Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 179667 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sinaga, Gideon Hot Partogi
"Pendahuluan: Gangguan pendengaran sensorineural (GPSN) merupakan penyakit kronis yang insidennya meningkat seiring dengan pertambahan usia. Implantasi koklea menjadi tatalaksana utama dengan kalibrasi menggunakan prosedur baku emas yaitu audiometer nada murni (PTA) yang bersifat subjektif. Akan tetapi, PTA tidak dapat dilakukan pada pasien yang kurang kooperatif dan kebingungan akibat demensia, seperti pada pasien geriatrik sebagai mayoritas pasien GPSN. Pengukuran objektif lainnya dapat dilakukan dengan mendeteksi auditory evoked potential (AEP) yang direkam pada batang otak menggunakan stimulus listrik (E-ABR) dan kortikal melalui perekaman local field potential (LFP). Namun, belum terdapat penelitian yang merekam AEP menggunakan elektrode intrakortikal serta membandingkan dan mengkorelasikan ambangnya dengan respons batang otak. Penelitian ini bertujuan sebagai pemodelan awal kasus tuli didapat dengan implan koklea untuk mengevaluasi ambang respons auditorik pada batang otak, korteks auditorik primer (A1), dan posterior auditory field (PAF) menggunakan hewan coba kucing. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mencari perbedaan bermakna antara ambang respons auditorik kortikal menggunakan metode perbandingan amplitudo pre-stimulus-post-stimulus (Z-score) dan inter-trial phase coherence (ITPC).
Metode: Perekaman dilakukan pada 5 ekor kucing dengan implan koklea yang ditulikan terlebih dahulu dengan injeksi neomisin interskalar. Respons auditorik batang otak direkam menggunakan elektrode permukaan, sedangkan respons auditorik kortikal direkam menggunakan elektrode intrakortikal dalam kondisi teranestesi isoflurane. Ambang respons auditorik ditetapkan menggunakan metode Z-score dan ITPC, sedangkan ambang respons auditorik batang otak ditetapkan dengan metode ITPC karena kurangnya data pre-stimulus.
Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada ambang respons auditorik kortikal menggunakan metode Z-score dan ITPC (p = 0,455). Terdapat perbedaan bermakna antara ambang respons auditorik batang otak dan kortikal (p<0,001), dengan median paling kecil pada batang otak dan terbesar pada PAF. Korelasi positif yang bermakna juga ditemukan antar keseluruhan titik perekaman, dengan korelasi terbesar secara kortikokortikal A1 dan PAF (r=0.835, p<0.001).
Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa pengukuran ambang respons auditorik batang otak dan kortikal secara objektif memiliki potensi dalam aplikasi klinis untuk menilai kesuksesan implantasi koklea pasien tuli didapat. Peningkatan ambang respons auditorik sepanjang jaras pendengaran menunjukkan kompleksitas jaras pendengaran.

Introduction: Sensorineural hearing loss (SNHL) is a chronic disease whose incidence increases with age. The primary treatment of SNHL is cochlear implantation with the subjective pure-tone audiometer (PTA) as the gold standard calibration procedure. However, PTA cannot be performed on patients who are less cooperative and confused due to dementia, such as geriatric patients, who make up the majority of SNHL patients. Another objective test is to detect auditory evoked potentials (AEP) recorded in the brainstem (E-ABR) and auditory cortex via the brain local field potential (LFP) using electric stimulus. However, no studies have used intracortical electrodes to record AEP as well as compare and correlate its threshold with auditory brainstem response. This study aims as an early model of acquired deafness with cochlear implant to evaluate auditory responses in the brainstem, primary auditory cortex (A1), and posterior auditory field (PAF) using cats as an animal model. In addition, this study also aims to compare the cortical auditory response threshold determined using the pre-stimulus-post-stimulus amplitude comparison (Z-score) and inter-trial phase coherence (ITPC) methods.
Method: Recording was performed on 5 cochlear implanted cats, previously deafened using interscalar neomycin injection. Brainstem auditory responses were recorded using surface electrodes, while cortical auditory responses were recorded using intracortical electrodes under isoflurane anaesthetic. The auditory response threshold was determined using the Z-score and ITPC methods, while the brainstem auditory response threshold was determined using the ITPC method due to the lack of pre-stimulus data.
Result: There was no significant difference in the cortical auditory response threshold using the Z-score and ITPC methods (p = 0.455). There was a significant difference between the brainstem and cortical auditory response thresholds (p<0.001), with the smallest median in the brainstem and the largest in PAF. A significant positive correlation was also found at all recording points, with the largest positive correlation found between A1 and PAF (r=0.835, p<0.001).
Conclusion: This study demonstrates that objective measurements of brainstem and cortical auditory response thresholds have the potential to be used to evaluate the success of cochlear implantation in patients with acquired hearing loss. An increase in the auditory response threshold along the auditory pathway indicates
complexity in the auditory pathway.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Gabriela Enneria
"Latar belakang: Gangguan pendengaran merupakan keluhan umum yang sering dirujuk ke spesialis Telinga Hidung Tenggorok (THT), dengan kasus terbanyak di wilayah Pasifik Barat dan Asia Tenggara. Gangguan pendengaran dapat mengganggu kemampuan wicara dan bahasa anak, mengakibatkan kesulitan dalam sosialisasi dan prestasi akademik yang buruk. Implantasi koklea merupakan metode rehabilitasi efektif untuk pasien gangguan pendengaran sensorineural. Terdapat bukti variasi jangkauan komunikasi reseptif pascaimplantasi koklea. Korelasi antara luas penampang nervus koklearis, diameter kanalis auditori interna dan usia saat implantasi terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea diharapkan dapat menjadi parameter kandidat implantasi serta prediktor luaran auditori pascaimplantasi koklea.
Metode: Studi korelasi dengan desain cross-sectional. Terdapat 40 sampel yang telah menjalani implantasi koklea. Dilakukan pengukuran luas penampang nervus koklearis pada MRI koklea dan diameter kanalis auditori interna pada HRCT scan tulang temporal pada masing-masing sampel, kemudian dikorelasikan terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea berdasarkan skor CAP-II
Hasil: Median luas penampang nervus koklearis sampel 0,52 mm2 (+/- 0,14), median diameter kanalis auditori interna sampel 2,14 mm (+/- 0,35), dan median usia sampel saat implantasi koklea 4 tahun (1-11). Tidak terdapat korelasi antara luas penampang nervus koklearis terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea (r = 0,29; p = 0,075). Tidak terdapat korelasi antara diameter KAI terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea (r = - 0,02; p = 0,929). Tidak terdapat korelasi antara usia saat implantasi terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea (r = 0,07; p = 0,687).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara luas penampang nervus koklearis terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea. Tidak terdapat korelasi antara diameter KAI terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea. Tidak terdapat korelasi antara usia saat implantasi terhadap luaran auditori pascaimplantasi koklea. Diperlukan penelitian lanjutan secara prospektif untuk menentukan parameter kandidat implantasi serta prediktor luaran auditori pascaimplantasi koklea.

Background: Hearing loss is a common complaint that is often referred to an Ear Nose Throat (ENT) specialist, with the most cases occurring in the West Pacific and Southeast Asia regions. Hearing loss can interfere with a child's speech and language skills, resulting in difficulties in socialization and poor academic performance. Cochlear implantation is an effective rehabilitation method for sensorineural hearing loss patients. There is evidence of variation in the range of receptive communication after cochlear implantation. The correlation between cochlear nerve cross-sectional area (CSA), internal auditory canal diameter and age at implantation with postcochlear implantation auditory outcome is expected to be a candidate parameter for implantation as well as a predictor of postcochlear implantation auditory outcome.
Methods: Correlation study with cross-sectional design. There were 40 samples that had undergone cochlear implantation. The cross-sectional area of ​​the cochlear nerve was measured on cochlear MRI and the diameter of the internal auditory canal on the HRCT scan of the temporal bone in each sample, then correlated with the postcochlear implantation auditory outcome based on the CAP-II score.
Results: The median CSA of ​​the cochlear nerve sample was 0,52 mm2 (+/- 0,14), the median diameter of the internal auditory canal sample was 2,14 mm (+/- 0,35), and the median age of the sample at cochlear implantation was 4 years (1- 11). There was no correlation between the cross-sectional area of​​the cochlear nerve and the auditory output after cochlear implantation (r = 0,29; p = 0,075). There was no correlation between KAI diameter and postcochlear implantation auditory output (r = -0,02; p = 0,929). There was no correlation between age at implantation and postcochlear implantation auditory outcomes (r = 0,07; p = 0,687).
Conclusion: There is no correlation between the cross-sectional area of ​​the cochlear nerve and the auditory output after cochlear implantation. There is no correlation between KAI diameter and postcochlear implantation auditory output. There is no correlation between age at implantation and postcochlear implantation auditory outcomes. Further research is needed prospectively to determine the parameters of implantation candidates and predictors of postcochlear implantation auditory outcome.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Zeng, Fan-Gang, editor
"This proposed volume takes off from Volume 20, and expands the examination of implants into new and highly exciting areas. This edited book starts with an overview and introduction by Dr. Fan-Gang Zeng. Chapters 2-9 cover technological development and the advances in treating the full spectrum of ear disorders in the last ten years. Chapters 10-15 discuss brain responses to electric stimulation and their perceptual impact. This volume is particularly exciting because there have been quantum leap from the traditional technology discussed in Volume 20. "
New York: Springer, 2011
e20417594
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
Semiramis Zizlavsky
"Pendahuluan: Implan koklea merupakan alat elektronik yang saat ini banyak digunakan di seluruh dunia sebagai salah satu cara habilitasi dan rehabilitasi tuli sensorineural yang tidak atau sedikit mendapat manfaat dengan alat bantu dengar. Keberhasilan implan koklea bergantung banyak faktor antara lain usia saat operasi dan alat yang digunakan. Mengerti apa yang didengar tidak terjadi secara instan tetapi membutuhkan suatu proses panjang yang harus dijalani setelah operasi.
Tujuan: Menilai outcome pengguna implan koklea.
Cara: Dilaporkan tiga kasus tuli sensorineural yang menggunakan implan koklea dengan faktor yang berbeda antara lain etiologi dan usia saat operasi.
Hasil: Terdapat perbedaan kemajuan untuk memahami apa yang didengar disebabkan faktor usia saat operasi, etiologi dan kemampuan mendengar dan berbicara sebelum menggunakan implant koklea.

Introduction: Cochlear implant is an electronic device that is widely used around the world as one of the ways to habilitate and rehabilitate people with sensoryneural hearing loss who do not or barely benefit from the use of hearing aid. The successful use of cochlear implant rely on few factors, including the age at implantation and the devices used. To understand what one hears is not an instant process, but requires an exhaustive one, which takes place after the implantation.
Purpose: To determine the outcome of cochlear implant use.
Method: Three cases of patients with sensorineural hearing loss who receive cochlear implants are observed, each differs among others in etiology of deafness and age at implantation.
Results: The different results achieved in understanding what one hears depend on the age at implantation, etiology of deafness, as well as hearing and speaking ability prior to the use of cochlear implant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Kurnia Putri
"Latar belakang dan tujuan: Tuli sensorineural adalah penyebab tuli terbanyak pada anak-anak, akibat gangguan antaran impuls saraf pada koklea. Teknik implann koklea berkembang untuk mengatasi kelainan ini. Tomografi komputer resolusi tinggi memberikan peranan penting untuk mengevaluasi struktur koklea dan mengukur panjang duktus koklea untuk kepentingan pemasangan implan. Pengukuran dengan cara manual memiliki kekurangan waktu pengerjaan yang lama. Terdapat cara pengukuran dengan menggunakan rumus panjang duktus koklea yang dikembangkan oleh salah satu merk implan. Apabila terdapat korelasi antara kedua cara pengukuran tersebut, maka cara pengukuran dengan rumus panjang koklea dapat digunakan secara umum untuk semua merk implan koklea.
Metode: Penelitian deskriptif dengan menggunakan uji korelasi pada rerata panjang duktus koklea pasien dengan tuli sensorineural menggunakan pengukuran secara manual dan rumus panjang koklea yang dilakukan pemeriksaan tomografi komputer resolusi tinggi tulang temporal di Departemen Radiologi RSCM terhadap 86 sampel penelitian.
Hasil: Dengan uji korelasi Pearson, didapatkan nilai p

Background and Objective: Sensorineural hearing loss is the most common cause of deafness in children, due to impaired nerve impulses in the cochlea. Cochlear implant technique develops to overcome this disorder. High resolution computed tomography provides an important role in evaluating the cochlear structure and measuring the length of the cochlear ducts for the benefit of implantation. Manual measurements have a short time lapse. There is a method of measurement using the cochlear duct length equation developed by one of the implant brands. If there is a correlation between the two methods of measurement, then the method of measurement by cochlear length equation can be used generally for all brands of cochlear implants
Methods: A Descriptive correlation study of the mean length of the patient 39 s cochlear duct with sensorineural hearing loss using manual measurement and cochlear length equation performed by high resolution computed tomography examination of the temporal bone at Radiology Department of Cipto Mangunkusumo hospital for 86 research samples.
Results: With Pearson correlation test, obtained p value
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sugianto Santoso
"Latar Belakang : Pemeriksaan HRCT tulang temporal pada pasien dengan tuli sensorienural kongenital / congenital sensorineural hearing loss (CSNHL) mengidentifikasi malformasi telinga dalam sebesar 25%, sementara itu organ telinga dalam terlihat normal secara kualitatif pada 75% pasien. Malformasi berat dari struktur telinga dalam mudah terdiagnosis melalui inspeksi kualitatif, sementara itu displasia yang kurang berat atau malformasi ringan luput dari pemeriksaan kualitatif.
Tujuan : Mempertajam evaluasi diagnosis malformasi telinga dalam menggunakan CT scan untuk diagnosis CSNHL sebagai kandidat implan koklea. Desain penelitian : retrospektif potong lintang.
Metode : Pengukuran koklea, bony island kanalis semisirkularis lateral (KSS lateral), kanalis akustikus internus (KAI) dan bone cochlear nerve canal (BCNC) dibuat secara 3D MPR HRCT pada 15 pasien dengan normal pendengaran dan 15 pasien CSNHL yang secara kualitatif normal pada CT scan tulang temporal. Tes T tidak berpasangan dilakukan untuk membandingkan pengukuran kedua kelompok.
Hasil : Terdapat pengecilan signifikan diameter kraniokaudal KAI (p<0.05) pada balita CSNHL dibandingkan normal, sedangkan tidak terdapat perbedaan signifikan pada ukuran koklea, bony island KSS lateral, BCNC dan diameter transversal KAI serta rata-ratanya antara kedua kelompok.
Kesimpulan : Kecilnya diameter kraniokaudal KAI mengesankan penggunaan HRCT tulang temporal dapat digunakan untuk mempertajam diagnosis pasien CSNHL serta memprediksi displasia integritas nervus kokelaris yang mempengaruhi prognosis implan koklea.

Background : Temporal bone HRCT examination on CSNHL patients are identifies with inner ear malformation in approximately 25%, whereas the inner ear is grossly normal to qualitative examination in the remaining 75% of the patients. Severe malformation of the inner ear structure are easy to diagnose via qualitative inspection, while less severe dysplasia or mild malformation are missed by simple qualitative inspection.
Objective : Sharpen diagnostic evaluation for the diagnosis of the inner ear malformation of CSNHL as cochlear implant candidates.
Study design : retrospective cross sectional Methods : Measurements of the cochlea, bony island lateral semisircular canal (LSCC), internal auditory canal (IAC), and bone cochlear nerve canal (BCNC) were made on 3D MPR HRCT on 15 patients with normal hearing and 15 patients CSNHL qualitatively normal on temporal bone CT scan. Independent t-test was performed to compare the measurements of the two groups.
Results : There is significant diminution on craniocaudal IAC diameter (p<0.05) on CSNHL toddler compare to normal, whereas there is no significant different in the measurements of the cochlea, bony island LSCC, BCNC and tranverse diameter of the IAC as well as the average between the two groups.
Conclusions : Narrowing of the IAC craniocaudal diameter impress that temporal bone HRCT can be used to refine the diagnosis CSNHL patients and predict dysplasia of the cochlear nerve integrity affecting prognosis for cochlear implant.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wresty Arief
"ABSTRAK
Anak tuli prelingual akan kehilangan fungsi mendengar dan bicara, sehingga akan berpengaruh pada komunikasi, psikologis, dan kualitas hidup. Implan koklea hadir sebagai alat habilitasi terutama pada anak dengan tuli derajat berat dan sangat berat. Tesis ini akan membahas mengenai data karakteristik anak 6 ndash; 12 bulan pasca implantasi koklea, evaluasi perkembangan auditori dan bicara anak serta faktor-faktor yang mempengaruhi hasil keluaran. Penelitian ini bersifat deskriptif potong lintang, menggunakan metode penilaian berupa pengamatan yang bersifat global yaitu Categories Auditory Performance CAP - II dan Speech Intelligibility Rate SIR . Penelitian ini dilakukan pada 36 subjek, median CAP-II pada anak 6 ndash; 12 bulan pasca implantasi koklea ialah 3 skor minimal 2 - maksimal 7 . Penilaian kemampuan bicara dengan menggunakan metode SIR anak pasca 6 -12 bulan implantasi koklea didapatkan median 2 skor minimal 1 dan maksimal 4 . Median waktu saat evaluasi 8,9 bulan dengan pencapaian 33,3 subjek dalam kategori CAP tinggi skor 5 atau lebih , dan 38,89 subjek yang mencapai kategori SIR tinggi skor 3 atau lebih.

ABSTRACT
Prelingual deaf children caused the child unable to hear and speak, impacting his or her ability to communicate, psychological growth, and overall life quality of the child. Cochlear implant comes as habilitating device mainly for children with severe and profound deafness. This thesis will discuss and explain in children 39 s characteristic data on 6 ndash 12 months after cochlear implantation, evaluating their speech and auditory development and other influencing factors. This research is descriptive cross sectional study and observe child using global method Categories Auditory Performance CAP II and Speech Intelligibility Rate SIR . This research is conducted on 36 subjects, with median CAP II score of 3 minimum 2 maximum 7 at 6 ndash 12 months post cochlear implantation. Speech ability evaluation using SIR method with median score of 2 minimum 1 maximum 4 . Median hearing age for this study sample was 8,9 months. After 6 12 months cochlear implantation, 33.3 children that reach high CAP scores CAP score of 5 or greater , and only 38.9 reaching high SIR scores SIR score of 3 or greater.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ikarie Monitha Arthos
"Kematian berarti berakhirnya daur kehidupan seseorang dan merupakan bagian dari eksistensi manusia yang perlu dikenali sebagai komponen yang alami dalam daur kehidupan, yang pada akhirnya dapat memberi arti pada keberadaanya sebagai manusia. Kematian menetapkan batasan dalam kehidupan dan mengingatkan manusia untuk memanfaatkan waktu yang dimiliki dengan sebaikbaiknya. Tetapi, bagi orang lain pada siapa kematian tersebut membawa pengaruh, hal ini tetap merupakan faktor yang harus diintegrasikan ke dalam daur kehidupan yang sedang berlangsung (Peterson, 1984). Sebab, bagi orang yang ditinggalkan, kematian tersebut dapat menimbulkan kesedihan yang dapat dianggap sebagai saat krisis dan berpengaruh besar terhadap perkembangan kehidupannya.
Ada 2 kehilangan yang dapat dikatakan paling mengganggu dan mungkin menjadi tekanan, yaitu kehilangan anak dan kehilangan pasangan. Dalam daur kehidupan manusia, terdapat suatu periode di mana masalah kehilangan pasangan merupakan salah satu penyesuaian yang harus dilalui dalam tahap perkembangannya, yaitu tahap dewasa akhir (late adulthood). Bagi pasangan lanjut usia, lamanya hidup bersama telah membuat mereka mengembangkan suatu hubungan yang nyaman melalui kegiatan rutin sehari-hari dan membuka kesempatan untuk memperdalam hubungan serta lebih menerima dan memahami pasangan. Oleh sebab itu, pasangan diasumsikan mengalami penderitaan paling besar dalam perpisahan karena kematian.
Kematian seseorang dapat menimbulkan kehilangan (bereavement) dan rasa sedih (grief) yang muncul sebagai reaksi normal terhadap kehilangan. Masa kehilangan kemudian membawa dua tantangan, yaitu menyelesaikan kesedihan akibat kehilangan orang yang dicintai dan membangun kehidupan baru sebagai individu (Brubaker, 1985 dalam Lemme, 1995). Ada tiga hal yang dapat dijelaskan sehubungan dengan pengalaman kehilangan, yaitu proses yang dilalui, faktor-faktor yang mempengaruhi dan konsekuensi yang timbul sebagai akibat kehilangan tersebut. Pengetahuan akan hal ini akan dapat digunakan sebagai dasar pemberian bantuan bila terjadi kesulitan saat menjalaninya. Dengan memperhatikan kekhususan pada tingkat perkembangan dewasa akhir dan perbedaan dalam respon terhadap rasa kehilangan pada pria dan wanita, dalam penelitian ini ingin diperoleh gambaran proses kehilangan dan kesedihan wanita lanjut usia yang kehilangan pasangan, dengan mengacu pada aspek proses yang dilalui, faktor-faktor yang mempengaruhi dan konsekuensi yang dirimbulkan.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan menggunakan teknik wawancara dan observasi untuk mengumpulkan data. Subyek penelitian terdiri dari 5 orang wanita lanjut usia yang telah menjanda selama IV2 sampai 2 tahun 4 bulan. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap kelima subyek, yang dipandu dengan pedoman wawancara berstruktur. Setelah data selesai dikumpulkan, dilakukan analisa secara kualitatif untuk mendapatkan gambaran proses kehilangan dan kesedihan pada wanita lanjut usia akibat kematian pasangan. Proses analisa data yang digunakan berasal dari definisi analisa data yang dikemukakan oleh Miles & Huberman (1994).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa gambaran proses berduka yang dialami oleh subyek mempunyai perbedaan-perbedaan bila dibandingkan dengan apa yang dikemukakan oleh teori mengenai proses berduka dari Phyllis Silverman dan Parkes. Pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka dan konsekuensi setelah kehilangan pasangan terlihat adanya keunikan pada tingkat perkembangan dewasa akhir ini, dengan faktor usia dan lamanya menikah sebagai dasar perbedaannya. Hal-hal yang terjadi dalam kehidupan subyek dan karakteristik dari tingkat perkembangan dewasa akhir kemudian digunakan untuk menjelaskan kenapa perbedaan dengan teori itu terjadi. Faktor agama yang muncul dalam menjalani kehilangan juga menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan.
Saran terhadap penelitian meliputi penggunaan metode longitudinal untuk penelitian selanjutnya dan menambah penggunaan wawancara terhadap orang yang mengetahui bagaimana subyek menjalani kehilangannya. Selanjutnya penelitian mengenai fenomena yang sama pada tingkat perkembangan yang berbeda dan mengetahui pengaruh faktor-faktor lain terhadap pengalaman berduka seseorang akan menambah pengetahuan mengenai fenomena kehilangan dan kesedihan akibat kematian. Pada akhirnya pengetahuan yang dimiliki diharapkan dapat dijadikan dasar pemberian bantuan bagi orang-orang yang mengalami kesulitan dalam melalui proses tersebut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2613
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handrianto
"Pendahuluan Kehilangan pendengaran adalah problem yang sering diderita pekerja yang terpajan bising, diantaranya adalah masinis kereta api. Pajanan bising dapat menyebabkan kondisi stres oksidatif yang menyebabkan kematian pada sel rambut melalui proses nekrosis atau apoptosis. Untuk mengatasi hal tersebut, tubuh manusia memiliki mekanisme pertahanan endogen dengan membentuk enzim antioksidan, salah satunya glutathione peroxidase. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk korelasi antara aktivitas glutathione peroxidase dengan hasil pemeriksaan audiometri dan mengetahui akurasi aktivitas glutathione peroxidase sebagai prediktor hasil pemeriksaan audiometri yang dapat digunakan untuk mendeteksi dini kehilangan pendengaran akibat bising. Metode Penelitian ini menggunakan desain cross- sectional pada masinis kereta api. Variabel prediktor mencakup aktivitas glutathione peroxidase, indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia. Variabel respon adalah nilai rerata ambang pendengaran pada frekuensi 3000, 4000, dan 6000 Hz. Hasil Subyek penelitian terdiri dari 46 orang masinis yang memiliki rerata nilai ambang pendengaran pada frekuensi 3000, 4000, 6000 Hz < 25dB. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa aktivitas glutathione peroxidase berhubungan dengan nilai ambang pendengaran (p = 0,03) dengan kekuatan korelasi negatif yang lemah (r = -0,312). Dari analisis regresi linier didapatkan bahwa aktivitas glutathione peroxidase, indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia melalui sebuah persamaan regresi (p = 0,018) dapat digunakan untuk memprediksi nilai ambang pendengaran = 15,104 – 0,019 (glutathione peroxidase) - 0,002 (indeks brinkman) – 0,474 (indeks massa tubuh) + 0,237 (usia) dengan nilai adjusted R2 = 0,175. Kesimpulan Aktivitas glutathione peroxidase bersama indeks brinkman, indeks massa tubuh, dan usia dapat memprediksi nilai ambang pendengaran sesuai dengan persamaan regresi yang didapatkan dalam penelitian ini. Namun, masih terdapat beberapa variabel lain yang mungkin dapat memengaruhi nilai ambang pendengaran yang harus diperhitungkan.

INTRODUCTION Hearing loss is a problem that often affects workers, including train drivers, who are exposed to noise. Noise exposure can cause oxidative stress conditions causing permanent damage to hair cells through necrosis or apoptosis. The human body has an endogenous defense mechanism by forming antioxidant enzymes, one of which is glutathione peroxidase. This study aims to determine the correlation between glutathione peroxidase activity and audiometric examination results and the accuracy of glutathione peroxidase activity as a predictor of audiometric examination results that can be used for early detection of noise-induced hearing loss. METHODS This study of the train driver population used a cross- sectional design. Predictor variables include glutathione peroxidase activity, Brinkman index, body mass index, and age. The response variable is the average hearing threshold at frequencies 3000, 4000, and 6000 Hz. RESULTS The research subjects consisted of 46 train drivers with an average hearing threshold of 3000, 4000, and 6000 Hz < 25dB. Correlation test results showed that glutathione peroxidase activity was associated with a hearing threshold value (p = 0.03) with a weak negative correlation strength (r = -0.312). From linear regression analysis it was found that glutathione peroxidase activity, Brinkman index, body mass index, and age through a regression equation (p = 0.018) can be used to predict the hearing threshold value = 15.104 - 0.019 (glutathione peroxidase) - 0.002 (Brinkman index) - 0.474 (body mass index) + 0.237 (age) with adjusted R2 = 0.175. CONCLUSION Glutathione peroxidase activity, Brinkman index, body mass index, and age can predict hearing threshold values according to the regression equation obtained in this study. However, there are still several other variables that may affect the hearing threshold value that must be taken into account."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lihawa, Wahyudin
"Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran hubungan antara intensitas bising dengan gangguan pendengaran terhadap pekerja.Penelitian dilakukan terhadap 349 responden di bagian Steel Melting dan Rolling Mills PT X pada bulan Maret - Juni 2014 menggunakan desain cross-sectional, data primer berupa hasil pengukuran intensitas bising dan audiogram, data sekunder berupa gambaran umum perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 52 responden (14,9%) mengalami gangguan pendengaran, responden yang mengalami gangguan pendengaran terbanyak yaitu sebesar 59,6% (31 responden) adalah responden yang bekerja di Area Steel Melting yang memiliki intensitas kebisingan >85 dB. Penelitian menunjukkan gangguan pendengaran tidak berhubungan dengan pajanan debu, riwayat penyakit Diabetes melitus dan riwayat penyakit Hipertensi (p-value>α(0,05). Untuk mencegah terjadinya gangguan pendengaran kepada pekerja lainnya, perlu dilakukan upaya pengendalian risiko dengan melakukan pengendalian teknis, pengendalian administratif dan perlindungan kepada pekerja yang bekerja di area tersebut.

This study aims to provide an overview of the relationship between the intensity of noise with a hearing loss of workers. Study was conducted on 349 respondents at the Steel Melting and Rolling Mills PT X in March - June 2014 using cross-sectional design, the primary data in the form of noise intensity measurement results and results of audiometric measurement, secondary data from a general overview of the company. The results showed that 52 respondents (14.9%) had hearing loss, respondents who have a hearing loss that is equal to 59.6% (31 respondents) of respondents who work in Steel Melting areas that have noise intensity > 85 dB. Research showed hearing loss is not related to dust exposure, history of diabetes mellitus and a history of hypertension (p-value> α (0.05). To prevent hearing loss to other workers, risk control efforts should be made to perform technical control, control administrative and protection to employees who work in the area.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>