Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75039 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Andi Moeh. Ilham Patu
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57287
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Hary Arafah
"Introduction: Traumatic Brain Injury (TBI) is a common non-infectious disease. It is so common that it is dubbed as the “silent pandemic”. It is also the main contributor of the overall disability and mortality rates in the overall injuries caused by trauma. Studies have found that the annual worldwide TBI occurrence is 295 occurrences for every 100,000 people. Another study found that around 10 million people suffer from TBI which requires hospitalization or with lethal consequences annually worldwide. Several factors can influence the overall outcome of TBI in patients. This study aims to elucidate the influence some of these factors may have; including age, sex, severity, amount of lesion, and brain region affected. Methods: This research is an analytical research using retrospective methods as medical records from the archives of the Department of Neurology of FKUI-RSCM is used. Statistical analysis is done using SPSS with Chisquared and Kruskal-Walis as the main method of statistical tests used; appropriate to data type. Results: Age was found to be a significant factor in the development of worse outcomes in the 14th day post-trauma (p= 0.026). Severity was found to be a significant factor also regardless of when the GOSE score was taken (14th day p= 0.004, 30th day p= <0.001, 90th day p=<0.001). Injuries in multiple brain regions was also a significant factor (14th day p= 0.003, 30th day p= 0.037, 90th day p= 0.008). The parietal region was found to be the only significant predictor (14th day p= 0.013, 30th day p= 0.011, 90th day p= 0.044). Conclusion: Age, severity, amount of brain region affected, and injury in the parietal region is a significant outcome predictor.

Introduksi: Cedera Otak Traumatik (COT) adalah penyakit non-infeksius yang umum ditemui. Sangat sering hingga dianggap sebagai “pandemi diam-diam”. COT juga merupakan kontributor Tingkat Disabilitas dan Mortalitas utama dari semua cedera traumatik lainnya. Satu studi telah menemukan bahwa kejadian COT tahunan pada seluruh dunia adalah 295 kejadian untuk setiap 100.000 orang. Study lain menemukan sekitar 10 juta orang menderita COT yang memerlukan perawatan di rumah sakit atau berakibat fatal tiap tahunnya di seluruh dunia. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keluaran keseluruhan pasien COT. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan pengaruh dari beberapa faktor tersebut; termasuk umur, jenis kelamin, keparahan, jumlah lesi, dan area otak yang terpengaruhi. Methode: Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan metode retrospektif dengan menggunakan rekam medis yang tersedia pada arsip Departemen Neurologi FKUI-RSCM. Analisis statistik dilaksanakan menggunakan SPSS dengan metode Chi-Squared dan Kruskal Walis sebagai metode statistik utama yang dipakai dan sesuai dengan tipe data juga. Hasil: Umur ditemukan sebagai faktor yang signifikan dalam perkembangan hasil kurang baik pada hari ke-14 sehabis trauma (p=0.026). Keparahan juga ditemukan sebagai faktor yang signifikan pada tiap titik waktu skor GOSE diambil (hari ke-14 p= 0,004, hari ke-30 p= <0,001, hari ke-90= <0,001). Cedera pada lokasi multipel pada otak juga ditemukan sebagai faktor yang signifikan (hari ke-14 p= 0.003, hari ke-30 p= 0.037, hari ke-90 p= 0.008). Daerah parietal juga ditemukan sebagai prediktor yang signifikan (hari ke-14 p= 0,013, hari ke-30 p= 0,011, hari ke-90 p= 0,044). Konklusi: Umur, keparahan dan jumlah daerah otak yang terpengaruhi dan cedera pada daerah parietal adalah prediktor hasil yang signifikan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Taufiq Dardjat
"Kematian adalah suatu proses yang dapat dikenal secara klinis pada seseorang melalui pengamatan terhadap perubahan yang terjadi pada tubuh mayat. Perubahan itu akan terjadi dari mulai terhentinya suplai oksigen. Manifestasinya akan dapat dilihat setelah beberapa menit, jam dan seterusnya. Dalam kasus tertentu, salah satu kewajiban dokter adalah membantu penyidik menegakan keadilan. Untuk itu dokter sedapat mungkin membantu menentukan beberapa hal seperti saat kematian dan penyebab kematian tersebut. Dari kepustakaan yang ada, saat kematian seseorang belum dapat ditunjukan secara tepat karena tanda-tanda dan gejala setelah kematian sangat bervariasi. Hal ini karena tanda atau gejala yang ditunjukan sangat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya, umur, kondisi fisik pasien, penyakit sebelumnya, keadaan lingkungan mayat, sebelumnya makanan maupun penyebab kematian itu sendiri. Dalam era ini dibutuhan penentuan saat kematian secara tepat.Untuk itu akan telah dilakukan suatu penelitian dasar untuk mendapat suatu indikator bebas. Indikator ini akan dipakai untuk dasar kerja sebuah slat banal yang mampu mendeteksi perubahan yang hanya objektif dan akurat setelah kematian terjadi. Otak sebagai organ yang relatif terlindung maksimal dengan batok kepala diperkirakan mengalami proses kimiawi yang relatif cepat dan tidak dipengaruhi lingkungan. Proses kimiawi akibat terhentinya suplai zat asam/oksigen mengakibatkan jaringan otak yang sangat sensitif terhadap kekurangan zat asam itu akan lebih cepat mengalami disintegrasi kimiawi, yang diamati melalui perubahan konduktivitas listrikyang terjadi.
Dengan penelitian ini diamati korelasi waktu dengan perubahan konduktivitas jaringan otak setelah kematian asfiksia dan perdarahan pada tikus. Telah didapatkan data bahwa konduktivitas berubah terhadap waktu dalam 24 jam pertama menurut fungsi quadratik dan atau kubik. Penurunan konduktivitas ini diperkirakan terjadi berhubungan dengan denaturasi protein atau asam aminino intra dan ekstraseluler. Mulai terjadinya pengrusakan atau perubahan semipermeabilitas dinding sel yang terdiri dari fosfo lipid yang terurai menjadi asam lemak dan protein yang bersifat elektrolit menunjukan meningkatnya larutan elektrolit secara umum sehingga akan meningkatkan konduktivitas aliran listrik tersebut. Secara sepintas tidak terdapat berbedaan yang bermakna antara cara kematian secara asfiksia atau perdarahan/potong. Konduktivitas mencapai minimum sekitar 12 - 15 jam kematian untuk kedua perlakuan. Dari data deskriptif ini perlu kiranya dilakukan analisis statistik lebih lanjut, untuk mendapatkan informasi sehingga bermanfaat untuk penelitian selanjutnya. Untuk itu penelitian ini perlu dilajutkan secara terintegrasi dengan disiplin terkait untuk memantau baik secara biokimia atau histopatologis dan lainnya, untuk menjelaskan perubahan fisika listrik yang terjadi ini."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1995
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farell Hwardaya Putraprasetyo
"Latar Belakang: Cedera Otak Traumatik (COT) mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan temuan radiologi TBI dengan angka kecacatan dan kematian di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis, dilakukan secara retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang diambil dari rekam medis dan arsip pasien yang disediakan oleh Departemen Neurologi FKUI-RSCM yang telah didiagnosis menderita COT sedang dan berat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari hingga Desember 2021. Hasil CT diklasifikasikan menggunakan skor CT Rotterdam. GOSE digunakan sebagai outcome prediktor dimana penilaian dilakukan pada hari ke 14, 30, dan 90. Analisis bivariat akan dilakukan dengan menggunakan uji Chi-square dan uji Mann-Whitney. Hasil: TBI sedang menjadi dominan (88,5%) dan SAH menjadi kelainan CT paling umum di RSCM (57,6%). Usia ditemukan menjadi faktor signifikan dalam perkembangan hasil yang lebih buruk pada hari ke-14 pasca-trauma (p= 0,026). Keparahan juga ditemukan sebagai faktor yang signifikan terlepas dari kapan skor GOSE diambil (hari ke-14 p= 0,004, hari ke-30 p= <0,001, hari ke-90 p=<0,001). SAH merupakan prediktor hasil yang signifikan pada hari ke-14 (p=0,030), hari ke-30 (p=0,010), dan hari ke-90 (p = 0,009). DAI (p= 0,048) dan edema serebral (p=0,009) memainkan peran penting terhadap hasil pada hari ke-90. Skor CT Rotterdam memiliki hubungan yang signifikan terhadap prediksi hasil pada hari ke-14 (p=0,009), hari ke-30 (p <0,001), dan hari ke- 90 (p <0,001). Kesimpulan: Tingkat keparahan COT, SAH, DAI, dan edema serebral mempunyai peran penting dalam prediksi hasil akhir penelitian.

Introduction: TBI affects millions of individuals around the world. This research aims to explore the relationship between radiological findings of TBI and the disability and mortality rate in Cipto Mangunkusumo Hospital Methods: This is a descriptive analytical research, done in a retrospective way by the usage of secondary data extracted from medical records of patients that had been diagnosed with TBI in Cipto Mangunkusumo hospital in 2021. GOSE was used as an outcome predictor in which assessment was done at the 14th, 30th, and 90th day. Analysis was done using Chi-square test and Mann-Whitney test Results: Moderate TBI to be predominant (88.5%) and SAH to be the most prevalent CT abnormality in Cipto Mangunkusumo hospital (57.6%). Age was found to be a significant factor in the development of worse outcomes in the 14th day post-trauma (p= 0.026). Severity was found to be a significant factor also regardless of when the GOSE score was taken (14th day p= 0.004, 30th day p= <0.001, 90th day p=<0.001). SAH was a significant predictor of outcome at the 14th day (p=0.030), 30th day (p=0.010), and 90th day (p = 0.009). DAI (p= 0.048) and cerebral edema (p=0.009) played a significant role on the outcome at the 90th day. Rotterdam CT score had a significant association in outcome prediction at the 14th day (p=0.009), 30th day (p < 0.001), and 90th day (p < 0.001). Conclusion: Severity, Rotterdam CT score, SAH, DAI, and cerebral edema had a significant role in prediction of outcome at the end of the study."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aditarahma Imaningdyah
"ABSTRAK
Tujuan : Mengetahui hubungan kadar protein S100 pada pasien cedera otak ringan dan sedang yang diukur secara bertahap pada saat pasien tiba di rumah sakit, beberapa jam pasca trauma, dan sekian hari perawatan di rumah sakit, sehingga dapat digunakan sebagai petanda kerusakan otak.
Latar belakang : Cedera otak menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia karena dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Diagnosis cedera otak ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis neurologi, dan CT scan atau MRI untuk melihat kerusakan anatomi. Pemeriksaan kadar protein S100 pada pasien cedera otak ringan dan sedang dengan menggunakan bahan serum diperlukan untuk mendeteksi dan dapat untuk mengevaluasi adanya kerusakan otak pasca traumatik.
Metode : Subyek penelitian adalah orang sehat dan pasien cedera otak ringan dan sedang berdasarkan nilai SKG, pemeriksaan klinis neurologi, dan CT scan, yang diambil darahnya untuk pemeriksaan kadar protein S100 pada saat tiba di rumah sakit, 6 jam pasca trauma, 24 jam pasca trauma, dan hari terakhir perawatan. Pemeriksaan kadar protein S100 dalam serum menggunakan Elecsys S100 dengan prinsip ECLIA.
Hasil : Terdapat perbedaan bermakna (p = 0,001) pada semua kadar protein S100 yang diukur saat tiba di rumah sakit, 6 jam pasca trauma, 24 jam pasca trauma, dan hari terakhir perawatan, baik pada pasien cedera ringan maupun sedang. Puncak kadar protein S100 tercapai pada 6 jam pasca trauma pada pasien cedera otak ringan dan sedang. Kadar protein S100 pada pasien cedera otak sedang saat tiba di rumah sakit lebih tinggi secara bermakna dibandingkan pasien cedera otak ringan (median 0,259 μg/L rentang 0,207 – 0,680 μg/L vs median 0,150 μg/L rentang 0,051 – 0,289 μg/L, p = 0,001) dan kadar protein S100 pasien cedera otak ringan saat tiba di rumah sakit lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kadar protein S100 orang sehat (median 0,150 μg/L rentang 0,051 – 0,289 μg/L vs rerata 0,065 ± 0,017μg/L, p = 0,001).
Kesimpulan : Pada pasien cedera otak ringan dan sedang saat tiba di rumah sakit sudah terdapat peningkatan kadar protein S100 secara bermakna dibandingkan dengan orang sehat. Protein S100 dapat digunakan sebagai petanda untuk deteksi dan evaluasi kerusakan otak pasca traumatik.

ABSTRACT
Objective: To identify the relation of protein S100 level in mild and moderate brain injury patient, which is measured repeatedly at admission, few hours post trauma, and few days of hospitalization, thus it can be used as brain injury biomarker.
Background: Brain injury becomes worldwide public health issue since it may cause disability and mortality. The diagnosis of brain injury is made based on clinical neurology examination, and CT scan or MRI, to observe anatomical impairment. Serum S100 protein examination in mild and moderate brain injury patients is needed to detect and evaluate the presence of post traumatic brain injury.
Method: This research subject is healthy people and patients with mild and moderate brain injury, based on their GCS grade, clinical neurologic examination, and CT scan. On these patients, the blood for S100 protein examination is taken at admission, 6 hours post trauma, 24 hours post trauma, and last day of hospitalization. Examination of a serum S100 protein is conducted using Elecsys S100 with ECLIA method.
Result: There is significant difference (p = 0,001) in mild or moderate brain injury patients in all serum S100 protein which is measured at admission, 6 hours post trauma, 24 hours post trauma, and the last day of hospitalization. The peak level of serum S100 protein reached at 6 hours post trauma. Serum S100 protein in moderate brain injury patients at admission is significantly higher than the mild ones (median 0, 259 μg/L range 0,207 – 0,680 μg/L vs median 0,150 μg/L range 0,051 – 0,289 μg/L, p = 0,001), and serum S100 protein in mild brain injury patients is also significantly higher than healthy people (median 0,150 μg/L range 0,051 – 0,289 μg/L vs mean 0,065 ± 0,017μg/L, p = 0,001).
Conclusion: In mild and moderate brain injury patients, serum S100 protein is already significantly increased at admission, compared to healthy people. Serum S100 protein can be used as brain injury biomarker to detect and evaluate the presence of post traumatic brain injury."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Sakti Dwi Permanasari
"Tumor otak sekunder dapat menyebabkan masalah nutrisi. Manifestasi klinis penurunan selera makan, gangguan menelan, mual, muntah, hemiparesis, kejang, gangguan fungsional dan kognitif dapat menurunkan asupan makanan dan berat badan sehingga berisiko malnutrisi. Perubahan metabolisme makronutrien dan mikronutrien yang terjadi juga memengaruhi terjadinya malnutrisi. Tatalaksana terapi medik gizi yang diberikan bertujuan mempertahankan atau memperbaiki status gizi sehingga meningkatkan kualitas hidup dan memperlama harapan hidupnya. Terapi medik gizi yang sesuai rekomendasi European Society of Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) adalah diet seimbang yang meliputi makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, dan edukasi. Pasien serial kasus ini adalah perempuan, berusia antara 48 sampai 59 tahun dengan diagnosis tumor otak sekunder. Tiga pasien memiliki tumor primer kanker payudara, sedangkan satu pasien dengan kanker endometrium. Skrining menggunakan malnutrition screening tool (MST) dilanjutkan asesmen gizi. Terapi medik gizi diberikan sesuai rekomendasi ESPEN dan toleransi pasien. Pemantauan gizi meliputi pemeriksaan fisik, antropometri, komposisi tubuh, kapasitas fungsional dan analisis asupan. Hasil menunjukkan semua pasien mencapai asupan makan sesuai target pemberian makronutrien, mikronutrien, dan nutrien spesifik. Status gizi berhasil dipertahankan dengan tiga pasien mengalami peningkatan BB. Kapasitas fungsional keempat pasien menunjukkan perbaikan dengan menggunakan Karnofski dan Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG). Pemeriksaan handgrip hanya dapat dilakukan pada 3 pasien menunjukkan perbaikan.

A secondary brain tumor may cause nutritional problems. Clinical manifestations such as decreased appetite, swallowing disorders, nausea, vomiting, hemiparesis, seizures, functional and cognitive disorders may reduce food intake and increase malnutrition. Also changes in metabolism can affect the malnutrition. The aim of the medical nutrition therapy to maintain nutritional status to improve the quality of life and life expectancy. Balance diet were recommended by European Society of Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) includes macronutrients, micronutrients, specific nutrients with continuing nutrition education. Patients are females, aged 48 to 59 years, with secondary brain tumor. The primary tumor of three patients were breast cancer and one patient was endometrial cancer. Screening was done using the malnutrition screening tool (MST) and followed with nutritional assessment. Medical nutrition therapy were given based on ESPEN recommendations and patient tolerance. Nutrition monitoring includes physical examination, anthropometry, body composition, functional capacity and intake analysis. Patient’s monitoring showed that all patients achieved their intake targets. The body weight of three patient increased showed that the nutrition status was maintained well enough. Patient’s functional capacity were improved according to Karnofsky and Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG). Handgrip examination were also improve when it was assesed on three patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hartono
"Latar belakang : Angka kejadian dan kematian penderita cedera kranio-serebral cukup tinggi. Dalam upaya memperkecil angka kematian dan kecacatan penderita cedera kranio-serebral diperlukan sarana untuk memprediksi keluaran pada cedera kranio-serebral. Berbagai penelitian untuk memprediksi ke1uaran telah dilakukan, diantaranya pemeriksaan neuro-fisiologis seperti PCAB (potensial cetusan auditori batang otak). Metodologi : Pemeriksaan PCAB dilakukan dengan menggunakan alat peme riksaan potensial cetusan Mede1ec ER 94a1sensor dengan stimulasi Mede1ec ST 10 sensor di laboratorium EMG bagian Neurologi RSUPNCM terhadap 58 penderita cedera kranio-serebral dengan SKG 5-10 usia 20-50 tahun yang dirawat di bagian Neurologi RSUPNCM dalam waktu 6-72 jam pertama dengan memperhatikan kriteria penerimaan dan kriteria penolakan. Dilakukan klasifikasi gambaran PCAB dan keluaran (contracted scale Glasgow Outcome Scale) dalam 10 hari perawatan dan dilakukan uji statistik korelasi PCAB dengan keluaran dengan tingkat kemaknaan p=0,05. Basil penelitian: PCAB normal didapatkan pada 53,45% penderita dan PCAB abnormal didapatkan pada 46,55% penderita. Pemanjangan latensi antar ge10m bang unilateral didapatkan pada 32,76%, pemanjangan bilateral pada 3,450/0, dan hanya timbul gelombang I unilateral pada 10,34% penderita. Tidak didapatkan penderita dengan hanya timbul gelombang I bilateral. Sebagian besar penderita (74,08%) mengalarni pemanjangan latensi antar gelombang Ill-V, 3,7% penderita dengan pemanjangan latensi antar gelombang I-V. Keluaran baik terjadi pada 43,4% dan keluaran buruk. terjadi pada 56,6% penderita. keluaran baik terjadi pada 76,42% penderita dengan PCAB normal dan keluaran buruk terjadi pada 88,890/0 penderita dengan PCAB abnormal. Secara statistik terdapat perbedaan bennakna antara keluaran penderita dengan PCAB normal dan PCAB abnormal dan makin berat ke1ainan PCAB maka kemungkinan keluaran buruk lebih besar (p<0,05). Kesimpu/an Kata kuoci PCAB dapat memprediksi keluaran buruk. pada penderita cedera kranio-serebral dengan akurat.

Background: The morbidity and mortality rate of craniocerebral injury patients is quite high. An adequate equipment is needed to predict the outcome of craniocerebral injury to reduce the mortality and prevent more disability. Several researches for predicting the outcome have already been done, such as neurophy siological studies like BAEP (Brainstem Auditory Evoked Potentials). Method : BAEP studies have been done, using Medelec ER 94a / ST 10 equip ment at the EMG-EP laboratory of the Department of Neurology of the Cipto mangunkusumo Hospital, in 58 craniocerebral injured patients with a Glasgow Coma Scale between 5-10, age 20-50, who were admitted to the Neurology ward of the Ciptomangunkusumo Hospital within the first 6-72 hours by looking at the inclusion and exclusion criteria. Statistic evaluation have been done to classify the correlation of BAEP abnonualities with the 10 days outcome (contracted scale of Glasgow Outcome Scale) with a significance ofp = 0.05. Result : Normal BAEP are found in 53.45% patients and abnormal ones are found in 46.55% patients. A unilateral extended interpeak latency was found at 32.76% and 3.45% had a bilateral prolongation and 10.34% only had a unilateral first peak. Most of the patients (74.08%) had a prolongation of the III-V interpeak latency, 3.7% patients had a prolongation of the I-V interpeak latency. 43.4% patients had a good outcome and 56.6% a bad outcome. Good outcome occurred at 76.42% patients with normal BAEP and bad outcome occurred at 88.89% patients with abnormal BAEP. Statistically, there is a significant difference between the outcome of patients with normal and abnormal BAEP, and the probability for a bad outcome was more in the presence of severe BAEP abnormalities (p<0.05). Conclusion: BAEP is able to predict the outcome of craniocerebral injury patients acurately.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1997
T58370
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Fritz Sumantri
"Latar belakang : Proses yang mengikuti setelah terjadinya cedera kranioserebral berat ada 2 , yaitu kerusakan primer dan sekunder . Disfungsi pernafasan adalah salah satu hal yang terjadi pada kerusakan otak sekunder dan dapat kita ketahui dari pemeriksaan analisa gas darah yang kita lakukan . Dari hasil pemeriksaan analisa gas darah tersebut, kita dapati PaO2 dan PaCO2 . Tekanan tekanan oksigen dan karbondioksida tersebut ternyata memiliki pengaruh terhadap perubahan laju aliran darah kcotak . Di mana peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2 akan meningkatkan laju aliran darah ke otak , sehingga dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Sedangkan penurunan PaCO2 dan peningkatan PaO2 dapat menurunkan laju aliran darah ke otak yang akan mengancam terjadinya proses iskemik . Perubahan perubahan tekanan gas diatas disinyalir memiliki hubungan dengan hasil akhir yang didapat pada cedera kranioserebral. Oleh sebab itu kami melakukan penelitian untuk mengeksplorasi hubungan antara tekanan gas gas tersebut terhadap hasil akhir , khususnya PaCO2 yang tinggi (> 45 mmHg) dan PaO2 yang rendah ( < 85 mmHg ) terhadap hasil akhir setelah perawatan selama 3 hari .
Obyektif : mengetahui peranan PaCO2 tinggi dan PaO2 rendah terhadap hasil akhir setelah 3 hari perawatan pada pasien pasien cedera kranioserebral berat .
Metade : cross sectional, dengan membandingkan nilai PaO2 dan PaCO2 pads waktu pasien datang dengan hasil akhir yang terjadi setelah 3 hari perawatan.
Hasil : dari 84 sampel yang terkumpul , dilakukan pemeriksaan analisa gas darah sewaktu pasien datang, kemudian dilihat hasil akhir setelah 3 hari perawatan . Didapatkan suatu hasil bahwa PaO2 yang rendah akan mempunyai kecenderungan resiko kematian dalam 3 hari yang lebih besar, dibanding penderita yang PaO2 nya normal (p
Kesimpulan : PaO2 dan PaCO2 dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam usaha untuk mengetahui basil keluaran pasien pasien cedera kranioserebral berat.

Background: Two processes following a severe craniocerebral injury are primary and secondary damage. Respiratory dysfunction is one of the secondary damage which can be detected by blood gas analysis revealing 02 and CO2 arterial pressure (Pa02 and PaCO2). These arterial PaO2 and PaCO2 influence the blood flow velocity to the brain, whereas elevation of PaCO2 and reduction of PaO2 will increase the blood flow velocity to the brain and thus increase intracranial pressure. On the contrary, reduction of PaCO2 and elevation of PaO2 will decrease the blood flow velocity to the brain and could be a thread for ischemic process. The alteration of blood gas above is suggested to have a correlation with the outcome of craniocerebral injury patients. In this study, we explored the correlation of blood gas pressure especially high PaCO2 (>45 mmHg) and low Pa02 (<85 mmHg) with patient's outcome after 3 days of hospital care.
Objective: To know the correlation of high PaCO2 and low PaO2 with the outcome of severe craniocerebral injury patients after 3 days of hospital care.
Methods: This is a cross-sectional study. Patient's initial arterial PaO2 and PaCO2 was compared with patients arterial Pa02 and PaCO2 after 3 days of hospital care.
Results: Blood gas analysis was done in 84 samples at their initial admission and compared with the blood gas analysis taken after 3 days of hospital case_ It was shown that patients with low PaO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal Pa02 (p<0,05); patients with high PaCO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal PaCO2 (p<0,05); and patients with low PaCO2 have a tendency for higher risk of death within 3 days, if compared with patients with normal PaCO2 (p<0,05).
Conclusion: Arterial PaO2 and PCaO2 can be used as one of the consideration for predicting the outcome of severe craniocerebral injury patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>