Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 61135 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Evelyn Kosasih
"Latar belakang: Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) yang mengandung zat aktif xanthorrhizol adalah salah satu tanaman herbal asli Indonesia yang memiliki efek anti candida albicans. Keamanan dan kualitas tanaman herbal dipengaruhi oleh kemampuannya mempertahankan karakteristik fisik, kimia serta biologisnya. Karakteristik biologis ekstrak etanol temulawak dapat diamati dengan pengujian kontaminasi mikroba. Tujuan: Menganalisis bagaimana pengaruh lingkungan tumbuh tanaman terhadap karakteristik biologis ekstrak etanol temulawak (EET). Metode: Ekstrak etanol temulawak yang berasal dari dua sumber yaitu Balitro Jawa Barat dan Materia Medica Jawa Timur disimpan selama 1 bulan dan 2 bulan pada suhu 4⁰C. Selanjutnya dilakukan pengenceran pada EET dengan metode serial dilution dan ditumbuhkan pada medium Plate Count Agar (PCA) kemudian dilakukan triplo. Media agar yang telah diberikan perlakuan berupa pemberian EET diinkubasi selama 48 jam pada suhu 37⁰C. Perhitungan jumlah koloni pada setiap agar dilakukan secara manual dan kemudian dimasukkan ke dalam rumus perhitungan koloni sehingga didapatkan satuan CFU/mL. Perbedaan jumlah koloni C. albicans yang dipapar EET dari sumber yang berbeda dianalisis secara statistik menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil: Ekstrak etanol temulawak yang berasal dari Balitro steril dan sepenuhnya tidak mengalami kontaminasi mikroba sedangkan ekstrak etanol temulawak yang berasal dari materia medica mengalami kontaminasi minimal yaitu sebesar 3 x 101 CFU/ml dan 2 x 102 CFU/ml setelah penyimpanan 1 bulan serta sebesar 3 x 101 CFU/ml setelah penyimpanan 2 bulan. Tidak ada perbedaan signifikan jumlah koloni C. albicans yang dipapar EET dari dua sumber berbeda (p ≥ 0,05). Kesimpulan: Perbedaan lingkungan tumbuh tanaman temulawak tidak mempengaruhi karakteristik biologis EET.

Background: One of the original Indonesian herbal plants is Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) which contains the active substance xanthorrhizol and has an anti-candida albicans effect. The safety and quality of herbal plants are influenced by their ability to maintain their physical, chemical and biological characteristics. Biological characteristics of temulawak ethanol extract can be observed by testing for microbial contamination. Aim: To determine the effect of herbs cultivation environment on the biological characteristics of temulawak ethanol extract. Methods: Ethanol extract of temulawak from two sources, Balitro, West Java and Materia Medica, East java, were stored for 1 month and 2 months at 4⁰C temperature. Subsequently, the ethanol extract of temulawak was diluted using the serial dilution method and grown on Plate Count Agar (PCA) medium, then carried triplo. The media which had been treated in the form of temulawak ethanol extract were incubated for 48 hours at 37⁰C temperature. The colonies calculation on each agar was count manually and then entered into the colony calculation formula to obtain CFU/mL units. The difference of C. albicans colony number after being exposed to Temulawak ethanol extract from two different sources were analyzed by the Mann-Whitney statistical test. Results: Ethanol extract of temulawak from Balitro was sterile and entirely contamination free while ethanol extract of temulawak from Materia Medica had minimal contamination, specifically 3 x 101 CFU/mL and 2 x 102 CFU/mL after 1 month and 3 x 101 CFU/mL after 2 months of storage. No significant difference of C. albicans colony number after being exposed to the two Temulawak ethanol extract derived from different source (p ≥ 0,05). Conclusion: Different cultivation environment of the Temulawak plant does not significantly affect the biological characteristic of Temulawak ethanol extract."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldriyety Merdiarsy
"Pembentukan biofilm dan aktivitas enzim proteinase merupakan faktor virulensi utama dari Candida albicansdalam menyebabkan infeksi oportunistik.Temulawak mengandung zat aktif xanthorrhizolyang bersifat antifungal.Tujuan: Menganalisis pengaruh eradikasi biofilmC. albicans fase awal, menengah dan maturasi oleh ekstrak etanol temulawak terhadap aktivitas enzim proteinase C. albicans ATCC 10231. Metode: Pemaparan ekstrak etanol temulawak pada biofilm C. albicans berbagai fase biofilm dan dilanjutkan uji aktivitas enzim proteinase. Hasil: Zona aktivitas enzim proteinase C. albicans pada kelompok uji yang telah dipaparkan Kadar Eradikasi Biofilm Minimal (KEBM) pada ekstrak etanol temulawak memiliki aktivitas lebih sedkit dibandingkan kontrol negatif pada semua fase dan setara dengan Nystatin.Kesimpulan: Eradikasi berbagai fase Biofilm C. albicansoleh ekstrak etanol temulawak sejalan dengan penurunan aktivitas enzim proteinase.Latar belakang: Pembentukan biofilm dan aktivitas enzim proteinase merupakan faktor virulensi utama dari Candida albicansdalam menyebabkan infeksi oportunistik.Temulawak mengandung zat aktif xanthorrhizolyang bersifat antifungal.Tujuan: Menganalisis pengaruh eradikasi biofilmC. albicans fase awal, menengah dan maturasi oleh ekstrak etanol temulawak terhadap aktivitas enzim proteinase C. albicans ATCC 10231. Metode: Pemaparan ekstrak etanol temulawak pada biofilm C. albicans berbagai fase biofilm dan dilanjutkan uji aktivitas enzim proteinase. Hasil: Zona aktivitas enzim proteinase C. albicans pada kelompok uji yang telah dipaparkan Kadar Eradikasi Biofilm Minimal (KEBM) pada ekstrak etanol temulawak memiliki aktivitas lebih sedkit dibandingkan kontrol negatif pada semua fase dan setara dengan Nystatin.Kesimpulan: Eradikasi berbagai fase Biofilm C. albicansoleh ekstrak etanol temulawak sejalan dengan penurunan aktivitas enzim proteinase.

The formation of biofilm and activity of proteinase enzymes are the main virulence factors of Candida albicans in causing opportunistic infections. Javanese turmeric contains an active substance xanthorrhizol that had been reported to have antifungal effect. Objective: To analyze the effect of Candida albicans biofilm eradication on the initial, intermediate and maturation phase by Javanese turmeric ethanol extract to the proteinase enzyme activity of C. albicans ATCC 10231. Methods: The Exposure of Javanese turmeric ethanol extract on Candida albicans biofilm in any phases and followed by the proteinase enzyme activity assay. Results: Proteinase enzym activity zone of C. Albicans on test group that had been exposed with Minimum Bactericidal Concentration (MBC) of Javanese Turmeric Ethanol Extract has less enzyme activity than negative controls and equivalent to Nystatin. Conclusion: Eradication on any phase of C. albicans by Temulawak is in accordance with decrased proteinase enzyme activity."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Nur Tsuraya
"Latar Belakang: C. albicans rongga mulut adalah flora normal yang dapat berubah
menjadi patogen sehingga menyebabkan kandidiasis oral. Ekstrak etanol temulawak
dengan kandungan utama xanthorrhizol dilaporkan dapat menginhibisi dan
mengeradikasi biofilm C. albicans pada konsentrasi 15%, serta menurunkan aktifitas
enzim fosfolipase dan proteinase C. albicans. Selanjutnya, ekstrak etanol temulawak
diformulasikan dan dikembangkan menjadi bentuk sediaan obat tetes mikroemulsi.
Dalam pengembangan bentuk sediaan obat, maka diperlukan penetapan formulasi dan
uji stabilitas biologis, fisik, dan kimia. Tujuan: Menetapkan formulasi dan
mengevaluasi stabilitas fisik dan kimia obat tetes mikroemulsi ekstrak etanol
temulawak Metode: Ekstrak etanol temulawak 15% diformulasikan menjadi sediaan
obat tetes mikroemulsi. Kemudian stabilitas fisik dan kimia dievaluasi 2-4 minggu
pada 3 suhu penyimpanan yang berbeda yaitu 4±2oC; 28±2oC; dan 40±2oC. Selanjutnya
stabilitas fisik berupa organoleptis, homogenitas, pH, viskositas, dan tipe aliran
dievaluasi. Pada stabilitas kimia dievaluasi perubahan kadar xanthorrhizol setelah 2
dan 4 minggu, menggunakan metode GC-MS. Hasil: Formulasi obat tetes mikroemulsi
mengandung ekstrak etanol temulawak 15% memiliki organoleptik; larutan kuning
kecoklatan, rasa pahit, dan berbau khas jamu, homogenitas; terjadi pemisahan antara
komponen minyak dan air, pH berkisar 6,3-6,9, dan tipe alir pseudoplastis pada 2-4
minggu dengan 3 suhu penyimpanan. Viskositas menurun seiring dengan peningkatan
suhu penyimpanan. Kadar xanthorrhizol menurun setelah 2-4 minggu pada ketiga suhu
penyimpanan. Kesimpulan: Adanya pemisahan komponen minyak dan air serta
penurunan kadar zat aktif dalam kurun 2-4 minggu mendasari kesimpulan bahwa
formulasi obat tetes ekstrak etanol temulawak 15% tidak stabil secara fisik dan kimia
setelah disimpan selama 2 dan 4 minggu sehingga masih diperlukan reformulasi.

Introduction: C. albicans is a normal flora in oral cavity that can be pathogenic that
causing oral candidiasis. Curcuma xanthorrhiza ethanoic extract has a main
component, xanthorrhizol that was reported to be able to inhibit and eradicate C.
albicans biofilms at a 15% concentration and reduce the activity of phospholipase and
proteinase enzymes of C. albicans. Furthermore, curcuma xanthorrhiza ethanoic extract
is formulated and developed into microemulsion oromucosal drops. In the development
of the drug, it is necessary to determine the formulation and test the stability in
biological, physical, and chemical. Objective: Determining the formulation and
evaluating the physical and chemical stability of microemulsion oromucosal drops
containing 15% curcuma xanthorrhiza ethanoic extract. Methods: Curcuma
xanthorrhiza ethanoic extract is formulated into microemulsion oromucosal drops
containing 15% curcuma xanthorrhiza ethanoic extract. Then, the physical and
chemical stability are evaluated for 2-4 weeks in 3 different temperature, that is 4 ±
2oC; 28 ± 2oC; and 40 ± 2oC. Furthermore, the physical stability in the form of
organoleptic, homogeneity, pH, viscosity, and flowing type are evaluated. Chemical
stability is evaluated the xanthorrhizol level using the GC-MS method. Results:
Microemulsio oromucosal drops containing 15% curcuma xanthorrhiza ethanoic
extract have organoleptic; brownish-yellow solution, bitter taste, and smells like herb,
homogeneity; there is a separation between the oil and water phase, pH ranges from
6,3-6,9, and flowing type are pseudoplastic. The viscosity value decreases with the
increasing of storage temperature. Xanthorrhizol level are decreasing after 2-4 weeks
of storage in the 3 different temperature. Conclusion: The separation between the oil
and water phase and degradation of xanthorrhizol level after stored 2-4 weeks are the
underlying conclusion that formulation of oromucosal drops containing curcuma
xanthorrhiza ethanoic extract are not stabile in physical and chemical after stored for 2
and 4 weeks so that the drugs need to be reformulated.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ranny Rahaningrum Herdiantoputri
"Biofilm C. albicans memiliki matriks ekstraseluler yang mempersulit penetrasi agen antifungal sintetik. Matriks ini diproduksi pada fase filamentasi dan terakumulasi pada fase maturasi. Temulawak merupakan obat herbal yang banyak digunakan di Indonesia dan ekstraknya telah dilaporkan memiliki efek antifungal terhadap C. albicans planktonik karena memiliki senyawa aktif yaitu xanthorrhizol. Penelitian ini dilakukan dengan MTT assay untuk menghitung viabilitas biofilm C. albicans setelah pemaparan dengan ekstrak etanol temulawak secara in vitro. Hasil yang didapatkan menunjukkan ekstrak etanol temulawak memiliki efek antifungal yang setara dengan nystatin terhadap biofilm C. albicans fase filamentasi dan maturasi pada konsentrasi 35%.

Extracellular matrix in C. albicans biofilm preventing access of synthetic antifungal agents to C. albicans biofilm. This matrix is produced during filamentation phase and accumulated on maturation phase. Java turmeric is a common Indonesian herbal medicine and has been reported to have antifungal effect against planktonic C. albicans for its active component, xanthorrhizol. This research was conducted using MTT assay to count C. albicans biofilm viability after in vitro exposure to Java turmeric ethanol extract. The result showed it has an equal antifungal effect to nystatin against C.albicans biofilm on filamentation and maturation phase in 35% of concentration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathaniel Melvin
"Latar belakang: Temulawak yang mengandung xanthorrhizol diketahui memiliki efek antijamur. Xanthorrhizol dilaporkan mampu mengeradikasi biofilm Candida albicans.
Tujuan: Menganalisis korelasi antara efek hambat ekstrak etanol temulawak EET dengan perkembangan biofilm C. albicans isolat klinis pada berbagai fase, serta mengamati gambaran mikroskopis biofilm C. albicans.
Metode: Uji MTT digunakan untuk menguji viabilitas C. albicans pada biofilm dan dikonversikan persen hambat ekstrak etanol temulawak KHBM50 . Efek EET terhadap gambaran mikroskopis setiap fase perkembangan biofilm C. albicans diamati dengan Scanning Electron Microscopy.
Hasil: Nilai Konsentrasi Hambat Biofilm Minimal KHBM50 EET terhadap biofilm C. albicans isolat klinis pada fase awal, menengah, dan maturasi secara berturut-turut adalah 20 , 30 , dan 35 . Gambaran mikroskopis pada setiap fase perkembangan biofilm C. albicans terlihat penurunan jumlah sel dan densitas C. albicans, serta terhambatnya pembentukan filamen dibandingkan dengan kelompok tanpa perlakuan.
Kesimpulan: EET mampu menghambat perkembangan fase awal, menengah, dan maturasi biofilm C. albicans isolat klinis. Semakin matur fase perkembangan biofilm, C. albicans akan semakin resisten terhadap ekstrak temulawak. Paparan ekstrak temulawak memengaruhi kemampuan C. albicans isolat klinis dalam membentuk filamen serta menurunkan jumlah sel dan densitas biofilm.

Background: Javanese turmeric which contains xanthorrhizol is known to have antifungal effect. Xanthorrhizol is reported to be able to eradicate Candida albicans' biofilm formation.
Objective: Analyze the correlation between inhibition concentration of Javanese turmeric ethanol extract JTEE and each development phase of C. albicans' biofilm, and observing microscopic appearance of each phase of C. albicans biofilm.
Method: MTT assay was used to test the viability of C. albicans towards biofilm and converted to Minimum Biofilm Inhibitory Concentration MBIC50 . JTEE' s effect on each phase of microscopic appearance of C. albicans' biofilm is observed by Scanning Electron Microscopy.
Result: MBIC50 of JTEE towards development of clinical isolate of C. albicans' biofilm in the early adhesion and proliferation , intermediate, and maturation phase as follows 20, 30, and 35 respectively. The microscopic appearance on each phase of C. albicans' biofilm development shows decrease in cell number and density, as well as inhibiton of filament formation compared with control group.
Conclusion: JTEE can inhibit the development phases of C. albicans' biofilm. The potency of JTEE to inhibit development of C. albicans' biofilm was decreased along with the maturation of biofilm. The JTEE' s exposure leads to changes of microscopic appearance of C. albicans' biofilm development.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rista Lewiyonah
"Salah satu faktor virulensi Candida albicans adalah kemampuannya dalam membentuk biofilm sehingga meningkatkan resistensi terhadap agen antifungal. Fase awal merupakan prasyarat terbentuknya biofilm serta ditandai dengan adhesi dan proliferasi sel C. albicans. Temulawak merupakan tanaman khas Indonesia dan dilaporkan memiliki efek antifungal karena mengandung zat aktif yaitu xanthorrhizol. Penelitian ini dilakukan dengan MTT assay untuk mengukur viabilitas C. albicans pada biofilm setelah pemaparan ekstrak etanol temulawak secara in vitro.
Hasil penelitian menunjukkan ekstrak dengan konsentrasi 35% dapat menurunkan viabilitas C. albicans setara dengan nystatin. Ekstrak etanol temulawak terbukti memiliki efek antifungal terhadap C. albicans pada biofilm fase adhesi dan proliferasi.

Candida albicans has the ability to form biofilm that increase resistance to antifungal agents. Early phase is a prerequisite, characterized by adhesion and proliferation. Java turmeric is an Indonesian medicinal plants and reported to have antifungal effect due to its active component, xanthorrhizol. This study was conducted using MTT assay to measure viability of C. albicans in biofilm after exposure to Java Turmeric ethanol extract.
The result showed extract in 35% concentration can reduce the viability of C. albicans equal to nystatin’s capability. Java Turmeric ethanol extract has antifungal effect against C. albicans in adhesion and proliferation phase of biofilm.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S641607
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Meuthia Arifin
"Candida albicans merupakan salah satu patogen umum penyebab kandidiasis invasif yang memiliki tingkat mortalitas yang cukup tinggi sehingga diperlukan metode deteksi yang cepat, sensitif, dan spesifik untuk mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang tepat. qPCR berbasis intercalating dye dapat menjadi salah satu metode yang digunakan untuk pendeteksian Candida albicans karena waktu pemrosesannya yang cepat dan dapat menggunakan volume sampel yang sedikit. Tetapi, penggunaan intercalating dye memiliki kelemahan yaitu dapat berikatan pada semua DNA untai ganda, sehingga diperlukan primer yang spesifik. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode deteksi Candida albicans menggunakan qPCR berbasis intercalating dye dengan melakukan perancangan primer spesifik untuk Candida albicans, pengujian spesifisitas primer terhadap spesies fungi lain, dan pengujian sensitivitas metode qPCR menggunakan sampel darah utuh. Hasil perancangan primer spesifik merupakan primer Ca2 yang memiliki panjang 22 dan 19 oligonukleotida untuk deteksi qPCR. Primer yang dirancang menargetkan gen ITS yang merupakan housekeeping gene untuk fungi. Hasil uji spesifisitas primer terhadap tiga spesies Candida lain dan satu spesies Malassezia menunjukkan melting curve yang memiliki puncak tunggal pada sampel yang terdapat DNA Candida albicans dan DNA campuran, yang menandakan primer secara spesifik mendeteksi Candida albicans. Hasil uji sensitivitas pada darah utuh menunjukkan hasil bahwa metode qPCR berbasis intercalating dye menggunakan primer Ca2 dapat mendeteksi DNA Candida albicans dalam sampel darah utuh hingga batas 100 sel/mL.

Candida albicans is a common pathogen that can cause invasive candidiasis which has a fairly high mortality rate so a fast, sensitive, and specific detection method is needed to get the right diagnosis and treatment. Intercalating dye-based qPCR can be one of the methods used for the detection of Candida albicans because of its fast-processing time and use of a small volume sample. However, the use of intercalating dye has a disadvantage, as it can bind to all double-stranded DNA, so a specific primer is needed. This study aims to develop a Candida albicans detection method using intercalating dye-based qPCR by designing a specific primer for Candida albicans, testing the primer specificity for other fungal species, and testing the sensitivity of the qPCR method using whole blood samples. The results of the design of specific primers are Ca2 primers which have lengths of 22 and 19 oligonucleotides for qPCR detection. The primers are designed to target the ITS gene which is a housekeeping gene for fungi. The results of the primer specificity test for three other Candida species and one Malassezia species showed a melting curve that had a single peak in the sample containing Candida albicans DNA and mixed DNA, which indicated that the primer specifically detected Candida albicans. The results of the sensitivity test showed that the intercalating dye-based qPCR method using Ca2 primers could detect Candida albicans DNA in whole blood samples up to a limit of 100 cells/mL."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ukhti Maira
"Latar belakang: Temulawak adalah tanaman obat asli Indonesia yang mengandung zat aktif xanthorrhizol dan memiliki efek antifungal. Dengan membentuk biofilm, Candida albicans menjadi virulen dan semakin virulen ketika mencapai fase maturasi.
Tujuan: Mengetahui potensi ekstrak etanol temulawak dalam menghambat biofilm C. albicans isolat klinis dan C. albicans ATCC 10231 pada fase maturasi.
Metode: Pemaparan ekstrak etanol temulawak berbagai konsentrasi pada biofilm C. albicans dimulai pada 1.5 jam setelah inkubasi dan dilanjutkan selama 48 jam. MTT assay digunakan untuk mengukur persentase viabilitas sel C. albicans pada biofilm yang kemudian dikonversi menjadi persentase inhibisi biofilm oleh ekstrak temulawak.
Hasil: Terhadap C. albicans isolat klinis, Kadar Hambat Minimum KHM dan Kadar Bunuh Minimum KBM ekstrak etanol temulawak adalah 15 dan 30, sedangkan terhadap C. albicans ATCC 10231 adalah 20 dan 35. Nilai Kadar Hambat Biofilm Minimum KHBM50 ekstrak etanol temulawak adalah 35 terhadap C. albican isolat klinis dan 40 terhadap C. albicans ATCC 10231. Dibutuhkan konsentrasi ekstrak etanol temulawak yang lebih tinggi untuk menghambat C. albicans ATCC 10231 daripada untuk menghambat C. albicans isolat klinis.
Kesimpulan: Baik terhadap C. albicans isolat klinis maupun C. albicans ATCC 10231, ekstrak etanol temulawak berpotensi menghambat biofilm C. albicans fase maturasi.

Background: Javanese turmeric is an Indonesian medicinal plant which contains xanthorrhizol had been reported to have antifungal effect. By forming biofilms, C. albicans becomes virulent and more virulent as it reaches the maturation phase.
Objective: To investigate the capability of Javanese turmeric ethanol extract in inhibiting the formation of maturation phase C. albicans biofilm both of clinical isolate and ATCC 10231.
Methods: The Exposure of various concentrations of Javanese turmeric ethanol extract to C. albicans biofilm started at 1.5 hours after incubation and continued for 48 hours. MTT assay was used to measure the percentage viability of C. albicans cells on the biofilm which was then converted into the percentage of biofilm inhibition.
Results: Against C. albicans clinical isolate, Minimum Inhibition Concentration MIC and Minimum Fungicidal Concentration MFC of javanese turmeric ethanol extract was 15 and 30 whereas against C. albicans ATCC 10231 was 20 and 35. Minimum Biofilm Inhibition Concentration MBIC50 of javanese turmeric ethanol extract was 35 against C. albicans clinical isolate and 40 against C. albicans ATCC 10231 biofilm. Higher concentration of the extract was required to inhibit C. albicans ATCC 10231 compared to the concentration to inhibit C. albicans clinical isolate.
Conclusion: Both against C. albicans clinical isolat and C. albicans ATCC 10231, javanese turmeric ethanol extract has potential in inhibiting mature phase of C. albicans biofilm.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulvi Alviani
"Latar Belakang: Kandidiasis Oral adalah infeksi pada rongga mulut yang terutama disebabkan oleh jamur C. albicans. C. albicans dalam bentuk biofilm bersifat virulen. Pembentukan biofilm C. albicans diawali dengan proses adhesi sel diikuti dengan proliferasi dan pembentukan biofilm. Temulawak Curcuma Xanthorrhiza Roxb. merupakan tanaman obat asli Indonesia yang mengandung zat aktif xanthorrhizol yang memiliki efek antijamur.
Tujuan: Menganalisis efek hambat ekstrak etanol temulawak terhadap biofilm C. albicans pada fase awal.
Metode: Paparan ekstrak etanol temulawak diberikan pada kultur C. albicans isolate klinis dan ATCC 10231 usia 1.5 jam selama 6 jam untuk mencapai fase awal. Viabilitas C. albicans diuji dengan MTT assay.
Hasil: KHM Ekstrak etanol temulawak terhadap C. albicans isolat klinis dan ATCC 10231 secara berturut-turut adalah 15 dan 20 . KHBM50 ekstrak etanol temulawak terhadap biofilm C. albicans isolat klinis dan ATCC 10231 pada fase awal secara berturut-turut adalah 20 dan 25.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Ekstrak Etanol Temulawak dapat menghambat biofilm C. albicans pada fase awal.

Background: Oral Candidiasis is an oral cavity infection caused by C. albicans. C. albicans in the form of biofilm is virulent. C. albicans biofilm formation initially starts with the fungal cell adhesion followed by the proliferation and the formation of biofilm. Javanese Turmeric Curcuma Xanthorrhiza Roxb. is an Indonesian medicinal plant that contains xanthorrhizol as the active substance which has antifungal effects.
Objective: To investigate the inhibitory effect of Javanese turmeric ethanol extract on C. albicans biofilm in the initial phase.
Methods: exposing Javanese Turmeric ethanol extract was given to C. albicans culture aged 1.5 hours for 6 hours to achieve initial phase of biofilm. The viability of C. albicans was assesed by MTT assay.
Result: The MIC Minimum Inhibitory Concentration of Javanese turmeric ethanol extract against C. albicans clinical isolated and ATCC 10231 were 15 and 30 , respectively. The concentration of temulawak ethanol extract which had MBIC50 value on C. albicans clinical isolated and ATCC 10231 in the adhesion phase were 20 and 25, respectively.
Conclusion: The results showed Javanese turmeric ethanol extract could inhibit C. albicans biofilm in initial phase.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Conny Riana Tjampakasari
"Ruang lingkup dan Metodologi : Penyebab utama kasus kandidosis adalah Candida albicans. Penanggulangan penyakit ini biasanya dikaitkan dengan pengobatan. Pada umumnya antimikotik yang sering digunakan untuk pengobatan adalah antimikotik golongan azol yaitu ketokonazol dan flukonazol.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ketokonazol dan flukonazol terhadap pertumbuhan Candida albicans. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Macrodilution/Tube Method. Pengujian terhadap ketokonazol dilakukan dengan konsentrasi antara 0,25 µg/ml sampai dengan konsentrasi terendah 128 µg/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam, 2 x 24 jam dan 3 x 24 jam dalam waktu pengamatan 24 dan 48 jam. Pengujian terhadap flukonazol dilakukan dengan konsentrasi antara 0,1 µg/ml sampai dengan konsentrasi 51,2 µg/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam, 2 x 24 jam dan 3 x 24 jam, dalam waktu pengamatan 24 dan > 48 jam.
Hasil dan Kesimpulan : Ketokonazol berpengaruh terhadap pertumbuhan Candida albicans dengan membunuh pada konsentrasi 32 µg/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam dan bersifat menghambat pertumbuhannya pada konsentrasi 8 ug/ml dengan waktu pemaparan 1 x 24 jam. Flukonazol berpengaruh terhadap pertumbuhan Candida albicans dengan membunuh pada konsentrasi 12,8 µg/ml dengan waktu pemaparan 2 x 24 jam dan konsentrasi 6,4 ug/ml dengan waktu pemaparan 3 x 24 jam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini ketokonazol bersifat menghambat dan membunuh pertumbuhan Candida albicans dan flukonazol bersifat membunuh pertumbuhannya."
Depok: Universitas Indonesia, 2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>