Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107850 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahrul Safrizal
"Tulisan ini membahas mengenai bentuk fasad dan elemen-elemen fasad bangunan sekolah kolonial modern di Kota Yogyakarta tahun 1900 sampai 1940. Dalam kajian arkeologi, fasad bangunan merupakan salah satu bentuk peninggalan masa kolonial yang memiliki keistimewaan dan keunikan tersendiri yang mengandung nilai penting dan sejarah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk fasad dan elemen- elemen fasad bangunan-bangunan sekolah kolonial di kota Yogyakarta, serta faktor-faktor apa yang mempengaruhi suatu bentuk fasad bangunan sekolah. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif dari bentuk dan gaya bangunan, dengan tahapan penelitian terdiri dari pengumpulan data, pengolahan data dan penafsiran data. Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa semua fasad bangunan-bangunan sekolah memiliki keunikan dengan adanya pengaruh dari perpaduan gaya Eropa dan gaya Lokal. Selain itu terdapat kesamaan pada semua bentuk fasad sekolah yaitu berbentuk persegi panjang, namun memiliki perbedaan pada detail dan elemen-elemen fasad ( atap, dinding, jendela, pintu, lubang- lubang angin atau ventilasi dan hiasan atau ornamen) bangunannya yang di pengaruhi oleh faktor waktu, keletakkan atau lokasi, dan historis.

This paper will discusses about the facades and element of the facades of modern colonial school buildings in Yogyakarta from 1900 to 1940. In archaeological studies, the facades are a form of heritage from the colonial period which has its own peculiarities and uniqueness which contains historical and important values. This study aims to determine the form of facades and facade elements of colonial school buildings in the city of Yogyakarta, as well as what factors influence a form of school building facades. The method used in this research is descriptive analysis of form and style, with the research stages consisting of data collection, data processing and interpretation. The results obtained from the study show that all school building facades are unique with a combination of European and local styles. In addition, there are similarities in the shape of the facade, which is rectangular, but has differences in the details and elements of the facade (roofs, walls, windows, doors, vents and ornament) of the building which is influenced by time, place or location, and historical factors."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wimpy Seoulino
"Tugas akhir ini membahas mengenai gaya fasad bangunan sekolah di Kota Bogor yang bertujuan untuk mengetahui bentuk, jenis gaya arsitektur fasad bangunan sekolah kolonial di Kota Bogor dan faktor apa yang mempengaruhinya. Dari lima fasad bangunan yang menjadi objek penelitian, seluruh fasad bangunan memiliki gaya dominan Indisch stijl dengan beberapa ornamen pengaruh gaya art deco, art and craft, dan Amsterdam school. Pengaplikasian gaya Indisch stijl merupakan bukti adanya modernisasi namun tetap mengupayakan adaptasi dan eklektisisme terhadap tradisi arsitektur lokal dan iklim Kota Bogor. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya pada fasad bangunan sekolah kolonial di Kota Bogor pada tahun 1899-1930 adalah historis, keletakan, dan waktu.

This final project discusses the facade style of school buildings in Bogor City which aims to determine the form, type of architectural style of colonial school buildings in Bogor City and what factors influence it. Of the five building facades that became the object of research, all of the building facades have the dominant style of Indisch Stijl with several influences of art deco, art and craft ornaments, and the Amsterdam school. The application of the Indisch Stijl style is proof of modernization but still strives for adaptation and eclecticism to local architectural traditions and the climate of Bogor City. The factors that influence the style on the facade of a colonial school building in Bogor City in 1899-1930 are history, location, and time."
Depok: 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Malita Dewi
"Bangunan sudut merupakan salah satu peninggalan dari masa kolonial Belanda di Indonesia yang dapat memperlihatkan adanya perpaduan antara pengaruh arsitektur Eropa dan Indonesia. Hal ini terjadi karena dalam pembangunannya, masyarakat Belanda melakukan penyesuaian terhadap lingkungan untuk kenyamanan pemakaian namun tetap mengadaptasi bentuk seperti di negara asalnya. Salah satu wilayah yang memiliki bangunan sudut dan sampai saat ini masih dapat dilihat berada di Kota Lama Surabaya. Dengan demikian, penelitian ini bermaksud untuk menguraikan keletakan dan bentuk-bentuk bangunan sudut di Kota Lama Surabaya (1900 – 1940), serta kaitannya dengan aspek lingkungan di kawasan tersebut. Sebanyak 14 bangunan sudut yang letaknya di persimpangan jalan menjadi objek dalam penelitian ini. Kemudian metode yang digunakan adalah metode analisis kontekstual dan analisis komparasi dengan membandingkan keletakan dan bentuk bangunan sudut di Kota Lama Surabaya, Kota Lama Semarang, dan Bandung. Hasilnya, letak bangunan sudut di Kota Lama Surabaya yang berada di persimpangan ganda memiliki dua bentuk sudut. Selain itu, sebagian besar memiliki kesamaan karakteristik dengan bangunan sudut di Bandung, namun tidak ditemukan bentuk kurva linear di Kota Lama Surabaya. Kemudian, adanya pengaruh lingkungan pada letak dan bentuk bangunan sudut di Kota Lama Surabaya menyebabkan adanya perbedaan dengan bangunan-bangunan sudut di Kota Lama Semarang dan Bandung.

The corner building is one of the relics of the Dutch colonial period in Indonesia which can show the combination of European and Indonesian architectural influences. This happened because in its construction, the Dutch people made adjustments to the environment for comfortable use but still adapted the form as in their home country. One of the areas that has corner buildings and can still be seen today is in Surabaya Old City. Thus, this study intends to describe the layout and forms of corner buildings in Surabaya Old City (1900 – 1940), as well as their relation to environmental aspects in the area. There are 14 corner buildings located at the crossroads that became the object of this study. Then, the method used is the method of contextual analysis and comparative analysis by comparing the layout and form of the corner buildings in Surabaya Old City, Semarang Old City, and Bandung. As a result, the location of the corner building in Surabaya Old City which is at a double intersection has two corner shapes. In addition, most of them have similar characteristics with corner buildings in Bandung, but there is no linear curve found in Surabaya Old City. Then, the influence of the environment on the layout and form of the corner buildings in Surabaya Old City causes a difference with the corner buildings in Semarang Old City and Bandung."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Penelitian ini membicarakan tentang permukiman Tionghoa di Surabaya pada masa kolonial. Hal itu berangkat dari asumsi bahwa pada masa lalu dan bahkan sampai sekarang hampir di semua kota di Indonesia memiliki wilayah yang namanya Pecinan
"
PATRA 9(1-2) 2008
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Depdikbud, 1977
R 370.9598 Ind p
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Idmand Perdina
"Bangunan sudut sebagai salah satu peninggalan masa kolonial dapat memperlihatkan perpaduan pengaruh arsitektur Eropa dengan kearifan lokal dalam bentuk yang lebih menarik dibandingkan bangunan di sekitarnya. Peninggalan tersebut banyak dijumpai di Kawasan Kota Lama Semarang sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan untuk wilayah Jawa bagian tengah yang memiliki karakteristik unik karena terdapat ratusan bangunan di lahan dengan luas sekitar 30 hektar sehingga tata bangunannya memunculkan banyak bangunan sudut. Keletakan dan bentuknya yang berbeda mengandung unsur-unsur yang dapat menjadi tanda perkembangan gaya arsitektur sehingga menarik untuk diteliti. Unsur-unsur tersebut kemudian didata dan dianalisis untuk mengetahui posisi Kota Lama Semarang dalam perkembangan gaya arsitektural. Hasilnya menunjukkan bahwa bangunan sudut di Kota Lama Semarang mengalami dua fase perkembangan gaya, yaitu gaya transisi dan gaya kolonial modern. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa Kota Lama Semarang adalah kota yang dinamis meskipun sudah berdiri sejak abad 17.

Corner building as one of the relics of the colonial period can show the combination of European architectural influences with local wisdom in a more interesting form compared to the surrounding buildings. These relics are often found in Semarang Old City as an economic and government center for the central part of Java, which has unique characteristics because there are hundreds of buildings on a land area of about 30 hectares so that the building layout raises many corner buildings. The layout and the different forms contain elements that can be a sign of the development of architectural style so that it is interesting to study. The elements are then recorded and analyzed to determine the position of Semarang Old City in the development of architectural styles. The results show that the corner building in Semarang Old City underwent two phases of style development, namely the transition style and the modern colonial style. It also shows that Semarang Old City is a dynamic city even though it was founded in the 17th century."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wal, S.L. van der, editor
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977
370.598 WAL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Berliana Windy Arlintya
"Ketandan merupakan kawasan permukiman masyarakat Etnis Tionghoa (pecinan) yang terletak di Kota Yogyakarta. Adanya kependudukan Belanda di tanah Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ternyata memiliki pengaruh terhadap pembentukan identitas budaya masyarakat Etnis Tionghoa. Hal tersebut dapat terlihat pada
gaya bangunan yang dijadikan sebagai tempat aktivitas sehari-hari. Bangunan yang dijadikan data penelitian berjumlah 13 bangunan yang berupa bangunan hunian, rumah toko, dan toko. Dengan demikian penelitian ini akan membahas mengenai identitas budaya masyarakat Tionghoa di Pecinan Ketandan dengan menggunakan
tiga metode penelitian Sharer&Ashmore, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan analisis data. Analisis yang digunakan menggunakan analisis deskriptif yang didasarkan pada konsep identitas budaya Stuart Hall (identity of becoming dan identity of being). Setelah dilakukan analisis akan ditarik kesimpulan yang
menjelaskan bahwa masyarakat Tionghoa di Pecinan Ketandan memiliki tiga identitas budaya yang berbeda, yaitu Tionghoa, Belanda, dan Jawa. Adanya tiga budaya yang berbeda ini dipengaruhi oleh faktor sosial dan religi, yaitu interaksi keseharian, perkawinan, dan tradisi.

Ketandan is a residential area of ​​the Chinese ethnic community (Chinatown) located in the city of Yogyakarta. The existence of the Dutch population in the land of the Ngayogyakarta Hadiningrat Sultanate turned out to
have an influence on the formation of the cultural identity of the Chinese community. This can be seen in the style of the building as a place for daily activities such as residential buildings, shop houses, and shops. This
study will discuss the cultural identity of the Chinese community at Ketandan Chinatown by using three methods of Sharer & Ashmore research, namely data collection, data processing, and data analysis. The analysis used is
descriptive analysis based on Stuart Hall's concept of cultural identity (identity of becoming and identity of being). After the analysis is conducted, conclusions will be drawn explaining that the Chinese community in
Ketandan Chinatown has three different cultural identities, namely Chinese, Dutch, and Javanese. The existence of these three different cultures are influenced by social and religious factors, namely daily interactions, marriage, and tradition
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bagas Sava
"ABSTRAK
Dewasa ini, muncul kebiasaan baru dalam kalangan wisatawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri untuk berburu kuliner. Hal ini menciptakan suatu fenomena yang kemudian disebut sebagai wisata kuliner dimana para wisatawan tidak segan untuk membayar mahal agar dapat mencicipi hidangan khas dari suatu wilayah. Kota Yogyakarta pada umumnya yang mengalami perubahan struktural sektor agrikultur menuju manufaktur (tenaga mesin) hingga akhirnya mencapai sektor jasa, wilayah kota Yogyakarta mengalami loncatan dari sektor agrikultur ke sektor jasa dimana industri pariwisata berada di dalamnya, termasuk pariwisata kuliner dengan makanan-makanan khas Yogyakarta seperti gudek, bakpia, yangko, dan lain sebagainya. Disamping makanan tradisional, terdapat juga makanan-makanan khas Yogyakarta yang merupakan hasil dari akulturasi budaya. Sebagai contoh, terdapat bakmi yogya, bakmi pentil, dan mie des yang merupakan hasil dari perpaduan antara budaya Tiongkok dengan budaya lokal. Akulturasi budaya kuliner tersebut dapat dilihat antara lain dari bahan utama, cara penyajian, serta cara pengemasan makanan. Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, survey lapang akan dilakukan unuk meletakan posisi (plotting) berbagai rumah makan atau restoran di Kota Yogyakarta yang hasilnya kemudian akan diolah untuk menghasilkan sebuah peta pola spasial akulturasi kuliner asing di Kota Yogyakarta dalam jangka waktu antara tahun 2005-2018.

ABSTRACT
New habits among tourists, both from domestic and abroad, in culinary hunt are emerging today. It creates a phenomenon later called culinary tourism where the tourists do not hesitate to pay in a heavy price in order to taste the local dishes of the region. Unlike the Regions of Daerah Istimewa Yogyakarta in general that is undergoing a structural change to agricultural sector towards manufacturing (power machines), the City of Yogyakarta experienced a leap from the agricultural sector to the services sector this is includes the tourism industry which also carries with the culinary tourism with local foods of Yogyakarta as gudek, bakpia, yangko, and so forth. Besides the traditional food, there are also food from Yogyakarta that emerges as the result of acculturation. For example, Bakmie Yogya, Bakmie Pentil and Mie Des. These culinary are the outcome of the combination between Chinese culture with local culture. The culinary culture acculturation can be seen among others from the main material, manner of presentation, as well as a way of packaging food. By paying attention to these aspects, field survey will be conducted by plotting a variety of restaurants in Yogyakarta then processed to produce a map of the spatial pattern of acculturation foreign cuisine in the city of Yogyakarta since 2005-2018."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>