Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 165078 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Achmad Fauzi
"Obyek Pajak yang tertuang dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan bersifat "Global Taxation" yaitu sistem pengenaan pajak atas penghasilan dengan cara menjumlahkan semua jenis tambahan kemampuan ekonomis dimanapun didapat, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Kemudian atas jumlah seluruh penghasilan tersebut diterapkan suatu struktur tarif progresif yang berlaku atas semua Wajib Pajak.
Penghasilan yang diperoleh dari bunga yang berasal dari deposito/ tabungan, merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang merupakan obyek pajak. Namun dalam pelaksanaannya, atas penghasilan itu dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah dengan tarif flat dan bersifat final, kecuali yang diperoleh oleh Wajib Pajak Bank. Dengan demikian menimbulkan permasalahan yaitu apakah pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final atas bunga deposito dan tabungan yang diperoleh Wajib Pajak selain Bank sudah sesuai dengan azas keadilan, dan bagaimana akibatnya terhadap Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak yang bersangkutan.
Tujuan Penelitian adalah untuk menganalisis apakah ketentuan tersebut telah tepat ditinjau dari azas keadilan, dan apakah akibatnya terhadap penghasilan kena pajak serta pajak penghasilan yang seharusnya terutang apabila tidak diberlakukan ketentuan tersebut. Sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode deskriptif analitis, dengan tehnik pengumpulan data berupa studi kepustakaan dan studi lapangan melalui wawancara dengan pihak terkait.
Dari hasil pembahasan, diperoleh kesimpulan bahwa pengenaan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan tidak memenuhi azas keadilan, baik keadilan horisontal maupun vertikal. Selain itu ketentuan final mempunyai akibat terhadap penghasilan kena pajak dan pajak penghasilan yang seharusnya terhutang. Menerapkan kembali tarif umum yang progresif dan tidak final lebih mencerminkan keadilan. Selanjutnya perlu ditinjau kembali ketentuan dalam Undang-undang yang memberi wewenang terlalu besar kepada Peraturan Pemerintah untuk mengatur sendiri perlakuan PPh atas jenis-jenis penghasilan tertentu."
2001
T1792
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triyani Yuningsih
"Pembangunan nasional yang dilakukan Bangsa Indonesia membutuhkan biaya yang sangat besar, apalagi adanya dampak krisis moneter yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 masih dirasakan sampai sekarang. Pada tahun-tahun yang lalu, di mana sumber daya alam saat itu masih berlimpah, penerimaan negara masih dominan berasal dari sumber daya tersebut. Seiring dengan pemanfaatan sumber daya alam secara terus-menerus, Bangsa Indonesia tidak dapat lagi hanya bergantung dari sumber daya alam yang makin lama makin berkurang.
Pada saat ini, akibat penerimaan dari sumber daya alam semakin berkurang maka penerimaan negara dari sektor pajak sudah menjadi primadona. Sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa dalam pembiayaan pembangunan maka pemerintah terus menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Ekstensifikasi dan intensifikasi pajak terus dilakukan pemerintah, demikian Pula perbaikan dan perubahan Undang-Undang Perpajakan terus dilakukan seperti amandemen Undang-Undang Perpajakan Tahun 2000 lalu, termasuk Undang-Undang Pajak Penghasilan. Adapun arah dan tujuan penyempurnaan Undang - Undang Perpajakan Nomor 17 Tahun 2000 adalah :
Dalam rangka meningkatkan keadilan pengenaan pajak maka dilakukan perluasan Subjek Pajak dan Objek Pajak. Untuk lebih memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak, system.self assessment tetap dipertahankan namun dengan penerapan yang terus menerus di perbaiki . Dalam rangka mendorong investasi langsung di Indonesia, diatur kembali bentuk-bentuk insentif Pajak Penghasilan yang dapat diberikan. Namun demikian, perlu perhatian pemerintah bahwa fasilitas perpajakan yang diberikan kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu, seperti tercantum dalam Pasal 31A Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000,belum ada implementasinya sampai saat ini.
Mengenai sistem perpajakan harus diakui bahwa usaha Direktorat Jenderal Pajak untuk mengembangkan dan menegakkan sistem yang baik secara konsekuen dan konsisten tidaklah mudah, kendala yang dihadapi sangat dipengaruhi situasi umum dan sangat banyak.
Peranan pajak yang dominan saat ini karena pajak merupakan sumber yang pasti bagi pembiayaan Negara. Dari data Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 1981/1982 sampai dengan tahun 2003, perkembangan peranan pajak dalam APBN sangat fenomenal. APBN yang sejak 1981/1982 lebih bertumpu pada penerimaan sektor minyak dan gas (migas)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14057
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Wayan Yohan Widur
"Sejak APBN tahun anggaran 1998/1999 sektor pajak menjadi fokus penerimaan yang paling potensial, yang ditandai dengan adanya peningkatan yang signifikan dari penerimaan pajak dibandingkan tahun anggaran sebelumnya. Dalam APBN tahun 2001 ini, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar 4.182 triliun atau 65% dan total penerimaan dalam negeri yang sebesar Rp. 276.8 7 7, 7 triliun.
Besarnya target penerimaan pajak tersebut menuntut Direktorat Jenderal Pajak bekerja lebih keras untuk mencapainya dengan melakukan intensifikasi pemunggutan pajak, ekstensifikasi pemungutan pajak, serta perluasan subjek dan objek pajak Salah satu potensi penerimaan pajak adalah pajak penghasilan atas bunga tabungan dan deposito. Untuk itu pemerintah melakukan revisi peraturan pengenaan pajak penghasilan atas bunga deposito dan tabungan dari tarif sebelumnya 15% menjadi 20%, yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 131 Tabun 2000.
Revisi ini menimbulkan keresahan di kalangan perbankan yang mengkbawatirkan akan mengurangi kompetensi perbankan di dalam negeri sehingga akan terjadi pelarian dana (capital flight) dan sektor perbankan ke sektor lain atau ke luar negeri. Sehingga sektor perbankan mulai menaikkan suku bunganya sebagai tindakan antisipasi. Tindakan tersebut berpotensi muncul permasalahan barn, yaitu naiknya suku bunga kredit yang akan membuat cost investasi akan mahal, yang akan diikuti dengan inflasi, yang pada akhirnya membuat proses pemulihan ekonomi menjadi terganggu.
Atas dasar tersebut, penulis tertarik untuk mengambil terra tersebut sebagai tesis. Dimana tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah sungguh capital flight itu terjadi?, apakah efektif tindakan antisipasi perbankan dengan menaikkan suku bunganya ? seberapa jauh dampak yang terjadi bila sektor perbankan menaikkan suku bunga tabungan dan depositonya ?
Dari hasil penelitian, penulis memperoleh kesimpulan bahwa kekhawatiran terjadinya capital flight yang diakibatkan peraturan baru tersebut tidak atau belum terjadi, tindakan menaikkan suku bunga tabungan dan deposito sebagai tindakan antisipasi ternyata tidak efektif, karena sebagian besar nasabah kurang melihat suku bungs tabungan dan deposito sebagai indikator yang penting, artinya ada indikator-indikator lain yang lebih penting dari suku bunga yang dapat mempengaruhi nasabah untuk memilih sektor perbankan sebagai tempat investasi. Tindakan inenaildcan suku bunga tabungan dan deposito juga berpotensi naiknya suku bunga kredit yang diikuti dengan naiknya inflasi."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9803
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tarigan, Rasin
"Tesis ini menganalisis kesesuaian Pajak Penghasilan Badan Sektor Perikanan dengan prinsip-prinsip perpajakan "revenue adequacy" dan "equity" dengan suatu studi kasus pada 6 (enam) perusahaan perikanan. Penelitian dalam tesis ini dilakukan secara diskriptif analitis dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa studi lapangan dan wawancara mendalam.
Hasil penelitian menunjukkan sistem perpajakan yang bersifat skedular (antara lain pemotongan PPh final atas jasa giro dan deposito) menguntungkan 6 (enam) perusahaan yang bergerak di sektor perikanan yang menjadi objek penelitian ini, karena hampir setiap tahun perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh penghasilan diatas Rp 50.000.000. Seharusnya atas penghasilan tersebut dikenakan tarif sebesar 30 % (tarif lapisan ke tiga dan tertinggi Undang-undang PPh 1994).
Ditinjau dari segi "revenue productivity", pemotongan PPh final ini tidak memenuhi azas tersebut karena para Wajib Pajak itu memikul beban pajak yang lebih rendah dari jumlah beban pajak yang seharusnya terhutang berdasarkan tarif umum.
Dilihat dari sudut pandang azas keadilan, meskipun tarif PPh final menguntungkan bagi enam perusahaan perikanan yang menjadi objek penelitian ini, namun bagi perusahaan lain yang memperoleh jumlah tambahan kemampuan ekonomi veto yang sama besarnya yang tidak dikenakan tarif final akan memikul beban pajak yang lebih besar. Dengan demikian sistem pemotongan PPh final tersebut kurang selaras dengan azas keadilan.
Untuk memenuhi azas "revenue productivity" dan azas "equity", pemotongan PPh tersebut sebaiknya tidak bersifat final melainkan diperlakukan sebagai pembayaran pendahuluan (advance payment) yang akan dijadikan sebagai kredit pajak."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T9210
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Atep Adya Barata
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1992
336.34 Bar p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Ruston
"Untuk menggali penerimaan pajak dari sektor usaha jasa konstruksi maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari. Usaha Jasa Konstruksi dan Jasa Konsultan. Mengacu pada sasaran pembaharuan sistem perpajakan nasional, maka setiap ketentuan perpajakan harus memperhatikan aspek keadilan serta jaminan atas kepastian hukum dalam pemungutan pajak.
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis apakah ketentuan tersebut telah tepat ditinjau dad azas-azas perpajakan yang baik terutama aspek keadilan dalam pembebanan pajak, kepastian hukum, kesederhanaan pemungutan, serta kekuatan dan keabsahan dasar hukum pemungutan pajak.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode .deskriptif analitis mencakup analisis teoritis melalui studi kepustakaan dan pendapat beberapa pakar perpajakan serta analisis empiris atas kasus-kasus di lapangan.
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Peraturan Pemerintah yang mengenakan PPh Final atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi kurang mencerminkan azas keadilan, baik keadilan horizontal yang menekankan bahwa semua orang yang mempunyai penghasilan sama harus membayar pajak dalam jumlah sama maupun keadilan vertikal yang mewajibkan pajak yang semakin besar selaras dengan semakin besarnya kemampuan yang bersangkutan untuk membayar pajak.
Selain itu terdapat beberapa hal yang menyangkut ketidakpastian termasuk pengertian jasa konstruksi sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi dalam pelaksanaannya. Di sisi lain, Peraturan Pemerintah tersebut telah mempunyai landasan hukum yang sah yaitu Undangundang (UU). Yang menjadi permasalahan adalah terlalu luasnya wewenang yang diberikan oleh UU sehingga dengan Peraturan Pemerintah dapat diatur tarif pajak tersendiri atas segala jenis penghasilan yang berbeda dari ketentuan UU itu sendiri. Hal ini menyimpang dari Undang-undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala pajak harus berdasarkan UU.
Menerapkan kembali tarif umum yang progresif dan tidak final lebih mencerminkan keadilan. Akuntansi Keuangan sangat memudahkan penetapan penghasilan neto usaha jasa konstruksi sehingga secara teknis pembukuan tidak terdapat masalah. Selanjutnya perlu ditinjau kembali ketentuan dalam UU yang memberi wewenang terlalu besar kepada Peraturan Pemerintah untuk mengatur tersendiri perlakuan PPh atas jenis-jenis penghasilan tertentu."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahayu Winarti
"Penerimaan negara dari pajak sangat diharapkan bagi Indonesia, terlebih lagi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2001 ditargetkan sebesar 70 % dari seluruh penerimaan. Posisi ini menggantikan pinjaman luar negeri yang selama ini mendominasi sumber penerimaan dalam APBN. Oleh karena itu segala upaya untuk mencapai target tersebut harus diusahakan untuk menjamin keamanan APBN.
Upaya untuk mengoptimalkan penerimaan pajak yang umum dikenal adalah intensifikasi dan eksensifikasi. Mengingat kondisi perekonomian Indonesia yang belum pulih dari krisis moneter dan untuk mewujudkan sistim perpajakan yang adil, dimana semua Wajib Pajak yang berpenghasilan sama harus dikenakan pajak yang sama, maka penulis berusaha melakukan penelitian yang mendiskripsikan pelaksanaan ekstensifikasi wajib pajak penghasilan dengan studi kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tamansari.
Dari hasil penelitian dapat diperoleh gambaran bahwa ekstensifikasi Wajib Pajak Penghasilan sudah dilaksanakan dengan beberapa kegiatan diantaranya penyisiran, pemanfaatan data internal, pemanfaatan data eksternal dan kerjasama dengan instansi lain. Sekalipun jumlah Wajib Pajak berhasil ditingkatkan tetapi tidak secara langsung dapat meningkatkan penerimaan negara karena banyak faktor lain yang mempengaruhi misalnya kondisi perekonomian yang belum pulih sehingga banyak Wajib pajak yang kehilangan penghasilan, kondisi politik yang kurang kondusif dan kerjasama dengan instansi lain yang belum baik. Oleh karena itu ekstensifikasi yang dilakukan harus ditindak lanjuti dengan intensifikasi.
Untuk meningkatkan kinerja maka dipaparkan bagaimana National Tax Administration Jepang memberikan pelayanan kepada Wajib Pajak melalui public relation yang baik dan sosialisasi yang terus menerus untuk meningkatkan kesadaran Wajib Pajak akan kewajiban Perpajakannya. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9802
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tobing, Rosliana Tetty
"Sistem perpajakan hendaknya didasari oleh azas-azas perpajakan dalam pelaksanaannya, sehingga tidak menimbulkan perlawanan dari masyarakat. Azas-azas perpajakan yang disarankan para ahli antara lain equity, convenience, certainty dan economy. Dari azas-azas tersebut yang sering menjadi persoalan adalah azas keadilan karena keadilan sendiri mengandung pertentangan, dalam arti adil bagi seseorang belum tentu adil bagi yang lain.
Begitu juga halnya dengan pelaksanaan pengenaan pajak atas penghasilan dari kegiatan Multilevel Marketing (MLM). Sampai saat ini masih banyak perbedaan pandangan antara wajib pajak dalam hal ini perusahaan dan distributor yang melakukan kegiatan Multilevel Marketing dengan Direktorat Perpajakan. Perbedaan pandangan menyangkut rasa keadilan yang menurut Wajib Pajak tidak ada karena pajak yang dipungut berdasarkan penghasilan bruto, padahal ada biaya yang dikeluarkan dalam melakukan kegiatan MLM.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif artinya penelitian ini tidak menghubungkan variabel satu dengan variabel lain, hanya memberikan gambaran mengenai pokok permasalahan yang diajukan. Data diperoleh melalui wawancara dengan pihak perusahaan Multilevel Marketing, Pejabat Direktorat PPh Direktorat Jenderal Pajak dan kuesioner bagi distributor yang melakukan kegiatan Multilevel Marketing.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penghasilan yang diperoleh distributor Multilevel Marketing memenuhi hakekat ekonomi untuk dikenakan pajak Penghasilan Pasal 21. Mekanisme yang digunakan dalam memungut pajak adalah melalui perusahaan Multilevel Marketing yang paling mengetahui bagaimana jaringan bisnis distributor beserta groupnya. Ketentuan Perpajakan yang mengatur pengenaan PPh Pasal 21 atas Penghasilan dari kegiatan Multilevel Marketing telah memberikan kepastian hukum.
Saran yang bisa diberikan setelah dilakukan analisis adalah memberikan pengurangan berupa biaya jabatan kepada distributor MLM dan mengintensifkan pemungutan PPh badan bagi Perusahaan MLM dan bagi distributor yang sudah mencapai PTKP tetapi belum memiliki NPWP agar diefektifkan dengan menghimbau agar memiliki NPWP atau secara Jabatan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9212
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muti`ah
"Peranan masyarakat dalam pembiayaan pembangunan harus terus ditumbuhkan. Untuk meningkatan penerimaan pajak pada tahun 1983 telah dilakukan pembebanan perpajakan dengan mengubah sistem pemungutan pajak dari official assessment menjadi self assessment. Dalam penelitian ini pokok permasalahannya yaitu bagaimana sistem self assessment dapat meningkatkan penerimnaan pajak secara substansial.
Si stem self assessment memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melapor sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Fiskus sesuai dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penelitian dan pengawasan terhadap Wajib pajak dengan baik.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode deskriptif analisis, dengan teknik pengumpulan data berupa penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan pada KPP yaitu Seksi TOP, Seksi PPh Badan, Seksi Penerimaan dan Keberatan, dan Bagian Umum, melalui wawancara dan pengamatan langsung.
Penelitian dilaksanakan pada KPP "X" dengan temuan-temuan wajib pajak yang menjadi kewenangan KPP "X", wajib pajak yang memasukkan SPT, jumlah wajib pajak yang di periksa, kreteria wajib pajak yang di periksa, jumlah pemeriksa, hasil pemeriksaan dan penerimaan
Pembahasan dalam penelitian inibahwa jumlah pemeriksa SPT Wajib Pajak sangat kecil dari SPT Wajib Pajak yang haru di periksa, selisihnya tidak diadakan pemeriksaan bukan karena telah melaksanakan ketentuan perpajakan, tetapi karena tidak tertangani oleh petugas yang jumlah personilnya terbatas. Kreteria Wajib pajak yang di periksa Wajib Pajak yang lebih bayar yang menjadi sasaran utama, sebaiknya pemeriksaan dialihkan ke Wajib Pajak rugi dan Wajib Pajak kreteria khusus.
Daripembahasan dapat disimpulkan bahwa jumlah Wajib Pajak yang di periksa masih sangat minim, jumlah petugas sangat minim di banding jumlah SPT Wajib Pajak yang hares di periksa, Pemeriksaan sasaran utamanya adalah Wajib Pajak lebih bayar, Prosentase pemeriksa di banding jumlah Wajib Pajak yang perlu di periksa sangat kecil, penerimaan pajak dapat ditingkatkan bila dilakukan pemeriksaan, sedang saran adalah supaya diupayakan jumlah Wajib Pajak yang di periksa lebih banyak, melakukan penambahan jumlah pemeriksa pemeriksa, yang diutamakan yang di periksa adalab Wajib Pajak rugi dan Wajib Pajak criteria khusus.

The Execution Of Self Assessment System In Relation With Income Tax Collection Of The Body Of Tax Obligation (Study Case At X Tax Services Office)
The role of people in development leasing should be keep grown with pushing awareness, understanding and comprehension that the development is right, duty and responsible of the whole of people. The execution of national development should be based on self-ability, mainly if the citizen realizes the participation to pay tax To increase tax collection in year 1983 has been conducted tax reformation with changing tax collection system from official assessment becoming self assessment In this research, the main problem is how self-assessment system can increase tax collection substantially.
Self assessment system gives the confidence to Tax Obligation to account deposit and report himself/herself concerning the amount of tax should become debt in accordance with tax regulations. The government in this matters tax officer in accordance with his/her role should conduct construction, research and inspection to tax obligation properly.
Research Method used in this thesis is analysis description method, with- data collection technique in from of library and field research to relevant parties in this thesis (fish's) through deep interview.
This research is conducted at KPP X" with the finding of tax obligation becoming the authorization of KPP "X", tax obligation fills SPT, number of tax obligation inspector, the result of inspection and collection.
The discussion in this research that the number of inspector of SPT tax obligation is very small that SPT tax obligation should be inspected, the different was not conducted inspection not because it has conducted the tax stipulation, but because not handled by the limited number of officer. The criteria of tax obligation inspected more payable obligation tax becoming main target, for more payable tax obligation if it has been inspected for two years respectively, it should be better if changed position to loss tax obligation and tax obligation with specific criteria
From the discussion can be concluded that the number of tax obligation inspected was very minim, the number of officers were very minim if it was compared to the number of SPT tax obligation should be inspected was very small, tax income can be increased if it was conducted inspection, while the suggestion is in order to be efford more number of tax obligation inspection, conduct the addition of inspectors number, the main inspected is loss tax obligation and tax obligation with specific criteria."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T 13884
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Fahma Nurbaiti
"Tesis ini membahas mengenai evaluasi kebijakan pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Tinjauan atas PP No. 46 Tahun 2013. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah penetapan batasan peredaran bruto tertentu sebesar Rp 4.800.000.000,00 tidak berdasarkan kajian akademik baru, namun menggunakan kajian lama. Penetapan tarif sebesar 1% secara final dari peredaran bruto usaha, hanya berasal dari sudut pandang peredaran usaha yang dijalankan oleh wajib pajak, namun tidak melihat beban ataupun biaya yang dikeluarkan oleh wajib pajak. Implikasi perpajakan yang timbul bagi UMKM sehubungan dengan penetapan PP No. 46 Tahun 2013, di antaranya perbedaan penghitungan antara PP No. 46 Tahun 2013 dengan ketentuan sebelumnya pasal 31E. Pengenaan secara final jika dibandingkan dengan ketentuan perhitungan normal, maka dalam kondisi mengalami kerugian ataupun keuntungan wajib pajak badan tetap harus membayarkan pajak penghasilan yang terhutang yang berasal dari jumlah peredaran bruto dikalikan tarif sebesar 1%. Kedua, implikasi kewajiban pajak penghasilan untuk wajib pajak badan yakni, adanya penghitungan pajak penghasilan yang terkadang mengikuti PP No. 46 Tahun 2013 dan mengikuti Pasal 31E. Perubahan penghitungan pajak yang terhutang bagi wajib pajak badan tersebut, menyebabkan perhitungan yang tidak konsisten. Hal tersebut dapat mengakibatkan adanya potensi penghitungan kerugian yang hilang akibat digunakannya kedua penghitungan yang berbeda. Ketiga, penggunaan Surat Keterangan Bebas (SKB) sulit untuk dipenuhi. Wajib Pajak mengalami kesulitan dengan tata cara SKB secara administrasi. Selain itu, dari sisi cash flow, wajib pajak diharuskan untuk membayar terlebih dahulu pajak yang terhutang untuk mendapatkan SKB tersebut.

The focus of this study describes the evaluation of tax policy Micro, Small and Medium Enterprises ( SMEs ) Review of PP No. 46 of 2013. The approach used in this study is a qualitative approach. The results of this study are the determination of gross income specified limit of Rp 4,800,000,000.00 not based on a new academic study, but using the old study. Determination of rate of 1 % in the final of the gross turnover of business, only from the standpoint of the circulation of the business carried on by the taxpayer, but did not see the burden or expense incurred by the taxpayer. There are some implication for taxation arising for SMEs in connection with the establishment of PP No. 46 of 2013, including the calculation of the difference between PP No. 46 of 2013 and the preceding provisions of Article 31E. The final taxation when compared with the normal provisions of the calculation, in the state of loss or profit, corporate tax payers still have to pay income tax payable from the amount of the gross income multiplied by a rate of 1%. Second, the implications of income tax liability for corporate taxpayers is to calculate corporate income tax, that sometimes using PP No. 46 of 2013 regulation or Article 31E. That differences to calculate the corporate income tax, causing the inconsistency of the calculation. This is a potential loss due to the use of the two different calculation. Third, the use of Exemption Certificate is difficult to be applied. Taxpayers is having trouble with the administrative procedures of the Exemption Certificate. Moreover, in terms of cash flow, a taxpayer is required to pay the tax due in advance to get the Exemption Certificate."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>