon Suryawan Handjaja
"Latar Belakang: Sistem pernapasan memiliki sistem yang panjang dan rumit sehingga banyak faktor yang dapat memengaruhi kemampuan bernapas. Beberapa elektrolit yang sering dianggap penting adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca2+) dan klorida (Cl-). Selain itu, magnesium (Mg2+) dan fosfat (PO43-) juga penting dalam banyak proses, terutama pada tautan neuromuskular dan sel otot seperti adenosine triphosphate (ATP). Beberapa peneliti menemukan bahwa PO43- memengaruhi kondisi klinis pasien dan keberhasilan penyapihan ventilasi mekanis invasif, meskipun Mg2+ memberikan hasil yang tidak konsisten. Belum ada penelitian atau data mengenai Mg2+ dan PO43- dalam penyapihan ventilasi mekanis invasif di Indonesia hingga saat ini.
Metode: Cross sectional dengan total sampling. Sampel darah vena diambil setelah masuk ICU / RICU di Rumah Sakit Umum Persahabatan. Sampel darah diambil hingga mencapai minimal 30 subjek (pilot study). Semua pasien yang ditemukan menggunakan ventilasi mekanis invasif dimasukkan ke dalam penelitian kecuali pasien dengan prosedur yang rumit (contoh: Avian influenza, tuberkulosis resisten obat). Sampel darah diperiksakan Mg2+, fosfat anorganik (Pi) dan tes tambahan lainnya. Kegagalan dalam penyapihan didefinisikan sebagai intubasi ulang dalam 48 jam setelah ekstubasi atau gagal uji pernapasan spontan (SBT).
Hasil: Dari 31 subjek yang dievaluasi, ada 3 pasien dengan kegagalan penyapihan. Nilai median Mg2+ 0,5 (0,5-2,6) pada pasien yang berhasil disapih dan 0,6 (0,6-2,7) pada pasien dengan gagal sapih. Nilai rerata Pi adalah 4,21±1,17 pada pasien yang berhasil disapih dan 5,43±0,47 pada pasien yang gagal sapih. Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara keberhasilan penyapihan dan karakteristik pasien selain frekuensi nadi dan Ca2+, meskipun faktor perancu masih belum jelas. Nilai Mg2+ yang rendah ditemukan pada 23 subjek, tidak ada nilai Pi yang rendah pada semua subjek, nilai Mg2+ tinggi pada 1 subjek, nilai Pi tinggi pada 11 subjek dan lainnya dalam batas normal.
Kesimpulan: Nilai median Mg2+ pada kedua kelompok penyapihan (berhasil dan gagal) berada di bawah batas normal, yaitu 0,5 (0,5-2,6) dan 0,6 (0,6-2,7). Nilai rerata Pi pada kelompok penyapihan yang berhasil adalah 4,21±1,17 (dalam batas normal) dan kelompok penyapihan yang gagal adalah 5,43±0,47 (di atas nilai normal).

Background: History shows that respiratory system has a long and complicated arrangement so that many factors can affect human’s ability to breathe. Some electrolytes often considered as most important are sodium (Na+), potassium (K+), calcium (Ca2+) and chloride (Cl-). Other than that, magnesium (Mg2+) and phosphate (PO43-) are also important in all processes, especially on neuromuscular junction and muscle cells as adenosine triphosphate (ATP). Some researchers have found that PO43- affects patient’s clinical condition and ventilator weaning success, although Mg2+ gave inconsistent results. Until now, there has not been any studies or data about the significance of Mg2+ and PO43- in ventilator weaning in Indonesia.
Methods: This study is a cross sectional with total sampling. Vein blood sample is taken after ICU/RICU admittance at Persahabatan Hospital. Blood sample is taken consecutively until it reaches a minimum of 30 subjects (pilot study). All patients found with mechanical ventilation is included except for patients with complicated procedure (e.g. Avian influenza, Multidrug-resistant Tuberculosis). Blood sample is analyzed for Mg2+, inorganic phosphate (Pi) and other additional tests. Failure in weaning is defined as reintubation in 48 hours after extubation or failure in spontaneous breathing trial (SBT).
Results: Of 31 subjects evaluated, there are 3 patients with weaning failure. Median Mg2+ value is 0,5 (0,5-2,6) in successfully weaned patients and 0,6 (0,6-2,7) in patients with weaning failure, lower than its normal value. Mean Pi value is 4,21±1,17 (normal value) in successfully weaned patients and 5,43±0,47 (high value) in patients with weaning failure. Further analysis found that no significant relation is found between weaning and patient’s characteristics other than heart rate and Ca2+, although it is not clear if there are soma biases which can affect these results. Low Mg2+ value is found in 23 subjects, no low Pi value found in all subjects, high Mg2+ value in 1 subject, high Pi value in 11 subjects and the rest is in normal range.
Conclusion: Median Mg2+ value in both weaning groups (successful and failed) are below the normal limit, 0,5 (0,5-2,6) and 0,6 (0,6-2,7). Mean Pi value in the successful weaning group is 4,21 ± 1,17 (within normal range) and the value in failed weaning group is 5,43 ± 0,47 (above normal range).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>