Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 145210 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panjaitan, Wesly
"Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pemeliharaan) Program lnpres Bantuan Pembangunan Desa di Desa Tambun, Desa Jejakajaya dan Desa Sriamur Kecamatan Tambun, Kabupaten Dati II Bekasi serta faktor-faktor apa sebenarnya yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan program dimaksud.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dimana penulis mencoba mendeskripsikan fenomena untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan program Inpres Bantuan Pembangunan Desa di Kabupaten Dati II Bekasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan program lnpres Bantuan Pembangunan Desa di Kecamatan Tambun Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi, dapat dikemukakan sebagai berikut :
Bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan menunjukkan korelasi yang cukup kuat dari faktor-faktor yang disebutkan dalam kerangka pemikiran sebelumnya yaitu nyata pada tingkat prosentase 75%, hal ini terutama terlihat pada alasan-alasan masyarakat desa yang rasional yaitu kebutuhan akan lapangan kerja, ruang gerak berpartisipasi dalam pembangunan, perbaikan tempat pemukiman, peningkatan usaha ekonomi masyarakat desa.
Sementara tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pelaksanaan pengguliran Dana Inpres Bantuan Pembangunan Masyarakat Desa secara faktual responden yang memberikan jawaban "Aktif berpartisipasi dan "Kadang-kadang" berpartisipasi nyata pada tingkat prosentase 67,5%, sedangkan responden yang menjawab "Jarang Sekali" adalah 32,5%. Dengan demikian hal yang dapat diidentifikasikan dari pengaruh partisipasi masyarakat tersebut adalah kebutuhan akan lapangan kerja, faktor kesadaran masyarakat cukup tinggi, keserasian lingkungan hidup dan pemukiman, peluang berpartisipasi dalam pembangunan.
Adapun partisipasi masyarakat dalam proses pemeliharaan proyek-proyek dari Dana Inpres secara faktual menunjukkan ?Sering" berpartisipasi dan "Kadangkadang" berpartisipasi berada pada prosentase 65% yang berarti berkorelasi positif dengan faktor-faktor yang disebutkan sebelumnya, namun yang paling menonjol adalah kebutuhan lapangan kerja, kesadaran cukup tinggi dan lain-lain."
2000
T5472
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elfian Putra Ifadi
"Akibat program pembangunan bidang kelautan di masa lalu pelaksanaannya menunjukkan hasil yang kurang optimal dan cenderung tidak berkelanjutan (unsustainable), kehidupan perikanan rakyat tetap masih memprihatinkan. Untuk itu pemerintah senantiasa berusaha mengangkat derajat komunitas pesisir tersebut dengan berbagai program pembangunan.
Salah satu terobosan yang dilakukan adalah dengan meluncurkan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) pada tahun 2001. Program yang dibiayai dengan dana subsidi BBM tersebut, fokus utamanya adalah pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir berbasis sumber daya lokal serta pengembangan kapasitas kewirausahaan yang terorganisir secara baik. Tujuan program adalah tercapainya pendayagunaan sumber daya pesisir dan lautan secara lestari.
Penelitian ini bertujuan mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan masyarakat nelayan dengan dilaksanakannya Program PEMP tersebut di Kecamatan Koto Tangah Kota Padang. Penelitian ini pendekatannya kualitatif dengan dukungan data kuantitatif yang tidak diperlakukan secara statistik. Informan penelitian ditentukan dengan cara purposive sampling yakni sebanyak 20 orang; terdiri dari aparat pemerintah, pihak pengelola program, serta pemuka masyarakat. Sedangkan responden ditentukan dengan cara yang sama yaitu sebanyak 53 orang nelayan penerima manfaat. Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam (in depth interview) langsung dengan informan kemudian dilakukan observasi lapangan. Data kuantitatif dari nelayan pemanfaat dikumpulkan dengan menyebarkan kuesioner. Sedangkan data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen atau arsip. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis untuk kemudian dideskripsikan.
Hasil penelitian menemukan pelaksanaan Program PEMP telah meningkatkan pendapatan masyarakat nelayan. Meski masih ada kekurangan dalam pelaksanaan yaitu strategi pengelolaan kegiatan yang terlalu berorientasi hasil (out put) bukan pada proses kegiatan, akan tetapi telah cukup merubah pola nelayan mencari ikan di laut.
Sebelumnya mereka selalu dihadapkan pada masalah kekurangan alat (teknologi), tetapi sekarang nelayan memiliki alat tangkap yang dikelola berkelompok sesuai keinginan mereka. Dengan adanya alat tangkap yang lebih baik, walaupun operasionalnya masih relatif konvensional dan cenderung bersifat subsisten, tetapi 34 orang (64,15 persen) penerima manfaat (responden) menyatakan penghasilan mereka bertambah setiap bulan. Pengelolaan usaha dengan cara masih konvensional tersebut adalah akibat tidak diberikannya pelatihan oleh konsultan yang seharusnya dilakukan sebagaimana yang dikehendaki oleh program maupun langkah-langkah pemberdayaan masyarakat.
Terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi peningkatan pendapatan masyarakat nelayan. Pertama yakni karena pihak luar dalam hal ini aparat Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Padang serta aparat kecamatan dan kelurahan sangat berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan nelayan. Hal ini diakui oleh 24 orang (45,28 persen) responden. Termasuk 21 orang lagi (39,62 persen) responden yang menyatakan bahwa semua pihak termasuk aparat pemerintah terlibat aktif. Kedua; adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Diakui oleh 18 orang (33,96 persen) responden bahwa mereka mendapatkan pengetahuan dan keterampilan baru oleh pelaksanaan program. Ketiga; keikutsertaan dalam organisasi. Dengan dukungan terbiasanya nelayan pemanfaat ikut berorganisasi, maka akan memudahkan bagi pengelola mengorganisir usaha ekonomi produktif mereka. Sebanyak 45 orang (84,91 persen) responden ikut terlibat dalam kegiatan berbagai organisasi dengan berbagai posisi dan kader keaktifan. Keempat; karena pemberdayaan dimulai dari rumah tangga. Eksistensi rumah tangga sangat menentukan dalam pemberdayaan. Karena rumah tangga tidak terlepas dari berbagai tuntutan kebutuhan. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka penghasilan keluarga harus diperbaiki. Sebanyak 52 orang (98,11 persen) responden adalah kepala keluarga yang mempunyai tanggungan rata-rata enam orang setiap keluarga. Kelima, karena baiknya partisipasi. Sebanyak 37 orang (69,81 persen) responden menyatakan bahwa mereka selalu aktif mengikuti kegiatan. Keenam yaitu kerjasama, dimana sebanyak 49 orang (92,45) responden sangat kooperatif. Mereka bersedia membantu setiap kegiatan tanpa perlu diminta. Ketujuh yakni adanya kaderisasi yang ditandai dengan tanggung jawab pengurus kelompok sangat bisa diandalkan untuk memelihara keberlanjutan program, karena senantiasa memotivasi dan mengawasi kegiatan anggota. Sebanyak 10 orang (18,86 persen) responden dianggap bisa diandalkan untuk menjadi kader karena punya motivasi untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuannya kepada masyarakat.
Hasil penelitian merekomendasikan usulan, pertama; agar disusun program lanjutan oleh Pemerintah Daerah untuk kelanjutan Program PEMP tersebut agar lebih berhasil. Kedua, struktur dan mekanisme kegiatan organisasi LEPP-M3 harus dibenahi cara kerjanya. Ketiga, pemantauan dan pengawasan kegiatan KMP harus lebih optimal oleh Dinas Perikanan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10697
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhtar
"Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang Program Raksa Desa di Desa Jayamukti Kecamatan Cikarang Pusat Kabupaten Bekasi, yang bertujuan memahami upaya pemberdayaan masyarakat melalui program, manfaat program, dan kendala dalam implementasi program. Penelitian ini mempunyai arti penting, karena program dimaksud merupakan program baru yang digagas dan diluncurkan oleh pemerintah Propinsi Jawa Barat di era Otonomi Daerah secara luas berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tabun 1999, yang mulai dilaksanakan tahun 2003 dan direncanakan diberlakukan bagi seluruh desa dan kota di Propinsi Jawa Barat hingga tahun 2007. Sebagai program baru, dimungkinkan terjadi kekeliruan khususnya dalam implementasi yang merupakan tahap esensial dalam upaya pemberdayaan.
Untuk itu, hasil penelitan ini dapat berfungsi sebagai input bagi policy maker guna melakukan perbaikan implementasi program berikutnya. Pendekatan dan Janis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, yaitu informasi tentang pemahaman, pandangan, dan tanggapan para informan dilapangan yang menghasilkan data deskriptif, yakni gambaran nyata pelaksanaan program secara sistematis dan faktuaI. Data tersebut diperoleh melalui teknik wawancara mendalam dengan para informan, disamping studi dokumentasi, dan observasi. Penentuan informan di lakukan secara purposive sampling (non probability), yakni atas dasar penilaian bahwa para informan mengetahui secara balk pemasalahan yang sedang diteliti. Untuk itu, informan dalam penelitian ini adalah Ketua dan Anggota Pokmas; Ketua Satuan Pelaksana (Satlak) Desa, Sarjana Pendamping, unsur Pemuka Masyarakat, dari unsur 13adu.i Perwakilan Desa (BPD).
Sebagai alat analisis hasil penelitian lapangan, digunakan kerangka teori pemberdayaan untuk memahami program dalam meningkatkan kemampuan dan kemandirian komunitas sasaran, baik secara individu maupun kelompok dalam upaya memenuhi kebutuhan dan mengatasi masalah yang dihadapi. Konsep pemberdayaan juga digunakan untuk melihat bagaimana kelompok mampu memfasilitasi para anggota untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan, dan bagaimana masyarakat mengorganisir diri melalui kelembagaan Satlak Desa yang dikembangkan. Perhatian juga diarahkan pada keterlibatan masyarakat dalam pembentukan dan kegiatan kelompok serta dalam kelembagaan Satlak Desa untuk mengetahui proses pemberdayaan melalui implementasi program.
Hasil penelitian lapangan menunjukkan tidak terjadinya upaya pemberdayaan melalui Program Raksa Desa, karena tidak ada partisipasi dan kemandirian dari masyarakat khususnya komunitas sasaran yang rnerupakan prasyarat bagi upaya pemberdayaan. Hal itu terlihat dari sejak awal kegiatan (persiapan dan perencanaan), yang antara lain adalah kegiatan sosialisasi program melalui forum musyawarah desa, dimana komunitas sasaran tidak dilibatkan. Forum dimaksud hanya dihadiri oleh alit desa, yaitu unsur pemuka masyarakat, perangkat desa, dan unsur BPD, disamping tentunya pengurus lembaga Satlak Desa. Demikian halnya pada implementasi program, yaitu pelaksanaan pembangunan prasarana desa dan penyaluran modal bergulir kepada komunitas sasaran, serta pemantauan, pengawasan, dan evaluasi, masyarakat khususnya komunitas sasaran tidak terlibat secara aktif, dimana dalam konteks pemberdayaan, keterlibatan masyarakatlkomunitas sasaran merupakan elemen penting.
Hasil program memang telah dirasakan oleh masyarakat khususnya komunitas sasaran, baik pembangunan prasarana yang antara lain menambah kelancaran transportasi dan komunikasi antar warga, serta penyediaan air bersih bagi warga, maupun bantuan pinjaman modal bergulir yang antara lain untuk menambah modal usaha dan juga sebagai Modal awal usaha. Akan tetapi, unsur penting dalam upaya pemberdayaan, yaitu proses belajar sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan baik kebutuhan diri, keluarga, kelompok, dan masyarakat, maupun proses belajar memecahkan masalah tidak berlangsung. Kendala dalam implementasi program antara lain adalah kctidaktahuan di kalangan masyarakat sendiri dan kecenderungan prilaku aparat pemerintah yang masih bersifat paternalistik feodalistik (birokrasi tradisional).
Rekomendasi yang diajukan adalah: (a) perlu dilakukan kegiatan pelatihan dan pemantapan secara intensif bagi para pelaksana program mulai tingkat propinsi hingga tingkat lapangan (desa), dalam upaya peningkatan pemanaman mereka balk mengenai teknis operasional dan manajemen penyelenggaraan program maupun perspektif pembangunan berpusat pada manusia; (b) perlu dilakukan kegiatan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi oleh para pelaksana program mulai tingkat propinsi sampai tingkat lapangan secara profesional, dan yang tidak kalah penting adalah perlunya melibatkan komunitas sasaran dalam rangkaian kegiatan dimaksud sejak assesment hingga evaluasi; (c) perlu kecermatan penanggungjawab program dalam merancang program pemberdayaan secara profesional, dengan mempertimbangkan berbagai aspeknya, antara lain adalah ketersediaan dana dan kesiapan sumber daya manusia yang cakap, terampil, dan berdedikasi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T14102
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrinaldi
"Program Pembangunan Sarana Air Bersih dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PAB-PLP) yang dilaksanakan di Desa Pandam Gadang Timur Kecamatan Gunung Mas Kabupaten Lima Puluh Kota, merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kesehatan masyarakal melalui perubahan perilaku hidup bersih dan sehat. Program PAB-PLP dilaksanakan dengan pendekatan pembangunan yang bertumpu pada peran aktif masyarakat (community based management) yang bertujuan untuk menyiapkan masyarakat, melalui institusi pengelola program, agar mereka mampu mengeiola dan memelihara sarana yang telah dibangun sehingga tercapainya kelestarian dan pengembangan program PAB-PLP. Hal ini tidak akan terjadi dengan sendirinya tanpa adanya upaya pemberdayaan yang intensif dalam mempersiapkan masyarakat untuk menerima dan melestarikan program.
Pencrapan model pengembangan masyarakat merupakan salah satu intervensi pemerintah sebagai upaya untuk memberdayakan masyarakat agar dapat meningkatkan intsiatif (prakarsa) dan kemampuan (swadaya) masyarakat. Olch karena itu ruang lingkup tesis ini meliputi kebijakan program PAB-PLP yang diterapkan dengan model pengembangan masyarakat, proses penerapan program PAB-PLP, falctor-faktor yang menjadi penghambat dalam pemeliharaan dan pengembangan program PAB-PLP.
Untuk mengetahui hal tersebut, dilakukan penelitian yang bersifat kualitatif terhadap pelaksanaan program PAB-PLP. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan, wawancara secara mendalam dan observasi terhadap pihak-pihak yang terkait dalam proses pelaksanaan program PAB-PLP.
Dari hasil penelitian, diperoleh gambaran bahwa upaya pemberdayaan yang dilaksanakan dalam rangka mempersiapkan masyarakat untuk menerima program PAB-PLP mulai tahap persiapan sampai pasca proyek, belum mencapai hasil yang menggembirakan. Ketidakpahaman institusi dan warga masyarakat sejak awal mengakibatkan mereka kesulitan memasuki tahap selanjutnya sehingga partisipasi masyarakat hanya sampai tahap bekerja ke arah pcruhahan, belum pada tahap generalisasi dan stabilisasi perubahan serta terminasi relasi perubahan. Hal ini antara lain disebabkan : penjabaran kebijakan dari Pemerintah Kabupaten yang kurang tepat, kurangnya pemahaman petugas terhadap program sehingga penerapan strategi pemberdayaan lebih diarahkan pada masyarakat dari pada institusi pengelola program di tingkat desa, rendahnya kemampuan pengurus UPS untuk melanjutkan peran pemberdayaan kepada masyarakat setelah peran pendampingan petugas berakhir. dan nilai-nilai budaya masyarakat yang kurang mendukung.
Walaupun demikian, upaya-upaya yang telah dilakukan tersebut sangat berarti dalam merubah pandangan tentang pola pembangunan selama ini. Pembangunan yang dilaksanakan lebih ditekankan pada pendekatan yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Sehingga memandang masyarakat sebagai pelaku utama (subyek) pembangunan ketimbang hanya sebagai sasaran (obyek) dari pembangunan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T196
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Baginda P.
"Secara garis besar penelitian ini menjelaskan tentang pelaksanaan "Program Pemberdayaan Kelurahan", yang merupakan suatu program yang dilaksanakan di Kota Medan dan peranannya dalam peningkatan partisipasi masyarakat. Penelitian ini menjadi sangat penting mengingat bentuk pemerintahan terendah di Kota Medan mengalami perubahan yang selama ini menganut azas Sentralisasi berubah menjadi azas yang menganut Desentralisasi, yang di mulai seiring dengan pemberlakuan Otonomi Daerah pada tahun 2001.
Penelitian ini menggunakan metode Kualitatif yang menghasilkan data deskriptif yang diperoleh melalui studi pustaka dan wawancara dengan para informan yang ada di Kecamatan Medan Belawan yang dipilih secara purposive, sementara itu untuk mendukung data diatas, penelitian ini juga dilakukan dengan pengamatan (observasi), dan untuk lebih menjelaskan data yang ditemukan dari para informan.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pembinaan masyarakat yang merupakan salah satu kegiatan dalam pelaksanaan "Program Pemberdayaan Kelurahan", sangat berperan dalam peningkatan partisipasi masyarakat, tetapi dengan masih membutuhkan bantuan dari pemerintah kelurahan, sehingga pelaksanaan "Program Pemberdayaan Kelurahan" di Kecamatan Medan Belawan masih banyak tergantung kepada pemerintahan kelurahan. Tetapi, pada umumnya pelaksanaan kegiatan pembinaan masyarakat tersebut di Kecamatan Medan Belawan dinilai sangat berperan dalam peningkatan partisipasi masyarakat.
Pemberian wewenang yang lebih besar kepada pemerintahan kelurahan dalam penyelenggaraan pemerintahan yang lebih demokratis ini, dalam pelaksanaan "Program Pemberdayaan Kelurahan", belum sepenuhnya mampu terwujud. Hal ini disebabkan masih banyaknya dukungan Pemerintah Kota dalam setiap pelaksanaan kegiatan masyarakat dalam "Program Pemberdayaan Kelurahan", sehingga akhirnya keterlibatan masyarakat masih sangat tergantung kepada besarnya dukungan pemerintah. Kemudian, dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Kegiatan Pembinaan Masyarakat yang sangat berperan dalam peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan "Program Pemberdayaan Kelurahan" tersebut, dapat menunjukkan bahwa upaya yang sangat mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah dengan upaya tatap muka, upaya tatap muka ini sangat mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan "Program Pemberdayaan Kelurahan" di Kecamatan Medan Belawan.
Oleh sebab itu, kegiatan yang dilakukan oleh pemerintahan kecamatan dan pemerintahan kelurahan secara umum dalam meningkatkan partisipasi adalah melakukan Pembinaan Masyarakat dengan upaya tatap muka, peningkatan taraf kesehatan masyarakat dan peningkatan pendapatan ekonomi keluarga, yang kesemuanya sangat berguna dalam usaha peningkatan partisipasi masyarakat di Kecamatan Medan Belawan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T7730
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Anshar Mujahid
"Populasi masyarakat terasing di seluruh Indonesia sebesar 1,1 juta jiwa atau 214.488 kk (Depsos : 96/97). Masyarakat terasing sendiri, oleh Departemen Sosial R.I (1999: 2) diartikan sebagai "kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum mampu terlibat dalam jaringan pelayanan, baik sosial, ekonomi maupun politik". Kondisi kehidupan mereka sangat tertinggal dibandingkan masyarakat lain di sekitarnya, dalam seluruh aspek kehidupan. Upaya pemberadayaan masyarakat terasing bertujuan agar mereka menjadi setara dengan masyarakat di sekitarnya.
Namun, sebagaimana juga diakui oleh Departemen Sosial, bahwa hasilnya banyak yang mengalami kekurang berhasilan. Dengan kata lain program yang telah menghabiskan banyak sumber daya berupa biaya, waktu dan tenaga tidak banyak memberikan perubahan pada kehidupan warga masyarakat terasing. Untuk mengurangi tingkat kekurang berhasilan, pemberian pelayanan kepada masyarakat terasing diubah. Melalui Sistem Pemukiman Sosial, pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menggunakan Metoda Community Development. Dengan metoda ini, warga masyarakat terasing tidak lagi sebagai obyek, namun sebagai subyek dan mitra dalam pelaksanaan kegiatan.
Karena merupakan metoda yang tepat dalam upaya pemberdayaan masyarakat terasing, maka perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas penerapan metoda tersebut. Untuk tujuan tersebut penulis melakukan beberapa langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Melakukan studi literatur yang berhubungan dengan konsep masyarakat, masyarakat terasing, Pembangunan, Community Development.dan pemberdayaan.
  2. Membuat research design untuk menentukan metode penelitian yang akan digunakan Melakukan pengumpulan data dengan tehnik wawancara dan pengamatan langsung di lapangan.
  3. Responden yang dijadikan sumber data primer adalah kepala keluarga warga masyarakat terasing sebanyak 35 orang yang masing-masing mewakili keluarganya, dua orang petugas lapangan, satu orang pejabat Departemen Sosial tingkat propinsi dan satu orang pejabat Departemen Sosial tingkat pusat.
Setelah mengkaji semua informasi, baik yang diperoleh dari hasil kajian dokumentasi maupun wawancara dan pengamatan langsung di lapangan, diperoleh berbagai kesimpulan, di antaranya :
  1. Dilihat dari segi kuantitas, kapasitas pemberdayaan masyarakat terasing sangat kecil. Jumlah yang telah mendapatkan pelayanan selama 20 tahun, sejak tahun 1978 sampai dengan tahun 1998 adalah sebanyak 34.185 kepala keluarga dari populasi sebanyak 214.488 kepala keluarga, atau sebesar 16,41% atau 0,82% setiap tahun. Rendahnya kapasitas pemberdayaan masyarakat terasing tersebut terkait dengan visi pembangunan yang selama ini mengutamakan pertumbuhan dan memberikan perhatian yang kecil kepada pembangunan sosial. Pembangunan masyarakat terasing merupakan bagian dari pembangunan sektor kesejahteraan sosial yang merupakan bagian pembangunan sosial. Kecilnya perhatian terhadap pembangunan sektor sosial, menyebabkan alokasi anggaran untuk sektor inipun kecil.
  2. Dilihat dari segi kualitas, pelayanan yang telah diberikan selama ini juga belum mampu memberikan perubahan yang berarti, dalam pengertian kemajuan dan peningkatan mutu kehidupan warga masyarakat terasing.
  3. Dari informasi yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa upaya pemberdayaan masyarakat terasing ToBentong di Desa Bulo-Bulo, setelah memasuki tahun ke lima, juga belum memberikan perubahan yang berarti. Bahkan tingkat hunian rumah yang disediakan di pemukiman sangat rendah dan sebanyak 33 kepala keluarga menyatakan mengundurkan diri dari program setelah masa pemberian jaminan hidup selesai. Masa jaminan hidup lamanya 15 bulan di awal pelaksanaan program. Selain ke 33 kepala keluarga tersebut, 18 kepala keluarga lainnya tidak menetap di lokasi pemukiman karena rumahnya telah rusak total akibat terkena musibah angin kencang. Pada sisi lain, pengadaan sarana dengan biaya yang relatif besar tidak dapat dimanfaatkan oleh warga penghuni pemukiman, seperti jamban keluarga dan bak penampungan air bersih. Lokasi pemukiman yang ada di puncak-puncak perbukitan menyebabkan kesulitan memperoleh air bersih. Karena sumbersumber mata air adanya di sela-sela perbukitan. Dengan demikian terjadi "inefficiency dalam pembiayaan program disamping cermin bahwa dalam proses pelaksanaan program belum sepenuhnya mengakomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakat setempat.
  4. Perubahan yang terlihat adalah makin tingginya frekuensi dan intensitas interaksi masyarakat terasing dengan masyarakat dari desa-desa sekitarnya. Minat orang luar untuk datang ke desa Bulo-Bulo meningkat sejak tahap-tahap pelaksanaan program, karena melihat adanya kegiatan besar, yaitu pembukaan lahan dan pembangunan rumah pemukiman. Kunjungan orang luar semakin meningkat ketika mulai dibangun pasar tradisional dan pasar desa masuk ke dalam jaringan pasar antar desa yang bergiliran setiap lima hari sekali.
Bedasarkan beberapa kesimpulan tersebut, dalam tulisan ini juga diajukan beberapa saran, yakni :
  1. Masih besarnya populasi masyarakat terasing secara nasional dan kaitannya dengan hak mereka untuk mendapatkan pelayanan, mereka sebagai salah satu potensi pembangunan, maka upaya pemberdayaan masyarakat tetap perlu dilanjutkan.
  2. Agar penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat terasing selanjutnya menerapkan prinsip-prinsip Community Development secara lebih efektif, sehingga pencapaian tujuan dan perolehan hasil semaksimal mungkin.
  3. Mengingat bahwa salah satu faktor yang dapat mempercepat kemajuan suatu masyarakat adalah pendidikan, maka sebaiknya dalam setiap penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat terasing, kegiatan pendidikan formal setingkat SD dan SMP untuk anak usia sekolah dan non formal, seperti Kelompok Belajar dan pemberantasan buta huruf untuk orang dewasa, juga lebih diperhatikan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T4260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrizal
"Masyarakat Suku Terasing merupakan bagian dari tujuan pembangunan nasional seutuhnya, untuk itu mereka memerlukan pembinaan. Tujuan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui program PKSMT adalah untuk menghilangkan keberadaan masyarakat Suku Terasing baik secara geografis, sosial budaya dan sosial ekonomi, sehingga kesenjangan dalam aspek tersebut diatas dapat dihilangkan dari berbagai suku bangsa yang berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan utama dari program PKSMT adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat terasing.
Propinsi Riau masih menghadapi masalah cukup berat dalam membina masyarakat terasing. Masalah masyarakat terasing adalah kemiskinan. Disamping masalah kemiskinan, masalah tempat bermukim mereka yang sulit dijangkau, baik orbitasinya yang terpencar-pencar dan selalu berpindah-pindah maupun yang hidup mengembara di laut. Di Riau terdapat 26.728 jiwa (5,889 KK) masyarakat terasing di enam kabupaten yang menjadi bagian dari warga desa tertinggal yang miskin itu. Pembangunan yang berjalan selama ini lebih memprioritaskan ke sektor modern.
Sehingga masyarakat terasing semakin tergusur. Dan yang menjadi pemmasalahan apakah pemerintah dalam hal ini Departemen Sosial mampu untuk mengangkat mereka dari kemiskinan dan ketertinggalan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kehidupan Suku Laut yang telah melaksanakan program PKSMT, menjelaskan perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem sosial Suku Laut dan melihat tanggapan serta minat mereka terhadap program itu sendiri.
Kerangka teori untuk melihat fenomena yang ada di lokasi penelitian digunakan Teori Pertukaran (Exchange Theory) diantara lain George Homans dengan pendekatan perilaku terhadap pertukaran, John Thibaut dan Harold H. Kelly dengan pendekatan kelompok, Peter Blau melihat pertukaran dalam bentuk struktur sosial dan Levi Strauss pertukaran sosial dilihat dari sudut individualistik versus kolektivistik. Teori pertukaran sosial melihat fenomena yang ada dalam bentuk perilaku nyata, bukan proses-proses subyektif.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif, untuk menganalisa data, dan beberapa teknik pengumpulan data, seperti dokumentasi, pengamatan semi terlibat, wawancara dengan 20 orang warga Suku Laut binaan dan beberapa orang yang bukan warga binaan dan wawancara mendalam dengan beberapa informan seperti kepala desa, camat, kepala adat, pemuka masyarakat, aparat, instansi yang terkait dan petugas lapangan, semua data yang diperoleh baik tertulis, lisan, maupun berdasarkan semua simbol - simbol yang ada dalam masyarakat serta perilaku - perilaku nyata untuk dapat dideskripsikan dalam tulisan ini. Suku Laut yang menjadi sasaran penelitian adalah 67 KK.
Penelitian ini menunjukkan pelaksanaan program PKSMT dikatakan gagal karena tujuan utama program PKSMT adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat Suku Laut tidak terwujud, hal ini dilihat dari kondisi sosial ekonomi Suku Laut tersebut. Dan pembinaan yang dilakukan oleh Depsos justru ada kesan munculnya sifat ketergantungan masyarakat pada pemerintah. Pembinaan selama ini lebih dibina dalam bentuk "derma", tidak memberi kail tapi memberi ikan. Suku Laut bukan dijadikan subyek pembangunan, tetapi dijadikan "proyek" pembangunan dari berbagai instansi yang terkait. Kegagalan ditengah jalan dalam usaha budidaya tambak dan peternakan ayam bukan dari ketidaksiapan masyarakat untuk menerima program, tetapi kesalahan lebih dititikberatkan pada pelaksana program itu sendiri Depsos maupun instansi terkait lainnya.
Program-program PKSMT yang dilakukan yang berkaitan dengan usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Suku Laut dianggap tidak operasional dan tidak bermanfaat kalau boleh dikatakan program yang dianggap "Primadona" oleh Depsos adalah mubazir. Depsos dalam pelaksanaan program tidak adanya reward dan punishment (penghargaan dan hukuman) terhadap masyarakat Suku Laut yang mau melaksanakan dan yang tidak mau melaksanakan program. Begitu juga dengan Depsos mereka tidak ada sanksi, tidak ada insentif apakah mereka gagal atau berhasil dalam melaksanakan tugasnya. Dengan begitu mereka tidak memiliki beban moral terhadap program. Hal yang sama berlaku juga pada Kepala Desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang tidak bisa berbuat banyak kepada masyarakat binaan. Hampir dapat dikatakan bahwa aparat yang terlibat dalam pembinaan Suku Laut turut menikmati enaknya program. Tidak adanya pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan tugas membuat aparat pemerintah (Depsos) dan Suku Laut menjadikan program PKSMT sebagai "proyek" dengan istilah "sama-sama suka, sama-sama mau"."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T7160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kambuaya, Carlos Clief
"Kemiskinan yang dialami penduduk desa Katapang ditandai dengan rendahnya tingkat pendapatan, merosotnya daya beli masyarakat, bangkrutnya usaha kecil dan rumah tangga, rendahnya kualitas sumber daya manusia, buruknya sanitasi lingkungan, rawan gizi dan derajat kesehatan masyarakat yang rendah. Kompleksitas permasalahan tersebut diperparah lagi dengan krisis multidimensi yang menyebabkan angka pengangguran bertambah meningkat, banyak orang hilang pekerjaan karena di PHK, dan bertambahnya penduduk miskin baru.
Solusi untuk mengatasi kompleksitas permasalahan kemiskinan di atas, pemerintah meluncurkan kebijakan P2KP. Tidak seperti kebijakan penanggulangan kemiskinan sebelumnya dimana dominasi pemerintah masih nampak, maka dalam kebijakan P2KP, kegiatan penanggulangan sepenuhnya dilimpahkan kepada keluarga miskin yang tergabung dalam wadah KSM untuk melaksanakan sendiri dengan mendapat pemberdayaan dari LSM dan Perguruan Tinggi.
Strategi untuk mempelajari pemberdayaan yang dilakukan, dipakai pendekatan kualitatif yang bertujuan mendeskripsikan proses dan langkah-langkah pemberdayaan yang ditujukan kepada anggota KSM dan bagaimana keterlibatan penduduk miskin didalam rangkaian proses tersebut. Untuk membuat deskripsi tersebut, digunakan teknik wawancara mendalam dan pengamatan langsung untuk melihat proses pemberdayaan yang dilaksanakan. Hasil dari pemberdayaan penduduk miskin di desa Katapang dilakukan Konsultan Manajemen Wilayah (KMW) dari Universitas Winaya Mukti (Unwim), adalah :
- Proses pemberdayaan telah mengikuti langkah-langkah pengembangan masyarakat yaitu dimulai dengan pengorganisasian kelompok dan pemasaran sosial program, kemudian diikuti dengan fasilitasi penyusunan rencana dan usulan kegiatan, bantuan pendampingan dalam pelaksanaan kegiatan, memberikan pengawasan melalui monitoring dan evaluasi serta diakhiri dengan pemutusan hubungan (terminasi).
- Hasil yang dicapai dalam proses pemberdayaan sesungguhnya belum maksimal karena proses pendampingan, luasnya wilayah, pemantauan dan evaluasi,. dan dukungan dari penanggung jawab program yang belum optimal.
- Proses pemberdayaan meskipun belum maksimal, namun beberapa hasil positif yang dicapai adalah : (1) Anggota KSM telah memanfaatkan dana bantuan kredit secara bertanggung jawab untuk membuka usaha-usaha produktif yang dapat memberikan penghasilan dan pemenuhan kebutuhan hidup, (2) Anggota KSM telah berperan sebagai pelaku pasar yang aktif karena sudah tumbuh budaya berusaha, (3) Proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dari bawah mulai berkembang, (4) Kebiasaan bekerja dan berusaha sendiri berubah menjadi bekerja dan berusaha dalam kelompok.
- Dampak sampingan yang muncul akibat proses pemberdayaan yaitu terjadi perpecahan antara kepala desa dan pengurus BKM, serta munculnya hubungan kerja dalam organisasi KSM yang mengarah pada Patron - Klien.
- Faktor-faktor dari dalam yang menyebabkan perbedaan perkembangan antara KSM Bahrurchoir dan KSM Karya Usaha adalah : faktor permodalan, status usaha, faktor kepemimpinan ketua kelompok. Sedangkan eksternal adalah keterbatasan Faskel dan kurangnya pengawasan dan pembinaan dari penanggung jawab program."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11464
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhrurozi
"Pesantren merupakan institusi pendidikan yang berbasis agama, yang umumnya melayani masyarakat golongan menengah ke bawah yang ada di daerah pedesaan. Pesantren secara umum adalah organisasi lokal yang secara fungsional memiliki peran yang sangat berarti dalam pembangunan desa. Pondok pesantren memiliki kemampuan untuk terlibat dalam berbagai bidang pembangunan masyarakat dan pondok pesantren juga memiliki kepedulian terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar pondok pesantren, melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pesantren telah memasuki wilayah sosial secara lebih luas. Selain mengandung kekuatan resistensi terhadap modernisasi sebagaimana pada awal berdirinya dulu, pesantren telah melakukan peran aktif membangun masyarakat pada berbagai bidang pembangunan di pedesaan. Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pondok pesantren. Program tersebut adalah program pemberdayaan pengusaha kerupuk pasir oleh pondok pesantren Maslakul Huda, Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendeskripsikan tujuan dari penelitian ini yaitu menggambarkan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pondok pesantren Maslakul Huda dan melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan tersebut. Untuk memperoleh
informasi yang akurat mengenai pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pondok pesantren Maslakul Huda tersebut, maka digunakan teknik wawancara mendalam kepada informan. Informan dalam penelitian ini antara lain pimpinan pondok pesantren, pengurus BPPM, Tenaga Pemberdayaan Masyarakat, Camat Kecamatan Margoyoso, serta anggota kelompok pengusaha kerupuk pasir desa Kajen yang menerima bantuan modal usaha dari pondok pesantren. Dari hasil wawancara dan pembahasan diketahui bahwa kegiatan pondok pesantren Maslakul Huda dalam pemberdayaan pengusaha kerupuk pasir desa Kajen dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahapan tersebut antara lain tahap persiapan, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi. Tahap persiapan yang dilakukan antara lain terdiri dari pembentukan BPPM dan TPM dari unsur pondok pesantren, melakukan kegiatan FGD dan survey lapangan. Tahap perencanaan terdiri dari sosialisasi program dan pembentukan kelompok-kelompok. Tahap pelaksanaan terdiri dari penyusunan laporan simpanan pokok kelompok, menghitung besaran bantuan yang akan diberikan kepada masing-masing kelompok, menyalurkan bantuan kepada kelompok, memberikan penyuluhan dan konsultasi kepada kelompok-kelompok, melakukan pelatihan administrasi, serta mengadakan workshop mengenai usaha kelompok. Serta tahap evaluasi yang terdiri dari pengawasan lapangan dan penilaian kelompok yang dilakukan oleh TPM. Selain itu diketahui pula adanya faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat tersebut yaitu berupa faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendukung terdiri dari kedekatan hubungan antara pondok pesantren dan masyarakat yang menciptakan rasa kepercayaan yang tinggi antara pondok pesantren dengan pengusaha kerupuk pasir, pengaruh ketokohan dari Kyai, serta adanya dukungan dari berbagai pihak, baik dukungan yang bersifat moril maupun materiil. Faktor penghambat terdiri dari penolakan dari masyarakat dan pemerintah atas kegiatan sosial yang dilakukan oleh pondok pesantren, penolakan atas kebijakan yang diambil pondok pesantren untuk menerima bantuan dana kegiatan dari pihak asing, serta adanya kendala di dalam kelompok peminjam dalam mengembalikan pinjaman modal kepada pondok pesantren. Hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa rekomendasi yang antara lain: 1. Memaksimalkan faktor ketokohan kyai untuk menciptakan kepercayaan dan kepatuhan masyarakat. Di samping itu, perlu ditingkatkan peranan TPM dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap segala kebijakan dan program pemberdayaan yang disampaikan Kyai. 2. Memperketat pengawasan kelompok dengan melibatkan pengawasan internal di dalam kelompok usaha. 3. Meningkatkan pengetahuan kelompok tentang pemasaran dan pengemasan yang lebih menarik sehingga bernilai jual lebih tinggi dan lebih luas, yang dilakukan dengan cara bekerja sama dengan lembaga lain yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan.

Pesantren is an education institution based on religion; it is serving middle groups in rural community. Functionally, this local organization plays an important role in the rural development. It is capable of taking some role in community development program and be aware of increasing the local community welfare through the empowerment activities. Pesantren expanded their role to the wider social sphere. Beside containing the resistant power of modernization formerly, pesantren also has contribution in rural development level. This research tries to describe the implementation of community empowerment program by pesantren, that is Small Entrepreneur Empowerment Program by Pondok Pesantren Maslakul Huda at Kajen Village, Margoyoso District, The regency of Pati, Central Java. This research uses the qualitative methods to describe the research goals that are to describe the implementation of community empowerment program by pesantren Maslakul Huda and to find the significant factors that affect the implementation. The need of accurate information were fully filled with depth interview technique to the informants. These informants are head of pondok pesantren, BPPM?s activist, TPM?s activist, the district head of Margoyoso, and member of small entrepreneur group at Kajen village. By result of depth interview and analysis, it?s found that there are some stages in the implementation. The stages are preparation stage, planning stage, implementation stage, and evaluation stage. The preparation stage includes establishing the BPPM institution and TPM, FGD activities, and field surveys. The planning stage includes the socialization of the program and creating groups in community. The implementation stage includes formatting group?s assets, planning the donation for each group, distributing the donation for each groups, supervising and consultation, administration training, and conduct a workshop. The evaluation stage consists of field control and field analyses. Then the significant factors are mentioned in supporting factors and the obstacles. Supporting factors include the relationship between pondok pesantren and community, Kyai?s determination, and external support. The obstacles include the community and local government resistances to pesantren?s social activities, and groups? financial factors. The final results of this research defined some recommendations, which are: 1. To maximize the Kyai?s determination to establish good relationship with the community. Then, concerning TPM?s role in community to back up Kyai?s determination. 2. To tighten the group control by involving group internal supervisor. 3. To increase group?s capacity in marketing issues and packaging technique for highest and wider market, through the collaboration with other institutions."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19541
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhrurozi
"Pesantren merupakan institusi pendidikan yang berbasis agama, yang umumnya melayani masyarakat golongan menengah ke bawah yang ada di daerah pedesaan. Pesantren secara umum adalah organisasi lokal yang secara fungsional memiliki peran yang sangat berarti dalam pembangunan desa. Pondok pesantren memiliki kemampuan untuk terlibat dalam berbagai bidang pembangunan masyarakat dan pondok pesantren juga memiliki kepedulian terhadap upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar pondok pesantren, melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa pesantren telah memasuki wilayah sosial secara lebih luas. Selain mengandung kekuatan resistensi terhadap modernisasi sebagaimana pada awal berdirinya dulu, pesantren telah melakukan peran aktif membangun masyarakat pada berbagai bidang pembangunan di pedesaan. Penelitian ini mencoba untuk menggambarkan pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pondok pesantren. Program tersebut adalah program pemberdayaan pengusaha kerupuk pasir oleh pondok pesantren Maslakul Huda, Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk mendeskripsikan tujuan dari penelitian ini yaitu menggambarkan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pondok pesantren Maslakul Huda dan melihat faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan tersebut. Untuk memperoleh informasi yang akurat mengenai pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh pondok pesantren Maslakul Huda tersebut, maka digunakan teknik wawancara mendalam kepada informan. Informan dalam penelitian ini antara lain pimpinan pondok pesantren, pengurus BPPM, Tenaga Pemberdayaan Masyarakat, Camat Kecamatan Margoyoso, serta anggota kelompok pengusaha kerupuk pasir desa Kajen yang menerima bantuan modal usaha dari pondok pesantren. Dari hasil wawancara dan pembahasan diketahui bahwa kegiatan pondok pesantren Maslakul Huda dalam pemberdayaan pengusaha kerupuk pasir desa Kajen dilakukan dalam beberapa tahapan. Tahapan tersebut antara lain tahap persiapan, tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi. Tahap persiapan yang dilakukan antara lain terdiri dari pembentukan BPPM dan TPM dari unsur pondok pesantren, melakukan kegiatan FGD dan survey lapangan. Tahap perencanaan terdiri dari sosialisasi program dan pembentukan kelompok-kelompok. Tahap pelaksanaan terdiri dari penyusunan laporan simpanan pokok kelompok, menghitung besaran bantuan yang akan diberikan kepada masing-masing kelompok, menyalurkan bantuan kepada kelompok, memberikan penyuluhan dan konsultasi kepada kelompok-kelompok, melakukan pelatihan administrasi, serta mengadakan workshop mengenai usaha kelompok. Serta tahap evaluasi yang terdiri dari pengawasan lapangan dan penilaian kelompok yang dilakukan oleh TPM. Selain itu diketahui pula adanya faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat tersebut yaitu berupa faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendukung terdiri dari kedekatan hubungan antara pondok pesantren dan masyarakat yang menciptakan rasa kepercayaan yang tinggi antara pondok pesantren dengan pengusaha kerupuk pasir, pengaruh ketokohan dari Kyai, serta adanya dukungan dari berbagai pihak, baik dukungan yang bersifat moril maupun materiil. Faktor penghambat terdiri dari penolakan dari masyarakat dan pemerintah atas kegiatan sosial yang dilakukan oleh pondok pesantren, penolakan atas kebijakan yang diambil pondok pesantren untuk menerima bantuan dana kegiatan dari pihak asing, serta adanya kendala di dalam kelompok peminjam dalam mengembalikan pinjaman modal kepada pondok pesantren. Hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa rekomendasi yang antara lain: 1. Memaksimalkan faktor ketokohan kyai untuk menciptakan kepercayaan dan kepatuhan masyarakat. Di samping itu, perlu ditingkatkan peranan TPM dalam pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat, yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap segala kebijakan dan program pemberdayaan yang disampaikan Kyai. 2. Memperketat pengawasan kelompok dengan melibatkan pengawasan internal di dalam kelompok usaha. 3. Meningkatkan pengetahuan kelompok tentang pemasaran dan pengemasan yang lebih menarik sehingga bernilai jual lebih tinggi dan lebih luas, yang dilakukan dengan cara bekerja sama dengan lembaga lain yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan.

Pesantren is an education institution based on religion; it is serving middle groups in rural community. Functionally, this local organization plays an important role in the rural development. It is capable of taking some role in community development program and be aware of increasing the local community welfare through the empowerment activities. Pesantren expanded their role to the wider social sphere. Beside containing the resistant power of modernization formerly, pesantren also has contribution in rural development level. This research tries to describe the implementation of community empowerment program by pesantren, that is Small Entrepreneur Empowerment Program by Pondok Pesantren Maslakul Huda at Kajen Village, Margoyoso District, The regency of Pati, Central Java. This research uses the qualitative methods to describe the research goals that are to describe the implementation of community empowerment program by pesantren Maslakul Huda and to find the significant factors that affect the implementation. The need of accurate information were fully filled with depth interview technique to the informants. These informants are head of pondok pesantren, BPPM?s activist, TPM?s activist, the district head of Margoyoso, and member of small entrepreneur group at Kajen village. By result of depth interview and analysis, it?s found that there are some stages in the implementation. The stages are preparation stage, planning stage, implementation stage, and evaluation stage. The preparation stage includes establishing the BPPM institution and TPM, FGD activities, and field surveys. The planning stage includes the socialization of the program and creating groups in community. The implementation stage includes formatting group?s assets, planning the donation for each group, distributing the donation for each groups, supervising and consultation, administration training, and conduct a workshop. The evaluation stage consists of field control and field analyses. Then the significant factors are mentioned in supporting factors and the obstacles. Supporting factors include the relationship between pondok pesantren and community, Kyai?s determination, and external support. The obstacles include the community and local government resistances to pesantren?s social activities, and groups? financial factors. The final results of this research defined some recommendations, which are: 1. To maximize the Kyai?s determination to establish good relationship with the community. Then, concerning TPM?s role in community to back up Kyai?s determination. 2. To tighten the group control by involving group internal supervisor. 3. To increase group?s capacity in marketing issues and packaging technique for highest and wider market, through the collaboration with other institution."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19541
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>