Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 183031 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rialta Hamda
"Background. One way to reduce pain during epidural needle insertion is infiltration of lidocaine using a needle. However, infiltration of lidocaine using the needle alone is a painful process. Free needle infiltration of lidocaine can be an alternative to reduce epidural needle insertion pain. The study of Gozdemir et al. found that 10% lidocaine infiltration without needle was less painful than 2% lidocaine infiltration with a 27G needle with no significant difference in analgesia effect during epidural needle insertion. This study aimed to compare infiltration of lidocain with and without needle for epidural needle insertion in a double-blind study, using a Tuohy needle, Comfort-inTM injector, and wider surgical group as novelty from previous studies.
Methods. This study was a double blind randomized controlled trial. Data collection was carried out consecutively on 84 subjects with 42 subjects in each group of lidocaine infiltration without needles and lidocaine infiltration with 23G needles. The effectiveness of analgesia was assessed from three variables like pain with a Numeric Pain Rating Scale (NPRS) of 0 to 10 during lidocaine infiltration, pain with NPRS during epidural needle insertion, and patient movement during epidural needle insertion.
Results. Lidocaine infiltration without needle was less painful with an NPRS of 0 (0-6.0) than lidocaine infiltration with needle with an NPRS of 2.5 (0-7.0) with a p value of 0.0001. Epidural needle insertion was more painful for the lidocaine infiltration without needle group with an NPRS of 6.0 ± 3.1 than the lidocaine infiltration with needle group with an NPRS of 4.0 ± 3.6 with a p value of 0.007. There were 20 patients (47.6%) who moved during epidural needle insertion in the lidocaine infiltration without needle group and 12 patients (28.6%) in the lidocaine infiltration with needle group with a p value of 0.116. No patient experienced any side effects when lidocaine infiltration was performed. There was no significant difference between the two groups for satisfaction.
Conclusions. Infiltration of lidocaine without needle was shown to be ineffective as analgesia in epidural needle insertion because only one of the three variables of analgesia effectiveness were met in this study

Latar belakang. Salah satu cara untuk mengurangi nyeri saat insersi jarum epidural adalah infiltrasi lidokain menggunakan jarum. Namun infiltrasi lidokain menggunakan jarum sendiri adalah proses yang menimbulkan nyeri. Infiltrasi lidokain tanpa jarum dapat menjadi alternatif untuk mengurangi nyeri insersi jarum epidural. Penelitian Gozdemir menemukan bahwa infiltrasi lidokain 10% tanpa jarum lebih tidak nyeri dibanding infiltrasi lidokain 2% dengan jarum 27G dengan efek analgesia yang tidak berbeda bermakna saat dilakukannya insersi jarum epidural. Penelitian ini ingin meneliti perbandingan infiltrasi lidokain 2% tanpa jarum dan dengan jarum sebagai analgesia pada insersi jarum epidural dengan cara double blind, menggunakan jarum Tuohy, alat injektor Comfort-inTM, dan pada kelompok operasi yang lebih luas sebagai pembeda dengan studi yang sudah dilakukan sebelumnya.
Metode. Penelitian ini merupakan randomized controlled trial dengan double blind. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada 84 subjek dengan 42 subjek pada masing-masing kelompok infiltrasi lidokain tanpa jarum dan infiltrasi lidokain dengan jarum 23G. Efektifitas analgesia dinilai dari tiga variabel yaitu nyeri dengan Numeric Pain Rating Scale (NPRS) 0 sampai dengan 10 saat dilakukannya infiltrasi lidokain, nyeri dengan NPRS saat insersi jarum epidural, dan gerakan pasien saat dilakukannya insersi jarum epidural.
Hasil. Infiltrasi lidokain tanpa jarum lebih tidak nyeri dengan NPRS 0 (0-6,0) dibanding infiltrasi lidokain dengan jarum dengan NPRS 2,5 (0-7,0) dengan nilai p 0,0001. Insersi jarum epidural dirasakan lebih nyeri oleh kelompok tanpa jarum dengan NPRS 6,0 ± 3,1 dibanding kelompok dengan jarum dengan NPRS 4,0 ± 3,6 dengan nilai p 0,007. Pasien yang bergerak saat insersi jarum epidural pada kelompok tanpa jarum sebanyak 20 pasien (47,6%) dan kelompok dengan jarum sebanyak 12 pasien (28,6%) dengan nilai p 0,116. Tidak ada pasien yang mengalami efek samping saat infiltrasi lidokain dilakukan. Tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok untuk kepuasan.
Simpulan. Infiltrasi lidokain tanpa jarum terbukti tidak efektif sebagai analgesia pada insersi jarum epidural karena hanya satu dari tiga variabel efektifitas analgesia yang terpenuhi pada penelitian ini.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pryambodho
"Latar belakang: Teknik CIEA untuk analgesia persalinan belum banyak digunakan dibandingkan teknik ILA yang sudah lebih populer. Secara teori teknik CIEA dapat memberikan analgesia yang lebih stabil dibandingkan ILA. Untuk itu dilakukan uji klinis prospektif untuk membandingkan keefektifan teknik CIEA menggunakan pompa infus portabel dengan teknik ILA sebagai kontrol.
Metode: Sebanyak 72 parturien yang memenuhi krnteria penerimaan dibagi secara randomisasi menjadi 2 kelompok yaitu 36 parturien mendapat teknik ILA menggunakan ropivakain 3,75mg plus martin 0,2mg sedangkan 36 Iainnya mendapat teknik CIEA menggunakan ropivakain O,15% plus fentanil 2 µglmL untuk analgesia persalinan. Dilakukan pencatatan berkala sejak sebelum tindakan sampai 12 jam pasca tindakan penelitian terhadap variabel-variabel visual analogue pain scale (VAPS), skor Bromage, efek samping yang ditimbulkan (hipotensi, gangguan buang air kecil, pruritus dan mual-muntah), lama persalinan, jenis persalinan, skor APGAR bayi yang dilahirkan, dan tingkat kepuasan parturien.
HasiI: Secara deskriptif teknik CIEA menghasilkan nilai median VAPS yang lebih rendah dibandingkan ILA untuk menit ke 30,60,120,300 dan kala II ( 2 vs 3; 1 vs 3,5 ; 2 vs 5; 2 vs 5; dan 3 vs 6). Teknik CIEA menghasilkan skor Bromage 0 yang lebih besar dibandingkan ILA namun secara statistik tidak berbeda bermakna (83,3% vs 77,8%, p>0,05). Teknik CIEA menghasilkan efek samping yang pada umumnya lebih sedikit dibandingkan teknik ILA (hipotensi 0% vs 6,3%; gangguan buang air kecil 26,7% vs 50,0%; pruritus 30,0% vs 28,1%; mual-muntah 63,3% vs 96,9%) namun secara statistik hanya efek samping mual-muntah yang berbeda bermakna (p<0,05). Lama persalinan kala I (230,54 menit) pada teknik CIEA Iebih panjang dibandingkan ILA (194,00 menit) namun tidak berbeda bermakna. Demikian pula halnya pada lama persalinan kala II (27,89 menit pada CIEA vs 38,47 menit pada ILA). Banyaknya persalinan pervaginam pada CIBA (77,8%) walaupun lebih kecil tetapi tidak berbeda bermakna dengan ILA (83,3%). Persalinan spontan pervaginam tanpa instrumenlasi pada CIEA (85,7%) lebih banyak dibandingkan ILA (76,7%) namun secara statistik juga tidak berbeda bermakna. Skor APGAR >7 pada menit pertama untuk bayi yang dilahirkan dengan teknik CIEA (94,4%) relatif sama dengan ILA (91,7%), sedangkan untuk skor APGAR menit kelima pads kedua kelompok tersebut semuanya >7 (100% vs 100%). Tingkat kepuasan parturien pada kelompok CIEA (92,9% puas sampai dengan puas sekali) juga tidak berbeda bermakna dengan kelompok ILA (86,7%).
Kesimpulan: Teknik CIEA lebih efektif untuk mengatasi nyeri persalinan sejak menit ke 30 pasca tindakan sampai dengan kala II dibandingkan teknik ILA.Teknik CIEA menghasilkan efek samping hipotensi, pruritus dan gangguan buang air kecil yang tidak berbeda bermakna dibandingkan ILA, sedangkan efek samping muaI-muntah pada CIEA Iebih rendah dibandingkan ILA dan berbeda bermakna. Teknik CIEA menghasilkan efek blok motorik, lama persalinan, jenis persalinan, skor APGAR bayi yang dilahirkan dan tingkat kepuasan parturien yang tidak berbeda bermakna dengan ILA.

Background; CIEA for labor analgesia is rarely done eventhough theoretically it could provide more stable level of analgesia compared with ILA as the most popular technique in Indonesia. This prospective randomized controlled trial compared the efectivity of CIEA using ambulatory infusion pump for labor analgesia with ILA as control.
Method: Seventy two parturients was enrolled according to criteria of inclusion and randomized into 2 groups, each had 36 parturients. One group received ILA using ropivacaine 3,75 mg plus morphin 0,2 mg and the other received CIEA using ropivacaine 0,15% plus fentanyl 2 .tglmL. Some variables were recorded from preanesthetic procedures to 12 hours post procedures, including visual analogue pain scale (VAPS), Bromage score, side effects (hypotension, retensio urine, pruritus, and nausea-vomiting), duration of labor, mode of labor, APGAR score of newborn, and the level of parturients' satisfaction.
Result: Descriptively, CIEA group showed smaller median value of VAPS at 30,60,120,300 minutes and second stage of labor, compared with ILA ( 2 vs 3; 1 vs 3,5 ; 2 vs 5; 2 vs 5; and 3 vs 6): CIEA group showed more parturient with Bromage score null than ILA group, but statistically indifferent (83,3% vs 77,8%, p>0,05). CIEA group showed less side effects than ILA group (hypotension 0% vs 6,3%; retensio urine 26,7% vs 50,0%; pruritus 30,0% vs 28,1%; nausea-vomiting 63,3% vs 96,9%), however only nausea-vomiting variable that showed significan difference (p<0,05). Duration of the first stage of labor (230,54 minutes) in CIEA group was longer but statistically indifferent with ILA group (194,00 minutes)_ Duration of the second stage of labor was also statistically indifferent (CIEA 27,89 minutes vs ILA 38,47 minutes). The number of vaginal delivery in CIEA group (77,8%) was less than ILA group (83,3%) but indifferent. The number of spontaneus vaginal delivery (uninstrumented) in CIEA (85,7%) was higher than ILA group (76,7%) but indifferent. The newborn's APGAR score more than 7 at the first minute in CIEA group (94,4%) looked similar to ILA group (91,7%), while the APGAR score more than 7 at the fifth minute for both groups are 100%. The level of parturients' satisfaction also showed indifferent (in CIEA group 92.9% parturients was satisfied to very satisfied vs ILA 86,7%).
Conclusion: CIEA technique was more efective than ILA to reduce labor pain from minute 30 post procedure to the second stage of labor. CIEA technique showed indifferent in hypotension, pruritus, and retensio urine, as side effects of labor analgesia compared with ILA, but CIEA produced significantly less nausea-vomitting than ILA. CIEA technique produced the same level of motoric blockade, duration of labor, mode of labor, newborn's APGAR score, and the level of parturients' satisfaction as ILA technique.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitra R Siregar
"[Latar Belakang : Levobupivakain saat ini sudah sering digunakan dalam blok perifer pada berbagai macam operasi, selain memiliki efek toksik yang sama rendahnya dengan ropivakain, juga memiliki durasi yang lebih panjang bila dibandingkan dengan ropivakain. Pada operasi mata telah banyak dilaporkan durasi analgesia blok dengan levobupivakain, namun belum ada yang membandingkan secara langsung perbedaan durasi analgesia blok peribulbar levobupivakain 0,5% dengan ropivakain 0,75% yang dikombinasikan dengan anestesia umum pada operasi scleral buckling. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar ganda di instalasi bedah mata RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sampel sebanyak 44 pasien operasi ablasio retina teknik scleral buckling yang dilakukan randomisasi menjadi 2 kelompok perlakuan: kelompok kombinasi anestesia umum dengan blok peribulbar levobupivakain 0,5% dan kelompok kombinasi anestesia umum dengan blok peribulbar ropivakain 0,75%.

Background: Levobupivakain now days is often being used in the perifer block technique in many kind of operations, Levobupivakain has the same low toxicity effect as ropivakain, but it has longerr duration than ropivakai. Block anesthesia (using levobupivakain) duration in eye operation has been reported, but none has compared the differences of the duration between block peribulbar analgesia using levobupivakain 0,5% and ropivakain 0,75% combined with general anasthesia in scleral buckling operation. Methods: This research is a double blind clinic trial conducted at the Ophtalmology Departement RSUPN Cipto Mangunkusumo. There were 44 samples, consisted of patients who undergone ablatio retina operation with sclera buckling technique. The samples were randomized into two groups : The combination between general anesthesia with levobupivakain 0,5% group and the combination between general anesthesia with peribulbar block using ropivakain 0,75% group., ]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Tegar Jelita
"Pendahuluan: Kebutuhan perawatan ortodonti seseorang dapat disebabkan oleh ketidak sesuaian gigi geligi, fungsi oral dan atau masalah psikososial. Sebelum melakukan perawatan ortodonti, perlu diketahui keinginan pasien. Kebutuhan perawatan ortodonti cukup tinggi pada usia remaja. Jakarta merupakan kota besar karena sebagai ibu kota negara, juga merupakan pusat pemerintahan. Jakarta berkembang sedemikian pesat sehingga terdapat pinggir kota Jakarta yang dikenal juga dengan kota penyangga. Selain faktor sosio-ekonomi maka kemungkinan terdapat perbedaan psiko-sosial antara remaja kota dan remaja pinggir kota yang dapat mempengaruhi pengetahuan terhadap masalah kesehatan gigi, khususnya tentang ortodonti. Tujuan: Mengetahui perbandingan kebutuhan perawatan ortodonti remaja perkotaan dan remaja pinggir kota. Metode: Dilakukan penelitian potong lintang pada siswa-siswi SMPN 11 Jakarta dan SMPN 2 Tangerang Selatan yang berusia 12-15 tahun. Diberikan kuesioner Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO). Hasil: Uji Mann Whitney nilai p>0.05 yang berarti tidak ada perbedaan bermakna secara statistik kebutuhan perawatan ortodonti antara remaja perkotaan dan remaja pinggir kota. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kebutuhan perawatan ortodonti antara remaja perkotaan dan remaja pinggir kota yang diukur Menggunakan Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO)
Kata Kunci: Kebutuhan perawatan ortodonti, Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO), Remaja perkotaan, Remaja pinggir kota

Introduction: A person's need for orthodontic treatment can be caused by dental malocclusion, oral function and / or psychosocial problems. Before orthodontic treatment, it is necessary to know what the patient wants. The need for orthodontic treatment is quite high in adolescence. Jakarta is a big city because as the capital city of the country, it is also the center of government. Jakarta grew rapidly so there is a suburb area of Jakarta. Beside socio-economic factors, it is possible that there are psycho-social differences between urban adolescents and suburban adolescents that can affect knowledge of dental health problems, especially regarding orthodontics. Objective: The aim of the study is to compare the orthodontic treatment needs of urban adolescents and suburban adolescents. Methods: A cross-sectional study was carried out on students of public Junior High School 11 Jakarta and public Junior High School 2 South Tangerang aged 12-15 years. Responden was given a questionnaire Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO). Result: Mann Whitney test p value> 0.05, which means there is no statistically significant difference in orthodontic treatment needs between urban adolescents and suburban adolescents. Conclusion: There is no difference in orthodontic treatment needs between urban adolescents and suburban adolescents.
Keywords: Orthodontic treatment needs, Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO), urban adolescents, suburban adolescent
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Rahman Setiawan
"Latar belakang : Hidrosefalus adalah suatu keadaan terjadinya timbunan cairan serebrospinal (CSS) berlebihan yang disebabkan ketidakseimbangan antara produksi dan absorpsi CSS sehingga mengakibatkan ventrikulomegali dan dapat disertai dengan peningkatan tekanan intrakranial. Salah satu tatalaksana hidrosefalus tersering adalah VP Shunt, yang juga memiliki risiko komplikasi. Indonesia telah dapat membuat sendiri sistem pompa untuk operasi VP Shunt dengan nama INA-shunt. Beberapa penelitian telah meneliti angka komplikasi VP Shunt pada pasien anak, namun belum ada yang meneliti angka komplikasi dengan penggunaan sistem pompa INA-shunt. Tujuan : Mengetahui komplikasi yang terjadi pada pasien anak dengan hidrosefalus dan variasinya yang telah dilakukan operasi VP Shunt dengan pompa INA Shunt beserta faktor yang mempengaruhinya Metode : Penelitian ini bersifat deskriptif retrospektif. Penelitian bersifat multicenter, dengan mengambil data sekunder dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, RSAB Harapan Kita, dan RSUP Sardjito. Pada periode Januari 2018-Desember 2019, terdapat 31 subjek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan penilaian klinis dan radiologis pascaoperasi dalam kurun waktu 1 tahun untuk mengevaluasi adanya komplikasi pada subjek. Hasil : Dari 31 subjek, terdapat komplikasi pada 5 subjek (16%). Komplikasi itu berupa malfungsi shunt proksimal (10%, n=3), shunt exposed (3%, n=1), dan shunt terinfeksi (3%, n=1). Seluruh komplikasi terjadi pada pasien dengan usia < 3 bulan saat dilakukan VP shunt dan 80% komplikasi terjadi < 6 bulan pascaoperasi. Tidak terdapat komplikasi berupa perdarahan subdural. Tidak terdapat hubungan bermakna antara karakteristik subjek dan angka kejadian komplikasi pascaoperasi VP shunt dengan menggunakan pompa INA shunt. Kesimpulan : Angka komplikasi operasi VP Shunt menggunakan sistem pompa INA Shunt adalah minimal. Sistem pompa INA Shunt dapat digunakan untuk operasi VP Shunt pada pasien anak dengan hidrosefalus dan variasinya.

Background: Hydrocephalus is a condition of excessive accumulation of cerebrospinal fluid (CSF) caused by an imbalance between the production and absorption of CSF, resulting in ventriculomegaly and can be accompanied by an increase in intracranial pressure. One of the most common treatments for hydrocephalus is VP Shunt, which also carries a risk of complications. Indonesia has been able to make its own pump system for VP Shunt operation under the name INA-shunt. Several studies have investigated the complication rate of VP shunt in pediatric patients, but none has investigated the complication rate with the use of the INA-shunt pump system. Objective: To determine the complications that occur in pediatric patients with hydrocephalus and its variations who have had VP Shunt surgery with an INA Shunt pump and the factors that influence it. Methods: This research is descriptive retrospective. The research is multicenter, taking secondary data from Cipto Mangunkusumo General Hospital, Harapan Kita Hospital, and Sardjito Hospital. In the period January 2018 – December 2019, there were 31 subjects that met the inclusion and exclusion criteria. Postoperative clinical and radiological assessments were performed within 1 year to evaluate the presence of complications in the subjects.
Results: From 31 subjects, there were complications in 5 subjects (16%). The complications were proximal shunt malfunction (10%, n=3), exposed shunt (3%, n=1), and infected shunt (3%, n=1). All complications occurred in patients < 3 months of age at the time of VP shunt and 80% of complications occurred < 6 months postoperatively. There were no complications such as subdural hemorrhage. There is no significant relationship between the characteristics of the subject and the incidence of postoperative VP shunt complications using an INA shunt pump. Conclusion: The complication rate of VP Shunt operation using the INA Shunt pump system is minimal. The INA Shunt pump system can be used for VP Shunt surgery in pediatric patients with hydrocephalus and its variations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zain Ichwan
"Latar belakang : Analgesia subarachnoid disertai pemberian obat sedasi secara infus kontinyu memberikan efek sedasi, amnesia dan ansiolisis yang dapat diprediksi mula kerja,pemulihan,efek samping yang minimal sehingga pasien merasa lebih aman, nyaman setelah dilakukan prosedur pembedahan yang merupakan bagian teknik layanan anestesi bermonitor (Monitored Anesthesia Care, MAC)
Metode : 98 pasien usia 15-60 tahun dengan klasifikasi ASA 1-II yang akan menjalani operasi abdomen tengah kebawah dibagi dalam 2 kelompok dengan analgesia subarachnoid dan pemberian infusi propofol bolus 0,5 mg/kg pemeliharaan 35 Fig/kg/menit dan infusi midazolam bolus 0,05 mg/kg pemeliharaan 0,35 µg/kg/menit, kemudian dinilai keefektifan sedasi, amnesia, ansiolisis Berta dimonitor perubahan hemodinamik dan efek samping yang terjadi.
Hasil : Keefektifan tingkat sedasi kelompok propofol pads menit ke 60 sebesar 72,9% dan kelompok midazolam 77,1%,dengan uji statistik (p>0,05)
Untuk tingkat kecemasan kelompok propofol pada menit ke 15 pasien berkurang kecemasan sebesar 91,7% dan kelompok midazolam sebesar 93,7%,dengan uji statistik (p>0,05).Amnesia yang terjadi pada kelompok propofol sebanyak 16,7% dan kelompok midazolam 54,2%,dengan uji statistik (p<0,05).
Kestabilan hemodinamik kedua kelompok bail( dan efek samping yang terjadi tidak berbeda bermakna (p>0,05),kecuali pada kelompok propofol cenderung dapat mengurangi mual dan muntah (p=0,056}.
Kesimpulan : Pemberian infusi pmpofol 0,5 mg/kg pemeliharaan 35 µg/kg/menit tidak lebih efektif dalam memberikan efek sedasi, ansiolisis dibanding infusi midazolam 0,05 mg/kg pemeliharaan 0,35 µg/kg/menit. Efek amnesia lebih unggul pada kelompok midazolarn dibanding kelompok propofol.

Background: In addition to Subarachnoid analgesia, giving sedation infusion continously will affect sedation effect, amnesia, and anti-anxiety. The process can predict starting time, recovery, minimum side effects, in order to obtain securability, and comfortability of patients. It is important to the patients after undergo surgical operation using Monitored Anesthesia Care (MAC).
Methods: Samples consist of 98 patients of 15-60 year age which conform ASA I-11 classifications. The patients underwent lower abdominal surgery and lower extremity_ The patients were divided into 2 groups. The First group was treated using subarachnoid analgesia, bolus propofol infusion at 0.5 mg/kg, and maintenance at 35 p.g/kglminute. The second group was treated using subarachnoid analgesia, bolus midazolam infusion at 0.05 mg/kg, and maintenance at 0,35 fig/kg/minute. After that, the value of sedation effectiveness, amnesia, and anti-anxiety were investigated. Also, hemodinamic value and side effects were monitored.
Results: Sedation score effectiveness of propofol group at sixtieth minute was 72.9% and that of midazolam group was 77.1% (using statistical test with p > 0.05).
For anxiety score, the value of propofol group, at fifteenth minute, reduce into 91.7% and that of midazolam group became 93.7% (using statistical test with p > 0.05). The value of Amnesia of propofol group was 16.7% and that of midazolam group was 542% (using statistical test with p < 0.05).
Hemodinamical stability of both groups was good. Side effect occurs was not different (at p > 0.05), except for propofol group tends to reduce nausea and vomiting (p = 0.056).
Conclusions: Giving propofol infusion at 0.5 mg/kg and maintenance at 35 p.glkg/minute was less effective in sedation effect, anti-anxiety compared to midazolam infusion at 0.05 mg/kg and maintenance at.0.35 fig/kg/minute. Amnesia effect for midazolam group better than that of propofol group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21411
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Fransiska
"Jumlah penderita diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar mengalami kenaikan dari tahun 2014 sampai 2016. Kelurahan Kebon Pala menjadi penyumbang terbanyak dari keseluruhan kasus diare. Jumlah penderita diare balita di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Kebon Pala tahun 2014 sebesar 182 kasus kemudian naik tahun 2015 sebesar 251 kasus dan mengalami penurunan pada tahun 2016 sebesar 238 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Kebon Pala. Disain penelitian yaitu case control, kasus adalah penderita diare yang tercatat dalam register puskesmas selama 14 hari terakhir waktu penelitian berlangsung dan kontrol adalah tetangga kasus. Jumlah sampel masing-masing kontrol dan kasus 60 responden. Pengumpulan data dengan wawancara langsung dan observasi menggunakan kuesioner. Kuesioner berisikan pertanyaan perilaku cuci tangan pakai sabun, pemberian ASI eksklusif, sumber air bersih, sarana jamban dan sarana pembuangan sampah. Penelitian ini didapatkan hasil adanya hubungan yang signifikan antara perilaku cuci tangan pakai sabun nilai p 0.005; OR 5,107 , pemberian ASI eksklusif nilai p 0,005; OR 4,030 , sarana jamban nilai p 0,022; OR 2,993 dan sarana pembuangan sampah niali p 0,003; OR 3,406 dengan kejadian diare pada balita.

The number of diarrhea sufferers in under five children in the working area of Puskesmas Kecamatan Makasar increased from 2014 to 2016. Kebon Pala village became the biggest contributor of all diarrhea cases. The number of diarrhea sufferers in the work area of Kebon Pala Public Health Center in 2014 amounted to 182 cases and then increased in 2015 by 251 cases and decreased in 2016 by 238 cases. This study aims to determine the risk factors of diarrhea occurrence in infants in the working area of Kebon Pala Public Health Center. The case study design was case control. The case was diarrhea sufferer recorded in the puskesmas register for the last 14 days while the study took place and the control was neighboring case. The number of samples of each control and case are 60 respondents. Data was collected by direct interview and observation using questionnaire. The questionnaire contains questions on handwashing behavior with soap, exclusive breastfeeding, clean water sources, toilet facilities and garbage disposal facilities. The results of this study showed that there was a significant relationship between handwashing with soap p 0.005, OR 5,107 , exclusive breastfeeding p value 0.005, OR 4.030 , toilet facilities p value 0.022, OR 2,993 and garbage disposal facilities Niali p 0,003 OR 3,406 with the incidence of diarrhea in infants."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S68519
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budiani Christina Natalia Metrana
"Latar Belakang: Kegunaan laringoskop video untuk intubasi endotrakeal telah terbukti bermanfaat pada tatalaksana jalan napas normal ataupun sulit. Namun harga laringoskop video seperti McGrath MAC® yang mahal menjadi hambatan. Sebagai alternatif, dapat digunakan kamera portabel yang dipasangkan pada bilah Macintosh, dihubungkan via wifi ke telepon genggam, untuk membantu visualisasi laring seperti halnya laringoskop video. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membandingkan waktu intubasi endotrakeal menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh dengan laringoskop video McGrath MAC® pada populasi dewasa.
Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 62 subjek penelitian untuk membandingkan waktu intubasi endotrakeal menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh dengan laringoskop video McGrath MAC® pada populasi dewasa. Kriteria penolakan adalah sulit jalan napas, kehamilan, penyakit jantung iskemik akut, gagal jantung, blok jantung derajat 2 atau 3, sindrom Guillain Barre, myasthenia gravis.
Hasil: Median waktu intubasi A (waktu yang diukur saat laringoskop masuk melewati gigi sampai mendapatkan visualisasi glotis) menggunakan modifikasi Macintosh 18(6-65) detik dibandingkan McGrath MAC® 21(10-70) detik (p 0.652). Median waktu intubasi B (waktu yang diukur saat mendapatkan visualisasi glotis sampai ETT masuk ke dalam trakea) 39(20-101) detik dibandingkan 50(27-102) detik (p 0,003). Median waktu intubasi total 63 (27-114) detik dibandingkan 74 (40-133) detik (p 0,032). Selain itu juga dicatat angka keberhasilan intubasi pada upaya pertama menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh 90,3%, angka visualisasi glotis skor POGO 100 67,7% dan skor POGO 75 29%, komplikasi takikardia dan laserasi mukosa jalan napas berupa abrasi ringan pada daerah orofaring. Secara keseluruhan, para pengguna modifikasi laringoskop Macintosh menganggap alat ini baik untuk digunakan, baik dari segi kemudahan insersi alat, kemudahan penggunaan alat, dan visualisasi glotis.
Simpulan: Intubasi endotrakeal menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan menggunakan laringoskop video McGrath MAC® pada pasien dewasa.

Background: The use of video laryngoscope has been proven to be beneficial for endotracheal intubation for normal and difficult airway management. But the problem with using a video laryngoscope is often the price of the tools. A widely used video laryngoscope, such as McGrath MAC® is expensive. As an alternative to help visualize the larynx like a video laryngoscope, we can use a portable camera placed in a Macintosh blade, then connected via wifi to a mobile phone. However, there is no available research that compares intubation time using modified Macintosh laryngoscope vs McGrath MAC® video laryngoscope in the adult population.
Methods: This study is a single-blinded randomized clinical trial of 62 subjects to measure the intubation time using modified Macintosh laryngoscope compared with McGrath MAC® video laryngoscope in the adult population. Exclusion criteria are difficult airway, pregnancy, acute ischemic heart disease, second or third-degree heart block, Guillain Barre syndrome, myasthenia gravis.
Results: Median intubation time A (time taken since laryngoscope passes the teeth until glottic visualization) using modified Macintosh and McGrath MAC® were 18(6-65)s and 21(10-70)s (p 0.652), consecutively. Median intubation time B (time taken since glottic visualization until tube insertion into the trachea) was 39(20-101)s and 50(27-102)s (p 0,003). Median total intubation time was 63 (27-114)s using modified Macintosh, compared with 74 (40-133)s (p 0,032) using McGrath MAC®. Besides that, we also noted the first attempt success rate in modified Macintosh was 90,3%, glottic visualization with POGO score 100 was 67,7% and POGO score 75 was 29%. The complications found in this study were tachycardia and airway mucosal laceration such as mild oropharyngeal abrasion. In conclusion, modified Macintosh users decide that this equipment is convenient, in terms of insertion easiness, usefulness, and glottis visualization.
Conclusion: Endotracheal intubation using modified Macintosh laryngoscope takes a shorter time compared with McGrath MAC® video laryngoscope in the adult population
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Dewi Anggraini
"

Sugar Sweetened Beverages (SSBs) merupakan jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi oleh usia remaja. Mengonsumsi SSBs secara berlebihan dapat memberikan dampak buruk terhadap kesehatan, salah satunya yaitu meningkatkan risiko kegemukan pada remaja. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor yang paling berhubungan dengan konsumsi SSBs serta hubungan antara konsumsi SSBs dengan status gizi pada siswa di SMPN 2 Bandung tahun 2020. Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional yang dilakukan pada bulan Februari dan Maret 2020 di SMPN 2 Bandung dengan jumlah responden 153 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan pengukuran antropometri dan pengisian kuesioner. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara univariat, analisis bivariat dengan chi square, dan analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda. Berdasarkan hasil analisis univariat diketahui 69,9% responden mengonsumsi SSBs tingkat tinggi (> 2 kali/hari). Hasil bivariat menunjukkan pendidikan ibu, ketersediaan SSBs di rumah, dan paparan media memiliki hubungan yang signifikan terhadap konsumsi SSBs. Analasis multivariat menunjukkan bahwa faktor dominan yang berhubungan dengan konsumsi SSBs adalah pendidikan ibu (OR: 3,03), setelah dikontrol oleh variabel paparan media, ketersedian SSBs di rumah dan aktifitas fisik. Responden dengan ibu berpendidikan rendah berpeluang 3 kali lebih tinggi mengonsumsi SSBs tingkat tinggi dibandingkan responden dengan ibu berpendidikan tinggi. Pada penelitian ini juga diketahui bahwa konsumsi SSBs berhubungan dengan status gizi (OR: 2,45). Konsumsi SSBs tinggi berisiko mengalami kegemukan. Peneliti menyarankan siswa mengurangi kebiasaan mengonsumsi SSBs dengan cara mengganti SSBs dengan minuman yang lebih sehat seperti susu plain, pihak sekolah memasukkan hal-hal terkait SSBs pada salah satu mata pelajaran, dan orang tua membatasi ketersediaan SSBs di rumah.


Sugar Sweetened Beverages (SSBs) are the type of drink most consumed by adolescents. Excessive consumption of SSBs can give a negative impact for health, one of which is increasing the risk of being obesity in adolescents. This study aims to determine the factors most related to SSBs consumption and the relationship between SSBs consumption and nutritional status of students at SMPN 2 Bandung in 2020. This study conducted in February and March 2020 at SMPN 2 Bandung with a total of 153 respondents, using a cross sectional study design. Data is collected by anthropometric measurements and filling out the questionnaires. The obtained data were analyzed using univariate, bivariate analysis with chi square test, and multivariate analysis with multiple logistic regression tests. Based on the results of univariate analysis it was found that 69,9% of respondents consumed high levels of SSBs (> 2 times /day). Bivariate results show that maternal education, availability of SSBs at home, and media exposure have a significant relationship to SSBs consumption. Multivariate analysis showed that the dominant factors associated with SSBs consumption were maternal education (OR: 3,03), after being controlled by media exposure variables, SSBs availability at home and physical activity. Respondents with low-educated mothers had a chance 3 times higher of consuming high-level SSBs compared to respondents with highly educated mothers. In this study it was also known that SSBs consumption was related to nutritional status (OR: 2,45). Consumption of high SSBs is at risk of being obesity. Researchers suggest students reduce their habits of consuming SSBs by replacing SSBs with healthier drinks such as plain milk, the school includes things related to SSBs in one subject, and parents limit the availability of SSBs at home.

"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tracy Anabella
"Latar Belakang: Salah satu tanda klinis preeklampsia yang di hasilkan, yaitu proteinuria, dapat membahayakan perkembangan pertumbuhan janin karena peranan penting yang dimiliki oleh protein dalam perkembangan janin itu sendiri. Kehilangan protein yang terjadi pada ibu, diduga menyebabkan penurunan juga terhadap persediaan kadar protein plasenta.
Metode: Penelitian comparative cross-sectional ini dilakukan untuk membandingkan kadar protein plasenta total antara kehamilan normal dengan kehamilan preeklamsi. Subyek penelitian ini adalah sampel plasenta dari 3 kelompok kehamilan yang berbeda; kehamilan normal, preeklamsi awal < minggu ke-35 kehamilan , dan preeklamsi akhir minggu ke-35-40 kehamilan . Data dikumpulkan dengan mengukur kadar absorbansi protein plasenta total dari semua kelompok sampel, menggunakan spektrofotometer, dan kemudian di analisis menggunakan Anova.
Hasil: Kadar protein plasenta di ketiga kelompok menunjukan nilai; kehamilan normal; 0.343, preeclampsia awal; 0.357, dan preeclamsia akhir; 0.435. Persebaran data dari ketiga kelompok menunjukan hasil yang merata dengan nilai; kehamilan normal p=0.877 , preeklampsia akhir p=0.939 , dan preeklampsia awal p=0.771 . Analisis data yang menggunakan uji Anova, menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara tingkat protein total pada semua kelompok kehamilan p=0.535.
Konklusi: Dapat disimpulkan bahwa kadar protein total plasenta pada kondisi preeklampsi tidak menurun, mengindikasikan bahwa protein plasenta di jaga dengan baik oleh tubuh, walaupun dengan terjadi nya proteinuria. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>