Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163547 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Pendahuluan. Kadmium memiliki peranan penting karena banyak digunakan di berbagai macam industri. Kadmium dapat masuk dan terakumulasi dalam tubuh termasuk di prostat. Kadmium sangat toksik dan bisa menyebabkan kanker. Tujuan dari laporan kasus berbasis bukti ini adalah untuk mendapatkan jawaban yang tepat terkait hubungan antara pajanan kadmium di tempat kerja dan kanker prostat pada pekerja. Metode. Pencarian literatur dilakukan melalui database PubMed, Scopus dan Cochrane Library. Kata kunci yang digunakan adalah cadmium, cancer, prostate, work* dan occupation*. Pemilihan artikel menggunakan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Kemudian dilakukan penilaian kritis menggunakan kriteria yang relevan untuk studi etiologi atau systematic review berdasarkan Oxford Center for Evidence-Based Medicine. Hasil. Terpilih dua artikel yang relevan dan valid dengan desain studi systematic review dan meta-analisis. Penelitian dari Ju-Kun, dkk menunjukkan rasio kematian terstandarisasi (standardized mortality ratio) antara pajanan Cd dan risiko terjadinya kanker prostat adalah 1.66 (95% CI 1.10–2.50) pada populasi pekerja yang terpajan Cd. Berdasarkan penelitian Chen, dkk menunjukkan bahwa pekerja dengan pajanan kadmium memiliki risiko terjadinya kanker prostat yang lebih tinggi dibandingkan populasi umum, namun secara statistik tidak signifikan yakni dengan nilai OR pada studi case-control 1.17 (95%CI [0.85-1.62]), dan standardized mortality ratio (*100) pada studi kohort adalah 98 (95%CI [75-126]). Kesimpulan. Hasil studi yang ada tidak menunjukkan bukti yang cukup untuk memastikan bahwa pajanan kadmium bisa menyebabkan kanker prostat pada pekerja.

Introduction. Cadmium has an important role because widely used in various industries. Cadmium penetrates and can be accumulated in human body including prostate. Cadmium is highly toxic and can cause human carcinogens. The aim of this evidence-based case report is to get an appropriate answer about the association between occupational cadmium exposure and prostate cancer in worker. Method. The literature searching was conducted through PubMed, Scopus and Cochrane Library. The keywords used were cadmium, cancer, prostate, work* and occupation*. The selection of articles was performed using the defined inclusion and exclusion criterias. Then, they were critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-Based Medicine for etiological study or systematic review. Result. Two relevant and valid articles with systematic review and meta-analysis study design were included. Studies by Ju-Kun, et al. showed that the combined standardized mortality ratio of the association between Cd exposure and risk of prostate cancer was 1.66 (95% CI 1.10–2.50) in populations exposed to occupational Cd. While a study by Chen, et al. showed that workers with cadmium exposure have more risk for prostate cancer than general population but was not significant statistically with the weighted OR in case-control studies was 1.17 (95%CI [0.85-1.62]), and the weighted standardized mortality ratio (*100) in cohort studies was 98 (95%CI [75-126]). Conclusion. The current evidences do not show sufficient evidence to ensure that cadmium exposure can cause prostate cancer in worker."
[Jakarta;, ]: [Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;, ], 2022
SP-pdf;;;;
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Boy Hidayat
"Latar belakang. Paparan organofosfat (OP) telah diketahui menyebabkan beberapa penyakit neurologis. Paparan OP yang tinggi dapat ditemukan pada pekerjaan seperti pekerja pestisida. Penelitian saat ini menunjukkan bahwa paparan OP kronis juga dapat menyebabkan gangguan mental, seperti depresi.
Metode. Pencarian literatur dilakukan pada database seperti Pubmed, Cochrane Library, dan Science Direct dengan kata kunci pekerja pestisida, organofosfat, dan depresi. Tiga artikel dipilih dan dinilai secara kritis.
Hasil. Satu studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan depresi memiliki rasio odds sebanyak 1,34 untuk terkena OP. Satu studi kohort prospektif menunjukkan bahwa pekerja yang terpapar OP 1,17 lebih mungkin menderita depresi di masa depan. Satu studi cross-sectional menunjukkan bahwa pasien dengan depresi memiliki rasio odds prevalensi sebanyak 5,39 untuk terkena OP.
Kesimpulan. Paparan organofosfat kronis merupakan faktor risiko untuk mengembangkan depresi pada pekerja pestisida.

Background. Organophosphate (OP) exposure has been well known to cause several neurological diseases. High OP exposure can be found at occupations such as pesticide workers. Current research suggests that that chronic OP exposure may also cause mental disorder, such as depression.
Method. Literature searching was done on database such as Pubmed, Cochrane Library, and Science Direct with pesticide workers, organophosphate, and depression as the keywords. Three articles were selected and critically appraised.
Result. One case-control study showed that patients with depression had odds ratio as much as 1.34 to be exposed to OPs. One prospective cohort study showed that OP-exposed workers were 1.17 more likely to suffer from depression in the future. One cross-sectional study showed that patients with depression had prevalence odds ratio as much as 5.39 to be exposed to OPs.
Conclusion. Chronic organophosphate exposure is a risk factor for developing depression in pesticide workers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Ghozali Thohir
"Seorang pekerja laki-laki 38 tahun mengalami gejala gangguan saraf tepi dan di diagnosis neuropati perifer. Pekerja tersebut memiliki riwayat bekerja sebagai operator mesin Spinning di pabrik pembuatan rayon selama 10 tahun dengan riwayat paparan CS2 melebihi nilai ambang batas secara inhalasi. Tujuan dari laporan kasus berbasis bukti ini adalah untuk mendapatkan jawaban yang tepat tentang hubungan antara paparan karbon disulfida kerja melalui inhalasi dengan neuropati perifer di antara pekerja industri rayon. Pencarian artikel dilakukan melalui PubMed, Scopus, Medline, Embase dan handsearching. Kriteria inklusi adalah Tinjauan Sistematis, Meta-Analisis, Studi Kohort, Studi Kasus-kontrol, Studi potong lintang, pekerja dengan paparan CS2 secara inhalasi di lingkungan kerja, hasil diagnosis neuropati perifer atau hasil tes konduktifitas saraf sebagai alat diagnostik baku neuropati perifer ( MNCV dan SNCV ). Kemudian ditelaah secara kritis menggunakan kriteria CEBM oxford untuk studi etiologi . Dari hasil pencarian artikel didapatkan 4 jurnal penelitian. Terdapat satu artikel studi kohort prospektif dan tiga artikel studi potong lintang. Hasil telaah kritis 4 studi penelitian belum cukup kuat menunjukkan hubungan antara paparan CS2 inhalasi dengan neuropati perifer. Namun nilai penurunan konduktivitas saraf tepi dikatakan bermakna jika kecepatan konduktivitas saraf tepi ekstremitas atas < 50 m/s dan ekstremitas bawah jika < 40 m/s.

Carbon disulfide (CS2) is widely used in various industries as a raw material for the manufacture of goods such as rayon, cellophane, and carbon tetrachloride. Currently, the largest user of this chemical is the rayon fibre industry. This evidence-based case report aims to obtain precise answers regarding the relationship between occupational carbon disulfide exposure through inhalation and peripheral neuropathy among rayon industry workers. A 38-year-old male worker had peripheral nerve disorder symptoms and was diagnosed with peripheral neuropathy. The worker had a history of working as a spinning machine operator in a rayon manufacturing factory for 10 years with a history of exposure to CS2 exceeding the threshold value through inhalation. An article search was conducted through PubMed, Scopus, Medline, Embase, and manual searching. The articles were then critically appraised using Oxford's CEBM criteria for etiological studies. The article searches resulted in one prospective cohort study and three cross-sectional studies. Based on the patient's condition, the findings from the 4 research studies were insufficient to establish a link between inhalation exposure to CS2 and peripheral neuropathy. Further studies with a stronger association level are needed to establish the relationship between inhaled CS2 exposure and peripheral neuropathy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fita Rahmasari
"Pendahuluan Timbal merupakan salah satu bahan penting yang banyak digunakan di industri. Industri baterai timbal-asam menggunakan timbal dalam jumlah besar yang meningkatkan pajanan timbal ditempat kerja dan diperkirakan dapat mempengaruhi tekanan darah selama bertahun-tahun. Tujuan dari laporan ini adalah untuk menyajikan bukti tentang pengaruh pajanan timbal ditempat kerja terhadap kejadian hipertensi pada pekerja. Metode Pencarian literatur dilakukan melalui basis data elektronik dari PubMed, Scopus dan Cochrane. Kriteria inklusi yang diterapkan yaitu tinjauan sistematis, meta analisis, studi kohort, studi kasus kontrol, studi potong lintang, pekerja dengan pajanan timbal ditempat kerja dan dampak hipertensi atau tekanan darah tinggi. Artikel terpilih kemudian dinilai secara kritis menggunakan kriteria yang relevan dari Oxford Centre for Evidence-Based Medicine. Hasil Tiga studi potong lintang yang relevan disertakan. Studi oleh Thongsringklee M. dkk, Singamsetty dkk serta Sudjaroen dkk menunjukkan bahwa pekerja dengan paparan timbal secara langsung memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadi hipertensi dibandingkan dengan pekerja dengan paparan tidak langsung (OR adj 1.38, 95% CI 1.01-1.89; OR 1.97, 95% CI 1.96-2.17; dan OR 1.4, 95% CI 0.97-1.73, secara berurutan) dan bermakna secara statistik, meskipun studi oleh Sudjaroen dkk tidak. Kesimpulan dan rekomendasi Bukti saat ini tidak memberikan bukti yang kuat untuk mengkonfirmasi bahwa paparan timbal dapat menyebabkan hipertensi pada pekerja. Disarankan bagi pekerja yang terpapar timbal secara langsung untuk lebih waspada karena dua dari tiga studi melaporkan kemungkinan timbal meningkatkan risiko hipertensi. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan desain penelitian yang lebih baik untuk memberikan bukti yang kuat bahwa paparan timbal dapat meningkatkan risiko hipertensi pada pekerja.

Background Lead is still one of the essential materials in many industries. The lead-acid battery industry consumes the largest amount of lead which make lead exposure increases at the workplace and has been suspected to influenced blood pressure for many years. The aim of this evidence-based case report is to present the evidence about the effect of occupational lead exposure on the incidence of hypertension in worker. Method The literature searching was conducted through PubMed, Scopus and Cochrane Library. The inclusion criteria were Systematic Review, Meta-Analysis, Cohort Study, Case- control Study, Cross-sectional Study, worker with occupational lead exposure, and hypertension or high blood pressure outcome. The selected articles were then critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-Based Medicine. Result Three relevant cross-sectional studies were included. Studies by Thongsringklee M. et al, Singamsetty et al. and Sudjaroen et al. showed that workers with direct-lead exposure have more risk for hypertension than workers with indirect-lead exposure (OR adj 1.38, 95% CI 1.01-1.89; OR 1.97, 95% CI 1.96-2.17; and OR 1.4, 95% CI 0.97-1.73, respectively) and significant statistically, although the last study wasn’t. Conclusion and recommendation The current evidences do not show strong evidence to ensure that lead exposure can cause hypertension in worker. It is recommended to be more alert for workers with direct-lead exposure because two out of three studies reported the possibility that lead increase the risk of hypertension in worker. Further research with better study design is needed to provide strong evidence that lead exposure can increase the risk of hypertension in worker."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Parmitasari
"Latar belakang. Saat pandemi COVID-19 terjadi, penderita asma dianggap memiliki peningkatan risiko infeksi terhadap COVID-19. Timbul pertanyaan apakah persiapan khusus terhadap kondisi klinis yang berat mungkin dibutuhkan bagi pekerja di lokasi terpencil. Objektif. Studi ini berusaha menjawab apakah terdapat peningkatan risiko perawatan intensif (Intensive Care Unit/ ICU) pada pekerja dengan COVID-19 yang memiliki riwayat asma. Metode. Pencarian literatur dilakukan melalui database PubMed, Scopus dan ProQuest, serta pencarian manual. Kriteria inklusi adalah tinjauan sistematis, studi kohort, studi retrospektif, studi cross sectional, COVID-19, asma, dan ICU. Kemudian dilakukan telaah kritis terhadap lietratur berdasarkan Center of Evidence-Based Medicine, Oxford University, Critical Appraisal for Prognostic Studies and Systematic Reviews. Hasil. Tiga studi tinjauan sistematis dan tiga studi kohort retrospektif ditemukan. Tinjauan sistematis oleh Sunjaya, et al. (2021) dan Husein, dkk. (2021), serta studi kohort retrospektif oleh Calmes, MD, et al. (2021) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan pada risiko perawatan di ICU untuk penderita asma dibandingkan non-asma (RR 1.19; CI 95%: 0.93 – 1.53; p= 0.16), (RR= 1.64, 95%CI = 0.67-3.97; p=0,27), dan (OR = 1,4 (95% CI = 0,64-3,2); p = 0,39). Tinjauan sistematis oleh Liu (2021), menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam prevalensi asma antara pasien ICU dan non-ICU (RR, 1,19; 95% CI, 0,92-1,54; P = 0,17; I2 = 48,6%;). Studi kohort oleh Choi, et al (2020) menunjukkan bahwa asma bukan merupakan faktor prediktif masuknya ICU pada pasien COVID-19 (OR 0,656 (95%CI= 0,295 – 1,440); nilai p =0,302). Sebaliknya, studi kohort oleh Jin, MMed, et.al (2020) menunjukkan bahwa pasien COVID-19 dengan asma memiliki proporsi masuk ICU yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak. Kesimpulan. Pekerja COVID-19 dengan asma tidak memiliki risiko masuk ICU yang lebih tinggi.

Background. As the COVID-19 pandemic occurs, those with asthma were thought to have an increased risk of infection. Question arisen whether special preparation for severe clinical outcomes might be needed for remote site workers. Objective. The study sought to answer whether an increased risk of an ICU admission for COVID-19 patients among workers who have a history of asthma exist. Method. A literature search was conducted through PubMed, Scopus and ProQuest databases, as well as hand searched. The inclusion criteria were systematic review, cohort study, retrospective study, cross sectional study, COVID-19, asthma, and ICU. Then, they were critically appraised based on Center of Evidence-Based Medicine, Oxford University, Critical Appraisal for Prognostic Studies and Systematic Reviews. Result. Three systematic review studies and three retrospective cohort studies were found. Systematic reviews by Sunjaya, et al. (2021) and Hussein, et al. (2021), also retrospective cohort study by Calmes, MD, et al. (2021) showed no significant difference in risk requiring admission to ICU for asthmatic compared to non-asthmatic (RR 1.19; CI 95%: 0.93 – 1.53; p= 0.16), (RR= 1.64, 95%CI = 0.67-3.97; p=0.27), and (OR = 1.4 (95% CI = 0.64-3.2); p =0.39), respectively. Systematic review by Liu (2021), showed no significant difference in asthma prevalence between ICU and non-ICU patients (RR, 1.19; 95% CI, 0.92-1.54; P =0 .17; I2 = 48.6%;). Cohort study by Choi, et al (2020) showed asthma was not a predictive factor for ICU admission in COVID-19 patients (OR 0.656 (95%CI= 0.295 – 1.440); p value =0.302). Contrary, cohort study by Jin, MMed, et.al (2020) showed that COVID-19 patients with asthma had a higher proportion of ICU admission than those who do not have. Conclusion. COVID-19 workers with asthma does not have a higher risk of ICU admission."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Leo
"Disfungsi ereksi pada laki-laki sering ditemukan dan berdampak pada penurunan kualitas hidup. Benign prostate hyperplasia (BPH) dengan lower urinary tract symptoms merupakan salah satu komorbid terjadinya disfungsi ereksi dimana terdapat kesamaan jalur patofisiologi pada keduanya. Kontraksi dari otot-otot bulbokavernosus dan isciokavernosus sebagai bagian dari otot dasar panggul akan menginisiasi dan mempertahankan ereksi sehingga latihan penguatan otot-otot tersebut akan membantu rigiditas ereksi penis. Studi laporan kasus berbasis bukti ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan klinis yaitu bagaimana efektivitas pemberian latihan penguatan otot-otot dasar panggul terhadap fungsi ereksi pada pasien BPH. Pencarian literatur dilakukan pada database elektronik yaitu Cochrane, PubMed, Scopus, Science direct, Oxford Academic dan Sage Journal dengan kata kunci sesuai dengan pertanyaan klinis. Hasil pencarian didapatkan sebuah studi kajian sistematik setelah dilakukan penapisan terhadap kriteria eligibilitas, adanya duplikasi dan penilaian seluruh isi naskah pada 142 artikel. Kajian sistematik tersebut menunjukkan latihan penguatan otot-otot dasar panggul memberikan respon komplit perbaikan fungsi ereksi pada 35-47% subjek, peningkatan domain ereksi pada International Index of Erectile Function (p<0,05) dan peningkatan tekanan intrakavernosa serta maximal anal pressure. Kesimpulan penelitian adalah latihan penguatan otot-otot dasar panggul dilakukan dengan kontraksi cepat (1 detik) dan kontraksi lambat (tahan 6-10 detik) dengan frekuensi 9-30 repetisi, 2-3 kali per hari selama 3-12 bulan yang dilakukan pada posisi berbaring, duduk dan berdiri, latihan tersebut dapat diberikan sebagai program latihan di rumah dan perlu dilakukan identifikasi dan pengendalian faktor-faktor komorbid disfungsi ereksi lainnya.

Erectile dysfunction (ED) often found in men and has an impact on reducing the quality of life. Benign prostate hyperplasia (BPH) with lower urinary tract symptoms is one of the comorbid which share the similar pathophysiology with ED. Contraction of the bulbocavernosus and ischiocavernosus muscles as part of the pelvic floor muscles (PFM) will initiate and maintain an erection so strengthening for these muscles will help stiffen the penis. This evidence-based case report study was conducted to answer the clinical question, how effective is giving PFM training on erectile function in BPH patients. Literature search was carried out on electronic databases, namely Cochrane, PubMed, Scopus, Science direct, Oxford Academic and Sage Journal with the keywords according to the clinical question. A systematic review study was obtained after screening from the eligibility criteria, duplication and assessment of the entire contents of the manuscript in 142 articles acquired. The study showed that PFM training improve erectile function in 35-47% of subjects, increased erectile domain in International Index of Erectile Function (p<0.05) and increased intracavernous pressure and maximal anal pressure. The conclusions are PFM training are carried out by fast and slow contractions with 9-30 repetitions, 2-3 times per day for 3-12 months which are carried out in lying, sitting and standing positions, these exercises can be given as a home exercise program and it is necessary to identify and control other comorbid factors of ED."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nida Ulhaq Fitriyah
"ABSTRACT
Nilai indeks gamma yang dihasilkan antara satu perencanaan dengan perencanaan lainnya berbeda. Perbedaan ini mungkin dipengaruhi oleh banyak hal seperti detektor yang digunakan, kasus kanker yang berbeda, dll. Akan tetapi, terdapat passing criteria yang direkomendasikan oleh AAPM TG 119, sehingga seharusnya nilai indeks gamma tidak akan bernilai jauh dari passing criteria yang telah direkomendasikan. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan evaluasi konsistensi verifikasi yang dilakukan di RS MRCCC Siloam Hospital Semanggi dengan cara melihat perbedaan nilai rata-rata indeks gamma setiap tahunnya selama 8 tahun sejak tahun 2011-2018. Uji statistika juga dilakukan untuk menganalisis perbedaan dan pengaruh antara detektor yang berbeda, kasus kanker yang berbeda, serta teknik penyinaran yang berbeda terhadap nilai indeks gamma yang dihasilkan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pesawat LINAC Varian Clinac iX dengan TPS Eclipse versi 8.6-13, detektor 2D array bilik ionisasi MatriXXEvolution , EPID serta software Portal Dosimetry, Omni Pro I rsquo;mRT dan SPSS. Secara umum, metode penelitian dibagi menjadi beberapa tahap yaitu : pencatatan data pasien, verifikasi perencanaan, evaluasi indeks gamma, uji statistika dan analisis. Uji statistika yang digunakan merupakan uji Kruskal-Wallis, Mann-Whitney dan Wilcoxon. Uji Kruskal Wallis digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata nilai indeks gamma setiap tahunnya. Uji Mann Whitney digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata nilai indeks gamma antara kanker otak dan kanker prostat serta melihat perbedaan rata-rata nilai indeks gamma yang dihasilkan antara teknik IMRT dan VMAT. Uji Wilcoxon digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata nilai indeks gamma detektor MatriXX dan EPID. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistika pada nilai rata-rata indeks gamma antara dua detektor, dua teknik IMRT dan VMAT, serta antara dua kasus kanker yang berbeda, sedangkan nilai rata-rata indeks gamma per tahun tidak signifikan secara statistika. Secara keseluruhan, nilai rata-rata indeks gamma setiap tahunnya konsisten. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa verifikasi yang dilakukan di RS MRCCC Siloam selama 8 tahun konsisten secara statistika.

ABSTRACT
The gamma index value generated between one plan and another is normally different. This can be affected by many factors such as the usage of different detectors, different type of cancer cases, etc. However, there is certain passing criteria recommended by AAPM TG 119, thus the gamma index value ideally should not be much far from the recommended passing criteria. Therefore, this study will evaluate the verification consistency conducted at MRCCC Siloam Hospital Semanggi by looking at the difference between the mean value of gamma index every year for 8 years since 2011 2018. Statistical tests were also performed to analyze differences and effects between different detectors, different cancer cases, and different irradiation techniques on the resulting gamma index values. The equipment used in this research was LINAC Varian Clinac iX with TPS Eclipse version 8.6 13, 2D detector MatrixEvolution ionization array, EPID and Dosimetry Portal software, Omni Pro I 39 mRT and SPSS. In general, the study method is divided into several stages patient data recording, planning verification, gamma index evaluation, statistical test run, and analysis. The statistical test used is Kruskal Wallis, Mann Whitney and Wilcoxon test. The Kruskal Wallis test was used to see the average difference in the gamma index value annually. In addition, Mann Whitney test was used to see the difference in gamma index mean values between brain cancer and prostate cancer and to see the difference in gamma index mean values generated between IMRT and VMAT techniques. Furthermore, Wilcoxon test was used to see the difference in gamma index mean values of MatriXX and EPID detectors. The results showed statistically significant differences on the gamma index mean values between two detectors, two IMRT and VMAT techniques, and between two different cancer cases, while the difference between gamma index mean value per year was not statistically significant. Overall, the average value of the gamma index each year is consistent. Therefore, the verification performed at MRCCC Siloam Hospital for over 8 years is consistent statistically."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joni Fiter
"Pendahuluan: Pekerja gilir memiliki risiko gangguan tidur akibat kerja gilir karena terganggunya irama sirkardian. Pemberian melatonin diyakini dapat mengatasi masalah ini. Tujuan dari laporan kasus berbasis bukti ini adalah untuk menentukan efektivitas pemberian melatonin dalam mengatasi gangguan tidur akibat kerja gilir.
Metode: Pencarian literatur dilakukan melalui PubMed, Scopus dan Cochrane. Kriteria inklusi adalah RCT, tinjauan sistematis, pekerja gilir/pekerja malam dengan gangguan tidur, pemberian melatonin dan plasebo, dan hasil luaran gangguan tidur. Kemudian dilakukan telaah kritis dengan menggunakan kriteria yang relevan dari Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Hasil: Telah dipilih dua artikel yang relevan dan valid. Tinjauan sistematis dan meta-analisis oleh Liira J, dkk (2014) menyatakan bahwa total waktu tidur pada hari berikutnya pada kelompok melatonin adalah 24,34 menit lebih lama daripada plasebo. Total waktu tidur pada malam berikutnya pada kelompok melatonin adalah 16,97 menit lebih lama dari plasebo. Melatonin meningkatkan kewaspadaan selama kerja gilir malam. Tidak ada perbedaan efek samping antara plasebo dan melatonin. Sebuah RCT oleh Sadeghniiat-Haghighi K, dkk (2016) menyatakan bahwa efisiensi tidur melatonin secara statistik meningkat sekitar 2,96%. Latensi onset tidur melatonin membaik secara statistik sekitar 6,6 menit.
Kesimpulan: Melatonin dapat dipertimbangkan sebagai pilihan untuk mengatasi gangguan tidur akibat kerja gilir, terutama untuk meningkatkan total waktu tidur. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan kualitas yang lebih baik.

Introduction: Shift workers have a risk of shift work sleep disorder because of circardian rhythm disturbing. Melatonin administration is believed to overcome this issue. The purpose of this evidence-based case report was to determine the effectiveness of melatonin to overcome shift work sleep disorder.
Method: The literature search was conducted through PubMed, Scopus and Cochrane. Then, they were critically appraised using relevant criteria by the Oxford Center for Evidence-based Medicine.
Results: Two relevant and valid articles were included. A systematic review and meta-analysis by Liira J, et al (2014) states that total sleep time in the next day on melatonin group was 24.34 minutes longer than placebo. Total sleep time in the next night on melatonin group was 16.97 minutes longer than placebo. Melatonin increased alertness during the night shift work. The side effects were not differ between placebo and melatonin. One RCT by Sadeghniiat-Haghighi K, et al (2016) stated that sleep efficiency of melatonin was statistically improved about 2.96%. Sleep onset latency of melatonin was statistically improved about 6.6 minutes.
Conclusion: Melatonin can be considered as an option for overcoming shift work sleep disorder, especially for increasing total sleep time. Further researches with better quality are recommended."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fredy Christianto
"Latar Belakang: Dry eye disease (DED) merupakan sekelompok gangguan pada lapisan tirai mata yang terjadi akibat penurunan produksi air mata atau instabilitas dari tirai mata. Salah satu penyebab terjadinya DED adalah penurunan sekresi air mata akibat penurunan refleks berkedip, yang sering terjadi pada pekerja visual display terminal (VDT). Blinking therapy merupakan salah satu terapi yang dapat diberikan pada penderita DED untuk meningkatkan blink rate dan menurunkan jumlah incomplete blink. Metode: Pencarian literatur dilakukan pada database Pubmed, Cochrane Library, dan Google Scholar dengan kata kunci dry eye disease, blinking therapy, dan ocular surface disease index. Pencarian menghasilkan tiga artikel terpilih yang kemudiaan ditelaah kritis. Hasil: Blinking therapy dapat dilakukan secara konvensional, menggunakan software animasi pada komputer, ataupun menggunakan kacamata khusus wink glass. Blinking therapy dapat memberikan perubahan nilai OSDI yang signifikan secara statistik dalam jangka waktu terapi 20 menit hingga 4 minggu. Kesimpulan: Blinking therapy dapat digunakan sebagai tata laksana pada pasien dengan DED untuk memperbaiki gejala mata kering sesuai dengan parameter yang dinilai pada OSDI.

Background: Dry eye disease (DED) is a group of tear film disturbances that is caused by decrease in tear production or tear film instability. One of the causes of DED is reduced tear secretion, which often happens in visual display terminal (VDT) workers. Blinking therapy is one of the therapies that can be given to DED patients to increase blink rate and reduce the number of incomplete blinks.
Methods: Literature searching was done on database such as Pubmed, Cochrane Library, and Google Scholar. The keywords used on the literature searching were dry eye disease, blinking therapy, and ocular surface disease index. Three articles were chosen and critically appraised.
Results: Blinking therapy can be done using conventional method, using animation software on computer, or by using specifically designed wink glass. Blinking therapy shows statistically significant changes in OSDI scores with therapy duration ranging from 20 minutes to 4 weeks.
Conclusion: Blinking therapy can be done as a treatment for DED patients to improve dry eye symptoms as measured in OSDI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Michael Rulando
"Kanker prostat adalah angka kematian terkait kanker tertinggi kedua pada pria setelah
kanker paru-paru. Neutrophyl to lymphocyte ratio (NLR), salah satu parameter
inflamasi, ditemukan sebagai faktor prognostik pada beberapa jenis tumor padat,
seperti kanker prostat. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ada tidaknya hubungan
antara NLR dengan hasil skor Gleason pasien biopsi adenokarsinoma prostat di RSUD
Haji Adam Malik Medan. Sebanyak 121 pasien menjalani biopsi prostat dari awal
Januari 2013 - Desember 2015 di RS Adam Malik dan 30 tidak dikeluarkan. Data dari
91 pasien kemudian diambil meliputi umur, data hematologi pra biopsi, pemeriksaan
PSA awal, estimasi berat prostat, dan skor gleason dari hasil biopsi. Data diolah dengan
SPSS versi 22. Ditemukan pasien dengan usia rata-rata 68,34 tahun dengan rentang usia
52-85 tahun. Tidak ada hubungan bermakna antara NLR dan TBP dengan r = 0,077 dan
p = 0,469 serta tidak ada hubungan bermakna antara NLR dan PSA dengan r = 0,072
dan p = 0,496. Ada hubungan yang signifikan antara rasio neutrofil / limfosit dengan
hasil pemeriksaan gleason score pada pasien kanker prostat di RSUP Haji Adam Malik.
Diperlukan penelitian lebih lanjut, apakah rasio neutrofil / limfosit dapat digunakan
untuk memprediksi skor gleason score pada pasien suspek kanker prostat

Prostate cancer is the second highest cancer-related mortality rate in men after lung
cancer. Neutrophyl to lymphocyte ratio (NLR), one of the inflammatory parameters, is
found as a prognostic factor in several types of solid tumors, such as prostate cancer.
This study aims to assess whether there is a correlation between NLR with the results
of Gleason score of patients with prostate adenocarcinoma biopsy at Haji Adam Malik
Hospital Medan. A total of 121 patients underwent a prostate biopsy from early January
2013 - December 2015 at Adam Malik Hospital and 30 were not excluded. Data from
91 patients were then taken, including age, hematologic data pre biopsy, PSA on initial
examination, prostate weight estimation, and gleason score from biopsy results. The
data is processed with SPSS version 22. We found patients with a mean age of 68.34
years with an age ranging from 52 to 85 years. There is no significant correlation
between NLR and TBP with r = 0.077 and p = 0.469 and also there is no significant
correlation between NLR and PSA with r = 0.072 and p = 0.496. There is a significant
correlation between the ratio of neutrophils/lymphocytes with the results of gleason
score examination in prostate cancer patients at Haji Adam Malik Hospital. Further
studies are needed, whether the ratio of neutrophils / lymphocytes can be used to predict
the gleason score score in patients with suspected prostate cancer.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>