Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30827 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widharma Raya Dipodiputro
"Pembangunan yang berkaitan dengan industri pesawat terbang, bangsa Indonesia telah merencanakan sejak tahun 1950an, dengan program Banteng. Dilanjutkan dengan membangun fasilitas industri penerbangan (L1PNUR) pada tahun 1960an yang masuk dalam Rencana Pembangunan Semesta Berencana. Selain itu pendirian Divisi ATTP di Pertamina tahun 1974. Tahun 1975 pemerintah terus meletakkan berbagai kebijakan, salah satunya mendirikan Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yaitu pada masa PELITA II. Strategi yang berdasarkan aeronatika adalah sebuah upaya untuk menguasai teknologi dengan mulai dari atas. Dengan telah diproduksi beberapa pesawat seperti N235, N250 dan dilanjutkan dengan program pengembangan pesawat Jet-N2130. Semua itu merupakan kebijakan pemerintah di dalam meneruskan berbagai strategi yang direncanakan. Namun disadari betapa besarnya kendala pemerintah dalam pengembangan usahanya, apalagi dalam rangka mengantisipasi pasar bebas dituntut Iebih efisien, efektif, produktif dan antisipatif serta mampu bersaing dan selalu berorientasi dan berprilaku bisnis.
Maka kebijakan privatisasi merupakan salah satu solusi untuk dapat mengatasi berbagai kendala tersebut. Privatisasi berarti melibatkan pihak swasta untuk turut berperan di dalam program pengembangan pesawat Jet-N2130. Kebijakan privatisasi diharapkan akan memberikan berbagai keuntungan, secara garis besar dapat kami gambarkan sebagai berikut: Pertama perseroan tersebut akan menjadi transparan, dengan tujuan untuk menghilangkan iklim birokrasi yang korup serta akan menghilangkan Pula praktek KKN. Kedua Perseroan tersebut akan memperoleh modal baru sehingga pengembangan usaha akan menjadi lebih cepat. Ketiga dimungkinkan adanya pengalihan teknologi. Keempat privatisasi akan merubah budaya birokrasi yang lamban menjadi korporasi yang lincah dan akan bermain dengan mekanisme pasar. Kelima menjadikan perseroan tersebut independen bebas dari intervensi birokrasi sehingga kelayakan usaha dapat diutamakan. Keenam akan memperoleh akses pemasaran pesawat terbang ke manca negara. Ketujuh bermanfaat bagi rakyat banyak dan ekonomi Indonesia pada umumnya, karena saham perseroannya dijual di pasar modal sehingga pasar modal dapat lebih cepat berkembang. Selain itu penjualan saham perseroan kepada publik akan menciptakan pendistribusian pemilikan saham kepada masyarakat. Semua itu akan menumbuhkan persaingan yang sehat dan mendorong kekuatan pasar serta akan mencegah intervensi birokrasi dan kepentingan politik dalam kegiatan perusahaan tersebut.
Dengan alasan-alasan tersebut Privatisasi Program Pengembangan Pesawat Jet-N2130 merupakan salah satu alternatif terbaik untuk dilaksanakan karena dari pengalaman yang lalu menunjukkan bahwa berbagai keputusan bisnis yang didasarkan pada campur tangan birokrasi dan politik pada umumnya hanya akan menyebabkan memburuknya kinerja perseroan akibat dikesampingkannya pertimbangan kelayakan usaha dan didahulukannya kepentingan-kepentingan lain yang tidak selaras dengan misi perusahaan. Berbagai kajian menunjukkan bahwa bila sebuah perusahaan dimiliki oleh pemerintah 100%, maka kontrol atas badan usaha tersebut terjadi berbagai distorsi. Benturan kepentingan antara fungsi pemerintah sebagai regulator dan penyelenggara bisnis tidak dapat dihindari. Privatisasi Program Pengembangan Pesawat Jet-N2130 merupakan salah satu cara pemerintah untuk menjadikan Perseroan dapat berjalan sebagaimana mestinya badan usaha."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T1370
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Glaeser, Dennis
Belmont, Calif. : Wadsworth, 1985
629.132 52 GLA i (1)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Jony
"Sebagai karya tulis yang harus dipertahankan dalam ujian komprehensif pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, maka sebelumnya penulis telah mengadakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan untuk memperoleh data sebagai bahan penulisan. Tinjauan hak cipta sebagai suatu hak milik ini bersumber pada UU No. 6/1982 dan UU No.7/1987. Berdasarkan pasal 3 UU No. 6/1982 disebutkan bahwa hak cipta merupakan suatu benda bergerak imaterial yang dapat beralih atau dialihkan sebagian atau seluruhnya, baik melalui pewarisan; hibah; wasiat; dijadikan milik negara; ataupun melalui perjanjian. Dari ketentuan pasal tersebut tercermin suatu pengertian atau ide hak milik dalam Hak Cipta. Hal ini diperkuat lagi dengan ketentuan pasal 44 UU No. 6/1982 jo UU No. 7/1987 yang mengatur perlindungan hukum terhadap setiap pelanggaran hak cipta, serta pasal 42 (1) yang memberikan hak sita bagi pemilik hak cipta atas
karya ciptanya yang diumumkan bertentangan dengan hak cipta, dan perbanyakan yang tidak diperbolehkan. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut diketahui bahwa dalam hak cipta tercermin unsur-unsur utama dalam hak milik, yaitu terkuat, turun temurun dan dapat dipertahankan dari setiap gangguan. Namun sebagai suatu hak milik, hak cipta mempunyai ciri dan sifat khas yang tidak ada dalam hak milik atas benda lainnya, karena ia bersifat sangat pribadi dan langgeng, dimana hak tersebut tetap melekat pada si pencipta meskipun hak cipta tersebut telah beralih atau dialihkan. Sebagai suatu hak milik hak cipta pun dibatasi oleh prinsip fungsi sosial yang berlaku di Indonesia. Hal ini terlihat dengan adanya ketentuan pasal 13, 14, 15, 17 dan beberapa pasal lainnya dalam UU No. 6/1983 jo UU No. 7/1987 yang memberikan kemungkinan kepada masyarakat untuk memanfaatkan suatu ciptaan yang dilindungi Hak Cipta sebagai suatu hak milik."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hery Susanto
"Kabupaten Kutai Kartanegara seluas 2326.310 hektar merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Kalimantan Timur, memiliki Kawasan Budidaya Kehutanan lKBK seluas 1.619.238 hektar atau sekitar 59,39 % dari luas kabupaten. Sedangkan Kawasan Budidaya Non Kehutanan (KBNK) di kabupaten tersebut seluas 1.107.072 hektar, yang di dalamnya termasuk hutan rakyat dengan luas 16.710,34 hektar atau sekitar 1,51 % dari luas KBNK.
Guna mengembangkan hutan rakyat, Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Kartanegara telah menetapkan kebijakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 31 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Hutan Rakyat/Hutan Milik. Pasal 4 Ayat (1) Perda tersebut menjelaskan bahwa pengelolaan hutan rakyat mencakup kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pemanfaatan, pengolahan, pemasaran dan pengembangan dengan tata cara pelaksanaannya diatur melalui Keputusan Bupati.
Permasalahan kebijakan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara hingga saat ini adalah sebagai berikut : (1) Kebijakan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara barn dijabarkan melalui Tata Cara Pemberian Ijin Pemungutan dan Pemanfaatan Kayu (IPPK) Rakyat yang tertuang dalam Keputusan Bupati Kutai Kartanegara Nomor : 180.188IHK-11012002; (2) Kebijakan pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara pada aspek kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, pemasaran dan pengembangannya dilakukan melalui bimbingan teknis kepada petani hutan rakyat namun implementasinya tidak dilakukan secara keseluruhan clad aspek-aspek kegiatan pengelolaan hutan rakyat tersebut di atas.
Hutan rakyat di Kabupaten Kutai Kartanegara hingga kini masih menghadapi beberapa masalah teknis, yaitu : (1) Pengelolaan hutan rakyat belum berkembang secara luas karena pengelolaannya masih bersifat parsial; (2) Pemanfaatan hutan rakyat terutama pengembangan tanaman kayu jenis Akasia dan Sengon, setelah masak tebang menghasilkan pendapatan yang sangat kecil karena harga jual yang diperoleh petani tidak sesuai dengan biaya pemeliharaanya, sehingga hampir tidak ada petani yang tertarik untuk melakukan penanaman kembali; (3) Pengelolaan hutan rakyat belum mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari.

Kutai Kartanegara Regency with 2,726,310 hectares is one of regencies in East Kalimantan Province, having Kawasan Budidaya Kehutanan KBK (Forest Preservation Area) as large 1,619,238 hectares or around 59.39% of this regency. And the Non-Forestry Conservation Area (KBNK) in this regency is 1,107,072 hectares which include private forest with 16.710,34 hectares or about 1,51 % of non-forestry conservation area.
In order to develop this private forest, The Regional Government and Local House of Representatif (DPRD) of Kutai Kartanegara Regency has stipulated policies on Regional Regulation (Perda) on Number 31 12000 pertaining to Management on Private Forest. Article 4 point (1) of this regulation explains that management of private forest is include planting, maintaining, harvesting, processing, usage, marketing and developing activities with code of conducts that has been regulated by Head of Regency's decree.
Matters pertaining to private forest management policies in the Regency of Kutai Kartanegara are, thus far, as follows: (1) Management policy is just about spelled ant trough the IPPK harvest and utilization license for private timber set out by decision of the regency No. 180.188IHK-11012002; (2) Private forest management policy at Kutai Kertanegara Regency on the aspects of planting, cultivation, harvesting, utilization, management, marketing and development are implemented by technical guidance to private forest fanner, but it didn't implemented as a whole in terms of such management.
The private forest at the Kutai Kartanegara region up to present day is still facing some technical problems, such as (1) Private forest Management has not yet deve-loped significantly due to to its partial management. (2) Private forest utilization ,especially the development of acacia, and sengon, after ready for logging, does not result in proper revenues to the forester due to its cheap selling price, which does not correspond to its plantation Cost, which almost no foresters interested to replant them. (3) A conserved private forest management is still far from realization.
Such problems indicated that there are gaps between the implementation and management policy, so that it causes private forest in the region is not yet developing as expected. To find ant why it is so happen and how the implantation on the management policy of private forest in Kutai Kertanegara should be made. And then a recommendation to develop the management should be proposed. The Evaluation will be based on Prince analysis approach, taking into account some criterion (Dunn,2000), such as : effectiveness, efficiency, adequacy, participation, responsiveness, appropriateness.
Formulation of research is drawn up as follows: (I) How the management policy is implemented? (2) What is the result of implementation? (3) Are there any gap between the implementation and the management policy of private forest? (4) What any factors that shall afflict such gap?
The purpose of this research are: (1) To find out the policy and its implementation at research location; (2) To evaluate the implementation policy of private forest; (3) To inductivity the gap between implementation and management policy of private forest; (4) To identify any factors that cause gap in the implementation and management policy of private forest.
Research is carried out with qualitative-descriptive method. Selection of respondents is made with purposive sample. This technique applies considering limitations of time, energy and money and that one could not take larger and further sample (Arikunto, 2002).
Respondents for this Research include decision makers and social figures that are concerned with the private forest management such as: Bupati ("municipal ruler or regent"), Forestry Officials, Bappeda, DPRD Kutai Kartanegara Regency (Local House of Representatives), specialists or experts in forestry field, NGO-s, forest industrialists, and press whereas the respondent sampling is drawn from the private forest farmers under two-stage cluster sample technique.
The research conclusions are as follows: (1) Management policy for private forest No. 31/2000, until today is just spelled out by regent's decision No. 180.1881HK-110/2002 on the procedure of licensing in 1PPK. Implementation policy of forest management in Kutai Kertanegara regency give more priority to planting, cultivation and farm operations to develop private forest than other aspects; (2) Implementation result of forest management on the planting aspect in the frame work of preserving and developing private forest have a good assessment, but the processing of get bad rating. Whereas timber marketing and utilization by means IPPK realization, replanting post-felling of timber get bad rating; (3) There are a gap between the implementation and management policy of private forest in Kutai Kertanegara Regency, that is in the management, marketing, utilization by means of IPPK realization and replanting post-felling of the result is deficient; (4) Factors affecting the gap between implementation of management policy give more priority to planting, cultivation and development assistance of private forest; lack of technical guidance relating to management and marketing operations; lack of socialization relating to utilization by means of IPPK realization capital shortage for farm operations; lack regulation in log trade; extreme minimum in the result of log sale; and the orientation still rely on the utilization of natural forest in relation to private forest.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14868
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmad Hadiono
"Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila di dalam wadah negara Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bersatu. Pelaksanaan pembangunan dalam realisasinya menimbulkan hubungan hukum yaitu perikatan. Hubungan hukum tersebut perwujudannya dituangkan dalam Surat Perjanjian Pemborongan Pekerjaan yang mengatur dan memperinci hak dan kewajiban para pihak.
Hukum Perjanjian menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka, yang mengandung azas kebebasan membuat perjanjian, yang dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berarti memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan setiap bentuk perjanjian yang dikehendaki. Akan tetapi kebebasan yang diberikan adalah dalam arti sempit yaitu dibatasi oleh ketertiban umum dan kesusilaan yang disebutkan dalam pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Yang menjadi masalah pokok pembahasan skripsi ini adalah bagaimana caranya mengatasi masalah-masalah yang dijumpai dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan di lingkungan Perum Angkasa Pura I, sehingga setiap hak dan kewajiban para pihak betul-betul terjamin kepastian hukumnya serta terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban para pihak.
Penulis akan mencoba membandingkan pasal-pasal dalam Kitab Undang-,Undang Hukum Perdata yang mengatur perjanjian pemborongan pekerjaan dengan praktek pelaksanaannya, yaitu dengan menggunakan hubungan hukumantara pihak pemborong dengan pihak yang memborongkan pekerjaan dengan berpedoman pada teori hukum, khususnya Hukum Perdata serta peraturan-peraturan yang ada hubungannya dengan masalah tersebut."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noorasa
"Menurut Teori lembaga somasi pasal 1238 KUHPerdata merupakan teguran atau peringatan kepada pihak yang lalai dan tidak memenuhi apa yang diperjanjikan dimana dalam perjanjian tersebut tidak ditentukan kapan prestasi itu harus dipenuhi. Dalam praktek ternyata tidak hanya itu saja akan tetapi juga dalam hal dimana penentuan prestasi telah dikukuhkan sebelumnya. Oleh seruan No. 3/1963, lembaga somasi ini telah dihapus namun dalam praktek pengadilan masih banyak dipergunakan. Menjelang pembentukan hukum Nasional yang akan datang disarankan lembaga somasi oleh penulis agar tetap dipakai oleh karena somasi ini merupakan peringatan lalai dari pihak kreditur kepada pihak debitur yang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dinyatakan lalai."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mutia Karina Norman
"Kepemilikan atas saham dalam sebuah Perseroan Terbatas merupakan hal penting karena memberikan hak bagi para pemegang saham untuk melakukan beberapa hal seperti: menghadiri dan mengeluarkan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS); menerima pembayaran dividen dan hasil likuidasi; serta menjalankan hak lain sesuai undang-undang. Pentingnya kepemilikan atas saham tersebut menyebabkan seringnya timbul sengketa dalam praktik pengalihannya yang menyebabkan hilangnya nama pemegang saham dari Daftar Pemegang Saham yang terdaftar dalam Sistem Administrasi Hukum Umum (SABH) yang dimiliki Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Ditjen AHU). Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yang didukung dengan studi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan pengaturan pada hukum positif di Indonesia, hilangnya kepemilikan saham dari Daftar Pemegang Saham menimbulkan beberapa akibat hukum. Ditjen AHU memiliki wewenang untuk memberikan perlindungan kepada pemegang saham tersebut melalui pemblokiran dan pembukaan blokir akses SABH.  Adapun peraturan Menteri Hukum dan HAM yang terbaru dapat menjadi payung hukum dalam memberikan legal standing kepada pemegang saham yang sudah tidak terdaftar untuk dapat mengajukan permohonan pemblokiran demi tercapainya keadilan serta kepastian hukum.

The ownership of shares in a Limited Liability Company (LLC) is crucial, as it grants shareholders various rights, such as the right to attend and vote at the General Meeting of Shareholders (GMS), receive dividend payments and liquidation proceeds, and exercise other rights in accordance with the law. However, due to the significance of share ownership, disputes often arise during the transfer process, resulting in the removal of shareholders' names from the Register of Shareholders in the General Legal Administration System (SABH) maintained by the Directorate General of General Legal Administration (Ditjen AHU). This research employs a normative juridical approach supported by field studies to address the issue at hand. The findings indicate that under Indonesian positive law, the loss of share ownership from the Register of Shareholders carries legal consequences. The Directorate General of AHU has the authority to protect shareholders by blocking and unblocking SABH access. The latest regulation issued by the Minister of Law and Human Rights grants legal standing to shareholders who are no longer registered, allowing them to request SABH access blocking to ensure justice and legal certainty."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sing, Sintok
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simorangkir, Theodorik
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>