Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121926 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raisha Adistya Pramita
"Gerakan sosial tidak hadir secara tiba-tiba; ia muncul sebagai respon atas ketidakadilan terkait permasalahan sosial dan politik yang dihadapi. Begitu pun yang dialami oleh jutaan masyarakat sipil pro-demokrasi Hong Kong di tahun 2019 hingga kemudian mereka bergerak melawan RUU Ekstradisi yang dapat mengizinkan Hong Kong untuk menyerahkan warganya ke daratan Tiongkok agar diadili. Intensitas kebertahanan gerakan ini pada akhirnya dapat secara efektif menekan pemerintah untuk melakukan tuntutan utama gerakan, yakni dibatalkannya RUU Ekstradisi. Penelitian ini akan melihat mengapa Gerakan Anti RUU Ekstradisi 2019 dapat menekan pemerintah untuk mengabulkan tuntutan utama gerakan dengan melihat kemunculan dan proses mobilisasi gerakan. Gerakan ini dapat muncul setidaknya karena kesempatan politik yang ada seperti sistem politik semi terbuka; adanya ketidakseimbangan relasi kuasa; sekaligus konflik elit politik Hong Kong. Struktur gerakan yang terdesentralisasi, serta cara partisipan gerakan mobilisasi sumber daya yang ada mampu memberikan efektifitas dalam mempertahankan gerakan dan memberikan dampak maksimal pada pemegang otoritas. Tidak adanya dukungan dari elit bisnis kepada pemerintah Hong Kong dan keterlibatan Internasional dalam mendukung gerakan juga menjadi kondisi kontekstual yang membuat RUU Ekstradisi berhasil dicabut.

Social movements do not appear suddenly; they emerged as a response to injustice related to the social and political problems that are faced. The same thing happened to millions of Hong Kong's pro-democracy civil society in 2019 when they moved against an extradition bill that would allow Hong Kong to turn its citizens over to mainland China for trial. The intensity of this movement's resilience can effectively pressure the government to annul the Extradition Bill. This study will analyze why the 2019 Anti Extradition Bill Movement can pressure the government to grant the movement's main demands by looking at the emergence and mobilization process of the movement. This movement could occur because of the existing political opportunities such as a semi-open political system; power relations imbalances; and conflicts between Hong Kong's political elites. The decentralized structure, as well as the way participants mobilize existing resources, are able to provide effectiveness in maintaining the movement and providing maximum impact. The absence of business elite support for the Hong Kong government and international involvement in supporting the movement also became a contextual condition that made the Extradition Bill successfully be annulled"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Rizaldi Pratama
"Riset ini membahas mengenai kepentingan politik pemerintah pusat di wilayah otonom. Hong Kong adalah wilayah otonomi khusus Tiongkok yang memiliki hak otonomi eksklusif kecuali pada bidang keamanan nasional dan kebijakan luar negeri. Permasalahan berawal dari Keputusan National Peoples Congress Standing Committee (NPCSC) tahun 2014 mengenai pelaksanaan universal suffrage untuk pemilihan Chief Executive Hong Kong Keputusan tersebut dianggap tidak demokratis oleh kelompok pro-demokrasi. Kelompok pro-demokrasi menduga ada intervensi politik Pemerintah Tiongkok yang ingin membatasi perkembangan demokrasi melalui keputusan NPCSC. Permasalahan tersebut menimbulkan pertanyaan bagaimana Pemerintah Tiongkok menggunakan Keputusan NPCSC mengenai Reformasi Pemilihan Umum Hong Kong tahun 2014 sebagai alat dalam membatasi perkembangan Demokrasi di Hong Kong. Untuk menganalisa masalah tersebut, riset ini menggunakan metode kualitatif dengan studi literatur. Lebih lanjut, permasalahan dalam riset ini dianalisis menggunakan teori Terry M. Moe mengenai rational choice di dalam institusi.
Teori ini menjelaskan bagaimana pihak yang berkuasa mempertahankan status quo kekuasaannya. Terdapat dua temuan dari riset ini. Pertama, terdapat hubungan antara Pemerintah Tiongkok dan NPCSC yang keduanya dikontrol oleh Partai Komunis Tiongkok. Kedua, hubungan tersebut mempengaruhi keputusan NPCSC tahun 2014 untuk memberikan syarat-syarat yang sulit dilaksanakan oleh calon Chief Executive untuk maju di pemilihan umum. Syarat-syarat yang ada adalah bentuk electoral authoritarian regime dari Pemerintah Tiongkok yang ingin mempertahankan status quo. Status quo yang berjalan pada tahun 2014 adalah keunggulan kelompok loyalis pro-Beijing di pemerintahan Hong Kong. Konsekuensi dari diloloskannya Keputusan NPCSC tahun 2014 oleh parlemen Hong Kong adalah tetap berjalannya status quo sampai dengan tahun 2047, walaupun dengan adanya universal suffrage. Tahun 2047 adalah batas akhir perjanjian Sino-British Joint Declaration yang menjamin hak otonomi eksklusif Hong Kong.

This research discusses the central governments interests in autonomous region. Hong Kong is Chinas Special Administrative Region which has its own exclusive autonomy in many aspects of government except in national security and foreign affairs. The problem came from a decision made by National Peoples Congress Standing Committee in 2014 about the implementation of universal suffrage in Hong Kongs Chief Excecutive election. The decision was deemed undemocratic by pro-democracy groups. They assumed that Chinas government was trying to obstruct the growth of democracy in Hong Kong throught NPCSCs decision. This problem raises a question about how the Chinese government used NPCSCs decision about Hong Kongs electional reform 2014 as a tool to limit the development of democracy in Hong Kong. To analyze this problem, this research uses qualitative method with literature studies. Furthermore, the problem in this research is analyzed using Terry M. Moes theory on rational choice in an institution.
This theory explains how the dominant group defends the status quo under its rule. There are two findings in this research. First, there is a relationship between Chinese government and NPCSC in which both of them are controlled by Communist Party of China. Second, the previously mentioned correlation has an impact towards 2014 NPCSC decision in form of requirements which deter Chief Executive candidates to run for the office. Those requirements are form of electoral authoritarian regime from the Chinese government which wants to preserve the status quo. The status quo in 2014 the status quo gave advantages to pro-Beijing loyalists in Hong Kong government. The consequence of the passage of NPCSC decision by Hong Kong parliament in 2014 is the preservation of status quo until 2047, although with the existence of universal sudfrage. 2047 is the deadline of Sino-British Joint Declaration which guarantees autonomous rights of Hong Kong.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuka Dian Nerendra
"Peran televisi sebagai bagian dari konstruksi identitas dalam ranah kebudayaan global pascamodern tidak dapat dielakkan lagi. Kini televisi telah menjadi bagian dari keseharian masyarakat urban tanpa memandang kelas. Sementara itu, film menempati posisi yang sama, sebagai bagian dari konstruksi kebudayaan masa kini. Film menawarkan realitas baru dan menggagas konstruksi sosial baru dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut menjadikan integrasi kedua media tersebut patut diamati. Fasilitas yang ditawarkan oleh kecanggihan teknologi informasi abad keduapuluh satu memberikan peluang film dan televisi untuk mempercepat proses penyebarannya ke seluruh dunia.
Celestial Movies Channel merupakan salah satu contoh kasusnya. Sebagai stasiun televisi dalam jaringan televisi global, Celestial memosisikan diri sebagai stasiun khusus sinema Cina yang dapat diakses dari tempat manapun di seluruh dunia. Kasus ini menjadi lebih menarik untuk diamati ketika konstruksi kultural baru yang digagas Celestial dalam jaringan media global dipertemukan dengan aspek ruang yang terkonstruksi dalam media tersebut. Ruang, pada kenyataannya merupakan aspek penting dalam sebuah konstruksi kultural.
Penelitian ini mencoba menelusuri bagaimana Celestial memproduksi sebuah ruang bagi identitas kecinaan dalam ruang media global. Selanjutnya, penelitian ini juga mencoba mengetahui identitas kultural apa yang terkonstruksi dalam ruang maya seperti itu. Melalui pendekatan ruang, penelitian ini mencoba menjawab bagaimana konstruksi identitas kultural dapat terjadi. Hal yang menarik adalah, konstruksi yang akan ditelusuri tersebut berlangsuug dalam ruang virtual (maya), yakni sebuah ruang yang hanya dapat mewujud dalam jaringan elektronik.
Pendekatan ruang dipergunakan untuk membongkar bagaimana pertarungan wacana dalam ruang tersebut bcrlangsung. Selain itu juga untuk menemukan bagaimana wacana tersebut berperan dalam proses produksi ruang virtual Cina yang digagas Celestial tersebut. Dengan demikian, pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian ini dapat membantu proses pemahaman tentang bagaimana konstruksi kultural dalam ruang media.

The role of television as a part of identity construction in the global post-modem culture is inevitable. Television now has taken part in daily lives of the urban disregarding the social class. At the same time, film has also positioned itself equally as a major part in the contemporary culture. Film offers new realities and giving ideas of how new social construction in the society would be. Integration of the two medias made it worth observed. The twenty-first century?s advanced infomation technology gives an opportunity for both film and television to accelerate their dissemination process throughout the globe.
Celestial Movies Channel is one example. As a television station in a globalized broadcasting network, Celestial has positioned itself exclusively as a station dedicated for Chinese Cinema, that can be accessed from any part of the world. The case is worth observing while new cultural construction as proposed by Celestial in the global broadcasting network is faced with spatial aspects constructed within the media. Space, as a matter of fact, is a crucial aspect in a cultural construction.
This research attempts to trace on how Celestial produces a space for Chinese identity in the global media space. Furthermore, this research also attempts to perceive the formation of cultural identity in such virtual space. By using the spatial approach and theories, this research primary objective is to find out how the cultural construction operates and works. Interestingly, the construction which to be observed occurs within a virtual space, a space which is formed in an electronic network.
Spatial approach is used to reveal the discursive formation in such contested terrain. On the other hand, to discover the way the discourses play a significant role in constructing the China?s virtual space that Celestial offers. This research can provide knowledge and better understanding in how cultural construction works in an electronic media space.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bonavia, David
Bromley: Columbus Books, 1984
330.951 25 BON h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Smart, Alan
Aberdeen, Hong kong: Hong Kong University Press, 2006
353.55 SMA s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Fremelia Muli
"Berangkat pengalaman riil perempuan Tionghoa tentang adanya ketidakadilan gender dalam perkawinan beda etnis, maka penelitian ini membahas tentang posisi dan peran perempuan Tionghoa dalam perkawinan beda etnis dengan laki-laki Jawa secara spesifik di Gresik, Sidoarjo, dan Surabaya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berperspektif feminis dan memilih secara purposif empat perempuan Tionghoa sebagai subjek penelitian. Teori interseksionalitas dari Kimberle Crenshaw digunakan sebagai kerangka analisis terkait posisi dan peran gender, relasi gender, ketidakadilan gender, dan etnisitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas perempuan Tionghoa dapat menentukan posisi mereka dalam relasi gender pada perkawinan beda etnis dengan laki-laki Jawa melalui pertemuan (interseksionalitas) dari beragam identitas yang menghasilkan kondisi tertentu dalam struktur perkawinan, representasi nilai di mata keluarga, serta peraturan dan kebijakan terkait perkawinan. Dengan identitas yang cair, situasional, dan beragam, interseksionalitas identitas menghasilkan pengalaman ketidakadilan gender pada perempuan Tionghoa baik sebagai kelompok minoritas juga sebagai kelompok superior. Pengalaman ketertindasan nyatanya juga dialami oleh laki-laki Jawa sebagai suami mereka berupa pemberian stereotip dan subordinasi. Dalam situasi tertentu, interseksionalitas identitas perempuan Tionghoa secara bersamaan dapat menjadi strategi memperjuangkan keadilan. Berdasarkan hasil tersebut, disarankan perlunya pemberdayaan diri pada perempuan, pengembangan perspektif adil gender pada pasangan, keluarga, dan institusi terkait, serta pengembangan teoritis dan metodologis pada penelitian lanjutan.

Based on the prejudice and real experiences of Chinese women about the existence of gender injustice in inter-ethnic marriages, this study discusses the position and roles of Chinese women in inter-ethnic marriages with Javanese men specifically in Gresik, Sidoarjo, and Surabaya. This study used a qualitative method with a feminist perspective and purposively selected four Chinese women as research subjects. Kimberle Crenshaw's theory of intersectionality is used as a framework for analysis related to gender roles and roles, gender inequality, and ethnicity. The results show that the identity of Chinese women can determine their position in gender relations in ethnic marriages with Javanese men through a meeting of various identities that produce certain conditions in the structure of the marriage, representation of values in the eyes of the family, and regulations and policies related to marriage. With a fluid, situational, and diverse identity, identity intersectionality results in experiences of gender injustice in Chinese women both as a minority group as well as a superior group. The experience of oppression in fact also followed by Javanese men as their husbands in the form of stereotyping and subordination. In certain situations, the simultaneous intersectionality of Chinese women's identities can be a strategy for fighting for justice. Based on these results, which are based on the need for self-empowerment in women, the development of a gender perspective in partners, as well as theoretical and methodological development in further research."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Maunder, W.F.
Hong Kong : Hong Kong University Press, 1969
301.54 MAU h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Reiber, Beth
New York, NY: Prentice-Hall, 1986
915.204 4 REI f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Clewlow, Carol
Hongkong: Lonely Planet, 1989
R 915.1 CLE h
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>