Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105635 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arif Varianto
Jakarta: Institut Studi Arus Informasi , 2001
321.8 ARI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gde Dwitya Arief Metera
"democratic quality, captured by a plethora of concepts such as democratic backsliding, democratic decline, and democratic regression. This deterioration compels scholars to conclude that Indonesia, in its current state, is an illiberal democracy, effectively displacing earlier optimism that Indonesian democracy will eventually be consolidated. This article engages the emerging literature on democratic decline and the rise of illiberal democracy in Indonesia by identifying a key source of its illiberal features. It makes the case linking democracy with the involvement of the state in enforcing religion, as seen in the number of existing religious legislations. State enforcement of religion necessarily entails the curtailment of religious freedom, specifically freedom from religion, as the religiosity of Indonesian citizens is forced to shiftfrom voluntary to compulsory. A liberal democracy, by definition, should not curtail individual liberty in general nor religious freedom in particular. This article then takes a comparative persepctive on
Indonesia by comparing the number of religious legislations in Indonesia with those of other democratic states, globally utilizing data from Religion and State (RAS) 3 and V-Dem dataset. The examination yields the observation that Indonesia has a far higher number of religious legislations than the average democracy globally. It indicates a significant level of involvement of the Indonesian state in enforcing religion. In that respect, Indonesia is unusually illiberal for a democracy. The article also emphasizes how religious legislations are mostly found in certain regions, and provides ethnographic evidence of how fasting as a religious norm is enforced during the month of Ramadan in South Kalimantan. This article concludes by reflecting on the uneven democratic quality at the subnational level. Decentralization and the uneven distribution of rights to subnational governments underlie the concentration of religious bylaws in only specific regions of the archipelago."
Jakarta: UIII Press, 2022
297 MUS 1:2 (2022)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Adi Pramono, supervisor
"Sivilitas demokratis (democratic civility) yang dikcmukakan Hefner (1998) --bila
disederhanakan-- bermakna "tata sosio-politik-kultural yang memiliki nilai-nilai
kebebasan, kesederajadan dan toleransi yang melandasi Qartisipasi demokralis
warganegara dalam sebuah tatanan pplitik inteeratif dengan mengandaikan adanya
kerjasama antara yvarganegara dan ncgara yang mampu melindungi hak-hak
warganegara di wilayahnya". Bagaimanakah kemungkinan tatanan seperti itu dapat
terwujud pada kehidupan para aktivis partai politik di Surakarla? Basis ekonomi
dipandang sebagai entiy point untuk memahami perilaku dan tindakan politik para aktivis
tersebut. Scdangkan perilaku dan tindakan para aktivis digunakan sebagai entry point
pula dalam memahami kemungkinan terbentuknya democratic civility di Surakana.
Kerangka teori yang saya pakai sebagai "pegangan awal" penelitian adalali
kombinasi teori democratic civility (Hefner), civil society ('l`ocqucville dan Neera
Clmndhnlce) danformnl - shadow economy (Evers dan McGee). Hal ini akan dilambah
dengan teori 0'DonnclI dan Schmitter tcntang Negara Otoritarian-Birokratik (NOB) dan
korporatismc negara yang dimaksudkan untuk mernahami sistem polilik pcmcrintahan
Socharto sebagai kontcks makro historis.
Penclitian kualitatif yang betsifat cksploratif ini (karena beium ada salu pun
penelitian tentang topik ini secara empiris) menyimpulkan bahwa kemungkinan
terbentuknya democratic civility tersebut masih bcrsifa:-embrional. Secara umum nilai
kebebasan, kesederajadan, toleransi, kemandirian, partisipasi, dan ketaatan pada hukum
telah mempengaruhi nuansa atmosfer politik mereka tetapi pada ruang dan waktu lertentu
ia masih rentan terhadap nilai-nilai anti-dcmokrasi, misalnya "politik uang", kekerasan,
pemaksaan kchcndak dan tidak responsif terhadap aspirasi publik. Sebab itu ia
membutuhkan kerja sinergis berbagai pihak terkait --bukan hanya para aktivis parlai
politik- danhersifat multi-dimensional -bukan hanya berbasiskan pada dimensi (basis)
ekonomi-- sccara jangka panjang dengan membuat jejaring antara kullur dan slruktur
sosial sebagai pijakannya yang didasarkan pada nilai-nilai dasar demokrasi (termasuk
ketiga nilai dasar democratic civility Hefner). Tcmuan lapaugan menunjukkan bahwa
dinamika politik kepartaian ditandai oleh kecenderungan perubahan dari pola otorilarian
menuju ke (transisi) demokratis. Pada titik ini, scjumlah peluang dan hambatan turut
mewarnai dinamika kchidupan para aktivis partai politik tcrsebut.
Kcsimpulan ini didasarkan pada hasil analisis terhadap para aktivis partai po1iti!<_
(terutama terhadap basis massa pendukung, dinamika kepartaian secara historis, basis
ekonomi dan variabel lain, serta peluang dan hambalan) dengan mcnggunakan data
primer dan sekunder yang diperoleh melalui tcknik snowbnlling, wawancara tak
berstruktur, wawancara mendalam, pengamatan tcrlibat, data statistik, media massa
(misalnya: kliping koran), dokumcntasi rclevan, literatur dan hasil penelitian terkait_
Trianggulasi dan pendekatan cmik - etik pun diterapkan tcrhadap data Iapangan agar
diperoleh data yang sahih. Analisis mendasarkan diri pada reduksi data, sajian data dan
penarikn kcsimpulan yang kemudian disusun menjadi laporan penalitian parsial dan akhir
berdasarkan negotiated understanding antara penelili dan subyek penelitian.
Temuan lapangan menghasilkan "implikasi teoritik" baik terhadap teori yang
mcnjadi "pegangan awal penelitian" maupun teori lain yang masuk kc "ruang kesadaran"
peneliti karena "dirangsang" oleh data lapangan. Pertama, konsep Negara Otoritarian Birokratis (O'Donnell) dan korporatisme negara (Schmitter) masih rclevan untuk
memahami dinamika kepartaian secara historis terutama Era Soeharto. Kcdua, konsep
Samuel Huntington tentang strong government tcrlihat jelas pada Era Soeharto. Ketiga,
begitu kuatnya stale pada era tersebut membawa saya kian mengafirmasi pcrlunya
implementasi civil society --terularna sebagaimana dikcmulcakan Toequevillc, Neera
Chandhoke, dan Hefner" pada masyarakat. Kecmpat, konsep civil society secara
vertikal (vis a vis state) dan secara horisontal (terhadap asosiasi-asosiusi lain) pada
perkembangan terakhir di Surakarta cenderung untuk dikombinasikan, sehingga bercorak
kolaborasi-kritis balk secara vertikal maupun horisontal. Kelima, konsep formal
economy, shadow economy, informal economy, subsistence production dan dark economy
(Evers dan McGee) kiranya sangat membanlu dalarn memahami basis elconomi subyek
penelitian. Namun sejurnlah konscp tersebut "tumpang-tindih" atau dapat dikenakan
bersama-sama pada subyek tertentu sehingga sulit untuk membuat kategorisasi. Kecnam,
konsep democratic civility (Hefner) terbukti sangat abstrak bagi para informan (subyek
penelitian) sehingga diperlukan penelitian lanjutan yang memungkinkan perumusan
"konsep tingkat mencngah" (Merton) supaya lebih aplikatii Ketujuh, konsep "asosiasi"
(Neem Chandhoke) bersifat terlalu luas, sehingga mencakup semua pengelompokan
sosial, akan tetapi manakah yang menjadi "tulang punggung" civil society menjadi tidak
jelas. Hal ini diperumit oleh data lapangan bahwa secara personal sejmnlah individu yang
terintegrasi di dalam negara (regimist actors, terinspirasi oleh ternniiologi Hefner:
regimis! Islam) sckaligus pulzfmenjadi anggota asosiasi sosial (civil actors, terinspirasi
oleh tenninologi Hefner: civil Islam). Sehingga apa yang dimaksud dengan "asosiasi"
tersebut --dari sudut pandang aktor-- mcnjadi tidak jclas pada temuan ini. Menurut saya -
sccara tentatifl- visi dan nlisi asosiasilah yang perlu menjadi titik pijak, bukan
keanggotaan personal. Kedelapan, pemahaman terhadap makna civil society kiranya
masih di dalam proses perkembangan yang jauh dari iinalitas kesepakatan antar teoritisi.
Tetapi tak dapat dipungkiri, bahwa konsep itu menjadi prasyarat utama bagi hadirnya
kehidupan yang clemokratis di antara sesama warganegara serta interaksi amara
\varganugara (baik personal maupun asosiasional atau organisasional) dengan ncgara.
Kescmbilan, konsep-konsep teori sosiologi lclasik dan modern masih cukup relevan pada
topik ini: (1) "fakta sosial" (Emile Durkheim); (2) aneka tindakan sosial alas dasar
subjective meaning (Wcbcr); (3) tindakan sosial bcrdasarkan motif (interests dan values)
menurut Parsons; (3) hukum besi oligarkhi (Robert Michels); (4) "hukum sosial" Lord
Acton: "Tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada adalairkepcntingan abadi"; (5)
?desubllmasi represif" (Herbert Mnrcuse), (6) teori strukturasi: inleraksi antara agency
dan structure (Anthony Giddens); dan (7) "ruang publik" (public sphere) menurut
Juergen Hatbermas. V
Berkaitan untuk memperoleh ternuan lapangan, sccara mclhodologis, small group
discussion susah untuk diterapkan karena faksionalisme dan kesalingcurigaan politik
yang terjadi pada para aktivis partai tcrtcntu. Cross-check cenderung dilakukan secara
interpersonal dan atas dasar data sekunder. Sedangkan bagian mcthodologi Iain dapal
diterapkan dalam penelitian.
Karena penelitian bersifat eksploratif maka peluang untuk mengadakan penclitian
lebih mendalam tentang topik ini sangat terbuka lebas, dengan berbagai macam sudut
pandang, kcrangka tcori, mcthodologi, subyek penelitian dan lokasi penelitian. Kajian
lanjutan sangat diperlukan untuk memperdalam dan mcmperluas cksplorasi awal ini."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T5479
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koentjoro Poerbopranoto
Bandung: Eresco, 1978
321.598 KOE s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: United Nations Development Programme, 2013
321.8 IND d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Vidya Imanuari Pertiwi
"Kinship politics has become an old topic of discussion in all countries that adhere to democracy, even for a democratic example country like America. The phenomenon of kinship politics is also inseparable from democracy in Indonesia. The rise of kinship politics is reflected in the implementation of the 2020 Regional Head Elections. This has caused concern from various groups, from the general public to democracy experts. They assume that the practice of kinship politics will harm political developments in Indonesia. Based on this phenomenon, this article aims to review kinship politics in the 2020 Regional Head Elections. The review covers implementing kinship politics, the reasons for the widespread practice of kinship politics in Indonesia, and its implications for governance practices in Indonesia. The methodology used is the method of literature study or literature review. Based on the findings, kinship politics in Indonesia occurs in almost all regions in Indonesia and strengthens in the 2020 Regional Head Elections. This happens because of the pattern of patron-client. Furthermore, negative implications are found in a patronage network that leads to cases of KKN-the Indonesian acronym for corruption, collusion, and nepotism, the destruction of local democracy, and moral hazard problems. The alternative used is political party reform, where the party applies a transparent and merit-based mechanism for regeneration."
Jakarta: Bestuurskunde, 2021
324 BES 1:2 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
POL 3(1-2)2013
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Tindakan afirmatif dengan pemberian kuota 30% bagi kaum perempuan, merupakan hak konstitusional yang harus dipandang dengan proporsional dengan tidak mengesampingkan hak kedaulatan rakyat. Sebagai stake holder utama dalam negara demokratis, adalah hak rakyat untuk memilih para wakilnya untuk duduk di parlemen. Pengabaian terhadap hak rakyat untuk memilih para wakilnya merupakan pencederaan terhadap demokrasi dan kedaulatan rakyat "
JK 11 (1-4) 2014
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Arbie Sadputra Haman
"ABSTRAK
Fokus dari penelitian ini adalah untuk menyajikan pragmatisme dari Partai Demokrat di Amerika Serikat (AS) atas peran sertanya dalam isu proposal Federal Marriage Amendment (FMA) tahun 2004. Dengan menentang proposal FMA, maka Partai Demokrat dapat memberikan citra sebagai partai politik yang mengakomodir kepentingan kelompok Lesbian, Gay, & Bisexual (LGB). Adapun kepentingan kelompok LGB yang dimaksud adalah tuntutan mereka untuk dapat menikah, yang secara substansi akan tereliminasikan apabila proposal FMA berhasil lolos menjadi Amandemen Konstitusi AS. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif untuk menginterpretasikan mengenai bagaimana Partai Demokrat sebagai sebuah partai politik, memiliki dan menempatkan kepentingan partai sebagai tujuan utama di balik upayanya dalam mengakomodir kepentingan dari kelompok LGB melalui isu proposal FMA. Peristiwa-peristiwa yang melatar-belakangi hadirnya proposal FMA, ditambah faktor-faktor pendukung lainnya, memberikan momentum bagi Partai Demokrat untuk mengupayakan kepentingannya.

ABSTRACT
This research focuses on presenting the pragmatism of the Democratic Party in the United States (US) with regard to its role and involvement on the issue of Federal Marriage Amendment (FMA) proposal 2004. By means of opposing FMA proposal, so the Democratic Party was enabled set up an image as a political party that accommodated the interest of Lesbian, Gay, & Bisexual (LGB) group. As for the interest of LGB group is referring to their demand to be able to marry, which is substantially will be eliminated if the FMA proposal has succeeding become a US Constitutional Amendment. This research uses qualitative method to interpret how the Democratic Party as a political party has its own interest and placed it as the main goal to be achieved behind their effort in accommodating the interest of the LGB group through the FMA proposal issue. Several events as the background of the FMA proposal, with other supporting factors, gave it momentum so that the Democratic Party was able to attain the partys interest."
2016
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dien Wijayatiningrum
"Tesis ini membahas mengenai pengaruh Nokyo di dalam kebijakan sektor pertanian di bawah kepemimpinan Shinzo Abe, melalui penggunaan teori kelompok kepentingan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data melalui studi literatur atau kajian pustaka, studi data resmi yang dipublikasikan oleh kementerian, media masa, dan situs-situs yang terkait langsung dengan objek penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan di antara LDP dan Nokyo masih sangat kuat terbukti dengan adanya kebijakan penyeimbang yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, re-organisasi Nokyo tidak melemahkan kebijakan pertanian melainkan lebih menguatkan sektor pertanian dan juga petani.

The purpose of this research is to identify the influence of Nokyo as an interest group on agricultural policy under abe's Cabinet by using interest group theory. As a preliminary study this research employs qualitative method by collecting and analyzing data through literature review and some official data that are published by the media and website related to the reseach project. The result showed that relationship between LDP and Nokyo are still remain strong. Since Abe's Cabinet conducting a balancing policy to maintenance a good relationship with Nokyo after decided a new policy. Furthermore, Re organization under Abe's Cabinet not weaken the agricultural policy and farmers. The new agricutrual policy, make an agricultural sector more competitive and farmers became more independent and strong. "
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>