Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 97302 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Mastuti
"Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan negara Republik Indonesia, terutama dalam dua tahun terakhir. Keberadaan GAM dengan kekuatan yang seperti sekarang tentu tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kemunculan dan periode awal gerakannya, karena pada waktu itulah pondasinya dibangun. Oleh sebab itu, masalah GAM tidak akan dapat ditangani dengan baik tanpa menelaah periode awalnya. Dengan mengkaji periode tersebut, diharapkan dapat diketahui sebab-sebab kelahirannya, ideologi, taktik dan strategi, para pendukung, tujuan, dan tahapan aksi yang akan mereka lakukan.
Permasalahan-permasalahan yang ada akan coba ditelaah dengan menggunakan teori etnisitas dari David Brown, teori collective action dari Charles Tilly, dan konsep perang gerilya dari Nasution. Dalam eksplanasi ditekankan bahwa baik struktur maupun aktor memiliki peran yang sama pentingnya dalam melahirkan peristiwa.Tulisan yang tergolong dalam sejarah sosial politik ini pada prinsipnya ingin menjawab dua permasalahan utama, yaitu: bagaimana bentuk pemberontakan GAM dan mengapa GAM dapat bertahan lama.
Dari hasil penelitan yang dilakukan, diperoleh jawaban bahwa GAM merupakan gerakan separatis yang causal factor dari kelahirannya adalah karena bangkitnya nasionalisme etnis Aceh sebagai ekses dari kebijakan pemerintah pusat yang sangat sentralistis. Adapun penyebab GAM dapat bertahan sampai sekarang adalah karena akar-akar ideologisnya telah tertanama baik seiring keberhasilan penanaman kesadaran pada periode pertama dan juga karena adanya perubahan kebijakan pemerintah pusat dalam menangani gerakan-gerakan daerah. Ketidakjelasan sikap dan langkah dari pemerintah telah membingungkan aparat yang bekerja di lapangan. Mereka serba takut dalam melakukan tindakan yang membawa dampak fatal terhadap kondisi keamanan secara menyeluruh.
Kekecewaan yang berkembang luas dalam diri masyarakat Aceh terhadap perlakuan pusat telah menyebabkan munculnya tindakan-tindakan perlawanan, yang kemudian dengan cantik dimanfaatkan oleh GAM untuk mengekspoiltir dukungan massa. Di sini terjadi keseiringan gerak tentara GAM dengan gerakan perlawanan rakyat yang sesungguhnya gerakan perlawanan itu tidak bersifat separatis seperti GAM. Meskipun ada pengentalan perlawanan namun GAM tidak akan sampai menggulirkan sebuah revolusi, sebab koalisi yang terbangun tidak cukup kuat untuk melakukannya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2001
T4272
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
S6360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Sjohirin
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Taufik
"Penelitian ini bertujuan untuk menemukan kemungkinan ancaman yang terdapat di Aceh pascaNota Kesepahaman Helsinki berdasarkan presiden terpilih pada Pemilu 2014. Kemungkinan ancaman tersebut dilakukan dengan mendekonstruksi ancaman menjadi tiga variabel yaitu, niat, kemampuan, dan kondisi dan mengekstraksi data variabel tersebut dari 5 aktor utama yaitu Variabel-variabel tersebut didapat dengan mengekstraksi data dari lima aktor utama yang memiliki ancaman terhadap Indonesia di Aceh yaitu Partai Aceh (PA), Partai Nasional Aceh (PNA), Majelis Pemerintahan GAM (MP-GAM), sebagai pecahan eks-gam yang memiliki kepentingan dominasi kekuasaan, baik dengan cara separatisme maupun tidak; Pihak internasional yang memiliki kepentingan ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang dapat digunakan untuk keperluan militer, dan Elite Jakarta dengan kepentingan ekonomi. Operasionalisasi variabel-variabel tersebut menggunakan analisis morfologis dan menghasilkan 6 skenario kemungkinan ancaman yang ditimbulkan dari perkembangan pola perjuangan eks-GAM dengan 2 end-state yang berbeda, merdeka secara de facto sehingga menghasilkan negara dalam negara dan referendum. Setelah itu, analisis linimasa digunakan untuk memberikan hindsight terhadap perkembangan ancaman di masa lalu berdasarkan variabel-variabel yang sama . Hindsight tersebut menunjukkan intelligence failure terjadi karena satu hal yang signifikan yaitu permasalahan pada kepala pemerintahan sebagai pembuat keputusan. Temuan analisis morfologis tersebut disintesiskan dengan temuan analisis linimasa dan menghasilkan tiga skenario dengan tiga karakteristik yang berbeda dari presiden terpilih tahun 2014 untuk menggambarkan kontribusi presiden terpilih terhadap realisasi kemungkinan ancaman eks-GAM yang telah ditemukan. Berdasarkan skenario tersebut, penelitian menyimpulkan tiga rekomendasi untuk meminimalisasi terjadinya hal tersebut yaitu peningkatan trustee intelijen daerah, operasi terpadu, dan mengundang investor asing.

The research is intended to assess the possibility of threat in Aceh past the Helsinki MOU period, in particular how the situation will unfold as Indonesians select their new president in 2014 presidential election. The threat possibility is carried out by deconstructing the threat into three variables, namely intention, capability and condition and extracting these data variables from 5 main actors including The Aceh Party (PA), The Aceh National Party (PNA), GAM’s Government Council which has an ambition for power domination through separatist means or other means, International parties with economic and infrastructure interests which could be used for military purposes and Jakarta’s elite with economic interests. The operasionalization of the variables in the study is conducted by using a morphological analysis that produced 6 possible threat scenarios by looking at the pattern of the former GAM members struggle with two different end states, to be independent, thereby creating a country within a country or referendum. A timeline analysis is further used to provide hindsight for the threats past background based on the same variables. The hindsight showed an apparent intelligence failure in the part of the head of the government as a decision maker. The findings from the morphological analysis is then synthesized with the findings of the timeline analysis to produce three scenarios with three different characteristics relevant to who gets elected in the 2014 presidential election. The findings stated the contribution that the next Indonesian president could make in facing the realization of the former GAM threat. The study concludes that there are three available recommendations to minimize the GAM threat. They include improving the trust in regional intelligence, holding organized operations and inviting foreign investors."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusli
"Penelitian mengenai Gerakan Aspirasi Merdeka telah dilakukan di Jayapura dan Sorong sekitar bulan Nopember 2001 dan bulan Juni 2003. Penelitian dilakukan dengan maksud untuk membcrikan gambaran yang komprehensif dan aktual tentang prospek politik Papua menuju kemerdekaan dan pemisahan diri dari Ncggara Kesatuan Republik Indonesia (NKRl). Tujuannya guna mencari solusi terbaik dalam komitmen bersarna mcmpertahankan kedaulatan NKRI.
Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara yaitu melalui sumber tertulis dan lisan. telapi lebih banyak menggunakan sumber tulisan. Hasil penelitian menunjukkan bagi masyarakat Papua, proses integrasi wilayah Papua ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 dianggap tidak sah. Pclaksanaan Papua mereka anggap tidak sesuai dcngan ketentuan New York Agreement. Di samping itu mereka berpendapat Papua pada tanggal 1 Desember 1961, telah merdeka. Dengan demikian Indonesia telah merampas kemerdekaan mereka. Di situlah letak akar perlawanan sebagian orang Papua terhadap Pcmcrintah Indonesia. Situasi itulah yang memunculkan stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang dalam konteks nasional sering disebut scbagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlawanan ini tetap ada sarnpai sekarang walaupun tidak sampai mengguncangkan stabilitas nasional.
Pada era reformasi, dimana orang relatif dapat bebas berbicara dan menuntut apa saja, gerakan perlawanan orang Papua mulai terlihat bangkit kembali. Namun cara perjuangannya berbeda Jika scbelum era reformasi perlawanan mereka menitikberatkan pada gerakan bersenjata maka pada era reformasi dilakukan secara politik. Namun, isu yang mereka lontarkan dalam perlawan relatif lama yaitu; : masalah Pepera. pelanggaran HAM, perlakuan tidak adil dan faktor suku bangsa yang berbeda.
Aspirasi untuk merdeka sccara resmi disampaikan kepada Presiden B.J. Habibie di lstana Negara, pada tanggal 26 Februari, 1999. Dari ketiga butir pcrnyalaan yang disampaikan satu di antaranya berbunyi. Papua ingin merdeka.
Langkah selanjutnya tanggal 23 Februari 2000 mereka mengadakan Musyawarah Besar di Sentani yang dihadiri oleh 500 elemen perjuangan Papua merdeka, lcrmasuk Moses Weror, tokoh senior OPM. Mubes ini berhasil membentuk Presidium Dewan Papua (PDP) wadah tunggal perjuangan kemerdekaan Papua yang dikeluai olch Theys Hiyo Eluay dan Tom Beanal. Sebagai tindak lanjut dari Mubes tanggal 29 Mci hingga 5 Juni 2000 diselenggarakain Kongres. Kongres ini melahirkan resolusi yang berisi antara lain menolak hasil Pepera.
Tetapi pemerintah tetap pada pendiriannya yaitu hanya akan memberikan status otonomi khusus bagi Papua, pada tanggal 22 Oktober 2001 Rancangan Undang-Undang (RUU) Otonomi Khusus (Otsus) disyahkan oleh Presiden Megawati menjadi UU No. 21 Tahun 2001. Di tengah situasi konilik. pada tanggal 10 Nopember 2001, pemimpin PDP Theys Hiyo Eluay ditemukan lervas. Pelaku pembunuhan ternyata adalah anggota Kopassus Para pelaku pembunuhan ini kemudian diajukan kepengadilan militer di Surabaya dan dijatuhi hukuman penjara.

The research done by Freedom of Aspiration Movement was conducted in Jayapura and Sarong in November 2001 and June 2003. The research was done to give a realistic actual and comprehensive picture on the political prospect of Papua into freedom and to separate from the Republic of Indonesia.
We utilized two methods of data collection by oral and written but much more using the written source. The result reflects the condition of Papua deny the integration process deny the act of free choice (Penentuan Pendapat Rakyat - Pepera) 1969, which has been considered illegitimate. Pepera was not conducted according to the New York agreement. Additionally, the people of Papua believed that ,they actually gained independence aim December 1st , 1961. They believe Indonesia interfered with their sovereignty.
So that is' the root cause of the opposition (struggle) from the Papua is Indonesia. This situation created stigma towards Gerakan Pengacau Keamanan (GPK.), which on the national context is commonly referred to as Free Papua Movement (OPM). The struggle continues to exist although it has not risen to national stability damaging.
The reformation era marked the first implementation of freedom for speech and to claim the struggle of Papua society growing up but in a different way. The struggle has stuffed from around to the more sophisticated political movement. However the issues remained the same of PEPERA problems, Human Right, unfair treatment and cultural differences.
The aspiration to be free according formally decelerated to the President, B.J. Habibie at Istana Negara, February 26th 1999. One of three demands among other thing stated: Papua wants to be free.
On February 23rd 2000 OPM to arrange Musyawarah Besar in Sentani than came 500 elements from the various Freedom of Papua, including Moses Weror, a senior figure in OPM. The Assembly formed Presidium Dewan Papua (PDP) that unified the various elements struggle of Papua Freedom elected Theys Hiyo Eluay and Tom Beanal as their leaders. POP'S 1st congress washed on May 29th until June 5?Th 2000, which produced the resolution, any which PDP rejected the result of Pepera.
Unfortunately the Indonesian government ignored the resolution of the offered special autonomy status for Papua. On October 22nd 2001, the draft and the special autonomy law was sign by President Megawati into law UU No.21, 2001.
In the conflict situation, on November 10th, 2001, Kopassus murdered Theys Hiyo Eluay. All of the murderer suspect and than to proposed at military judgment in Surabaya and was detention in prison.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T17894
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusli
"Penelitian mengenai Gerakan Aspirasi Merdeka telah dilakukan di Jayapura dan Sorong sekitar bulan Nopember 2001 dan bulan Juni 2003. Penelitian dilakukan dengan maksud untuk memberikan gambaran yang komprehensif dan aktual tentang prospek politik Papua menuju kemerdekaan dan pemisahan did dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tujuanya guna mencari solusi terhaik dalam komitmen bersama mempertahankan kedaulatan NKRI. Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara yaitu melalui sumber tertulis dan lisan. tetapi lebih banyak menggunakan sumber tulisan.
Hasil penelitian menunjukkan bagi masyarakat Papua, proses integrasi wilayah Papua ke Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 dianggap tidak syah. Pelaksanaan Pepera mereka anggap tidak sesuai dengan ketentuan New York Agreement. Di samping itu mereka berpendapat Papua pada tanggal 1 Desember 1961, telah merdeka. Dengan demikian Indonesia telah merampas kemerdekaan mereka. Di situlah letak akar perlawanan sebagian orang Papua terhadap Pemerintah Indonesia. Situasi itulah yang memunculkan stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) yang dalam konteks nasional sering disehut sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). Perlawanan ini tetap ada sampai sekarang walaupun tidak sampai mengguncangkan stabilitas nasional.
Pada era reformasi, dimana orang relatif dapat bebas berbicara dan menuntut apa saja gerakan perlawanan orang Papua mulai terlihat bangkit kembali. Namun cara perjuangannya berbeda. Jika sebelum era reformasi perlawanan mereka menitikberatkan pada gerakan bersenjata maka pada era reformasi dilakukan secara politis. Namun, isu yang mereka lontarkan dalam perlawan relatif sama yaitu: masalah Pepera, pelanggaran HAM. perlakuan tidak adil dan faktor suku hingsa yang berbeda. Aspirasi untuk merdeka secara resmi disampaikan kepada Presiden B.J. Habibic di Istana Negara, pada tanggal 26 Februari 1999. Dari ketiga butir pernyataan yang disampaikan satu di antaranya berbunyi. Papua ingin merdeka. Langkah selanjutnya tanggal 23 Februari 2000 mereka mengadakan Musyawarah Besar di Sentani yang dihadiri oleh 500 elemen perjuangan Papua merdeka, termasuk Moses Weror, tokoh senior OPM. Mubes ini berhasil membentuk Presidium Dewan Papua (PDP) wadah tanggal perjuangan kemerdekaan Papua yang diketuai oleh Theys Hiyo Fluay dan Tom 13canal. Sebagai tindak lanjut dari Mubes tanggal 29 Mei hingga 5 Juni 2000 diselenggarakan Korgres. Kongres ini melahirkan resolusi yang berisi antara lain menolak hasil Pepera tetapi pemerintah tetap pada pendiriannya yaitu hanya akin memberikan status otonomi khusus bagi Papua, pada tanggal 22 Oktuber 2001 Rancangan Undang-Undang (RUU) Otonomi Khusus (Otsus) disyahkan oleh Presiden Megawati menjadi UU No. 21 Tahun 2001. Di tengah situasi konflik, pada tanggal 10 Nopember 2001, pemimpin PDI Theys Hiyo Fluay ditemukan tewas. Pelaku pembunuhan ternyata adalah anggota Kopassus Para pelaku pembunuhan ini kemudian diajukan ke pengadilan militer di Surabaya dan dijatuhi hukuman penjara."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2006
T39173
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pane, Neta S.
Jakarta: Grasindo, 2001
959.85 NET s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Toro Wiyarto
"1. Tugas Akhir ini berisi tentang rancangan untuk merubah mindset narapidana Ex. Gerakan Aceh Merdeka terhadap NKRI (Negera Kesatuan Republik Indonesia).
2. Latar Belakang Masalah
Dengan dijadikannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer yang kesekian kalinya Serta di bentuknya Kodam sendiri, dan diadilinya para GPK separatis ini, Serta perlakuan terhadap para terpidana Ex GAM ini secara adil dan manusiawi, diharapkan keamanan dan ketentraman di wilayah Nagro Aceh Darussalam menjadi membaik, dan Narapidana Ex. Gerakan Merdeka mengerti akan kesalahannya, serta tidak bergabung lagi dengan GAM setelah selesai menjalani masa pidana.
3. Belum adanya pola pernbinaan khusus terhadap narapidana Ex. Gerakan Aceh Merdeka, mereka masih disamakan dengan pola pembinaan narapidana pada umumnya.
4. Maksud Penulisan Tugas Akhir adalah ; berusaha mencari jalan atau untuk merubah mindset bagi para narapidana Ex. Gerakan Aceh Merdeka.
5. Tujuan Penulisan Tugas Akhir ini adalah ; diharapkan menghasilkan bentuk dan teknik serta metode pembinaan yang mendasari pola pembinaan narapidana Ex. Gerakan Aceh Merdeka.
6. Konsepsi Sistem Pemasyarakatan adalah suatu sistem pembinaan, suatu methodologi dibidang "Treatment of Offénders?. Sistern Pemasyarakatan bersifat multilateral oriented dengan pendekatan yang berpusat kepada potensi-potensi yang ada, baik pada individu yang bersangkutan maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat, sebagai suatu keseluruhan. konsekuensi adanya pidana penjara yang merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang kemerdekaan.
7. Pola pikir / mindset adalah bukan sekedar percikan pemikiran, perasaan, atau keyakinan tetapi desain muatan tertentu yang kita pilih menurut selera, lalu kita jadikan paradigma hidup.
8. Teori Belajar adalah Suatu teori yang mempelajari Perubahan dan kemampuan untuk berubah yang terkandung dalam belajar.
9. Teori Belajar Contiguous Conditioning (Pembiasan Asosiasi Dekat) sebuah teori belajar yang mengasumsikan terjadinya peristiwa belajar berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dan respon yang relevan. Contiguous conditioning sering disebut sebagai teori belajar istimewa dalam arti paling sederhana dan efisien, karena didalamnya hanya terdapat satu prinsip yailu kontinguitas (contiguity) yang berarti kedekatan asosiasi antar stimulus-respon.
10. Teori belajar sosial adalah Memandang tingkah laku manusia bukan semata-mata refleks atomatis atas stimulus (S_R Bond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lingkungan dengan skema kognitif manusia itu sendiri. Sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungan sosial budayanya.
11.Teori Kontrol Tentang Perilaku adalah ; usaha yang terbaik dari kita untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dan dengan melakukan itu bisa mendapatkan kontrol yang efektif atas hidup kita yang berasal dari dalam diri kita dan bukan dari kekuatan luar.
12 Basis Terapi realitas Menurut Glasser (1965) adalah membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencakup kebutuhan untuk mencintai, dan dicintai serta kebutuhan untuk merasakan bahwa kita beruna baik bagi diri kita sendiri rnaupun bagi orang Iain.
13. Analisa masalah ; narapidana Ex.Gerakan Aceh Merdeka merasa bahwa dirinya bukanlah WNI dan mereka merasa dlrinya sedang di tawan oleh Pemerintah RI, sehingga mereka tidak mengakui bahwa dirinya bersalah, sedangkan dasar untuk pembinaan berjalan sesuai dengan Sistem Pemasyarakatan adalah bahwa narapidana mengerti dan menyadari mengapa dirinya dipidana.
14. Usulan Pemecahan Masalah yaitu menggunakan Terapi Realitas yaitu suatu bentuk modifikasi tingkah Iaku, terutama dalam penerapan-penerapan institusionalnya, yang pada dasarnya merupakan tipe pengondisian operan yang tidak ketat.
15. Alasan memilih Terapi Realitas karena terapi realitas menekankan aspek- aspek kesadaran, kekeliruan yang dilakukan oleh klien, bagairnana tingkah Iaku klien sekarang hingga dia tidak mendapatkan apa yang diinginkarmya, dan bagaimana dia bisa terlibat dalam suam rencana bagi tingkah laku yang berhasil yang dilandaskan tingkah laku yang bertanggungjawab dan realistis. Terapi realitas juga tidak melihat pemahaman sebagai suatu yang esensial untuk menghasilkan perubahan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18852
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kamaruddin
"Penelitian ini berfokus pada kemampuan manusia secara individu maupun kelompok dalam mengkonstruksi realitas proses transformasi konflik Aceh pasca MoU Helsinki. Termasuk penelitian kualitatif dengan disain interpretatif yang menggunakan pendekatan paradigma konstruksionisme. Permasalahan utama adalah bagaimana realitas proses transformasi konflik dari perjuangan bersenjata menuju perjuangan politik kasus Gerakan Aceh Merdeka-GAM Pasca MoU di konstruksikan oleh informan, bagaimana komunikasi dibangun oleh para pihak dalam proses transformasi konflik Aceh serta bagaimana dan mengapa kendala- kendala mesti dapat di selesaikan.
Model operasional penelitian menggunakan perspektif komunikasi budaya terutama tentang konsep-konsep konstruksi realitas, interaksionis simbolik, proses dialektika, identitas, etnisitas dan resolusi-transformasi konflik. lnforman terdiri dari mantan GAM, korban konflik, BRA, intelektual/akademisi, peace builder dan tokoh masyarakat Aceh. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, partisipan observasi dan analisis dokumen sedangkan analisis dilakukan dengan merujuk pada standar dan pendapat para peneliti kualitatif dengan paradigma konstruksionisme- interpretive.
Analisis hasil wawancara, partisipan observasi dan analisis dokumen bahwa: Fase awal transformasi yang ditandai dengan pengalaman sejarah, dari kegagalan HDC, Gempa dan tsunami, hadimya IMC, lahir MoU Helsinki, proses decommissioning dan pembubaran sayap militer GAM dengan membentuk KPA serta penarikan TNI/Polisi non organik berhasil dilakukan. Lahirnya BRA sebagai wadah reintegrasi menimbulkan dan menyisakan berbagai permasalahan. UUPA suksesnya Pilkada dengan calon Independen, lahirnya partai lokal sebagai bagian dari road map to peace proses dan Pemilu legislatif secara demokratis dimenangkan partai lokal mantan GAM relatif mampu memberi ruang baru bagi sirkulasi kekuasaan sosial, budaya dan politik di Aceh.
Kendala proses transformasi; pemahaman sejarah keacehan masih kurang, mutual trust terus merosot di Aceh, implementasi MoU dan BRA-PKK setengah hati, kurangnya penerimaan mantan GAM oleh Militer, milisi dan sebaliknya, peran KPA yang berlebihan dalam masyarakat Aceh, keterbatasan pemerintah Irwandi-Nazar mengatasi budaya korupsi, kolusi dan nepotisme, perbedaan penafsiran self government, terhambatnya pembentukan KKR, isu ALA-ABAS serta peran peace builders relatif kurang, penerapan trust building. Dialektika realitas tersebut menjadi persoalan sosial, politik, budaya dan hukum.

This study is focused on the human ability, as individual or group, in constructing the reality of conflict transformation process in Aceh post MoU in Helsinki. This is qualitative study with interpretative design using an approach of constructionism paradigm. The main problem is how the reality of conflict transformation from armed-struggle to political struggle in case ofthe Aceh Freedom Movements (GAM) post MoU constructed by informant, how the communication is established by the person in charge in the process of conflict transformation in Aceh also how and why the obstacles should be solved.
The operational model of this study was using the perspective of cultural communication, especially regarding the concepts of reality construction, symbolic interactionism, dialectic process, identity, ethnicity, and resolution-transformation of the conflict. informants consist of former GAM members, the victims ofthe conflict, BRA, academician, peace builder, and prominent figures in Aceh’s community. The data collection was done by interview, observation of the participants, and document analysis; while the data analysis was done by referring to the standard and the opinion of the qualitative researchers.
The analysis of interview result, stated that the initial phase marked by the history experiences, the failure of HDC, earthquake and tsunami, the present of IMC, MoU Helsinki, decommissiomng process, the dissolution of GAM military wings by forming KPA, and the success of the pulling of non-organic TNI/Police. The establishment of BRA as an umbrella for the reintegration produces and leaves several problems. UUPA the success of Pilkada with independent candidates, emerging of local parties as a part of road map to peace process, and legislative general election which held democratically and won by local party that consist of former GAM'member is relatively be able to create a new space for the hegemony circulation in social, cultural, and political aspects in Aceh.
Obstacles of transformation process; the lack of understanding regarding to history of Aceh, the decline of mutual trust in Aceh, the implementation of MoU and BRA that is still half-hearted, lack of acceptance of fomtcr GAM members by the Indonesian military, military and vice versa, the over role of KPA in Aceh’s community, the limitedness of Irwandi Nazar’s govemment in overcoming KKN, the different opinion in translating the meaning of seygovemnrent, the impeded of the KKR formation, issue about ALA-ABAS, andthe lack of peace builders roles and the implementation of trust building as well. The dialectic of those realities has become a social, politics, cultural, and law problems.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T33952
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Isa Sulaiman
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
959.8 Sul a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>