Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59266 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Annisa Oktaviani
"Viktimisasi Sekunder merupakan suatu proses dimana korban mengalami kembali proses menjadi korban ketika bersentuhan dengan sistem peradilan pidana (formal) dan masyarakat (informal). Penulisan ini bertujuan untuk melihat pengalaman viktimisasi sekunder perempuan korban perkosaan, dampaknya terhadap korban, dan bagaimana viktimisasi sekunder tersebut bisa terjadi, yang direpresentasikan dalam serial Netflix Unbelievable. Penulisan ini menggunakan teori feminis radikal dan metode analisis isi kualitatif dalam menganalisis serial tersebut yang terdiri dari 8 episode. Hasil analisis menunjukkan bahwa perempuan korban perkosaan telah mengalami pengalaman buruk seperti dieksklusikan dari hukum, diragukan dan dipertanyakan kredibilitasnya, tidak dipercaya, direndahkan, diintimidasi, diancam, dan dipaksa mengakui bahwa ia berbohong. Pengalaman tersebut merupakan bentuk dari viktimisasi sekunder yang kemudian membuat korban mengalami berbagai dampak negatif dalam hal psikologis, relasional, dan finansial. Viktimisasi sekunder yang dialami korban terjadi karena adanya penerimaan rape myth yang menganggap perempuan berbohong terkait perkosaan yang dialaminya (she lied). Hasil analisis juga menunjukkan bahwa serial ini telah mematahkan rape myth lainnya yang meliputi perempuan ingin diperkosa dan menikmatinya (she enjoy rape); dan perempuan memprovokasi perkosaan melalui pakaian dan perilaku mereka (she asked to be raped). Pada akhirnya, analisis juga menunjukkan bahwa akar dari segala penderitaan perempuan korban perkosaan adalah patriarki yang sudah melembaga dalam setiap aspek kehidupan.

Secondary Victimization is a process where victims experience the process of being victims again when they come into contact with the criminal justice system (formal) and society (informal). This writing aims to look at the experience of secondary victimization of rape victims, their impact on victims, and how this secondary victimization can occur, which is represented in the Netflix series Unbelievable. This writing uses radical feminist theory and qualitative content analysis methods in analyzing the series which consists of 8 episodes. The results of the analysis show that women victims of rape have experienced bad experiences such as being excluded from the law, doubting and having their credibility questioned, distrusted, humiliated, intimidated, threatened, and forced to admit that they lied. This experience is a form of secondary victimization which then makes the victim experience various negative impacts in terms of psychological, relational, and financial. The secondary victimization experienced by the victim occurs because of the acceptance of the rape myth which assumes that women lied about the rape they experienced. The results of the analysis also show that this series has broken other rape myths which include women enjoying rape; and women asked to be raped. In the end, the analysis also shows that the root of all the suffering of women victims of rape is patriarchy which has been institutionalized in every aspect of life."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yosefin Mulyaningtyas
"ABSTRAK
Kekerasan dalam ranah personal, khususnya kekerasan seksual dalam rumah tangga menunjukkan angka yang sangat tinggi di Indonesia. Guna menjawab pertanyaan mengenai perlindungan hukum bagi korban viktimisasi berganda pada kasus kekerasan seksual dalam rumah tangga serta bagaimana menanggulangi kendala penegakan hukum kasus tersebut, penelitian normatif ini dilakukan dengan cara menganalisis putusan pengadilan, kemudian dilengkapi dengan wawancara dengan pihak LBH Apik dan Komnas Perempuan yang mendampingi korban, lalu dilengkapi dengan perbandingan hukum di Thailand dan Filipina. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari semua jenis kekerasan, kekerasan seksual dalam rumah tangga yang memberikan penderitaan paling banyak bagi korban, yaitu penderitaan fisik dan psikis. Terlebih lagi, korban biasanya mengalami kekerasan seksual disertai atau tidak disertai dengan jenis kekerasan lainnya dalam rumah tangga lebih dari satu kali hingga ada yang bertahun-tahun. Ironisnya, korban yang mengalami viktimisasi berganda ini pada kenyataannya kurang mendapat perlindungan dan penegakan hukum. Anggota keluarga lainnya maupun masyarakat seringkali malah menutupi tindak pidana tersebut, serta hukum pidana yang ada kurang memihak korban. Kondisi demikian dapat dijumpai dalam praktik pengadilan di Indonesia, dan kondisi serupa juga ternyata terjadi di Thailand dan Filipina. Sehingga oleh karena kondisi yang sangat memprihatinkan tersebut, perlu dilakukan perubahan stigma korban dan masyarakat menjadi lebih baik, serta memperbaiki penegakan hukum yang kurang berpihak pada korban.

ABSTRACT
Violence in the personal space especially sexual violence in the household shows a very high incidence rate in Indonesia. In order to answer the question of legal protection for victims of multiple victimization in cases of sexual domestic violence and how to overcoming obstacles of law enforcement, this normative juridical research was conducted by analyzing the court decision, and interview with LBH Apik and Komnas Perempuan who help the victim directly, then complemented by a comparison of the laws of Thailand and the Philippines. The results show that of all types of violence, domestic violence is the one that gives the most suffering to the victims, namely physical and psychological suffering. Moreover, victims are usually subjected to sexual violence accompanied or not accompanied by other types of violence in households more than once until there are many years. Ironically, the victim who suffered from multiple victimization is in fact under the protection and law enforcement. Other family members and the community often even cover up the crime, and the criminal law that is inadequate to the victim. Such conditions can be found in Indonesian courts, and similar circumstances also occur in Thailand and the Philippines. Therefore, due to the very poor condition, it is necessary to change the stigma of victims and society better, and to improve law enforcement that is less favorable to the victims."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yashinta Fara Kaniaratri
"Non-consensual Distribution of Intimate Images (NCDII) adalah jenis kasus kekerasan berbasis gender siber yang paling banyak terjadi, namun hanya sedikit sekali perempuan penyintas yang melaporkan viktimisasinya kepada polisi. Bahkan, melaporkan viktimisasinya kepada polisi menjadi pilihan terakhir bagi perempuan penyintas. Tulisan ini bertujuan untuk melihat reaksi non-formal dari perempuan korban/penyintas, maupun perempuan yang bukan merupakan korban/penyintas, terhadap viktimisasi sekunder yang dialami oleh perempuan saat melaporkan viktimisasinya kepada polisi. Tulisan ini berada di bawah naungan teori feminis radikal, dan menggunakan metode analisis isi kualitatif untuk mengkaji berita dan cuitan yang berisi opini perempuan terkait penanganan kasus NCDII oleh polisi. Hasil analisis menunjukkan bahwa kepolisian adalah institusi yang tidak ideal bagi perempuan penyintas karena kepolisian adalah salah satu agen yang bertugas untuk melanggengkan patriarki. Perempuan yang mendapat perlakuan buruk dari polisi akan menceritakan pengalamannya melalui media online dan narasi ini kemudian mendorong terbentuknya digital feminist activism di kalangan perempuan untuk menentang perilaku polisi.

Non-consensual Distribution of Intimate Images (NCDII) is the most common type of cyber gender-based violence, yet only a few numbers of women survivors report their victimization to the police. In fact, reporting their victimization to the police is the last option for women survivors. This paper aims to examine the non-formal reaction of women victims/survivors, as well as women who are not victims/survivors, to the secondary victimization that experienced by women who reported their victimization to the police. This paper is written under the radical feminist theory framework, and uses qualitative content analysis method to examine news and tweets that contains women's opinions regarding the handling of NCDII cases by the police. The results of the analysis show that the police is not an ideal institution for female survivors because the police is one of the agents that’s in charge of perpetuating patriarchal ideology. Women who have been mistreated by the police will share their stories through online media and this narrative then encourage the formation of digital feminist activism among women to oppose police behavior."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ilham Bustari
"Skripsi ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan di Indonesia yang berkaitan dengan korban perkosaan guna memposisikan dan mengakamodasi perlindungan terhadap para korban tersebut. Peneliti melakukan analisis terhadap hukum adat Nagari Lunang terkait perlindungan terhadap korban perkosaan. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah berperspektif sosio-legal dengan melakukan analisis terhadap aturan terkait perlindungan korban perkosaan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang pengesahan CEDAW, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta dengan pengumpulan data yang dilakukan dengan beberapa cara, yaitu pengamatan, wawancara secara mendalam dengan bantuan instrumen berupa pedoman wawancara, dan dokumentasi dalam rangka mengungkapkan gejala-gejala dalam kehidupan di masyarakat seperti yang dipersepsikan oleh warga masyarakat Nagari Lunang tentang kondisi mereka sendiri. Perlindungan terhadap perempuan korban perkosaan baik secara yuridis maupun non-yuridis merupakan hal yang penting guna menjamin tegaknya rasa keadilan dalam masyarakat. Namun, hingga saat ini, perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan masih sangat minim, seperti yang ditunjukkan dari kurangnya komitmen negara dalam melindungi mereka. Untuk mewujudkan perlindungan yang dimaksudkan tersebut maka dibutuhkan suatu instrumen hukum yang dapat mengakamodir hak-hak perempuan atas kebenaran, keadilan dan pemulihannya secara utuh menyeluruh.

This undergraduate thesis aims to analyze the laws and regulations in Indonesia relating to rape victims to positioning and accommodate the protection of these victims. Researchers conducted an analysis of the customary law of Nagari Lunang related to the protection of rape victims. The method used in this study is a socio-legal perspective by analyzing the rules relating to the protection of rape victims regulated in Law Number 7 of 1984 concerning the ratification of CEDAW, Criminal Law Book, and Law Number 13 Year 2006 concerning Protection of Witnesses and Victims, as well as by collecting data carried out in several ways, namely observation, in-depth interviews with the help of instruments in the form of interview guidelines, and documentation in order to express symptoms in life in the community as perceived by residents of Nagari Lunang about their own condition. Protection of women victims of rape both legally and non-legally is important to ensure the upholding of a sense of justice in society. However, until now, the protection of women victims of violence is still very minimal, as shown by the lack of state commitment to protect them. To realize the intended protection, a legal instrument is needed that can fully accommodate the rights of women to truth, justice, and its full recovery."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adine Berlianti
"Pemberitaan tentang anak laki-laki yang menjadi korban perkosaan seringkali mendapat tanggapan buruk oleh pembaca berupa komentar negatif. Hal tersebut dapat disebut sebagai secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Munculnya tanggapan tersebut berhubungan dengan upaya patriarki untuk menegakkan mitos tentang perkosaan laki-laki di masyarakat atau disebut male rape myth. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan konsep male rape myth dari Turchik dan mengelaborasinya dengan konsep secondary victimization dari Tavares. Data yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini diperoleh dari kolom komentar pada dua pemberitaan di media massa online TribunNews, dan dianalisis menggunakan metode analisis isi kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa komentar buruk yang diberikan masyarakat merupakan bentuk secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Komentar buruk tersebut muncul karena adanya upaya untuk menegakkan male rape myth dalam masyarakat patriarki. Pemberitaan tentang anak laki-laki yang menjadi korban perkosaan seringkali mendapat tanggapan buruk oleh pembaca berupa komentar negatif. Hal tersebut dapat disebut sebagai secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Munculnya tanggapan tersebut berhubungan dengan upaya patriarki untuk menegakkan mitos tentang perkosaan laki-laki di masyarakat atau disebut male rape myth. Untuk menjelaskan hal tersebut, penulis menggunakan konsep male rape myth dari Turchik dan mengelaborasinya dengan konsep secondary victimization dari Tavares. Data yang digunakan untuk menjelaskan fenomena ini diperoleh dari kolom komentar pada dua pemberitaan di media massa online TribunNews, dan dianalisis menggunakan metode analisis isi kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa komentar buruk yang diberikan masyarakat merupakan bentuk secondary victimization terhadap anak laki-laki korban perkosaan. Komentar buruk tersebut muncul karena adanya upaya untuk menegakkan male rape myth dalam masyarakat patriarki.

News about boy being a victim of rape is often get bad responses from readers in the form of negative comments. This can be referred as secondary victimization towards boy victim of rape. The emerge of these responses is related to patriarchal efforts to enforce false beliefs about male rape in society known as male rape myth. To explain this, the authors uses Turchik’s male rape myth concept and elaborates it with Tavares’ concept of secondary victimization. The data used to explain this phenomenon were obtained from the comments column on two news reports in the online mass media TribunNews, and analyzed using qualitative content analysis methods. The results of the analysis show that bad comments that given by the community are form of secondary victimization towards boy victim of rape. These bad comments arise because of efforts to enforce male rape myth in patriarchal society."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silaen, Ratna Juwita
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1994
S2356
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natarudin
"Penelitian mengenai Penyidikan Tindak pidana perkosaan di Polda Metro Jaya bertujuan untuk menunjukkan proses penyidikkan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh tim penyidik Ruang Pelayanan Khusus selaku aparatur penegak hukum bagian dari sub system peradilan pidana. Adapun permasalahan yang diteliti adalah mengenai penyidikan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh tim Ruang Pelayanan Khusus. Ruang lingkup masalah penelitian mencakup mengenai proses penyelidikan dan penyidikan termasuk di dalamnya adalah tindakan-tindakan penyidik tim Ruang palayanan khusus dalam penanganan tindak pidana perkosaaan, manajemen operasional penyidikkan, faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyidikan, pola-pola hubungan yang terjadi dalam proses penyidikan dan fakta-fakta empiris yang ditemukan dalam penanganan korban perkosaan oleh penyidik tim Ruang Pelayanan Khusus. Dengan Fokus penelitian dalam tulisan tesis ini adalah penyidikan tindak pidana perkosaan oleh Tim Ruang pelayanan khusus Polda Metro Jaya.
Proses penyidikan adalah serangkaian tugas penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam Undang - Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkal pelaku tindak pidana. Dalam proses penyidikan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anggota Tim Ruang pelayanan khusus Polda Metro Jaya ditemukan beberapa hal spesifik antara lain dalam hal pembuktian medis terhadap tindak pidana perkosaan, pemeriksaan terhadap korban perkosaan dan timbul suatu pertanyaan kenapa dalam Tim ruang pelayanan khusus tersebut semua penyidiknya Polisi Wanita (Polwan). Hal tersebut dapat diabstraksikan diantaranya adalah bahwa pembuktian secara medis kedokteran adalah mutlak diperlukan untuk membuktikan apakah benar korban tersebut merupakan korban dari tindak pidana perkosaan dan juga ditemukan rasa traumatic korban terhadap peristiwa yang dialaminya, serta jawaban dari pertanyaan tersebut adalah agar dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik Polwan (Tim Ruang pelayanan khusus) korban tidak merasa canggung/korban dapat menerangkan secara gamblang mengenai peristiwa yang dialaminya.
Selain itu karena kesamaan jender dalam hal ini rasa traumatic korban dapat dinetralisir oleh anggota Tim Ruang pelayanan khusus yang dalam hal ini juga dapat sebagai konseling.
Namun demikian dalam proses penyidikan terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anggota Tim Ruang pelayanan khusus bukan berarti berjalan dengan mulus begitu saja. Pengetahuan, pengalaman dan perasaan sesama perempuan yang dimiliki oleh anggota Tim Ruang pelayanan khusus dalam hal penyidikan sangatlah membantu untuk mengungkapkan suatu tindak pidana perkosaan.
Tindakan Tim Ruang pelayanan khusus tersebut tidak hanya berhenti sampai dengan selesainya proses penyidikan/ setelah berkas perkara dan tersangkanya dilimpahkan kepada Penuntut Umum namun penyidik masih berusaha untuk merehabilitasi perasaan traumatic dan medis dan memberikan jaminan keamaan/keselamatan korban dan keluarganya.
Dalam tesis ini ditunjukkan bahwa tindakan penyidik Tim Ruang pelayanan khusus Polda Metro Jaya secara formal telah mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Kapolri tentang proses penyidikan tindak pidana dan Petunjuk Tehnis (Juknis) Kapolri tentang penyelidikan Reserse.
Selain hal tersebut penyidik Tim Ruang pelayanan khusus dalam melakukan penyidikan tindak pidana perkosaan juga mengikuti pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diinfentarisir bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam penanganan korban perkosaan dihadapkan oleh rasa traumatic korban sehingga dibutuhkan kesabaran dari penyidik untuk menciptakan nuansa pemeriksaan yang tidak diliputi perasaan takut, cemas dan emosional yang tidak menentu.
Untuk dapat melaksanakan proses penyidikan tindak pidana perkosaan secara professional, benar dan adil serta dapat memberikan jaminan keamanan dan perlindungan baik terhadap korban maupun saksi-saksi maka dibutuhkan seorang penyidik yang memiliki pengetahuan tentang tindak perkosaan, pembuktian medis, pemahaman mengenai psikologi individu. Selain pengetahuan tersebut juga diharapkan penyidik Tim Ruang pelayanan khusus juga dapat melakukan kerjasama dengan paramedis/dokter, unit-unit lain yang terkait dalam membantu pengungkapan kasus serta sub system CJS (criminal justice system) lainnya tidak dapat lepas dari keberhasilan dalam pengungkapan kasus secara benar dan adil. Sehingga diharapkan bahwa kasus perkosaan tersebut dapat terselesaikan secara tuntas dan dapat memenuhi rasa keadilan dari korban."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11093
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rais Rahmat Ismail
"Perkosaan anak merupakan fenomena yang terjadi pada lingkungan domestik antara pelaku dengan anak. Korban dipandang sebagai anak yang belum memiliki kapasitas dan pengetahuan untuk mempertimbangkan risiko yang timbul akibat terjadinya perkosaan. Perkosaan adalah tindakan yang tidak disukai oleh masyarakat, sehingga untuk dapat menjelaskan gejala tersebut diperlukan metode yang tepat untuk menelitinya. Penulis mencoba menganalisis pola hubungan sosial antara pelaku dan korban terhadap penanganan kasus perkosaan di Polda Metro Jaya pada periode tahun 2021-2022 dengan menggunakan teori The Criminal and His Victim dan The Relationship Between Victim-Perpetrator. Subjek penelitian anak sebagai korban perkosaan dengan skala waktu dimulai antara 1 Januari 2021 dan 31 Desember 2022 yang dilaporkan kepada Sub Direktorat Remaja, Anak dan Wanita (Subditrenakta) Polda Metro Jaya. Ketika dikatakan dalam The Criminal and His Victim bahwa anak menempati beberapa posisi sosial, mereka tidak memiliki posisi negosiasi yang tinggi sehingga rentan menjadi korban serta didalam The Relationship Between Victim-Perpetrator bahwa hubungan antara pelaku dan korban akan menentukan jumlah kejadian perkosaan, durasi hubungan, tingkat pemaksaan, motif, kesempatan, serta berapa lama waktu yang dibutuhkan korban untuk melaporkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan hasil menunjukkan bahwa perkosaan dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan sosial dengan korban dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hubungan sosial pelaku dan korban, sosiodeografi pelaku dan korban, kondisi pelaku, jumlah pelaku, tempat kejadian dan hubungan pelapor dengan korban. Hasil penelitian ini dapat menjadi pengetahuan bahwa tingkat hubungan pelaku dan korban terjadinya perkosaan dapat membentuk suatu pola perkosaan yang dipengaruhi oleh berbagai keadaan yang terjadi sebelum perkosaan terhadap anak itu terjadi.

Perkosaan anak merupakan fenomena yang terjadi pada lingkungan domestik antara pelaku dengan anak. Korban dipandang sebagai anak yang belum memiliki kapasitas dan pengetahuan untuk mempertimbangkan risiko yang timbul akibat terjadinya perkosaan. Perkosaan adalah tindakan yang tidak disukai oleh masyarakat, sehingga untuk dapat menjelaskan gejala tersebut diperlukan metode yang tepat untuk menelitinya. Penulis mencoba menganalisis pola hubungan sosial antara pelaku dan korban terhadap penanganan kasus perkosaan di Polda Metro Jaya pada periode tahun 2021-2022 dengan menggunakan teori The Criminal and His Victim dan The Relationship Between Victim-Perpetrator. Subjek penelitian anak sebagai korban perkosaan dengan skala waktu dimulai antara 1 Januari 2021 dan 31 Desember 2022 yang dilaporkan kepada Sub Direktorat Remaja, Anak dan Wanita (Subditrenakta) Polda Metro Jaya. Ketika dikatakan dalam The Criminal and His Victim bahwa anak menempati beberapa posisi sosial, mereka tidak memiliki posisi negosiasi yang tinggi sehingga rentan menjadi korban serta didalam The Relationship Between Victim-Perpetrator bahwa hubungan antara pelaku dan korban akan menentukan jumlah kejadian perkosaan, durasi hubungan, tingkat pemaksaan, motif, kesempatan, serta berapa lama waktu yang dibutuhkan korban untuk melaporkan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan hasil menunjukkan bahwa perkosaan dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan sosial dengan korban dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hubungan sosial pelaku dan korban, sosiodeografi pelaku dan korban, kondisi pelaku, jumlah pelaku, tempat kejadian dan hubungan pelapor dengan korban. Hasil penelitian ini dapat menjadi pengetahuan bahwa tingkat hubungan pelaku dan korban terjadinya perkosaan dapat membentuk suatu pola perkosaan yang dipengaruhi oleh berbagai keadaan yang terjadi sebelum perkosaan terhadap anak itu terjadi.

Child rape is a phenomenon that occurs in the domestic environment between the perpetrator and the child. Victims are children who do not have the capacity and
knowledge to consider the risks that arise as a result of rape. Rape is an act that society does not like, so to be able to explain this phenomenon, an appropriate method is needed to examine it. The author tries to analyze the pattern of social relations between perpetrators and victims regarding the handling of rape cases at Polda Metro Jaya in the 2021-2022 period by using The Criminal and His Victim and The Relationship Between Victim-Perpetrator theories. The research subjects were children as victims of rape with a time scale starting from 1 January 2021 to 31 December 2022 which was reported to the Sub Directorate for Youth, Children and Women (Subditrenakta) Polda Metro Jaya.
When it is said in The Criminal and His Victim that children occupy several social
positions, they do not have a high negotiating position so they are vulnerable to becoming victims and in The Relationship Between Victim-Perpetrator that the relationship between the perpetrator and the victim will determine the number of rape incidents, the
duration of the relationship, the degree of coercion, motive, opportunity, and how long it took the victim to report. This study used a quantitative approach and the results showed that rape was committed by people who had social relations with the victim. It was influenced by several factors, such as the social relationship between the perpetrator and the victim, the sociodeography of the perpetrator and the victim, the condition of the
perpetrator, the number of perpetrators, the scene of the incident and the relationship between the complainant and the victim. The results of this study can be knowledge that the level of relationship between the perpetrator and the victim of rape can form a pattern
of rape which is influenced by various circumstances that occurred before the rape of a child occurred.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fathimah Azzahra
"Keterangan korban sangat penting dalam memastikan keberhasilan penuntutan kasus dugaan pemerkosaan yang minim barang bukti. Literatur telah menunjukkan bahwa terdapat karakteristik keterangan korban tertentu yang dianggap kurang kredibel daripada yang lain. Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh informasi hubungan korban-pelaku terhadap persepsi kredibilitas kasus perkosaan. Sebanyak 130 partisipan mahasiswa fakultas hukum dan perguruan tinggi ilmu kepolisian dengan rentang usia 17-30 tahun (M = 24.02; SD = 3.67) berpartisipasi dalam penelitian ini. Persepsi kredibilitas diukur melalui daftar pertanyaan yang diadaptasi dari penelitian Sumampouw dkk (2022). Informasi hubungan korban-pelaku dimanipulasi ke dalam kondisi stranger rape dan acquaintance rape. Hasil analisis independent sample t-test menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa kasus stranger rape tidak secara signifikan dipersepsikan lebih kredibel dibandingkan kasus acquaintaince rape.

Victims' statements are critical in ensuring successful legal prosecution of alleged rape cases that lack evidence. Literature has demonstrated that certain characteristics of rape victims' statements are considered less credible than others. This study aims to examine the effect of the victim-perpetrator relationship on the perceived credibility of rape allegation cases. A total of 130 law and police academy (STIK-PTIK) students with an age range of 17-30 years old (M = 24.02; SD = 3.67) participated in this study. Perceived credibility is measured through a list of questions adapted from a study by Sumampouw et al (2022). Information on the victim-perpetrator relationship is manipulated across stranger and acquaintance rape conditions. Independent sample t-test analysis showed that stranger rape is not significantly perceived as more credible than acquaintance rape.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Ardhian Syaifuddin
"Tesis ini membahas tentang apakah korban-korban kejahatan seksual yang diperiksa di pusat krisis terpadu rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dan dokter-dokter yang sehari-harinya memeriksa korban-korban kejahatan seksual menerima langkah-langkah protokol pada pusat pelayanan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif fenomenologi dan data dikumpulkan dengan menggunakan in-depth interview terhadap 10 responden korban kejahatan seksual yang diperiksa di pusat krisis terpadu rumah sakit Cipto Mangunkusumo dan focus group discussion terhadap 4 responden dokter. Hasil menunjukkan bahwa seluruh responden korban bersedia diperiksa dengan langkah-langkah tersebut dan responden dokter menerima langkah-langkah tersebut dalam praktek sehari-hari.

This thesis discusses whether victims of sexual violance who's examined in the integrated crisis center of Cipto Mangunkusumo hospital and doctors who regularly examine the victims are accepting the step-by-step protocol at the service center. This is a qualitative phenomenology research and the data were collected using in-depth interviews with 10 respondents of sexual violent victims whose examined in an integrated crisis center Cipto Mangunkusumo hospital and a focus group discussion with 4 physician respondents. The result showed that all the victim respondents are willing to be examined with these methods and the physician respondents accepting the methods in daily practice.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>