Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 181621 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christella Natalia P
"Latar Belakang: Prosedur pembedahan dekompresi dan stabilisasi posterior menimbulkan nyeri pascabedah yang mengganggu proses penyembuhan dan mobilisasi dini pasien. Blok TLIP klasik dan modifikasi efektif mengurangi nyeri perioperatif pembedahan tulang belakang. Penanganan nyeri yang baik akan mempercepat proses penyembuhan dan mobilisasi pascabedah.
Tujuan: Membandingkan efektivitas antara blok TLIP klasik dan modifikasi sebagai analgesia perioperatif pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior thoracolumbar terhadap kebutuhan fentanyl intraoperasi, stabilitas hemodinamik intraoperasi, rerata qNox intraoperasi, total kebutuhan morfin pascabedah, rerata NRS pada 6 dan 12 jam pascabedah dan konsentrasi Intraleukin 6 pada 6 dan 12 jam pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, uji klinis acak tersamar tunggal dengan 24 subjek pembedahan dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal di Instalasi Bedah Pusat RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subjek dirandomisasi dalam dua kelompok: kelompok blok TLIP klasik (n-12) dan modifikasi (n=12). Kedua kelompok mendapat bupivakain 0,25% total volume 20 cc stiap sisi. Data yang diolah berupa rerata qNox, fentanyl intraoperatif, total morfin 24 jam pascabedah, rerata NRS pada 6 dan 12 jam pascabedah dan konsentrasi IL-6 pada 6 dan 12 jam pascabedah.
Hasil: Rerata qNox, total morfin 24 jam pascabedah, rerata NRS dan IL-6 pada 6 dan 12 jam pascabedah tidak berbeda bermakna pada grup TLIP klasik dan modifikasi. Total konsumsi fentanyl intraoperatif pada grup TLIP modifikasi berbeda bermakna dibandingkan TLIP klasik (p<0,05).
Simpulan: Blok TLIP modifikasi lebih efektif mengurangi kebutuhan opioid intraoperatif dibandingkan blok TLIP klasik pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior thoracolumbar.

Background: Posterior Stabilization and Decompression procedures are related with severe postoperative pain and stres response. Both modified and classic Thoracolumbar Interfascial Plane Block proven reduced pain perioperatively. Adequate analgesia perioperatively fasten recovery and mobilization postoperatively.
Objective: Compare effectiveness of modified and classic TLIP block as perioperative analgesia in thoracolumbar decompression and posterior stabilization procedures in hemodynamic stability intraoperatively, total fentanyl consuption intraoperatively, mean qNox intraoperatively, total morphine consumpetion postoperatively, mean NRS and Interleukin 6 at 6 and 12 hours postoperatively.
Methods: this study was an experimental, single-blind, randomized controlled trial of 24 subjects who underwent thoracolumbar decompression and posterior stabilization at Central Surgical Unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusuo Jakarta. Subjects were randomized into two groups: Modified TLIP group (n=12) and Classic TLIP group (n=12). Both were received marcain 0,25% 20 ml each side. Data intraoperative taken were intraoperative fentanyl, hemodinamic stability and mean qNox. Data postoperative taken were total morphine 24 hours, IL-6 6 and 12 hours and mean NRS. Data analysis taken with Mann-Whitney and unpaired t test.
Results: Hemodinamic stability, mean qNox, total morphine 24 hours, mean NRS, IL-6 postoperatively were not significantly different (p>0,05). Only total intraoperative fentanyl were significantly lower in modified TLIP group compared classic TLIP group.
Conclusion: Modified TLIP group was more effective to decrease intraoperative opioid compare to classic TLIP group. Modified TLIP group were not significantly reduce opioid consumption, IL-6, mean NRS postoperatively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Anasy
"ABSTRAK
Latar Belakang: Manajemen nyeri yang efektif pascabedah merupakan bagian
yang penting pada perawatan pasien yang menjalani pembedahan. Penanganan
nyeri pascabedah laparoskopi nefrektomi donor ginjal sangat penting untuk
pemulihan dini. Epidural kontinyu merupakan teknik anestesi regional yang
digunakan pada operasi donor ginjal di RSCM, namun hasilnya belum
memuaskan karena masih tingginya persentase pasien dengan derajat nyeri berat.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara blok Quadratus
Lumborum (QL) bilateral dengan bantuan USG dan blok epidural kontinyu
terhadap derajat nyeri dan kebutuhan morfin pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan uji kontrol acak pada 52 pasien sehat yang
mendonorkan ginjal di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo. Dilakukan proses randomisasi pada subjek penelitian,
didapatkan pada kelompok blok QL bilateral sebanyak 26 pasien dan epidural
kontinyu sebanyak 26 pasien. Sesaat sebelum pasien diekstubasi, subjek dalam
kelompok blok QL mendapatkan bupivacaine 0,25% sebanyak 20 mL secara
bilateral dan subjek pada kelompok epidural mendapatkan infus bupivakain
0,125% 6 mL/jam secara kontinyu. Hasil dari penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan uji statistik Mann Whitney.
Hasil: Hasil dari penelitian ini menunjukan tidak ada perbedaan bermakna
terhadap derajat nyeri NRS saat di RR, jam ke-2, jam ke-6, jam ke-12 dan jam
ke-24 (p = 0,412; 0,881; 0,655; 0,788; dan 0,895). Kebutuhan PCA morfin pada
24 jam pascabedah pada setiap waktu pengukuran tidak ditemukan perbedaan
bermakna (p = 0,823; 0,985; 0,693; dan 0,854). Skor Bromage, serta waktu
pertama kali pasien memencet PCA morfin ditemukan sama pada kedua
kelompok. Pada kelompok blok QL Sebanyak 6 orang (23,10%) yang merasakan
mual dan 4 orang (15,4%) yang mengalami muntah. Pada kelompok blok epidural
kontinyu sebanyak 1 orang (3,8%) yang merasakan mual dan 1 orang (3,8%) yang
mengalami muntah. Efek samping parestesia tidak ditemukan pada kedua
kelompok.
Simpulan: Blok QL tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik dibanding blok epidural kontinyu.

ABSTRACT
Background: Post operative pain management is substantial. Regional anesthesia for renal transplant donor is advantageous for early recovery. Continous epidural regiment often used in renal donor patients. However, the benefits are not fully met due to high incidence of severe post operative pain. This study compares the effectivity of USG guided bilateral Quadratus Lumborum (QL) block with continous epidural block for post operative pain management. We evaluate the degree of pain and morphine consumption.
Methods: This is a random clinical trial in Cipto Mangunkusumo hospital. The subjects were random clinical trial. Fifty two subjects were renal donors who underwent surgery in RSCM. Subjects were randomized and divided into two groups, continous epidural (26 subjects) and QL block (26 subjects). Prior extubation, the QL block groups received bilateral QL block with 20 ml of Bupivacain 0.25% and the epidural group were given 6 ml/hr of Bupivacain 0.125% continously via epidural. The subjects pain were rated with NRS pain score. Morphine consumption and adverse events (nausea, vomiting, and paresthesias) were noted. Data were analyzed with Mann-Whitney test.
Results:This study showed no difference between both group regarding NRS pain score in RR, the first 2, 6, 12 and 24 hour (p = 0,412; 0,881; 0,655; 0,788; dan 0,895). There are no difference in morphine consumption in both group (first 2 hour p=0,823; first 6 hour p=0,985; first 12 hour p=0,693; and first 24 hour p=0,854). Bromage score and the first time subjects pressed the PCA device are similar. There are 6 subjects (23.1%) who experienced nausea and 4 subjects (15.4%) who experienced vomitus from the QL block group. One subject (3.8%) experienced nausea and 1 (3.8%) subject vomitted from the epidural group.
Conclusion: The efficacy of QL block for 24 hour post-operative pain management is comparable with continous epidural analgesia following laparoscopic nephrectomy."
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lenny Indrayani
"ABSTRAK
Latar belakangPenanganan nyeri kanker sering kali membutuhkan opiat. Morfin merupakan gold standard pada penatalaksanaan nyeri hebat kanker, tetapi sering kali penatalaksanaan nyeri kanker tidak optimal. Indonesia merupakan salah satu negara dengan konsumsi opiat yang sangat rendah. Adanya hubungan antara pengetahuan dokter tentang penanganan nyeri kanker dengan penggunaan opiat dapat merupakan salah satu indikator terhadap penanganan nyeri kanker. Pengetahuan penanganan nyeri kanker yang kurang menyebabkan penanganan yang tidak optimal. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui pengetahuan dokter mengenai penanganan nyeri kanker dalam pemilihan opiat, cara pemberian, dosis, efek samping dan adanya adiksi, serta faktor-faktor yang menjadi penghambat pada penanganan nyeri kanker. MetodeDesain penelitian ini merupakan survei potong lintang cross sectional yang dilakukan pada dokter spesialis yang menangani nyeri kanker di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional RSUPN , Rumah Sakit Khusus Kanker, Rumah Sakit Umum Daerah RSUD di Jakarta dan salah satu rumah sakit swasta di Tangerang dalam bulan Nopember 2016 ndash; Maret 2017. Penelitian ini menggunakan pertanyaan/ kuesioner yang akan diisi responden tanpa menyebutkan nama dan bersifat rahasia. Pengetahuan dianggap baik, bila nilai 70 dan kurang, bila nilai < 70 menggunakan skoring, sedangkan untuk menilai hubungan antara pengetahuan tentang penggunaan opiat dengan bidang spesialisasi dokter dianalisis dengan uji Chi-square dan hasil statistik dianalisis dengan menggunakan SPSS versi 20Hasil penelitian Dari total 146 kuesioner yang didistribusikan, didapatkan 103 kuesioner 70,5 yang direspon. Pada penelitian ini, mayoritas responden 69,9 mempunyai pengetahuan yang tidak adekuat. Rerata tertinggi didapatkan pada bagian pemilihan opiat 70,55 sedangkan rerata terendah didapatkan pada bagian efek samping opiat yaitu 47,56. Tidak terdapat hubungan bermakna antara pengetahuan dokter tentang penggunaan opiat dengan bidang spesialisasi P= 0,355 . Regulasi pemerintah merupakan penghambat utama pada penggunaan opiat, disusul dengan kurangnya pelatihan, ketersediaan obat dan pengetahuan tentang efek samping.KesimpulanPada penelitian ini, didapatkan bahwa pengetahuan dokter tentang penggunaan opiat untuk penanganan nyeri kanker terutama dalam hal pengetahuan tentang efek samping opiat masih kurang. Hasil yang cukup baik didapat pada pemilihan opiat.Kata kunci : Opiat, Penanganan nyeri kanker, Pengetahuan dokter
ABSTRACT Backgroud Treatment of cancer pain often requires opioids. Morphine is a gold standard in the management of severe cancer pain. Ironically treatment of cancer pain is often inadequate. Indonesia is one of the countries with very low opioid consumption. The relationship between physician knowledge about cancer pain management and opioid usage is one of an indicator for cancer pain handling. Inadequate knowledge of cancer pain management causes improper handling. The purpose of this study was to find out the physician rsquo s knowledge about the management of cancer pain in choosing opioid, administration, doses, side effects, addiction and factors of opioid that barrier in pain management.MethodsThis cross sectional study was conducted in National Center General Hospital RSUPN , Cancer Center Hospital, Regional Public Hospital in Jakarta and a Private Hospital in Tangerang from November 2016 to March 2017. Inclusion criteria were medical specialist who treating cancer pain. This study used questionnaires that filled out by respondents and confidential. Score of inadequate knowledge was less than 70, and adequate knowledge 70. To assess the relationship between knowledge of opioid use with specialization analyzed by Chi square test and Fisher rsquo s exact if Chi square requirement is not fulfilled. Statistical analysis was performed by SPSS version 20.Results From a total of 146 distributed questionnaires, we received 103 questionnaires 70,5 . In this study, the majority of respondents 69,9 had inadequate knowledge. The highest rate 70,55 was found in the choosing opioid section, while the lowest rate 49,5 was found in the opioid side effects section. There is no significant relationship between physician knowledge on opioid usage and specialization P 0,355 . Government regulation is major obstacle to opioid use, followed by lack of training, drug availability and knowledge of side effects ConclusionIn this study, it was found that physician knowledge on opioid usage for cancer pain management, especially in terms of knowledge about opioid side effects is still lacking. Good results are obtained in choosing opioid. Keywords Cancer pain management, Opioid, Physician knowledge."
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa
"Latar belakang: Nyeri pascabedah ortopedi ekstremitas bawah masih menjadi masalah yang berkaitan dengan risiko pascabedah dan lama perawatan di rumah sakit. PCA intravena morfin dan oxycodone masih belum dikaji lebih jauh sebagai analgesia pascabedah ortopedi ekstremitas bawah.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinik acak tersamar ganda untuk menilai efektivitas PCA intravena morfin dengan oxycodone untuk analgesia pascabedah ortopedi ekstremitas bawah. Subjek penelitian berjumlah 50 orang yang didapatkan dengan consecutive sampling selama Januari-April 2019. Pasien dibagi menjadi 2 kelompok, dirandomisasi menjadi kelompok morfin dan kelompok oxycodone. Efektivitas dinilai dengan banyaknya konsumsi opioid dalam 24 jam pascabedah dan efek samping antara 2 kelompok. Penilaian derajat nyeri diam dan bergerak pada jam ke-0, 6, 12, dan 24 dengan menggunakan Visual Analogue Score (VAS) dan kepuasan pasien pada penggunaan PCA juga dinilai untuk komponen penilaian tambahan. Hasil dianalisis dengan SPSS.
Hasil: Seluruh subjek penelitian menyelesaikan penelitian dan tidak didapatkan perbedaan karakteristik yang signifikan antara 2 kelompok. Banyaknya konsumsi opioid dalam 24 jam pertama pascabedah antara 2 kelompok (p 0,574) dan kejadian efek samping antara 2 kelompok tidak berbeda. Derajat nyeri istirahat dan bergerak juga tidak didapatkan hasil yang berbeda bermakna (p 0,109 ; 0,163). Kepuasan pasien pada penggunaan PCA juga tidak berbeda bermakna, namun secara umum pasien puas dengan penggunaan PCA, dan kepuasan pasien pada PCA oxycodone (76%) lebih banyak dibanding PCA morfin (52%)
Simpulan: PCA intravena oxycodone tidak lebih efektif dibandingkan PCA intravena morfin untuk analgesia pascabedah ortopedi ekstremitas bawah pada penelitian ini. Pasien yang setuju dengan penggunaan PCA sebanyak 30 subjek, tidak ada perbedaan signifikan antara 2 kelompok.

Background: Postoperative pain after lower extremity orthopedic surgery may increase morbidity after surgery and prolong the length of hospitalization. The study investigating effectiveness intravenous PCA morphine and oxycodone has not been extensively studied for managing pain after lower extremity orthopedic surgery.
Methods: This study is a double-blind randomized study clinical trial to evaluate effectiveness intravenous PCA morphine and oxycodone for post-operative analgesia after lower extremity orthopedic surgery. Total of 50 subjects were enrolled with consecutive sampling within January-April 2019. Subjects were randomly allocated into 2 groups, received intravenous PCA morphine or intravenous PCA oxycodone. Post-operative opioid consumption in 24 hours and side effects were considered the primary efficacy variable. Pain scores were measured using Visual Analogue Score (VAS) at time 0, 6, 12, and 24 after surgery. Patient satisfaction in both groups was also evaluated. Data was analyzed statistically using SPSS.
Results: All the subjects done this study. There were no differences in the characteristics of both groups. Opioid consumption between two groups no significantly different (p 0,574) and incidence of side effects between two groups were similar. Pain scores during rest and move also no significant differences (p 0,109 ; 0,163). Patient satisfaction no significant difference, but almost patient satisfied with using PCA, while group oxycodone (76%) higher than group morphine (52%).
Conclusion: Intravenous PCA oxycodone had no more effective than intravenous PCA morphine for post-operative analgesia after lower extremity orthopedic surgery in this study. Patient satisfaction was higher in group oxycodone than in group morphine.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi
"Latar Belakang: Prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal berhubungan dengan nyeri hebat pascabedah dan menghasilkan respon stress pembedahan. Blok ESP dan blok TLIP efektif sebagai analgesia perioperatif pada prosedur pembedahan tulang belakang. Penatalaksanaan nyeri pascabedah yang adekuat dapat mengurangi respon stres yang timbul akibat pembedahan.
Tujuan: Membandingkan efektifitas antara blok ESP dan Blok TLIP sebagai analgesia perioperatif pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal terhadap skala nyeri, konsumsi total opioid, kestabilan kardiovaskular, kadar IL-6 dan IL-10 perioperatif.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, uji klinis acak tersamar ganda terhadap 40 subjek yang menjalani pembedahan dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RSUD dr Zainoel Abidin Banda Aceh. Subjek dirandomisasi dalam dua kelompok: kelompok blok ESP (n=20) dan kelompok blok TLIP (n=20). Kedua kelompok mendapat bupivakain 0,25% total volume 20 cc setiap sisi. Data yang diolah berupa skala nyeri NRS (Numerical rating scale) pada 1, 6, 12, 24 jam pascabedah, konsumsi morfin dalam 24 jam, jumlah fentanyl intraoperatif, waktu pemberian morfin pertama pascabedah, konsentrasi IL-6 dan IL-10 perioperatif. Analisis data menggunakan Uji t berpasangan dan Mann-Whitney.
Hasil: NRS pada 1, 6, 12, 24 jam pascabedah, konsumsi morfin dalam 24 jam, jumlah fentanyl intraoperatif, konsentrasi IL-6 dan IL-10 perioperatif tidak berbeda bermakna antra blok TLIP dan blok ESP (p>0,05). Waktu pemberian morfin pertama blok TLIP lebih lama bermakna daripada blok ESP (p=0,002).
Simpulan: Keefektifan blok TLIP tidak berbeda dengan blok ESP sebagai analgesia perioperatif pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal.

Background: Posterior lumbar decompression and stabilization procedures are related with severe postoperative pain and produce a surgical stress response. ESP block and TLIP block are as effective as perioperative analgesia in spinal surgery procedures. Adequate postoperative pain management can reduce stress response caused by surgery.
Objective: To compare the effectiveness of ESP block and TLIP block as perioperative analgesia in posterior lumbar decompression and stabilization procedures and associated pain scale, total opioid consumption, cardiovascular stability, perioperative IL-6 and IL-10 consentrations.
Methods: This study was an experimental, double-blind, randomized controlled trial of 40 subjects who underwent decompression surgery and posterior lumbar stabilization at the Central Surgical Unit of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta and RSUD Dr Zainoel Abidin Banda Aceh. Subjects were randomized into two groups: the ESP block group (n=20) and the TLIP block group (n=20). Both groups received 0.25% bupivacaine with a total volume of 20 cc each side. The data were processed in the form of NRS pain scale (Numerical rating scale) at 1, 6, 12, 24 hours postoperatively, morphine consumption within 24 hours, amount of intraoperative fentanyl, time of first postoperative morphine administration, perioperative IL-6 and IL-10 concentrations. Data analysis used paired t test and Mann-Whitney.
Results: NRS at 1, 6, 12, 24 hours postoperatively, morphine consumption within 24 hours, amount of intraoperative fentanyl, perioperative IL-6 and IL-10 concentrations were not significantly different between TLIP block and ESP block (p>0.05). The time of administering the first morphine on TLIP block was significantly longer than ESP block (p=0.002).
Conclusion: The effectiveness of the TLIP block is no different from the ESP block as perioperative analgesia in decompression and posterior lumbar stabilization procedures.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jejen Nugraha
"PT. Kimia Farma, Tbk, merupakan perusahaan BUMN Farmasi yang sudah lama berdiri di Indonesia, memiliki hak monopoli dalam importasi, produksi dan distribusi produk Tablet Morfin, produk ini merupakan produk yang wajib ada untuk kebutuhan pengobatan. Sangatlah penting bagi perusahaan untuk dapat mengamankan serta menganalisis rantai pasoknya, agar memiliki sistem rantai pasok yang baik. Tesis ini mempelajari dan mengevaluasi rantai pasok dan proses bisnis PT Kimia Farma, Tbk, dalam melakukan pasokan Tablet Morfin, dengan menggunakan analisis Focus Group Discussion (FDG), dan Fishbone, hasil analisis menunjukkan terjadinya ketidaksesuaian rantai pasok yang terjadi pada distributor Majapahit (Jakarta Pusat), yang memasok RS Kanker Dharmais, ketidaksesuaian berupa kekosongan produk dikarenakan beberapa akar penyebab, yaitu Lead Time yang lama, tidak adanya sistem Standard Operating Procedure (SOP) yang terintegrasi, tidak adanya sistem Teknologi Informasi terintegrasi, pengetahuan SDM mengenai regulasi kurang, dan perencanaan distribusi yang tidak tepat.

PT. Kimia Farma Tbk, a pharmaceuticals state-owned company has established in Indonesia for many years, has a monopoly in the importation, production and distribution of Morphine tablets, this product is compulsory product for medication. It is important for companies to secure and analyze the supply chain, in order to have a good supply chain system. This thesis studied and evaluated supply chain and business process at PT Kimia Farma Tbk, in delivering Morphine Tablets to the customer, by using Focus Group Discussion (FDG), and Fishbone analysis, the results of the analysis showed the occurrence of mismatch of supply chain happens at distributor Majapahit (Jakarta Pusat), which supplies Dharmais Cancer Hospital, a mismatch in the form of zero stock because some of the root causes, some of the root causes are, Long Lead Time, lack of integrationsystem in the Standard Operating Procedure (SOP), No Integration on Information Technology systems, poor human resources knowledge on regulation, and improper distribution planning."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2016
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teddy Kurniawan
"Pendahuluan: Laparoskopi memiliki risiko intraoperatif dan pascaoperasi, termasuk instabilitas hemodinamik dan nyeri pascaoperasi. Anestesi umum sering digunakan untuk operasi ini, namun teknik ini tidak menekan peningkatan resistensi vaskular sistemik selama laparoskopi sehingga fluktuasi hemodinamik tetap terjadi. Sayatan dinding abdomen dan regangan peritoneum selama operasi juga menyebabkan nyeri somatis dan viseral yang dirasakan pascaoperasi. Penambahan blok TAP pada operasi laparoskopi belum memuaskan disamping memerlukan instrumen tambahan serta bergantung pada kemampuan operator. Anestesi spinal dapat menguntungkan karena dapat menetralkan peningkatan SVR dan menghambat nyeri selama operasi, namun penggunaannya dikaitkan dengan mobilisasi yang tertunda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kombinasi anestesi umum dan anestesi spinal lebih baik dalam menjaga perubahan hemodinamik intraoperatif, nyeri pascaoperasi, dan waktu pulih dibandingkan anestesi umum dan blok TAP.
Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak tersamar tunggal pada 40 pasien yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok S (spinal) dilakukan anestesi spinal menggunakan bupivacaine 10 mg + morfin 50 mcg intratekal disusul anestesi umum. Kelompok T (blok TAP) dilakukan anestesi anestesi umum disusul blok TAP dengan bupivacaine 0.25% 20 ml pada kedua sisi abdomen. Perubahan tekanan darah dan nadi, NRS pascaoperasi 3 jam dan 6 jam, waktu untuk mencapai Bromage 0, serta kejadian nyeri bahu dan mual muntah pascaoperasi dicatat. Hasil: Pada kelompok S terdapat perubahan tekanan darah sistolik yang signifikan dibandingkan dengan kelompok T setelah 15 menit insuflasi (-9,35(±19,69) vs 7,65(±16,34), p<0,05). Tidak ada perbedaan nyeri pascaoperasi dan waktu pulih pada kedua kelompok.
Kesimpulan: Kombinasi anestesi umum dan anestesi spinal lebih baik dalam menurunkan tekanan darah sistolik, namun tidak berbeda dalam nyeri pascaoperasi, dan waktu pulih dibandingkan kombinasi anestesi umum dan blok TAP.

Introduction: Laparoscopy is associated with intraoperative and postoperative risks, including hemodynamic instability and postoperative pain. Although general anesthesia is often used for this procedure, hemodynamic fluctuations still occur because this technique does not suppress the increase in systemic vascular resistance during laparoscopy. Incisions in the abdominal wall and stretching of the peritoneum during surgery can also cause somatic and visceral pain after surgery. Adding TAP block to laparoscopic surgery is not satisfactory, apart from requiring additional instruments and depending on the operator’s abilities. Spinal anesthesia may be beneficial as it can counteract the increase in SVR and suppress pain during surgery, but its use is associated with delayed mobilization. The purpose of this study is to determine whether the combination of general and spinal anesthesia is superior in maintaining intraoperative hemodynamic changes, postoperative pain, and recovery time compared to general anesthesia and TAP blockade.
Methods: This study is a single-blind, randomized clinical trial with 41 patients divided into two groups. Group S (spinal) received spinal anesthesia with 10 mg bupivacaine + 50 μg morphine administered intrathecally, followed by general anesthesia. Group T (TAP block) received general anesthesia followed by TAP block with 20 ml of 0.25% bupivacaine on each side of the abdomen. Intraoperative blood pressure and heart rate changes, NRS at 3 and 6 hours postoperatively, time to reach bromage 0, and occurrence of postoperative shoulder pain and nausea and vomiting were recorded.
Results: In group S there was a significant change in systolic blood pressure compared to group T after 15 minutes of insufflation (-9,35(±19,69) vs 7,65(±16,34), p<0,05). There was no difference in postoperative pain and recovery time in the two groups.
Conclusion: The combination of general anesthesia and spinal anesthesia is better in reducing systolic blood pressure, but does not differ in postoperative pain and recovery time compared to the combination of general anesthesia and TAP block.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Nyeri yang dirasakan individu adalah pengalaman subjektif dan bervariasi yang.
merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh. Nyeri dapat diatasi dengan A menggunakan obat-obatan (farmakologik) dan non farmakologik. Oleh karena itu penting bagi perawat mengatasi nyeri pasien untuk memberikan kenyamanan,
baik melalui tindakan mandiri maupun tindakan kolaborasi. Tindakan mandiri perawat adalah manajemen nyeri non farmakologik, diantaranya adalah teknik
distraksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas teknik distraksi
dalam mengurangi nyeri pasien yang dilakukan appendiktomi pada hari rawat pertama.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dari
eksgerimental dengan teknik teknik one group dan tanpa kelompok kontrol. Sampel pada penelitian adalah pasien paska appendiktomi hari pertama yang diambil di Ruang Perawatan Bedah Syifa RS. Haji Jakarta.
Pengumpulan data dilakukan pada 30 orang sampel yang telah diseleksi sesuai kriteria yang ditentukan. Data yang terkumpul kemudian diolah dengan perhitungan statistik single sample. Data hasil penelitian diketahui bahwa teknik distraksi efektif dalam mengurangi intensitas dan lama nyeri, tetapi tidak untuk frekuensi nyeri."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2002
TA5223
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Naridipta Anindyahapsari
"Latar Belakang. Nyeri pascabedah adalah masalah utama pascalaparotimi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pascabedah. Derajat nyeri pascalaparotomi dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya jenis pendekatan laparotomi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menilai perbandingan derajat nyeri pascalaparotomi digestif di atas umbilikus dan ginekologi yang mendapat analgesia kombinasi intravena dan epidural. Metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap 34 pasien wanita yang menjalani laparotomi digestif atas dan 34 pasien laparotomi ginekologi yang berusia 18 hingga 65 tahun dengan klasifikasi ASA I hingga III di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2022 hingga Juli 2023. Data pasien dipilih secara konsekutif dari rekam medik rumah sakit. Pasien dengan data yang tidak lengkap dan komplikasi pascabedah yang serius dikecualikan dari penelitian. Data kemudian diolah menggunakan SPSS dan dianalisis dengan uji Mann- Whitney. Hasil. Rata-rata derajat nyeri pasca bedah sewaktu beristirahat pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus yaitu sebesar 2.09 ± 0.9 dan 2.53 ± 1.187 pada laparotomi ginekologi. Sedangkan derajat nyeri sewaktu bergerak pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus sebesar 3.82 ± 1.242 dan 3.12 ± 0.046 pada pasien yang menjalani laparatomi ginekologi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan derajat nyeri pascabedah laparatomi sewaktu bergerak ( p =0.016). Derajat nyeri sewaktu istirahat laparatomi digestif di atas umbilikus dengan pasien laparatomi ginekologi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. (p 0.098). Kesimpulan. Dengan pemberian kombinasi analgesia epidural dengan analgetik intravena, derajat nyeri pascabedah sewaktu bergerak pada laparotomi digestif di atas umbilikus lebih tinggi signifikan dibandingkan laparatomi ginekologi meskipun secara klinis tidak bermakna. Tidak terdapat perbedaan signifikan derajat nyeri pada waktu istirahat pada kedua jenis pembedahan.

Introduction. Postoperative pain can lead to serious complications. The intensity of postoperative pain is influenced by numerous factors, such as type of laparatomy. Multimodal analgesia is recommended to manage postlaparatomy pain. This study aims to compare the intensity of post digestive and gynecology laparatomy pain in patients with intravenous and epidural analgesia. Method. This study is conducted using retrospective cohort method approach on 34 female patients underwent upper digestive laparatomy and 34 female patients underwent gynecology laparatomy, aged 18 to 65, classified as ASA I -- III in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2022 to July 2023. Patient data was consecutively selected from hospital’s medical records. Patient with incomplete data and severe postoperative complications were excluded from the study. The data was then analyzed using SPSS and the analysis were tested using the Mann-Whitney. Results. The mean of postoperative pain at rest in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 2.09 ± 0.9 , and 2.53 ± 1.187 in gynecologic laparotomy. Meanwhile, the mean of postoperative pain during movement in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 3.82 ± 1.242 and 3.12 ± 0.946 for gynecologic laparatomy. There is statistically significant difference in the comparison of postoperative pain levels during movement with a p value of 0.016. There is no significant difference in postoperative pain levels at rest between patients undergoing digestive laparotomy upper umbilicus and gynecologic laparotomy patients with p value of 0.098. Conclusion. The degree of postoperative pain during movement is statisically significant but not clinically important in digestive laparatomy upper umbilicus compared to gynecologic laparotomy when given the combination of intravenous and epidural analgetics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Loviana Roza
"Latar Belakang: Prevalensi nyeri pascabedah di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2017 menunjukkan intensitas nyeri sedang (57,4%) dan nyeri berat (20,4%). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan faktor prediktor nyeri pascabedah sedang dan berat, menganalisis hubungan, dan mengembangkan model prediksi nyeri pascabedah sedang dan berat. Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 135 pasien yang menjalani pembedahan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo yang memenuhi kriteria inklusi. Setiap faktor prediktor dianalisis menggunakan analisis bivariat dan dilanjutkan dengan analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Sistem skor prediksi dirangkum dari hasil analisis multivariat.
Hasil: Risiko kejadian (RR) untuk setiap faktor prediktor yang diidentifikasi berdasarkan analisis bivariat adalah: tingkat kecemasan prabedah (RR: 3,32, 95% CI: 1,28 – 8,56), durasi pembedahan lebih dari 90 menit (RR: 7,23, 95% CI: 1,85 – 28,29), jenis pembedahan mayor (RR: 2,69, 95% CI: 1,58 – 4,57), konsumsi opioid intraoperatif (RR: 2,67, 95% CI: 1,68 – 4,25), dan jenis anestesi (RR: 2,37, 95% CI: 1,06 – 5,33). Analisis multivariat menunjukkan bahwa prediktor signifikan untuk nyeri pascabedah sedang hingga berat adalah tingkat kecemasan prabedah (p = 0,085, RR: 2,23, 95% CI: 0,87 – 5,54), durasi pembedahan (p = 0,056, RR: 3,92, 95% CI: 0,96 – 15,96), jenis pembedahan mayor (p = 0,061, RR: 1,63, 95% CI: 0,97 – 2,72), dan konsumsi opioid intraoperatif (p = 0,011, RR: 1,78, 95% CI: 1,14 – 2,78). Kesimpulan: Faktor prediktor nyeri pascabedah pada penelitian ini adalah tingkat kecemasan prabedah, jenis pembedahan, durasi pembedahan, dan konsumsi opioid intraoperatif. Persamaan regresi disusun berdasarkan empat faktor prediktor tersebut.

Background: The prevalence of postoperative pain at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in 2017 showed moderate pain intensity (57.4%) and severe pain (20.4%). This study aims to determine predictors of moderate and severe postoperative pain, analyze relationships, and develop a prediction model for moderate and severe postoperative pain. Methods: This study used a prospective cohort design on 135 patients undergoing surgery at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo who met the inclusion criteria. Each predictor factor was analyzed using bivariate analysis followed by multivariate analysis using logistic regression. The prediction score system was summarized from the results of the multivariate analysis. Results: The risk ratio (RR) for each predictor identified from bivariate analysis were: preoperative anxiety level (RR: 3.32, 95% CI: 1.28 – 8.56), surgery duration over 90 minutes (RR: 7.23, 95% CI: 1.85 – 28.29), major surgery (RR: 2.69, 95% CI: 1.58 – 4.57), intraoperative opioid consumption (RR: 2.67, 95% CI: 1.68 – 4.25), and type of anesthesia (RR: 2.37, 95% CI: 1.06 – 5.33). Multivariate analysis showed that significant predictors for moderate to severe postoperative pain were preoperative anxiety level (p = 0.085, RR: 2.23, 95% CI: 0.87 – 5.54), surgery duration (p = 0.056, RR: 3.92, 95% CI: 0.96 – 15.96), major surgery (p = 0.061, RR: 1.63, 95% CI: 0.97 – 2.72), and intraoperative opioid consumption (p = 0.011, RR: 1.78, 95% CI: 1.14 – 2.78). Conclusion: Predictors of postoperative pain in this study are preoperative anxiety level, type of surgery, surgery duration, and intraoperative opioid consumption. The regression equation is based on these four predictor factors."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>