Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2037 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Muhammad Hendarsetoprabowo
"Latar Belakang. Penglihatan perifer sangat penting disamping ketajaman mata bagi seorang penerbang. Penelitian mengenai penglihatan perifer yang pemah dilakukan adalah pada ketinggian 10.000, 12.500, 15.000 serta 23.000 kaki, belum pernah dilakukan penelitian pada ketinggian 18.000 kaki, dimana pada ketinggian 18.000 kaki ini tekanan menjadi 112 atmosfir dan subyek penelitian dapat dimanipulir selama 30 menit dengan aman. Oleh sebab itu akan dilakukan penelitian pengaruh hipoksia terhadap penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dan untuk mengetahui beberapa faktor lain yang mempengaruhinya.
Metodologi. Penelitian eksperimental terhadap 100 calon penerbang berumur antara 17 - 23 tahun. Diukur berat badan, tinggi badan, tekanan darah, denyut nadi, hemoglobin, saturasi oksigen, kapasitas vital paru dan penglihatan perifer pada permukaan tanah dan dalam ruang udara bertekanan rendah pada ketinggian 18.000 kaki dengan kondisi saturasi oksigen 64% - 72%, diukur denyut nadi, saturasi oksigen dan penglihatan perifer.
Hasil. Rerata penglihatan perifer pada permukaan tanah 84,5° dengan simpang baku 4,94° dan pada ketinggian 18.000 kaki reratanya 76,5° dengan simpang baku 5,23° dan terdapat perbedaan bermakna (t tes berpasangan p = 0,000). Penurunan penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki berkorelasi positif bermakna dengan penglihatan perifer pada permukaan tanah (r = 0,48; p = 0,000) serta berkorelasi negatif dengan tekanan darah diastolik(r = -0,20; p = 0,050). Suatu model yang pantas untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki terdiri dari variabel tekanan darah distolik pada permukaan tanah (B= -0.2359) dan variabel penglihatan perifer pada permukaan tanah (B= 0.5087).
Kesimpulan. Hipoksia menyebabkan penurunan penglihatan perifer. Untuk memprediksi penglihatan perifer pada ketinggian 18.000 kaki dapat digunakan variabel penglihatan perifer dan tekanan darah diastolik pada permukaan tanah.

Background. Peripheral vision is important for a pilot. Up to present time, the study on peripheral vision were conducted at 10.000, 12.500, 15.000 and 23.000 feet level. There was no study at 18.000 feet level where the barometer pressure 112 atmosphere where subjects can be safely manipulated untill 30 minute. Therefore it is beneficially to conduct study on influence hypoxya at 18.000 feet on peripheral vision and its relationship with the other factor.
Methods. An experimental study using 100 candidate pilots, age 17 - 23 years. Height, weight, blood pressure, pulse rate, vital lung capasity, oxygen saturation, peripheral vision were meassured at a ground level and decompression chamber equal to 18.000 feet condition at 64% to 72 % oxygen saturation.
Results. Peripheral vision at ground level, the mean was 84.5° with standard deviation of 4.94° and at 18.000 feet level the mean was 76.5° with standard deviation of 5.23°, It showed a significant difference (paired t test p = 0.000). Our data revealed the decreasing peripheral vision were significantly positive correlated with peripheral vision at ground level (r = 0.48 ; p = 0.000). and negative correlated with diastolic blood pressure (r= - 0.20 ; p = 0.050). The most suitable model for peripheral vision at 18.000 feet consisted of diastolic pressure at ground level (B= -0.2359) and peripheral vision at ground level (B= 0.5087).
Conclusion. Hypoxia lowering peripheral vision. To predict peripheral vision at 18.000 feet, a varible of peripheral vision and diastolic blood pressure at ground level can be used.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1997
T2578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Hendro S.
"Manusia sangat peka terhadap kekurangan oksigen, terutama pada susunan syaraf pusat, maka penerbang yang melakukan terbang pada ketinggian 18.000 kaki tanpa menggunakan oksigen tambahan akan mengalami hipoksia, dan penurunan daya ingat jangka pendek ( DIJP ). Untuk meningkatkan keamanan terbang, maka dilakukan penelitian terhadap 134 penerbang TNI AU yang sedang melaksanakan Indoktrinasi dan Latihan Aerofisiologi di Lakespra Saryanto. Penelitian ini menggunakan desain eksperimen laboratorium tanpa kontrol, yaitu dengan memajankan subyek di dalam simulator ruang udara bertekanan rendah ( RUBR ) yang setara dengan 18.000 kaki selama 20 menit. Sebelum dilakukan pengambilan data DIJP di dalam RUBR, semua subyek diperiksa dan diseleksi untuk persyaratan penelitian dan terbang dengan RUBR. Di dalam RUBR subyek diminta untuk mengerjakan soal-soal tes psikologi digit simbol sebanyak 20 lembar, dengan waktu satu menit setiap lembar, kemudian di lanjutkan ke lembar berikutnya, sehingga di dapatkan nilai kasar, yang kemudian di standarisasi dengan z score pada setiap lembarnya, hasilnya dianalisis dengan variabel umur, tekanan darah, Indeks masa tubuh (IMT), kadar hemoglobin, kadar gula darah, denyut jantung dan faal paru (FVC dan FEV1).
Hasil dan Kesimpulan : Setelah dilakukan standarisasi, didapatkan nilai rata-rata DIJP 51,91 %, simpang baku 20 %, koefisien variasi 38,53 % ( dengan uji K-S for normality, program SPSS versi 4 didapatkan 2-tailed p = 0,573 jadi sebaran nifai DIJP masih sesuai dengan kurve Gause). Antara DIJP dengan umur mempunyai korelasi negatip, bermakna ( r = - 0,221; p = 0,005 ), berarti makin tua umur, maka DIJP semakin menurun. Antara DIJP dengan IMT mempunyai korelasi negatip, bermakna ( r = - 0,1799 ; p = 0,019 ), makin tinggi IMT semakin menurun kemampuan DIJP. Antara DIJP dengan Hb mempunyai korelasi positip, bermakna ( r = 0,165 ; p = 0,028 ), berarti semakin tinggi kadar Hemoglobin semakin baik DIJP. Sedangkan antara DIJP dengan variabel lainnya tidak bermakna, tetapi meskipun demikian sesuai dengan teori disebutkan bahwa meskipun tidak bermakna belum tentu tidak ada buhungan antara variabel tersebut dengan DIJP, mungkin mempunyai hubungan ( korelasi) yang sangat lemah.

Human being is very sensitive to oxygen leak condition, especially on central nerves system. Hypoxia and decreasing of short term memory (STM) will affect the pilot who flight at the height of 18.000 feet without extra oxygen. The study was done to 134 Indonesian Air Force pilot to increase the flight safety. The study design is a laboratory experiment without control. Subjects were exposed for 20 minutes inside the chamber at simulated altitude of 18.000 feet height, after they passed physical examination and selection for " chamber flight " requirement. In the chamber subjects were requested to fill twenty sheets digit symbol physiological test for one minute per sheet. The result were standardized into z score for each sheet. The results were analyzed with age variable, blood pressure, Body mass index (BMI), Hemoglobin (Hb), blood sugar concentration, hart rate and respiratory systems (FVC and FEV1), to see whether the association exist.
Result and conclusion : The average of STM is 51,91 %, with 20 % of standard deviation, with K -S for normality test using SPSS program version 4 the STM distribution followed the Gauze curve. A negative correlation was found significant between STM with age, that more older the subject, STM will decrease ( r = - 0,221 ; p = 0,005 ). There is also a negative correlation and significant result between STM with BMI, means more higher BMI will decrease the STM ( r = - 0,1799 ; p = 0,019) Between S T M and Hb have significant and positive correlation, means more higher Hb the better the STM (r= 0,165 ; p = 0,028 ), and there is no correlation between STM and the other variables, but as theoretical said, even though there is no correlation with STM, it does not mean that there is no association between these variables with STM, but it is too weak to notice.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nurbowo Ardi
"ABSTRAK
Latar belakang: Hipoksia hipobarik intermiten adalah suatu kondisi yang dialami oleh para penerbang maupun awak pesawat TNI AU, mereka akan bernapas dengan tekanan oksigen yang relatif rendah selama penerbangan. Tubuh manusia akan beradaptasi terhadap kekurangan oksigen tersebut, sehingga terjadi adaptasi fisiologis, dikenal sebagai hypoxia preconditioning. Tujuan dari penelitian ini adalah dapat menilai perubahan histologi pada alveolus organ paru tikus Wistar yang terpajan terhadap frekuensi hipoksia hipobarik intermiten pada ketinggian 25.000 kaki selama lima menit dalam interval tujuh hari.Metode: Penelitian eksperimental in vivo pada 25 organ paru hewan tikus Wistar Rattus norvegicus , jenis kelamin jantan, usia 40-60 hari, berat badan 150-200 gram. Dilakukan paparan hypobaric chamber sebanyak 4 kali, dimana setiap minggu dilakukan terminasi. Kemudian dilakukan pemeriksaan histologi melihat terjadinya pelebaran diameter alveolus organ paru hewan tikus Wistar. Parameter yang di ukur dan dibandingkan adalah diameter alveolus.Hasil: Sebanyak 25 sampel tikus Wistar yang diperiksa. Hasil penelitian menunjukkan terjadi pelebaran diameter alveolus 1,5 kali sampai 2 kali dari tiap-tiap paparan dibandingkan kontrol dan pelebaran 3 kali lipat pada paparan ke-4 dibandingkan kontrol. Hasil analisis statistik dengan uji Anova didapatkan perbedaan yang bermakna, dengan p 0,001. Setelah dilakukan analisis Post Hoc didapatkan perbedaan signifikan dengan p 0,001 antara kelompok tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali, 3 kali, dan 4 kali terhadap kelompok tikus Wistar kontrol tanpa pajanan .Kesimpulan: Terdapat perbedaan diameter alveolus hewan coba tikus Wistar yang bermakna antara kelompok kontrol terhadap hewan coba tikus Wistar yang mendapat pajanan ketinggian 25.000 kaki sebanyak 1 kali, 2 kali,3 kali dan 4 kali.ABSTRACT
Intermittent hypobaric hypoxia is a condition experienced by airmen and crew of Indonesian Air Force aircraft crew, they will breathe with relatively low oxygen pressure during flight. The human body will adapt to the lack of oxygen, causing a physiological adaptation, as hypoxia preconditioning. The purpose of this study was to identify the alteration of histology in alveolus lung organs of rat Wistar which exposed to frequency of intermittent hypobaric hypoxia 25.000 feet altitude for five minutes in seven day intervals.Method In vivo experimental research on 25 lungs organ from Wistar rats Rattus norvegicus , male sex, age 40 60 days, body weight 150 200 grams. The exposure was conducted at hypobaric chamber 4 times, which every term is done, we terminate the respective rat. Then histology examination was performed to examine the occurrence of alveolar dilatation of lung tissue. Alveolus diameter was measured and compared as a parameter of this study. Results A total of 25 samples of Wistar rats were examined. There was a widened alveolus diameter of 1.5 ndash 2 times of each exposure compared to control and widening 3 times in the 4th exposure compared to control. The result of statistical analysis with Anova test showed significant difference of alveolus diameter between Wistar group of mice with p 0,001, after Post Hoc analysis got significant difference with p 0,001 between Wistar group of mice that got exposure height 25.000 feet once, twice, three times and four times compared to Wistar control without exposure group. Conclusion There was a significant difference in Wistar rats 39 mean alveolus diameter in the Wistar rats control group compared to Wistar rats who received 25.000 foot altitude for 1, 2, 3, and 4 times."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Birren, Faber
New York: Van Nostrand Reinhold, 1978
155.911 45 BIR c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Dwi Rochmansyah
"ABSTRAK
Penyampaian informasi yang tepat menjadi penting dalam menciptakan fungsi navigasi ruang yang tepat pula. Sayangnya, tidak semua prinsip desain diperhatikan dalam proses perancangan desain, contohnya bagi individu dengan disabilitas, terutama penyandang buta warna. Pemilihan warna dari wayfinding design sering kali tidak memperhatikan penyandang buta warna sehingga informasi yang disampaikan kepada mereka tidak dimengerti dan direspon dengan baik. Sebuah cara bagaimana penyandang buta warna dengan keterbatasan yang dimilikinya dapat memperoleh informasi yang tepat perlu diperhatikan dan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam perancangan elemen wayfinding. Skripsi ini membahas tentang peranan elemen wayfinding design, serta perlunya mempertimbangkan keberadaan penyandang buta warna dalam proses perancangan wayfinding design.

ABSTRACT
The appropriate delivery of information becomes important in a proper functioning of spatial navigation system. However, not all design principles are taken into consideration in the process of making the design, for instance individuals with disabilities, especially people with color vision deficiency. The color selection of wayfinding design often does not concern individuals with color vision deficiency so the information presented to them is not well understood and responded. A method of how individuals with color blindness can get the right information despite their limitations is highly needed and should be taken into consideration in the design of wayfinding elements. This thesis discusses the role of wayfinding design elements, and the need to consider the existence of individuals with color vision deficiency in the process of designing wayfinding design. This thesis discusses the role of wayfinding design elements, as well as the need to consider the existence of color vision deficiency in the process of designing wayfinding design."
2017
S68606
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Irfan Amrullah
"Metode daltonization merupakan salah satu metode image enhancement yang dapat membantu persepsi citra bagi orang-orang yang memiliki buta warna merah. Proses daltonization adalah sebuah proses untuk mengubah warna pada citra menjadi warna yang dapat dibedakan oleh orang-orang yang memiliki buta warna. Pada penelitian ini algoritma daltonization diaplikasikan terhadap berbagai kategori citra berwarna, yaitu Ishihara Test, objek sehari-hari, dan permainan komputer. Pada penelitian ini, kami mengimplementasikan optimisasi pada algoritma daltonization dan membandingkan hasilnya dengan algoritma sebelum dioptimisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan berdasarkan dari nilai ∆E color difference algoritma hasil modifikasi berhasil dalam membuat perbedaan warna pada citra bagi orang-orang yang memiliki buta warna merah dibandingkan algoritma awal. Selain itu, berdasarkan nilai Mean Opinion Score (MOS) dengan skala Absolute Category Rating (ACR) performa dari algoritma-algoritma ini terbagi dua. Algoritma daltonization hasil modifikasi meraih nilai lebih tinggi untuk responden yang memiliki buta warna merah total atau Protanopia. Untuk responden yang memiliki buta warna merah parsial atau Protanomali, algoritma daltonization yang telah dioptimisasi masih menemui kendala dalam meningkatkan kualitas citra objek sehari-hari dan permainan komputer, namun sudah berhasil membantu mereka dalam membedakan citra Ishihara Test.

Daltonization is one methods that is helpful in aiding color image perception for people with red color vision deficiency (CVD). Daltonization is a process to change colors in an image to colors that can be differentiated by people with CVD. In this study, a previously proposed daltonization algorithm was applied to various types of images, i.e., Ishihara Test, daily life objects, and game screenshots. The daltonization algorithm was then optimized and its results were compared to the daltonization algorithm before being optimized. The results showed that based on ∆E color difference, the optimized daltonization algorithm was successful in increasing the color differences to a notable difference for people with red CVD compared to its initial version. Furthermore, the results by Mean Opinion Score (MOS) and Absolute Category Rating (ACR) scale showed that the optimized daltonization algorithm obtained a higher score, meaning it was preferred by respondents with full red CVD or Protanopia. For respondents with partial red CVD or Protanomaly, the optimized algorithm met difficulties in enhancing the daily life objects and game screenshots images, but was effective in helping them to differentiate colors in Ishihara Test images."
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Veronica Galih Gunarsih
"Latar belakang : Hipoksia merupakan bahaya potensial dalam penerbangan. Waktu sadar efektif (WSE) merupakan waktu ketika seorang penerbang atau awak pesawat mulai terpajan hipoksia sampai sebelum mengalami inkapasitansi. Selama rentang waktu tersebut seorang penerbang dapat membuat keputusan atau tindakan yang tepat. Hemoglobin sangat berpengaruh terhadap saturasi O2 yang menentukan oksigenasi jaringan tubuh. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi WSE yaitu pada calon dan awak pesawat militer di Indonesia.
Metode: Desain penelitian dengan potong lintang, pengambilan sampel secara purposif. Data diambil dari hasil pelaksanaan Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi (ILA) di Lakespra Saryanto selama Januari-Mei 2014. Subyek penelitian adalah calon dan awak pesawat militer. Lama WSE diperoleh dengan demonstrasi hipoksia dalam ruang udara bertekanan rendah (RUBR) pada simulasi ketinggian 25000 kaki. Nilai kesamaptaan jasmani ditentukan dengan VO2maks. Analisis regresi linier digunakan untuk mengidentifikasi faktor risiko WSE.
Hasil: Calon dan awak pesawat militer yang melaksanakan ILA sebanyak 183 orang. Duapuluh lima subyek dikeluarkan karena tidak melaksanakan demonstrasi hipoksia di RUBR atau uji latih jantung, 158 subyek memenuhi kriteria inklusi. Faktor dominan yang memperpanjang WSE adalah Hb, sedangkan yang mempersingkat adalah IMT dan umur. Setiap 1 g/dL Hb menambah WSE 14,7 detik [koefisien regresi (β) = 14,677 ; p = 0,010].
Simpulan: Kenaikan IMT 1 kg/m2 mengurangi WSE 3,3 detik [β = -3,274; 95% interval kepercayaan (CI) = -8,287;1,738 ; p = 0,199]. Penambahan umur 1 tahun mengurangi WSE 3,9 detik (β = -3,917; p = 0,000).

Background: Hypoxia is potential hazard in aviation. Time of useful consciousness (TUC) is time during when a pilot or aircrew exposed hypoxia before experiencing incapacitation. During the span of time, a pilot can make the right decision or action. Haemoglobin (Hb) influences the oxygen saturation that determines oxygenation of the body tissue. This study aims to identify the factors affect WSE on candidates and military aircrew in Indonesia.
Methods: Study designed was cross sectional with purposive sampling. Data taken from the result of Indoktrinasi Latihan Aerofisiologi (ILA) in Lakespra Saryanto Jakarta during January to May 2014. Research subjects were candidates and military aircrews. Time of useful consciousness was obtained from hypoxia demonstration in hypobaric Chambers at 25000 feet altitude simulation. The value of physical fitness was determined by VO2max. Linear regression analysis was used to identify risk factors of TUC.
Results: Candidates and military aircrew carried out the ILA were 183 persons. Twenty-five subjects were excluded because of not carried out hypoxia demonstration in hypobaric chamber or treadmill test. The dominant factors that extend TUC were Hb. while shortening were BMI and age. Each 1 g/dL Hb extend TUC 14.7 seconds [regression coefficient (β) = 14.677 ; p = 0.010]. Increasing BMI of 1 kg/m2 shorten TUC 3.3 seconds [(β) = -3.274; 95% confidence interval (CI) = -8.287;1.738 ; p = 0.199]. Addition of age 1 year shorten TUC 3.3 seconds (β= -3.917 ; p = 0.000).
Conclusion: Increasing Hb extends TUC, while gain BMI and addition age shorten TUC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiansyah Kusuma
"Banyak organisasi yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan mata telah banyak mengajukan panduan dalam pelayanan kesehatan mata terutama yang berkaitan dengan penglihatan warna. The most widely used untuk skrining gangguan penglihatan warna adalah tes Ishihara. Namun saat ini ditawarkan vision tester yang multifungsi untuk banyak berbagai skrining kesehatan mata termasuk penglihatan warna. Untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara hasil pemeriksaan menggunakan vision tester dengan hasil pemeriksaan menggunakan tes Ishihara pada skrining penglihatan warna pekerja dan untuk mengetahui proporsi gangguan penglihatan warna pada pekerja yang menjadi subyek dalam penelitian ini, dilakukan studi potong lintang dengan memakai data sekunder dari hasil pemeriksaan para pekerja laki-laki dari berbagai jenis perusahaan di Jakarta dan Bogor. 32 dari 492 (6,5%) pekerja terdeteksi sebagai gangguan penglihatan warna oleh tes Ishihara. Namun terlihat ketidaksesuaian hasil yang diperoleh dari kedua alat dimana 152 dinyatakan normal oleh tes Ishihara, sedangkan vision tester menyatakan sebagai gangguan dengan presentasi ketidaksesuaian mencapai 33%. Keduanya ternyata berbeda secara bermakna berdasarkan uji Mc Nemar (p<0.001) dan memiliki tingkat kesesuaian yang rendah berdasarkan uji Kappa dengan nilai 0,21 (p<0.001). Perbedaan panjang gelombang cahaya mungkin menyebabkan bias. Proporsi pekerja dengan gangguan penglihatan warna sebesar 6,5%. Sedangkan berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan vision tester prevalensi gangguan penglihatan warna sebesar 37,4%. Sebagai simpulan adalah hasil pemeriksaan menggunakan vision tester ternyata memiliki ketidaksesuaian dengan hasil pemeriksaan menggunakan tes Ishihara pada skrining penglihatan warna. Dan proporsi gangguan penglihatan warna pada pekerja yang menjadi subyek dalam penelitian ini menurut tes Ishihara sebesar 6,5%, sedangkan menurut vision tester sebesar 37,4%. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mencari penyebab ketidaksesuaian ini. Juga disarankan melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan vision tester dari merek yang berbeda lain.

Most eye health services organizations had released guidence to vision examination especially related the color vision. Ishihara test is the most widely used for color vision screening. However currently a multifunctional tester offered for vision screening including color vision. A Cross sectional study was conducted by using secondary data to determine the level of suitability between the vision tester and the Ishihara test, based on the results of color vision screening from booth in Male workers from several types of companies in Jakarta and Bogor and also to find out the proportion of impaired colour vision from them. 32 of 492 (6.5%) workers detected as impaired color vision by Ishihara test. But a significant mismatch results was obtained from both which 152 declared normal by Ishihara test, while the vision tester states as impaired and the mismatches reaches 33%. Both tools showed the mismatch according to Mc Nemar test (ρ <0.001) and had a low level of suitability from the Kappa test based on the value of 0.21 (ρ <0.001). The difference of wavelengths of light may cause bias. From the results of Ishihara test, proportion of workers with impaired color vision is 6.5%. While based on the results of vision tester, impaired color vision is 37.4%. We conclude that there is no suitability between the vision tester and the Ishihara test, based on the results of color vision screening. Needed further research to find the cause of this mismatch. Also suggested to do the same study by using vision tester from different brands."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Atok Sugiarto
Jakarta: Kompas, 2014
R 771.4 ATO d
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>