Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 188320 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Seli Muna Ardiani
"Kekerasan seksual selama ini banyak dipahami dalam definisi subjektif. Maknanya bergantung pada pengetahuan dan batasan subjek penahu. Untuk memecahkan masalah ini, Superson mewakili model feminis analitik, mencoba merumuskan suatu kerangka definisi objektif yang melepaskan kondisi-kondisi: 1) subjek A tidak mengetahui apa itu kekerasan seksual, 2) subjek A tidak mendefinisikan bahwa tindakan B terhadapnya adalah kekerasan seksual, 3) subjek A mengetahui bahwa B melakukan kekerasan seksual terhadapnya namun enggan untuk mengartikulasikan. Studi ini merupakan bentuk dukungan terhadap gagasan objektivitas di dalam kekerasan seksual sekaligus koreksi dengan mempertimbangkan diskusi yang berkembang di dalam teori feminisme. Secara khusus, proses pertimbangan dan kritik yang saya lakukan menggunakan kerangka realisme konstruksi sosial Sally Haslanger. Sehingga, rekonseptualisasi atas definisi objektif saya formulasikan melalui kekuatan konstruksi sosial konstitutif. Amatan ini juga ditujukan pada implikasi argumen objektivitas di dalam kebijakan kekerasan seksual di Indonesia yang saya khususkan yakni UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual No 12 Tahun 2022). Permasalahan tersebut saya urai dalam dua rumusan pertanyaan: 1) Bagaimana argumen objektivitas di dalam kekerasan seksual: 1.a) Bagaimana problem pendefinisian kekerasan seksual? 1.b) Bagaimana pemeriksaan argumen objektif dan sumbangsihnya dalam perdebatan teori feminisme mengenai kekerasan seksual?, 2) Apa implikasi teoretik argumen objektivitas bagi kebijakan kekerasan seksual? Kesimpulannya, argumen objektivitas memberikan sumbangan bagi perdebatan teori feminisme, yakni melalui pemeriksaan realisme konstruksi sosial kausal dan konstitutif. Dua model ini mampu menunjukkan mana argumen lemah dan kuat dalam tiga perspektif feminisme mengenai kekerasan seksual (natural-biologi, sosiokultural, dan liberal). Pembedaan tersebut setidaknya berguna dalam melihat keluasan tindakan kekerasan seksual di dalam UU TPKS. Kendati demikian, keluasan permasalahan yang ada dalam UU TPKS tidak sepenuhnya mampu ditangkap oleh model ini. Oleh karenanya, saya memberikan catatan tambahan yang menyangkut dimensi korban kekerasan seksual dan tindakan yang belum diakomodir di dalam UU TPKS.

Sexual violence has been widely understood in terms of subjective definitions. Its meaning depends on the knowledge and limitations of the knowing subject. To solve this problem, Superson represents the analytic feminist model, trying to formulate an objective definitional framework that releases the conditions: 1) subject A does not know what sexual violence is, 2) subject A does not define that B's actions against him are sexual violence, 3) subject A knew that B had sexually assaulted her but was reluctant to articulate it. This study is a form of support for the idea of objectivity in sexual violence as well as a correction by considering the discussions that developed in feminism theory. In particular, the process of consideration and criticism that I carried out used the framework of Sally Haslanger's social construction realism. Thus, I have formulated a reconceptualization of the objective definition through the power of constitutive social construction. This observation is also aimed at the implications of objectivity arguments in the policy of sexual violence in Indonesia, which I specifically focus on, namely the UU TPKS (Law on the Crime of Sexual Violence No. 12, 2022). I will describe the problem in two questions: 1) What is the argument for objectivity in sexual violence: 1.a) How is the problem of defining sexual violence? 1.b) How is the objective argument examined and its contribution to the feminist theory debate on sexual violence? 2) What are the theoretical implications of the objectivity argument for sexual violence policy? In conclusion, the objectivity argument contributes to the debate on feminism theory, namely through an examination of the realism of causal and constitutive social constructions. These two models are able to show which arguments are weak and strong in the three feminist perspectives regarding sexual violence (natural-biological, sociocultural, and liberal). This distinction is at least useful in looking at the breadth of acts of sexual violence in the UU TPKS. However, the breadth of the problems contained in the UU TPKS cannot be fully captured by this model. Therefore, I provide additional notes concerning the dimensions of victims of sexual violence and acts that have not been accommodated in the UU TPKS."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ana Nadila
"Skripsi ini mencoba membahas bagaimana memahami kontestasi wacana yang muncul dalam memahami substansi draft RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui pendekatan pluralisme agonistik Chantal Mouffe dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan pluralisme agonistik menjadi pendekatan alternatif dalam memahami keberlangsungan demokrasi di tengah kondisi pluralitas masyarakat. Konsep ini merupakan alternatif dari pendekatan demokrasi liberal yang memusatkan demokrasi pada tujuan untuk mencapai konsensus yang rasional. Mouffe melalui konsep pluralisme agonistiknya mengkritik bahwa orientasi demokrasi liberal pada proses pencapaian konsensus yang rasional telah mengeliminasi “the Political” sehingga berpotensi menghambat terciptanya pluralisme publik dalam kehidupan demokrasi itu sendiri. Adapun kontestasi wacana antara pihak yang mendukung dan menolak pengesahan RUU P-KS menjadi relevan untuk dipahami menggunakan pendekatan pluralisme agonistik karena kontestasi yang terjadi melibatkan wacana dengan pendekatan yang masih belum bisa menemukan titik kesepakatan. Dengan menggunakan pendekatan pluralisme agonistik, kontestasi wacana dalam memahami RUU P-KS merupakan refleksi dari hidupnya proses demokrasi. Berlangsungnya kontestasi wacana ini merupakan wujud ‘konsensus konfliktual’ (conflictual consensus) di mana artinya adalah merayakan keberagaman melalui pluralisme yang sarat konflik.

his thesis discusses about how to understand discourse between supporters and opponents of the Sexual Violence Eradication Bill using the concept of agonistic pluralism by Chantal Mouffe through qualitative research methods. Agonistic pluralism is an alternative approach to understand the process of democracy in divided society like Indonesia. Through this concept, Mouffe criticizes about democracy concept in liberal paradigm that tends to eliminate “the Political” because of its orientation to achieve rational consensus. The orientation of liberal paradigm democracy in a rational consensus process can hinder the creation of public pluralism in democratic it self. Discourse between supporters and opponents of RUU P-KS is relevant to be understood in agonistic pluralism concept because this discourse involves irreconcilable thoughts. By using an agonistic pluralism concept, the discourse in understanding the Sexual Violence Eradication Bill is a reflection of the existence of democracy. The ongoing discourse is a form of “conflictual consensus”, which means celebrating diversity through pluralism which is full of conflicts."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Fitri Izzati Ramadhani
"Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) gagal mengesahkan Rancangan Undang Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2019, yang merupakan RUU usulan DPR pada 2016 dalam RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2014-2019. Pembahasan RUU ini cukup lama sejak dirumuskan pada 2014, dan hingga 2019 pembahasan hanya sampai pada tingkat pertama karena menuai pro-kontra di masyarakat. Studi ini fokus menganalisis kegagalan DPR dalam mengesahkan RUU PKS ini dengan menggunaka metode kualitatif berupa wawancara mendalam dan kajian literatur. Hasil penelitian menunjukan bahwa kekerasan seksual terhadap perempuan pada dasarnya merupakan isu krusial yang memerlukan solusi melalui sebuah regulasi. RUU PKS dianggap dapat melindungi hak-hak perempuan dari kekerasan. Tetapi pada sisi lainnya, RUU PKS dinilai bertentangan dengan moral maupun ajaran agama bahkan sampai dianggap melegalkan seks bebas ataupun LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender). Masih melekatnya budaya patriarki, kurangnya komitmen maupun pemahaman representasi politik para anggota legislatif dalam membela hak-hak perempuan, juga masih adanya seksisme institusional di lembaga legislatif Indonesia, menjadi temuan dari penelitian terkait penyebab gagalnya pengesahan RUU PKS pada tahun 2019.

The People's Representative Council of the Republic of Indonesia (DPR RI) failed to pass the Bill on the Elimination of Sexual Violence (RUU PKS) in 2019, which was the draft proposed by the DPR in 2016 in the 2014-2019 Priority National Legislation Program (Prolegnas) Bill. The discussion of this bill has taken a long time since it was formulated in 2014, and until 2019 discussions only reached the first level because of the pros and cons in society. This study focuses on analyzing the failure of the DPR in passing the PKS Bill by using qualitative methods in the form of in-depth interviews and literature review. The results showed that sexual violence against women is basically a crucial issue that requires a solution through a regulation. The PKS Bill is considered to be able to protect women's rights from violence. But on the other hand, the PKS Bill is considered to be contrary to moral and religious teachings and is even considered legalizing free sex or LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual and Transgender). The inherent patriarchal culture, lack of commitment and understanding of the political representation of legislators in defending women's rights, as well as institutional sexism in the Indonesian legislature, are findings from research related to the failure to ratify the PKS Bill in 2019."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shara Monarizka
"Saat ini ditemukan banyak kasus kekerasan seksual yang dialami oleh para perempuan di Indonesia yang diungkap oleh media massa. Peran media massa dalam penyebaran informasi pun lantas menjadi krusial karena dapat berpengaruh terhadap pembentukan pandangan masyarakat terhadap kasus tersebut. Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi, masyarakat pun dapat dengan mudah mengakses pemberitaan terkait melalui gawai dan sejenisnya. Adapun salah satu kasus kekerasan seksual yang pemberitaannya diungkapkan secara berkelanjutan hingga pada akhirnya menjadi perbincangan nasional adalah kasus yang dialami oleh Baiq Nuril, korban pelecehan seksual secara verbal yang juga dipidanakan atas pelanggaran UU ITE untuk pencemaran nama baik oleh mantan Kepala Sekolah bernama Muslim. Kasus tersebut pun merambah menjadi wacana internasional yang diberitakan terus-menerus yang salah satunya oleh The Jakarta Post, media massa di Indonesia yang berbahasa Inggris dengan target audiens menengah ke atas. Berkenaan dengan hal tersebut, penelitian ini mengkaji bagaimana The Jakarta Post merepresentasikan Baiq Nuril sebagai korban pelecehan seksual dari segi ideasional (gagasan) dan interpersonal (hubungan antarpartisipan). Penelitian ini juga mengkaji bagaimana keberpihakan The Jakarta Post terhadap Baiq Nuril. Dengan menggunakan ancangan campuran, yaitu kualitatif dan kuantitatif, penelitian ini mengaplikasikan analisis wacana kritis oleh Fairclough (2010) dan linguistik fungsional sistemik oleh Halliday dan Matthiessen (2014), khususnya yaitu transitivitas dan modus. Sebanyak 27 teks berita tentang kasus Baiq Nuril di The Jakarta Post diperoleh secara daring sebagai sumber data primer dalam penelitian ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa baik dari segi ideasional maupun interpersonal, Baiq Nuril secara utama direpresentasikan sebagai korban pelecehan seksual sekaligus korban UU ITE. Keberpihakan The Jakarta Post sebagai korban pelecehan seksual sekaligus korban UU ITE. Keberpihakan The Jakarta Post terhadap Baiq Nuril ditunjukkan dengan bagaimana Baiq Nuril ditampilkan sebagai pihak yang tidak bersalah dan lantas memperoleh banyak simpati serta dukungan dari berbagai kalangan, seperti aktivis dan lembaga keagamaan hingga pemerintah daerah setempat.

Nowadays, there are many cases of sexual violence experienced by women in Indonesia that are revealed by the mass media. The role of the mass media in disseminating information is crucial because it can influence public‟s views on the case. Along with technological advances, public can easily access related news through gadgets and so on. One of the cases of sexual violence whose news was continuously disclosed until it eventually became a national discourse was the one experienced by Baiq Nuril, the victim of verbal sexual harassment who was also convicted of violating the ITE Law for defamation by a former school principal named Muslim. The case has become an international discourse that was being reported by media continuously, such as The Jakarta Post which is the English-speaking mass media in Indonesia targeting the middle and upper middle class. In this regard, this study examines how The Jakarta Post actually represents Baiq Nuril as a victim of sexual harassment from both ideational and interpersonal perspectives. This study also examines how The Jakarta Post takes sides with Baiq Nuril. By conducting a mixed approach, namely qualitative and quantitative, this study applies critical discourse analysis by Fairclough (2010) and systemic functional linguistics by Halliday and Matthiessen (2014), especially transitivity and mode. A total of 27 news texts about Baiq Nuril in The Jakarta Post are obtained online as the primary data source in this study. The results of the analysis show that from both ideational and interpersonal perspectives, Baiq Nuril is primarily represented as a victim of sexual harassment as well as a victim of the ITE Law. The way The Jakarta Post advocates Baiq Nuril is shown by how Baiq Nuril is represented as the innocent party that gets a lot of sympathy and support from various groups, from activists and religious institutions to the local government."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arva Pandya Wazdi
"Pelecehan seksual menurut Undang – Undang No. 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual didefinisikan sebagai segala perbuatan atau tindakan yang merendahkan dan/atau menyerang dan merendahkan martabat seseorang. Segala tindakan ini termasuk juga perkataan atau verbal dan non- verbal dan dapat dilakukan baik secara perseorangan, kelompok, dan/atau korporasi. Kekerasan seksual ini dapat menimbulkan dampak fisik dan psikologis dari korban. Kekerasan seksual dapat terjadi dimana saja termasuk lingkungan kerja. Oleh karena itu harus dibentuk code of conduct yang mengatur bagaimana alur pelaporan kekerasan seksual ketika terjadi di lingkungan kerja serta anti-retaliatory act sehingga meminimalisir pelaku ketika ingin membalas korban yang sudah melaporkan pelaku. Peraturan ini akan dibuat di PT. Tatarasa Primatama sebagai SOP yang mengatur dari definisi kekerasan seksual, bentuk kekerasan seksual, alur pelaporan, alur investigasi, sanksi serta anti retaliatory act secara komprehensif. Peraturan ini diharapkan dapat diterapan sehingga dapat menciptakan lingkungan kerja yang aman dari tindakan kekerasan seksual baik secara verbal dan non-verbal.

Sexual harassment according to Law no. 12 of 2022 concerning the Crime of Sexual Violence is defined as any act or action that demeans and/or attacks and degrades a person's dignity. All of these actions include words or verbal and non-verbal and can be carried out individually, in groups and/or corporations. This sexual violence can have physical and psychological impacts on the victim. Sexual violence can occur anywhere, including the work environment. Therefore, a code of conduct must be formed that regulates the flow of reporting sexual violence when it occurs in the work environment as well as anti-retaliatory acts so as to minimize perpetrators who want to retaliate against victims who have reported perpetrators. This regulation will be made at PT. Tatarasa Primatama is an SOP that regulates the definition of sexual violence, forms of sexual violence, reporting flow, investigation flow, sanctions and anti-retaliatory acts in a comprehensive manner. It is hoped that this regulation can be implemented so that it can create a work environment that is safe from acts of sexual violence, both verbal and non-verbal.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silmi Kamilah
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pengungkapan kasus kekerasan seksual melalui Twitter sebagai bentuk resistensi penyintas kekerasan seksual di Indonesia. Studi-studi terdahulu mengenai pengungkapan kasus kekerasan seksual membahas dua jenis pengungkapan, yaitu secara langsung dan secara daring melalui perantara media sosial. Akan tetapi, belum banyak studi yang melihat fenomena ini sebagai bentuk resistensi penyintas, khususnya melalui pewacanaan diskursus tandingan dengan menggunakan metode analisis wacana kritis. Penelitian ini berargumen bahwa pengungkapan kasus kekerasan seksual di Twitter merupakan bentuk resistensi penyintas dan terwujud melalui diskursus tandingan yang memicu dialog publik mengenai kekerasan seksual. Diskursus tandingan penyintas beroperasi dalam online counterpublics, yaitu arena diskursif berbasis teknologi internet di mana kelompok marjinal mampu mengontestasikan eksklusi mereka dari ruang publik. Temuan penelitian menunjukkan diskursus tandingan penyintas terlihat dalam teks yang merebut kembali narasi kekerasan seksual dari perspektif penyintas, menggambarkan bentuk kekerasan yang beragam, serta memberikan sanksi sosial kepada pelaku. Proses produksi teks utas juga merepresentasikan resistensi penyintas sebagai aktor yang aktif dalam proses pengambilan keputusan. Meskipun begitu, terdapat kontestasi antara diskursus tandingan penyintas dengan diskursus dominan yang mereproduksi nilai-nilai rape culture di arena diskursif yang sama. Resistensi penyintas juga diinterpretasi secara berbeda-beda oleh publik sehingga arena diskursif yang ada tidak menjadi ruang aman bagi penyintas untuk bersuara. Oleh karena itu, pengungkapan kasus kekerasan seksual melalui Twitter tidak menjadi jalur alternatif yang ideal bagi penyintas untuk mendapatkan keadilan di tengah konteks sosiokultural Indonesia yang masih melanggengkan kekerasan seksual.

This study aims to explain how sexual assault disclosure on Twitter is a form of sexual violence survivors’ resistance in Indonesia. Previous studies on sexual assault disclosure mainly discussed two kinds of disclosure, which are direct or offline disclosure and disclosure through social media or online disclosure. However, there is little to no studies which analyzed the phenomenon as sexual violence survivors’ resistance through the construction of counter discourse, specifically using critical discourse analysis (CDA). This study argues that sexual assault disclosure on Twitter is a form survivors’ resistance which further manifested through counter discourse that encourages public discussion on sexual violence. Survivors’ counter discourse operates through online counterpublics, which is a discursive arena facilitated by the internet in which marginalized group contested their exclusion from the public sphere. The findings of this study show that survivors’ counter discourse can be seen through texts which reclaim sexual assault narrative, depict various sexual violence forms, and give social punishment to the perpetrators. The text production process also represents survivors’ resistance as an active actor in the decision-making process. However, there is a contestation between survivors’ counter discourse and the dominant discourse which reproduces rape culture values in the same discursive arena. Survivors’ resistance is also interpreted in different ways by the public, emphasizing how the discursive arena is not a safe space for survivors to speak up. Therefore, the sexual assault disclosure through Twitter is not an ideal alternative route for survivors to seek justice in the midst of Indonesia's sociocultural context which still perpetuates sexual violence"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brigitta Leony Putri Rasono
"Tulisan akademis ini bertujuan untuk menganalisis potensi efek bumerang terhadap korban kekerasan seksual akibat dari informasi yang disampaikan dalam konten-konten dalam akun-akun penyintas kekerasan seksual kampus dalam echo chambers media sosial. Dengan menggunakan metode analisis konten, bentuk terjadinya potensi efek bumerang yang muncul diidentifikasi melalui representasi foto, comments, dan caption. Hasil analisis memperlihatkan bahwa respons dalam unggahan akun-akun tersebut berpotensi menimbulkan efek bumerang bagi korban akibat informasi yang disampaikan. Potensi lain juga ditemukan karena ketiadaan consent korban terhadap dinaikkannya unggahan dalam akun-akun tersebut. Guna memberikan ruang aman dan perlindungan bagi korban, beberapa strategi dan penguatan dari lingkungan perguruan tinggi sangat diperlukan untuk menghindari terjadinya efek bumerang bagi korban dan produser konten, yaitu akun-akun penyintas kekerasan seksual tersebut.

This academic paper aims to analyze the potential impact of sexual violence as a result of content in the accounts of survivors of campus sexual violence in social media echo chambers. By using the content analysis method, the potential form of the boomerang effect that appears is identified through the representation of photos, comments, and descriptions. The results of the analysis show that the responses in the uploads of these accounts may have a boomerang effect on the victims as a result of these errors and the lack of transparency in the delivery of information. Another potential is also found in the lack of notification of the victim's consent to uploads on these accounts. In order to provide a safe space and protection for victims, several strategies and continuing from the university environment are needed for a boomerang effect for victims and content producers, namely the accounts of survivors of sexual violence. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia;, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila Netanya
"Kekerasan dan pelecehan seksual adalah kejahatan keji yang 'sering' dilakukan. Ini adalah tindakan kejam yang dapat berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental korban. Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menemukan solusi untuk menciptakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) untuk mengatasi masalah dunia. Dalam kaitannya dengan kekerasan dan penyerangan seksual, SDG 5 dan SDG 16 diangkat dalam topik ini karena terdapat target SDG 5.2 yaitu menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap semua perempuan dan anak perempuan di ruang publik dan privat, termasuk perdagangan manusia. dan eksploitasi seksual dan jenis lainnya, target SDG 16.1 dan SDG 16.2 untuk secara signifikan mengurangi segala bentuk kekerasan dan angka kematian terkait di mana pun dan mengakhiri pelecehan, eksploitasi, perdagangan, dan segala bentuk kekerasan terhadap dan penyiksaan terhadap anak. Untuk berkontribusi dalam mencapai tujuan tersebut, menciptakan ruang aman dari kekerasan dan pelecehan seksual dengan saling membantu dimanapun dan kapanpun dibutuhkan adalah asal muasal terciptanya EVA. EVA adalah aplikasi seluler yang memungkinkan pengguna mendapatkan dukungan, bantuan, dan perlindungan. Tujuannya adalah untuk mengakhiri kekerasan dan pelecehan seksual dengan cara apa pun yang memungkinkan. EVA memiliki tujuh fitur utama yang dapat membantu pengguna, antara lain tombol darurat, fitur sesi terapi, fitur pendidikan, fitur pelacakan lokasi, fitur peringatan lainnya dan otoritas, dan terakhir fitur rekam dan laporan.

Violence and sexual assault are a heinous crime that is 'often' committed. It is a cruel act that can have a negative impact on a victim's physical and mental health. United Nation has come up with a solution to invent Sustainable Develop Goals to cope with the world’s problem. In the relation to violence and sexual assault, SDG 5 and SDG 16 are come up in the topic because there is a target of SDG 5.2 which is eliminating the all forms of violence against all women and girls in the public and private spheres, including trafficking and sexual and other types of exploitation, target of SDG 16.1 and SDG 16.2 to significantly reduce all forms of violence and related death rates everywhere and end abuse, exploitation, trafficking and all forms of violence against and torture of children. To contribute achieving those goals, creating a safe space from violence and sexual assault by helping each other wherever and whenever needed was the provenance of creating EVA. EVA is a mobile app that allows users to get support, help, and protection. Its goal is to end violence and sexual assault in any way possible. EVA has seven major features that can assist users, including an emergency button, therapy session feature, education feature, tracking location feature, alert other and authorities feature and lastly record and report feature."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Budi Cahyono
"Kekerasan seksual di Indonesia merupakan salah satu permasalahan hukum yang dianggap serius, Dalam menanggapi hal tersebut Indonesia mengatur hukuman pidana tambahan yakni kebiri kimia dan tercantum pada Undang-undang No.17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-undang. Ditengah polemic pro dan kontra Presiden Joko Widodo secara Resmi Menanda tangani Peraturan Pemerintah No.70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku kekerasan Seksual Terhadap Anak. Dengan timbul banyaknya polemik terkait keberadaan hukuman ini, maka penulis akan melakukan penelitian terkait penerapan hukuman kebiri kimia dengan menggunakan metode penelitian bersifat yuridis normatif dengan metode analisis kualitatif. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan pendekatan analisis perbandingan hukum, pendekatan analisis peraturan perundang-undangan. Hasil dari penelitian ini penulis mendapatkan bahwa hukuman kebiri kimia di beberapa negara sangat memerlukan peran dari ahli medis untuk dapat melakukan penjatuhan hukuman kebiri kimia, dan hukuman kebiri kimia merupakan suatu bentuk hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual terhadap anak karena dianggap memiliki gangguan kelainan mental yakni pedofilia. Pada saat ini para dokter masih menolak akan keberadaan hukuman kebiri kimia dikarenakan bertentangan akan kode etik profesinya, akan tetapi penulis menemukan bahwa seharusnya dokter dapat mengambil peran penuh dalam penerapan hukuman ini sebagai bentuk menjaga kondisi Kesehatan baik secara mental maupun fisik sehingga hukuman ini dapat menjadi bentuk rehabilitasi atau pengobatan atas perbuatan menyimpang dari pelaku.

In Indonesia sexual violence is one of the legal issues that considered as serious crime. For the response of this issue, Indonesia regulates additional criminal penalties called chemical castration and Written in UU No. 17/2016 about the Second Amendment to UU No. 23/2002 Child Protection Becomes Law. In between of the pro and cons of this sentence, President of Indonesia Joko Widodo Officially Signed Government Regulation No. 70 of 2020 concerning Procedures for Carrying Out Chemical Castration, Installation of Electronic Detection Devices, Rehabilitation, and Announcement of the Identity of Perpetrators of Sexual Violence Against Children. With the emergence of many polemics related to the existence of this punishment, the authors will conduct research related to the application of chemical castration using normative juridical research methods with qualitative analysis methods. This research is using comparative legal analysis approach, an analysis approach to statutory regulations. The results of this study the authors found that chemical castration in several countries fully depends on the role of medical experts to give chemical castration sentences, and chemical castration punishment is for perpetrators of sexual crimes against that are considered to have a mental disorder, namely pedophilia. At this time doctors still reject the existence of chemical castration punishment because it conflicts with the professional code of ethics, but the authors found that doctors should be able to take a full role in implementing this punishment as a form of maintaining health conditions both mentally and physically so that this punishment can be a form of punishment. rehabilitation or treatment of the perpetrator's deviant acts."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhrana Mutiarahmanika
"Tesis ini membahas tentang representasi kekerasan seksual terhadap anak perempuan dalam film Korea Selatan berjudul Hope, dan berfokus pada dampak dari kekerasan seksual, proses pemulihan korban, dan proses pemidanaan pelaku kekerasan seksual. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode analisis teks semiotika. Penelitian ini menjadi relevan dalam menggali apakah film ini benar-benar menciptakan naratif alternatif yang memperkuat pengalaman perempuan atau hanya mengikuti pola konvensional yang masih terikat oleh male gaze. Selain itu, melihat upaya sinema dalam mengatasi dan merombak norma-norma dominan, penelitian ini dapat memberikan pandangan baru terhadap peran film dalam mengubah perspektif dan memperjuangkan representasi yang lebih inklusif dan adil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi dampak dari terjadinya kekerasan seksual dalam film Hope meliputi cedera fisik, trauma psikologis dan hilangnya rasa percaya diri. Representasidampak pada orang tua korban yaitu menyalahkan diri sendiri atas kejadian yang menimpa anak mereka, dan perasaan sedih yang mendalam. Pada proses pemulihan, representasi yang ditampilkan adalah korban mendapatkan bantuan dari seorang psikolog anak, dan penggunaan tokoh kartun favorit korban sebagai sumber kekuatan dan kenyamanan bagi korban. Representasi proses pemidanaan pelaku yang ditunjukkan meliputi proses identifikasi pelaku, persidangan, dan hasil putusan hukum.

This thesis discusses the representation of sexual violence against girls in a South Korean film titled Hope, and focuses on the impact of sexual violence, the victim's recovery process, and the criminalization process of sexual violence perpetrators. This research is a qualitative study with a semiotic text analysis method. This research becomes relevant in exploring whether this film really creates an alternative narrative that strengthens women's experiences or only follows conventional patterns that are still bound by the male gaze. In addition, seeing cinema's efforts to overcome and overhaul dominant norms, this research can provide new insights into the role of film in changing perspectives and fighting for more inclusive and just representations. The results show that the representation of the impact of sexual violence in Hope includes physical injury, psychological trauma and loss of self-confidence. The representation of the impact on the victim's parents is self-blame for what happened to their child, and feelings of deep sadness. In the recovery process, the representation shown is the victim getting help from a child psychologist, and the use of the victim's favorite cartoon character as a source of strength and comfort for the victim. The representation of the criminalization process of the perpetrator shown includes the process of identifying the perpetrator, the trial, and the results of the legal decision."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>