Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193166 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cattelya Nabila Mediarman
"Manusia yang sebelumnya merupakan satu-satunya makhluk hidup yang diberikan kecerdasan akal dan fikiran untuk terus berkembang dan menjadi inventor akan teknologi baru, kini dapat mendelegasikan kemampuan tersebut kepada mesin kecerdasan buatan atau AI. Meskipun AI sendiri merupakan sistem ciptaan manusia dan masih sebatas sistem yang terintergrasi dengan manusia atau operatornya, namun saat ini sistem tersebut dapat secara otonom menciptakan invensi, atau yang disebut dengan AI-generated inventions. Namun, apakah invensi dari AI tersebut dapat dimohonkan paten? Hal tersebut menjadi pertanyaan besar dikarenakan sesuai dengan peraturan-peraturan yang ada, subjek yang dapat menjadi inventor adalah natural person, sedangkan dalam hal ini AI bukanlah termasuk dalam klasifikasi natural person. Oleh karena itu, Penulis akan menganalisis bagaimana peran AI sebagai inventor, dilihat dari perspektif hukum Indonesia dan Amerika Serikat, serta dengan kasus actual mengenai permohonan paten atas AI-generated inventions. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis-normatif dengan data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebenarnya dengan perkembangan zaman, maka akan banyak munculnya AI-generated inventions, sehingga salah satu jalan keluar yang dapat ditempuh adalah dengan membentuk pengaturan mengenai AI-generated inventions tersebut maupun perubahan atau penambahan aturan mengenai klasifikasi inventor dalam undang-undang.

Humans who were previously the only living beings given the intelligence of mind and mind to continue to evolve and become inventors of new technologies, can now delegate those abilities to artificial intelligence machines or AI. Although AI itself is a human creation system and is still limited to systems that are integrated with humans or their operators, today the system can autonomously create inventions, or so-called AI-generated inventions. However, can the invention of the AI be requested for a patent? This is a big question because in accordance with existing regulations, the subject that can be an inventor is a natural person, while in this case AI is not included in the classification of natural persons. Therefore, the author will analyze how AI's role as an inventor, viewed from the legal perspective of Indonesia and the United States, as well as with actual cases regarding patent applications for AI-generated inventions. This research was conducted with juridical-normative research methods with data obtained from literature studies and interviews. The results show that actually with the times, there will be many applications of AI-generated inventions, so one way out that can be taken is to form arrangements regarding AI-generated inventions as well as changes or additions to rules regarding the classification of inventors in the law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evelyna Putri Athallah
"

Tulisan ini menganalisis bagaimana ketentuan Batas Usia Pemberian Persetujuan (BUPP) diberlakukan dalam hukum pidana terkait perkara eksploitasi seksual terhadap anak dalam prostitusi di Indonesia dan Amerika Serikat, serta bagaimana hukum Indonesia dan Amerika Serikat memberikan perlindungan terhadap Anak yang dilacurkan. Bentuk penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal dengan analisis data yang dilakukan dengan metode kualitatif. Situasi eksploitasi seksual terhadap anak di seluruh dunia sangat memprihatinkan. Di seluruh dunia, korban eksploitasi seksual terhadap anak dalam prostitusi atau yang disebut “anak yang dilacurkan” mencapai angka satu sampai dua juta setiap tahunnya. Sebagai kelompok rentan, anak tidak mampu untuk memberikan persetujuan seksual, sehingga hukum mengenai BUPP perlu ditegakkan. Sebagaimana diatur oleh UU Perlindungan Anak, UU TPKS, dan KUHP 2023 di Indonesia, serta The Mann Act dan TVPA di Amerika Serikat, semua anak yang dilacurkan, termasuk mereka yang berusia di bawah BUPP, merupakan korban dari tindak pidana eksploitasi seksual dalam prostitusi yang dilakukan oleh muncikari dan/atau pelanggannya. Terkait perlindungan hukum terhadap Anak yang dilacurkan, Indonesia dan Amerika Serikat sama-sama memandang anak yang dilacurkan sebagai korban tindak pidana eksploitasi seksual terhadap anak yang membutuhkan perlindungan khusus.


This paper analyzes how the age of consent regulations are applied in criminal law related to cases of child sexual exploitation in prostitution in Indonesia and the United States, as well as how Indonesian and United States law provide protection for prostituted children. This research is a doctrinal legal study, with data analysis conducted using a qualitative method. The situation of child sexual exploitation worldwide is very concerning. Globally, the number of victims of child sexual exploitation in prostitution, or “prostituted children” reaches one to two million each year. As a vulnerable group, children are unable to give sexual consent, hence the law regarding the age of consent needs to be upheld. As regulated by Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), and Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2023 in Indonesia, as well as The Mann Act and TVPA in the United States, all prostituted children, including those below the age of consent, are victims of the crime of sexual exploitation in prostitution perpetrated by pimps and/or their clients. Both Indonesia and the United States view prostituted children as victims of child sexual exploitation who require special protection.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Rana Izdihar
"Perkembangan dan penggunaan teknologi dalam berbagai produk dan jasa semakin meningkat, di antaranya adalah Artificial Intelligence (AI). AI merupakan cabang ilmu komputer yang dikembangkan menjadi suatu teknologi hingga dapat melakukan penalaran dan pembelajaran mandiri. Namun, hingga saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur teknologi ini sehingga menimbulkan suatu ketidakpastian hukum. Terdapat berbagai penemuan hukum dan interpretasi yang dilakukan dalam upaya perlindungan AI oleh Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan apakah AI dapat diklasifikasikan sebagai objek HKI, khususnya pada hak cipta dan paten. Selain itu, tulisan ini juga akan menganalisis tanggung jawab pemegang HKI atas kerugian yang ditimbulkan oleh AI miliknya. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi perlindungan AI sebagai objek HKI dengan menggolongkannya sebagai program komputer. Sedangkan, perihal tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh AI masih menimbulkan perdebatan. Sebagian besar berpendapat bahwa pertanggungjawaban hukum tetap dibebankan kepada pemegang hak AI karena AI belum dapat dijadikan sebagai subjek hukum yang dapat bertanggung jawab.

The development and use of technology in various products and services is increasing, including Artificial Intelligence (AI). AI is a branch of computer science that has been developed into a technology which has the ability to learn and solve problems through logical deduction. However, until now, there is no regulation in Indonesia that specifically regulates this technology which creates legal uncertainty. There are various legal discoveries and interpretations made in an effort to protect AI by Intellectual Property Rights (IPR). This paper attempts to explain whether AI can be classified as an object of IPR, particularly copyrights and patents. In addition, this paper will also analyze the legal liability of right holders for losses caused by their AI. The results show that there are variations in the protection of AI as an object of IPR by classifying it as a computer program. Meanwhile, the issue of liability for the losses caused by AI is still a matter of debate. Most argue that the liability remains with AI rights holders because AI has not yet been defined as a legally liable subject."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siagian, Borris Ficthe
"Artificial Intelligence (AI) model Machine Learning (ML) merupakan perkembangan teknologi yang memiliki potensi untuk berperan sebagai pengambil keputusan dalam kehidupan manusia. Teknolgi harus dijaga agar memberikan dampak positif dalam kehidupan masyarakat sesuai amanat dalam
Pasal 28C UUD 1945. Pemerintah yang memiliki kewajiban untuk memenuhi hal tersebut. Tujuan dari penelitian ini untuk menganalisa pengaturan terkait AI model ML terkait penggunaan dan pemanfaatan di Indonesia. Penelitian ini juga akan menganlisa peraturan hukum Indonesia dalam melingkupi prinsip Ethical and trustworty AI dalam penyelenggaraan AI model ML. Kemudian penelitian ini
juga mengalisa bentuk pertanggunjawaban hukum terkait AI di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitif yang bersifat exploratoris. Hasil dari penelitian ini menunjukan Indonesia memiliki sisnas IPTEK untuk mencapai tujuan Pasal 28C UUD 1945. AI yang tergolong dalam sistem elektronik, menjadikan tunduk pada
aturan terkait penyelenggaraan sistem elektronik dalam UU ITE. Utilitarian purposes yang melekat pada teknologi AI membuat perlindungan kekayaan intelektual berada dalam perlindungan Paten. Ethical dan trustworthy pada AI
dapat dikrucutkan kedalam 5 prinsip utama dalam penggunaan dan pemanfaatan AI dalam industri. Prinsip tersebut adalah Keaman dan Keselamatan, Privasi, Keadilan, Transparansi serta Akuntabilitas. Prinsip ini telah tertanggulangi dalam prinsip dalam strategi nasional kecerdasan Artifisial. Pemenuhan standar produk AI dan Kode Etik yang mengadopsi prinsip ethical and trustworthy AI diperlukan dalam peraturan hukum di Indonesia saat ini. Berdasarkan peraturan yang ada, pertanggungjawaban dalam penyelenggaraan Sistem Elektronik, termasuk AI, menerapkan prinsip praduga bersalah. Besarnya risiko pada AI membuatnya termasuk kedalam dengerous activities, sehingga perlu diterapkan strict liability.

Artificial Intelligence (AI) Machine Learning (ML) model is a technologicaldevelopment that has the potential to be a decision maker in human life. According to the article 28C of the UUD 1945, technology must be maintained to has a positive impact on people's lives. Government has the obligation to fulfill this. The purpose of this research is to analyze regulations related to AI model ML about its use and utilization in Indonesia. This research will also analyze Indonesian regulations covering principles of Ethical and trustworthiness of AI in implementation of AI model ML. Then this reasearch also analyzes forms of legal liabiility related to AI in Indonesia. Analysis method used a normative juridical research with a qualitative approach. The results show that Indonesia has Sisnas IPTEK to achieve a possitive impact. AI is classified as an electronic system, making it subject to rules related to the implementation of electronic systems in UU ITE. AI being protect by Paten, because of utilitarian purposes attached to it.
Ethical and trustworthy of AI can be narrowed down into 5 main principles. These are Security and Safety, Privacy, Fairness, Transparency and Accountability. They have been addressed in Stragtegi Nasional Kecerdasan Artifisial. Current regulations require product standard and Code of Ethics that adopts ethical and trustworthy principles of AI. Based on existing regulations, legal liability in operation of Electronic Systems, including AI, applies the presumption of guilt.
Big risk in AI makes it included in dengerous activities, so it is necessary to applystrict liability.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agniya Anggraeni
"Penjaminan berbasis Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sedang marak dalam masyarakat internasional. Hak paten sebagai bagian dari HKI di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, China, Inggris dan Singapura telah diakui untuk dapat dimanfaatkan yaitu sebagai jaminan pinjaman perusahaan khususnya bagi perusahaan dalam sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Sementara di Indonesia, pelaksanaan hak paten sebagai jaminan masih kurang memadai karena belum tersedianya suatu ketentuan yang mengatur tentang penggunaan hak paten sebagai jaminan dalam pembiayaan yang diberikan bagi perusahaan. Disamping itu, masih rendahnya tingkat keberanian bank di Indonesia untuk menerima hak paten sebagai jaminan yang dianggap penuh dengan resiko tinggi.
Metode penelitian yang digunakan dalam rangka penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada studi dokumen dalam penelitian kepustakaan dengan analisis data berupa deskriptif analisis.
Tujuan penelitian ini adalah agar HKI khususnya hak paten dapat menjadi terobosan baru bagi para pengusaha UMKM, para pihak penyalur dana baik milik pemerintah maupun swasta dalam memanfaatkan hak paten sebagai sumber dana atau untuk meningkatkan suatu modal usaha sehingga hal tersebut dapat turut memberikan efek peningkatan perekonomian Indonesia. Hak paten memiliki potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan sebagai jaminan dengan melihat adanya unsur hak eksklusif yang memberikan kebebasan bagi penciptanya untuk mengalihkan hak paten tersebut.
Sebagaimana yang terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, China, Inggris dan Singapura hak paten sebagai jaminan telah diatur dan diakui di dalam peraturan perundang-undangan negara tersebut. Beberapa negara diantaranya bahkan telah melaksanakan penggunaan hak paten sebagai jaminan dalam praktek pembiayaan bagi perusahaan di negaranya. Berdasarkan data yang diberikan secara terbuka pada negara-negara tersebut dapat diketahui bahwa sesungguhnya hak paten dapat dijadikan sebagai jaminan karena adanya pengakuan dan eksistensi dari hukum yang berlaku pada negara bersangkutan.

Financing based an IPR assets becomes flare in the international society. In the developed country such as United States, China, United Kingdom dan Singapore, patent rights as the part of the IPR is recognized to be utilized as the company's collateral especially by Small Medium Enterprise (SME) company. Whilst in Indonesia, the implementation of the patent right as the collateral yet inadequate since there is no law and regulation that governs the using of patent as collateral which provided by financing scheme to the company. Other than that, the courage of Indonesian bank to accept patent as collateral is still lack taking to consideration of the high risk in such scheme.
The research methods which support this research is normative legal methods that particularly emphasizes on the documentation study in library research with data analysis in the form of descriptive analysis.
This research is aimed for the IPR, especially patent rights that can be the new breakthrough for the SME entrepreneur, state or private funder in order to utilize the patent right as the capital source or as to increase the business capital itself and therefore it would be affect to increasing the Indonesian economic condition. Patent right has a huge potential to be used as a collateral with its exclusive right in which granting the holder of such rights capability to assign his patent right.
As occurred in the developed country such as United States, China, United Kingdom and Singapore, patent right as collateral has been governed and recognized in the prevailing law and regulation in such country. Some of country among other is even clearly have implemented the using of patent right as collateral related to the financing granted for the company in respective country. According to the disclosure information provided from such
countries concerned can be recognized that basically patent right is being able to be collateral since there is acknowledgement and existences in the prevailing law and regulation regarding patent as collateral.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T44741
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Adriel Devanza
"Dengan berkembangnya penerapan Hukum Kekayaan Intelektual dalam pasar, serta meningkatnya perdagangan internasional, muncul dua konsep hukum dalam rezim HKI, yaitu Exhaustion yang merupakan hilangnya hak distribusi barang terkait HKI, serta Impor Paralel, yang merupakan tindakan mengimpor barang terkait HKI masuk ke dalam sebuah negara yang mana HKI barang tersebut telah terdaftar. Terdapat dua bentuk prinsip Exhaustion; National Exhaustion dimana hak distribusi barang hanya hilang di dalam negeri, yang mana jika dilakukan penjualan dari luar negeri maka hak distribusi masih ada dan impor paralel dapat dilarang, dan International Exhaustion dimana hak distribusi barang dimanapun barang dijual dan Impor Paralel diperbolehkan. Dalam Penelitian ini Penulis akan mengkaji prinsip Exhaustion dan Impor Paralel yang dianut oleh rezim Hak Cipta, Hak Merek, dan Hak Paten di Indonesia, hasil penelitian yang ditemukan adalah terdapat kekosongan hukum prinsip Exhaustion serta pengaturan Impor Paralel dalam rezim Hak Cipta melalui UU 28/2014 dan Hak Merek melalui UU 20 2016. Dalam konteks UU Hak Paten secara eksplisit melarang Impor Paralel melalui ketentuan Pasal 160 ayat (1) dengan pengecualian obat-obatan, tetapi masih terdapat ambiguitas prinsip Exhaustion yang dianut apa dalam rezim Paten. Atas berbagai kekosongan hukum tersebut Penulis membandingkan ketentuan Hukum Indonesia dengan Hukum Amerika Serikat dalam ranah Intellectual Property bagi Hak Merek, Hak Paten, dan Hak Cipta untuk menemukan metode terbaik untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Hasil perbandingan dan analisa penulis adalah diperlukanya ketentuan Exhaustion dan Impor Paralel yang tegas dalam Hak Cipta Serta Hak Merek melalui penjelasan yang spesifik kapan terpicunya Exhaustion, dalam konteks Hak Merek juga dapat dicontoh ketentuan Lever Rule AS, bagi UU Hak Paten perlu kejelasan mengenai doktrin Exhaustion untuk memberi kejelasan mengenai kebolehan Post-sale Restriction atau perjanjian pengendalian distribusi setelah penjualan.

With the development of the application of Intellectual Property Law in the global market, as well as the increase in international trade, two legal concepts have emerged in the IPR regime, namely Exhaustion, which is the loss of distribution rights of IPR-related goods, and Parallel Importation, which is the act of importing IPR-related goods into a country where the IPR of the goods has been registered. There are two forms of the Exhaustion principle; National Exhaustion where the right to distribution of goods is only lost in the country of origin, which if sales are made from abroad then the distribution rights still exist and parallel imports can be prohibited, and International Exhaustion where the right to distribution of goods wherever the goods are sold and Parallel Imports are allowed. In this study, the author will examine how the principle of Exhaustion and Parallel Imports adopted by the Copyright, Trademark Rights, and Patent Rights regimes in Indonesia, the results of the research found are that there is a legal vacuum of the Exhaustion principle and Parallel Import arrangements in the Copyright regime through Law No. 28 of 2014 and Trademark Rights through Law No. 20 of 2016. In the context of the Patent Law, it explicitly prohibits Parallel Imports through the provisions of Article 160 paragraph (1) with the exception of medicines, but there is still ambiguity as to what Exhaustion principle is adopted in the Patent regime. For the various legal lacunae, the author compares the provisions of Indonesian Law with United States Law in the realm of Intellectual Property for Trademark Rights, Patent Rights, and Copyright to find the best method to fill the legal lacunae. The results of the comparison and the author's analysis are the need for strict Exhaustion and Parallel Import provisions in Copyright and Trademark Rights through a specific explanation of when Exhaustion is triggered, in the context of Trademark Rights can also be emulated by the provisions of the US Lever Rule, for the Patent Rights Act it is necessary to clarify the doctrine of Exhaustion to provide clarity on the permissibility of Post-sale Restriction or distribution control agreements after sales. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arianne Astrinia
"Skripsi ini membahas mengenai perbandingan konsep pelanggaran paten yang diatur di Indonesia dengan Amerika Serikat. Bentuk pelanggaran paten yang diatur di Indonesia mengacu kepada ketentuan yang menyebutkan hak-hak pemegang paten dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001. Sementara Amerika Serikat mengatur bentuk pelanggaran paten ke dalam pasal tersendiri, serta membaginya ke dalam dua jenis yakni pelanggaran paten langsung dan tidak langsung.
Penelitian ini menunjukan bahwa ruang lingkup perlindungan paten yang diatur di Indonesia, tidak sekomprehensif pengaturan paten di Amerika Serikat, dengan tidak diaturnya bentuk pelanggaran paten tidak langsung di dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001. Adapun dalam rangka mempertajam perbedaan konsep pelanggaran paten, objek yang dianalisa adalah sengketa pelanggaran paten obat.

This thesis compares the concept of patent infringement regulated in Indonesia and United States of America. Indonesia patent infringement's concept refers to clauses of patent holder's rights as stated in Article 16 Law Number 14 of 2001. In the other hand, United States of America regulates patent infringement in a specific article that distinguish direct infringement and indirect infringement.
This research discovered that the scope of patent protection in Indonesia does not as comprehensive as United States. Drug patent infringement is also analized in order to exacerbating the difference of patent infringement in Indonesia and United States.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57093
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Aidhya Diory Amamie
"Perkembangan teknologi yang pesat belakangan ini menghasilkan teknologi Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (“AI”) yang semakin canggih dan memasuki kehidupan manusia secara ekstensif. Saat ini telah bermunculan teknologi AI yang dapat membuat karya-karya seni seperti lukisan dan tulisan. Tidak jarang masyarakat kemudian memanfaatkan karya-karya seni buatan AI tersebut, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan komersial yang menimbulkan manfaat ekonomi. Peristiwa ini menyebabkan timbulnya diskusi mengenai kedudukan karya seni yang dibuat oleh AI menurut Hukum Kekayaan Intelektual, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, seperti apakah karya tersebut dapat dilindungi Hak Cipta dan siapa Pencipta atau Pemegang Hak Ciptanya. Penelitian ini menganalisis peristiwa pemanfaatan ekonomi atas karya seni buatan AI serta pihak-pihak yang berhak atas manfaat ekonomi tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa dengan mempertimbangkan teknologi AI terdiri dari dua komponen yaitu data dan program, maka sejauh ini pemrogram yang memiliki kendali atas pemanfaatan ekonomi karya-karya seni yang dibuat oleh AI.

Recent rapid technological advancements have result in Artificial Intelligence (“AI”) technology becoming increasingly sophisticated and entering human life extensively. Currently, AI technology has emerged that can create works of art such as paintings and writing. It is not uncommon for people to use works of art created by AI, both for personal interests and for commercial purposes that generate economic benefits. Such happening has led to discussions regarding the status of works of art created by AI according to Intellectual Property Law, both in Indonesia and in other countries, such as whether these works can be protected by copyright and who the creator or copyright holder is. This research analyzes the economic use of AI-made works of art as well as the parties entitled to these economic benefits. This research is normative research. In this research it was found that considering AI technology consists of two components, namely data and programs, so far the programmer has control over the economic use of AI-made works of art."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adityawardhana Putra
"Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia tidak mengenal secara eksplisit mengenai Kuasi Kontrak. Namun, Kuasi Kontrak dapat dipersamakan dengan ketentuan yang mengatur mengenai Negotiorum Gestio (Perwakilan Sukarela) dan Solutio Indebiti (Pembayaran yang tidak wajib) pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Skripsi ini akan membandingkan hukum kontrak di Indonesia dengan sistem hukum Common law yakni mengenai ketentuan mengenai Negotiorum Gestio dan Solutio Indebiti dengan Kuasi Kontrak sebagai Equitable Remedies di Inggris dan Amerika Serikat. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat persamaan dan perbedaan kuasi kontrak dalam hal pengertian, syarat, dan bentuk pemulihannya. Adanya perbedaan dan persamaan yang ditermukan dalam penelitian ini adalah akibat dari adanya perbedaan tradisi hukum yang dianut oleh ketiga negara.

Indonesian Civil Code did not openly recognize the term of Quasi Contract. However, the concept of Quasi Contract are identical with the provisions regarding Negotiorum Gestio (Managements of another's affais) and Solutio Indebiti in the Indonesian Civil Code. This Paper compares the law of contracts in Indonesia with Common Law, regarding the provisions of Negotiorum Gestio and Solutio Indebiti (Payment of Something not Owed) with Quasi Contract as an Equitable Remedies in England and United States. This study is a normative juridical research. Results of this study shows that there are similarity and differences concerning Quasi Contract in sense of Definition, Terms, and Remedies. Similaritis and differences found, are the results of the difference law tradition that the three countries abide to."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Prima Ramadani
"Bootlegging, fenomena dalam industri musik yang merupakan pelanggaran Hak Cipta, adalah aktivitas produksi dan distribusi rekaman musik tidak resmi. Rekaman ini biasanya mengandung materi atau karya yang belum pernah dirilis resmi oleh pencipta, menjadikannya sulit untuk dideteksi dan diidentifikasi sebagai pelanggaran. Transformasi ini menjadi semakin rumit dalam era digital, dimana Bootlegging menjadi dominan dalam format digital dan distribusinya merajalela melalui platform digital seperti YouTube dan Soundcloud. Kompleksitas ini diperparah oleh tantangan dalam identifikasi pelanggaran, yang timbul karena materi dalam produk bootleg seringkali belum resmi dirilis dan tidak terdaftar dalam database manapun. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan menggunakan data sekunder sebagai metode, berfokus pada analisis regulasi dan penerapan perlindungan hukum terhadap Bootlegging di bawah hukum hak cipta di Indonesia dan Amerika Serikat. Penelitian ini mencoba memahami dan mendalami perbedaan serta kesamaan antara kedua sistem hukum dalam mengatur dan menangani isu Bootlegging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Amerika Serikat telah melangkah jauh dalam mengatasi isu ini dengan mengadopsi Anti-Bootlegging Act dan Digital Millennium Copyright Act (DMCA). Sementara itu, Indonesia belum memiliki regulasi khusus mengenai Bootlegging, meskipun telah ada beberapa peraturan yang mencakup pelanggaran Hak Cipta secara umum. Walaupun kedua negara ini memiliki kerangka hukum yang berlaku untuk masalah ini, penelitian ini menunjukkan bahwa prosedur penanganan Bootlegging di Indonesia masih memerlukan peningkatan, terutama di era digital. Penelitian ini berusaha untuk memberikan pandangan baru tentang pengaturan dan penanganan Bootlegging di era digital, serta memberikan rekomendasi untuk peningkatan kebijakan dan penegakan hukum di Indonesia. Menyoroti signifikansi dan implikasi dari fenomena Bootlegging dalam konteks hukum hak cipta Indonesia dan Amerika Serikat, penelitian ini memfokuskan pada perlunya peningkatan dalam kebijakan dan penegakan hukum di Indonesia.

Bootlegging, an event in the musical realm signifying a breach of Copyright Law, involves the creation and distribution of unofficial music recordings. Frequently, these recordings encapsulate materials or compositions not formally released by their creators, making them elusive for infringement detection and identification. This challenge escalates in the digital era, where Bootlegging predominantly occurs in digital form, and its widespread dissemination transpires via digital platforms such as YouTube and Soundcloud. The intricacy is intensified by hurdles in infringement identification, mainly because the content within bootleg products often remains unreleased officially and unregistered in any database. This research, conducted via a normative juridical approach and leveraging secondary data, underscores the investigation of regulations and the implementation of legal protection against Bootlegging within the ambit of copyright legislation in Indonesia and the United States. The research endeavors to understand and examine the disparities and similarities between the two legal structures concerning the management and resolution of the Bootlegging issue. The research outcome suggests that the United States has made significant strides in addressing this issue by enacting the Anti-Bootlegging Act and the Digital Millennium Copyright Act (DMCA), which facilitate an efficacious takedown procedure. Conversely, Indonesia is yet to formulate specific regulations regarding Bootlegging, despite the presence of several regulations encapsulating general Copyright infringements. Despite both nations having relevant legal frameworks for this issue, the study highlights that the procedural handling of Bootlegging in Indonesia demands enhancement, predominantly in the digital era. This study seeks to proffer a novel viewpoint on the regulation and management of Bootlegging in the digital era, in addition to suggesting recommendations for enhancing policies and legal enforcement in Indonesia. By emphasizing the significance and implications of the Bootlegging phenomenon in relation to the copyright law context of Indonesia and the United States, the research underscores the need for advancement in policy and legal enforcement, particularly in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>