Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125891 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wijaya Subekti
"Kebutuhan akan adanya instrumen lindung nilai (hedging instrument) telah mendorong para pelaku pasar untuk menggunakan instrumen keuangan derivatif sebagai alat lindung nilai. Perkembangan yang pesat dalam transaksi instrumen keuangan derivatif pada kenyataannya sering menimbulkan perbedaan penafsiran yang pada akhirnya menimbulkan sengketa antara Wajib Pajak dengan fiskus.
Di satu sisi, Wajib Pajak menggunakan instrumen keuangan derivatif dengan tujuan lindung nilai dan atau spekulasi. Disisi lain pajak digunakan sebagai salah satu alat untuk meningkatkan penerimaan negara. Dalam hal ini dibutuhkan adanya sinergi perumusan kebijakan perpajakan yang seksama atas penghasilan yang berasal dari transaksi instrumen keuangan derivatif. Perumusan dan penyusunan kebijakan perpajakan harus dapat mencapai hasil yang optimal, sehingga Wajib Pajak dapat menggunakan instrumen keuangan derivatif sesuai dengan tujuan Wajib Pajak, yaitu sebagai lindung nilai dan atau spekulasi. Pemerintah dapat juga memperoleh penerimaan pajak yang optimal.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode deskriptif analitis. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yang diperoleh melalui buku, laporan penelitian, peraturan, dan media masa lainnya serta mengumpulkan data secara langsung dari otoritas pajak, konsultan pajak dan Wajib Pajak.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa peraturan perpajakan yang tersedia sampai dengan bulan Desember 2000, belum dapat memberikan kepastian dan kejelasan tentang perlakuan pajak atas penghasilan yang berasal dari transaksi instrumen keuangan derivatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa para ahli instrumen keuangan derivatif dan atau ahli perpajakan lebih mempertimbangkan hakekat ekonomi dari transaksi instrumen keuangan derivatif. Demikian pula dengan Wajib Pajak pengguna instrumen keuangan derivatif. Sedangkan pihak fiskus lebih mempertimbangkan peningkatan penerimaan pajak.
Disarankan untuk segera dikaji dan disusun ketentuan perpajakan yang mengatur pengenaan pajak atas penghasilan dari transaksi instrumen keuangan derivatif secara menyeluruh dengan memperhatikan hakekat ekonomi dari transaksi instrumen keuangan derivatif sehingga Wajib Pajak dapat menggunakan instrumen keuangan derivatif sesuai dengan kebutuhannya dan negara akan menerima tambahan penerimaan pajak."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T 7472
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mangoting, Yenni
"Penggunaan mata uang asing memang cukup rentan terhadap risiko fluktuasi nilai tukar mata uang dan tingkat suku bunga. Untuk melindungi aktiva atau pasiva yang rentan terhadap perubahan nilai tukar mata uang dan tingkat suku bunga, Wajib Pajak dapat menggunakan instrumen keuangan derivatif Swap. Melalui instrumen keuangan derivatif Swap, risiko kerugian akibat perubahan-perubahan tersebut dapat dihindari atau diperkecil. Bahkan dengan lindung nilai (hedging), Wajib Pajak dapat menciptakan keuntungan melalui pergeseran risiko. Oleh karena itu, perlindungan nilai melalui penggunaan istrumen derivatif, khususnya Swap, merupakan fenomena menarik untuk menentukan pengenaan pajaknya.
Wajib Pajak dapat menggunakan Swap jenis interest rate swap atau currency swap. Interest rate swap merupakan transaksi pertukaran bunga. Selisih lebih pertukaran bunga Swap yang diterima (cash flow in) merupakan obyek pajak. Sedangkan currency swap merupakan transaksi pertukaran mata uang dengan denominasi yang berbeda. Selisih antara kurs pada saat pertukaran (spot rate at exchange rate) dengan kurs pada saat kontrak Swap berakhir (spot rate at inception) merupakan obyek pajak.
Karakterisasi penghasilan merupakan permasalahan yang timbul dalam transaksi Swap. Terdapat kecenderungan bahwa fiskus mengklasifikasikan penghasilan dari transaksi Swap sebagai penghasilan bunga, padahal transaksi Swap bukan transaksi pinjam meminjam. Berhubung transaksi Swap, merupakan kontrak jangka panjang, permasalahan lain yang timbul adalah saat pengakuan kuntungan atau kerugian yang dihasilkan melalui._transaksi Swap untuk kepentingan pengenaan pajaknya.
Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis dan menggunakan data sekunder. Melalui penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa faktor penentu untuk mengklasifikasikan penghasilan dari transaksi Swap adalah karakteristik atau sifat (nature) Wajib Pajak dan tujuan dilakukannya transaksi Swap, apakah untuk tujuan lindung nilai (hedging) atau untuk trading. Sedangkan tujuan dilakukannya transaksi Swap merupakan faktor penentu dalam menentukan metode pengakuan keuntungan dan kerugian dari transaksi Swap. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tidak tersedianya ketentuan perpajakan yang rinci dan comprehensive yang mengatur tentang pengenaan pajak atas transaksi Swap. Beberapa ketentuan perpajakan yang sudah ada, sebaiknya dikaji kembali karena terdapat pertakuan Pajak Penghasilan atas transaksi Swap yang kurang tepat apakah dianaiisa dengan menggunakan teori-teori yang ada."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12393
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siborutorop, Toga M. P.
"Serelah adanya krisis moneter pada tahun 1991 yang mana salah satu penyebabnya adalah kekurang hati-hatian dari banyak pemaahaan besar dalam mengelola keuangannya pada saat tersebut banyak peruqahaan mengambil pinjaman dalam valuta asing terutama USD, walaupun pendapatan yang diperoleh untuk membayar hutangnya tersebut dalam mata uang rupiah. Hal ini disebabkan oleh karena besarnya selisih tingkat bunga rupiah dengan tingkat bunga pinjaman valuta asing dan dilain pihak kurs rupiah terhadap mata uang asing sangatlah kuat.
Krisis ekonomi mengakibatkan perusahaan- perusahaan mengalami kesulitan dalam membayar hutangnya yang dalam valula asing tersebut, dan pada akhirnya mengakibatkan kebangkitan.
Belajar dari hal tersebut diatas, timbul kebutuhan akan instrument derivatif guna menutup resiko yang diakibatkan oleh perubahan kurs mata uang asing dan juga perubahan tingkat bunga. Pada saal ini banyak jenis-jenis derivatif yang digunakan oleh perbankan dan perusahaan-perusahaan lainnya dalam mengelola resikonya. lnstrument derivatif dirasakan semakin cepat variasi nya demikian juga jumlah transaksinya.
Dilain pihak salah satu tujuan ulama dari pajak adalah untuk meningkatkan penerimaan negara Untuk ini diperlukan peraturan perpajakan yang memberikan kepastian hukum, bersifat adil, tidak menimbulkan distorsi dalam perekonomian atau tidak menggangu arus modal masuk yang dibutuhkan hagi pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya juga haruslah ekonomis dalam hal administrasinya.
Penelitian ini dilakukan dengan cara studi kepustakaan yang diperoleh melalui buku, artikel penelitian. peraturan-peraluran perpajakan yang berlaku , Selain itu juga dilakukan pencarian informasi kepada pejabat dibidang perpajakan, konsulen pajak dan wajib pajak.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan belum adanya peraturan perpajakan yang komprehensif dalam hal derivalif. Hal ini disebabkan karena demikian majunya instrument derivatif, sehingga kebanyakan lebih melihat hakekat ekonominya dan menggunakan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku saja untuk memperhitungkan pajak atas transaksi derivatif.
Selain itu juga dari uraian dapat dilihat peraturan-peraturan yang dibuat terkadang lebih mementingkan penerimaan pajak dan kurang memperhatikan hakikat ekonomi dari derivatif itu sendiri.
Pada akhirnya disarankan untuk melakukan penelitian yang Iebih mendalam dan komprehensif untuk perpajakan atas transaksi derivalif yang mana melibatkan ahli-ahli dalam instrument derivatif seperti Bank Indonesia. Sehingga dapat diciptakan peraturan perpajakan yang dapat meningkaikan penerimaan negara dan dilain pihak hakekat ekonomi tetap diperhatikan sehingga tidak menggangu penumbuhan perekonomian.

Alier financial crisis in 1997, in which one of the causes is imprudence of big companies in managing their financial matter, many companies have taken loan in foreign currency whereas their income for paying their debt is in rupiah. This happen due to interest rate of rupiah higher than interest rate of foreign currency and also exchange rate of rupiah is relatively strong compare to other currency.
The economic crisis caused many companies face difficulty in paying their debt in foreign currency and finally resulted in bankruptcy.
Learning from this problem, there is a need of derivative instruments to mitigate risk offoreign exchange rate and interest rate. Currently there are many types of derivatives used by banks and other companies for risk management. Derivative instruments growth so fast both in types and amount of transactions.
On the other side, one of the main objectives of tax is increase the government revenue. Due to that, there is a need for tax regulation which give certainty in law, equality, and not distorting economic or incoming fund which is needed for economic growth and linally should be efficient in administrative matter.
This research was done through library study from books, articles and current tax regulations. In addition to that, searching of information was also done by interviewing tax officer, tax consultant and companies.
Result of the research shows that there are no comprehensive tax regulation for derivative. This is due to the advances of derivative instrument therefore mostly look at the economic substance and using accounting principle in calculating tax on derivative.
On the other hand, from the analysis it is found that in some taxes regulation that has been made occasionally put the importance ofgetting the tax revenue and less attention to the economic substance of derivative itsellf.
Finally, it suggests that a comprehensive research should be conducted for taxation on derivatives transaction which shall involve expetts in derivative instruments such the Central Bank. This will result in creating tax regulation that will increase govemment revenue and on the other side will as well put attention to the economic substance, so that will not distort the economic growth."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21493
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan Ridwan
"Tesis ini mengkaji Analisis Kebijakan Pajak Penghasilan atas Leasing di Indonesia, yaitu suatu kajian atas peraturan-peraturan yang ruang lingkupnya berhubungan dengan kebijakan Pajak Penghasilan atas kegiatan leasing di Indonesia. Analisis mencakup Undang-undang Pajak Penghasilan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia serta Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak.
Pokok permasalahan penelitian ini berkaitan dengan bagaimana sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia sehubungan dengan leasing dan bagaimana akibatnya atas sistem tersebut terhadap perusahaan leasing, serta bagaimana seyogyanya leasing diatur lebih lanjut agar supaya fiskus tidak dirugikan dan wajib pajak tidak dibebani pajak yang lebih tinggi karena leasing.
Metode penelitian dilakukan berdasarkan metode penelitian kualitatif dengan tipe penelitian deskritif analitis, yaitu menguraikan data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian mengadakan analisis untuk dapat ditarik kesimpulan dan memberikan sara-saran yang dianggap perlu.
Kebijakan perpajakan yang terkandung di dalam pengaturan tentang leasing khususnya mengenai kriteria apukah suatu leasing dikategorikan sebagai finance lease ataukah operating lease tidak sejalan dengan tingkatan hierarki peraturan perpajakan, dalam hal ini Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang peraturan pelaksanaan leasing tidak konsisten terhadap Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia yang mengatur pelaksanaan leasing. Demikian pula halnya dengan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tentang leasing belum memuat aturan pajak penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Dari hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa pasal 4 Keputusan Menteri Keungan Republik Indonesia Nomor 1169/KMK.04/1991 tentang leasing untuk dihapuskan karena tidak efisien dan tidak efektif karena terdapat dua positip list tentang pembagian jenis leasing. Selain itu disimpulkan pula bahwa ketentuan syarat adanya hubungan antara lessor dan lessee dihapus karena bertentangan dengan kriteria dasar leasing dengan hak opsi apabila jangka waktu leasing lebih pendek daripada yang telah diperjanjikan. Penulis menyarankan agar pemerintah segera memperbaiki aturan pelaksanaan leasing dengan menyesuaikan terhadap Undang-undang perpajakan yang terbaru."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12101
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henny Prihandayani
"Kegiatan berinvestasi adalah kegiatan yang mengatur hubungan antar manusia (muamalah), Salah satu produk investasi di pasar modal syariah yang saat ini dikembangkan adalah obligasi syariah. Obligasi syariah bukan merupakan utang berbunga, tetapi merupakan penyertaan dana yang didasarkan prinsip bagi hasil. Landasan transaksinya bukan utang piutang melainkan penyertaan atau investasi. Dalam bentuknya yang sederhana obligasi syariah diterbitkan oleh sebuah perusahaan sebagai pengelola dan dibeli oleh investor. Dana yang dihimpun dapat digunakan untuk pengembangan usaha lama atau pembangunan suatu unit baru yang benar-benar berbeda dari unit lama. Atas penyertaannya maka investor berhak mendapatkan nisbah keuntungan tertentu yang dihitung secara proporsional dan dibayarkan secara periodik Pernegang obligasi syariah (syariah bond holders) dapat mengalihkan (al hawalah) yaitu mekanisme pengalihan piutang dengan tanggungan bagi hasil kepada pihak lain dengan perjanjian revenue sharing, dengan mengeluarkan syariah bonds atas nama, berarti dapat dilakukan di pasar sekunder. Di Indonesia baru terdapat dua jenis obligasi syariah yaitu obligasi syariah mudharabah dan obligasi syariah ijarah.
Untuk menciptakan sistem perpajakan yang mendukung bagi para pelaku pasar obligasi maka harus dipegang teguh asas-asas pemungutan Pajak Penghasilan. Dalam tesis ini akan dibahas tentang dua asas pemungutan pajak yaitu asas kepastian dan asas keadilan.
Dasar hukum dalam pelaksanaan transaksi obligasi syariah di Indonesia baru berdasarkan fatwa dari Dewan Syariah Nasional, belum terdapat peraturan yang dibuat khusus untuk mengatur tentang obligsi syariah ini sehingga untuk pengenaan Pajak Penghasilan atas transaksi obligasi syariah masih mengacu pada Undang undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaan obligasi secara umum (konvensional). Undang-undang Pajak Penghasilan dan peraturan pelaksanaan obligasi ini tidak mengatur tentang premium obligasi, hakekat ekonomi dari premium adalah suatu jumlah di atas nominal yang pembeli bersedia bayar.
Penghasilan dengan jumlah yang sama (dari jenis penghasilan yang sama) namuii transaksi berbeda, yaitu penghasilan bagi hasil berjalan yang diterima atau diperoleh penjual obligasi dikenakan pajak dengan tarif yang berbeda. Untuk menjamin asas keadilan dalam pemungutan pajak seharusnya atas jumlah seluruh penghasilan yang memenuhi definisi penghasilan, apabila jumlahnya sama, dikenakan pajak dengan tarif yang sama, tanpa membedakan jenis - jenis penghasilan atau sumber penghasilan. Yang membedakan besarnya taril, adalah jumlah seluruh penghasilan atau jumlah seluruh tarn bahan kemampuan ekonomis, bukan perbedaan sumber penghasilan atau perbedaan jenis penghasilan (unequal treatment for the unequal). Hal tersebut dapat terpenuhi bila kita menggunakan global taxation dengan tarif progresif.
Kedua hat tersebut menunjukkan bahwa pengenaan pajak penghasilan atas transaksi obligasi syariah belum memenuhi asas kepastian ( certainty ). Adanya sistem pemungutan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan sistem pemungutan Pajak Penghasilan yang tidak secara global taxation tidak menjamin asas keadilan dalam pemungutan pajaknya. Selanjutnya, disarankan agar dilakukan perubahan ketentuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan yang mengatur mengenai obligasi sehingga sesuai dengan asas keadilan dalam pemungutan Pajak Penghasilan dan segera dikeluarkannya peraturan perpajakan khusus mengenai obligasi syariah sehingga memenuhi asas kepastian.

Investment is activity to arranging relation of human being (muamalah). One of product of investment in Islamic capital market which developing in this time is syariah bonds. Syariah bonds non representing interest bonds , but representing and also the fund based by a result sharing principle. Base of the transaction is non receivable and liability but join and investment. In the form of simple model, syariah bonds published by a company as organizer and bought by investor. Fund used to development the old effort or development the real new unit. Investor have rights For sharing holder ratio which certain advantage by proportional and paid periodic. Syariah bonds holders can transfer (al hawalah) by the mechanism of transfer of receivable with responsibility of sharing holder to other party with agreement of revenue sharing, released by syariah bonds on behalf of, meaning can be done in secondary market. In Indonesia newly there are two type of syariah bonds that is mudharabah bonds and ijarah bonds.
To create system of taxation which supporting to all items in market bonds must have to be holding a tax income principle. This thesis will be analyzing about two tax income principle of certainty and equality.
Legal fundament in execution of transaction of syariah bonds in Indonesia newly pursuant to religious advices from Council of Moslem law National, there not are regulation yet made special to arrange about syariah bond so that for imposition of income lax for transaction of syariah bonds still relate of Income Tax laws and regulation of general bonds. The income tax laws and regulation of general bonds do not arrange about premium bonds - economic essence from premium is a nominal above amount which the buyer ready pay.
Income with same amount (from same type of income) but the different transaction, is sharing income which accepted or obtained by seller of bonds imposed with different rate. To guarantee of equality principle in imposition ought to for all amount all income which fulfilling income definition, if it amount is of equal, imposed by lease with same rate, without differentiating type - type of income or production source. Differentiating the level of rate is amount of all income or addition of economic ability, non difference of source income or difference of income type unequal treatment for the unequal). The mentioned can be fulfilled when we used global taxation with progressive rate.
Both the things indicate that imposition of income tax for transaction of syariah bonds yet fulfilled certainty principle. Existence system for imposition of income tax having the final character and not globally taxation make not guarantee ground of equality principle. Hereinafter, suggested to be made a change a income tax regulation so that as according to equality principle and is immediately released the regulation tax of syariah bonds.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T17303
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Mansury
Tangerang: YP4, 1999
336.24 MAN p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sekti Widihartanto
"Perdagangan berjangka (futures trading) sebagai salah satu jenis transaksi derivatif semakin berkembang sejalan dengan meningkatnya kebutuhan untuk melakukan lindung-nilai terhadap sejumlah asset/komoditi di samping sebagai sarana investasi/spekulasi. Transaksi perdagangan berjangka komoditas (disingkat PBK) di Indonesia dimulai sejak Desember 2000. Hingga saat ini belum terdapat ketentuan per pajakan -khususnya Pajak Penghasilan- yang secara khusus mengatur mengenai aspek perpajakan dari transaksi (PBK) ini.
Tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis, yang bertujuan untuk mennberikan gambaran yang utuh mengenai transaksi PBK, industrinya dan perlakuan perpajakannya di Indonesia. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan transaksi PBK yaitu : PT. Bursa Berjangka Jakarta, Bappebti, Perusahaan Pialang dan otoritas pajak yaitu Direktorat Jenderal Pajak.
Pajak yang akan ditanggung oleh masyarakat Wajib Pajak idealnya adalah Pajak Penghasilan. Penghasilan yang nnerupakan obyek Pajak Penghasilan sedapat mungkin merujuk kepada konsep Penghasilan yang telah diterima umum, khususnya di kalangan ahli ekonomi perpajakan (fiscal economist) yaitu konsep penghasilan menurut Schanz-Haig-Simon atau SHS Concept of Income yang telah dimodifikasi vier jadi realized income. Hal ini agar secara praktis pernungutan pajak dapat lebih mudah dilaksanakan (easy of the administration). Undang-Undang Nomor- 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang 17 Tahun 2000 nnengadopsi pengertian Penghasilan tersebut sebagaimana tercantum pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh : "... setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak (realized or recognized income), baik yang berasal dart Indonesia maupun dari loan Indonesia (world-wide income), yang dapat dipakai untuk konsuinsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun (substance over form principle)... ".
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak BBJ, Bappebti, Pialang maupun Ditjen Pajak diketahui bahwa hingga saat belum ada ketentuan yang secara khusus mengatur mengenai pengenaan pajak penghasilan dari transaksi PBK dan berbagai aspek yang terkait dengan transaksi PBK Dengan demikian berarti ketentuan yang bersifat umum yang berlaku. Berdasarkan hasil penelitian diketahui pula bahwa penghasilan dari transaksi PBK dihitung dan diakui secara harian (marked-to-market daily) melalui suatu mekanisme yang disebut penyelesaian kas harian (daily cash settlement) yaitu dengan mendebet atau mengkredit rekening nasabah pada rekening Pialang di bank tertentu yang telah dipisahkan (segregated account).
Berdasarkan analisis diketahui bahwa transaksi PBK seperti halnya transaksi derivatife pada umumnya, memiliki keunikan dan komplekritas yang berbeda. Keunikan tersebut terletak pada hal-hal : (a) tujuan dari transaksi PBK yaitu sebagai sarana lindung nilai (hedging) dan sebagai sarana investasi/spekulasi; (b) kapan dan bagaimana keuntungan atau kerugian dari transaksi PBK dihitung (measured) dan diakui (recognized) yang berarti masalah metode pengakuan penghasilan; (c) biaya terkait dengan transaksi PBK; (d) kapan dan bagaimana pajak penghasilan dari transaksi PBK dikenakan, yang berarti masalah penentuan saat terutang pajak dan teknis pemungutannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa : (1) transaksi PBK sebagai sarana lindung nilai dan spekulasi memungkinkan pelakunya untuk memperoleh keuntungan atau kerugian, (2) keuntungan (kerugian) dihitung dan diakui setiap Irani dan ditambahkan kepada atau dikurangkan dari rekening investor,(3) kriteria pengakuan penghasilan sebaiknya dikaitkan dengan tujuan bertransaksi PBK, yaitu untuk tujuan hedging (dengan matching principles) dan untuk tujuan speculative (dengan realization principles), (4) terdapat sejumlah biaya yang harus dikeluarkan investor dalam rangka mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan, (5) transaksi PBK di Indonesia memiliki potensi untuk berkembang di masa datang mengingat masih terbatasnya jumlah komoditas yang diperdagangkan dan belum mennasyarakatnya pengetahuan mengenai transaksi berjangka yang tercermin masih relatif kecilnya jumlah volume transaksi.
Mengingat keunikan transaksi perdagangan berjangka komoditas maka disarankan untuk disusun suatu ketentuan yang paling sedikit mengatur mengenai : (a) hakekat atau tujuan dari transaksi PBK serta cara mernbedakannya, yaitu dengan test jumlah transaksi (the number of transaction test) dan test organisasi (the organization test); (b) kapan dan bagaimana keuntungan atau kerugian dari transaksi PBK dihitung (measured) dan diakui (recognized) yang berarti masalah kriteria pengakuan penghasilan; (c) biaya terkait dengan transaksi PBK yang dapat dikurangkan dari penghasilan; (d) kapan dan bagaimana pajak penghasilan dari transaksi PBK dikenakan, yang berarti masalah penentuan saat terutang pajak dan teknis pemungutannya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12305
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dasto Ledyanto
"Salah satu kemanfaatan utama dari transaksi kontrak berjangka komoditi adalah sebagai sarana lindung nilai dari kemungkinan kerugian investasi. Sarana lindung nilai seperti ini merupakan salah satu jenis transaksi derivative. Pada akhir dari transaksi ini (saat jatuh tempo atau terjadi cash settlement) nasabah (investor) akan dihadapkan pada dua hal yakni memperoleh keuntungan atau menderita kerugian. Apabila dikelola dengan baik, transaksi kontrak berjangka komoditi ini sangat potensial sebagai sarana lindung nilai dalam rangka memperoleh penghasilan dan mengurangi atau menekan kerugian. Dari sisi keberadaannya di Indonesia yang masih relatif baru, transaksi kontrak berjangka komoditi dapat menjadi suatu altematif investasi. Oleh karena itu, apabila hal ini digali lebih mendalam khususnya yang berkenaan dengan pengenaan PPh atas penghasilan dari transaksi kontrak berjangka komoditi, bukan tidak mungkin akan memberikan kontribusi yang besar pada penerimaan negara.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan transaksi kontrak berjangka komoditi dapat melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik, sehingga dapat memberikan kontribusi pada peningkatan penerimaan negara. Pokok permasalahan tersebut apabila diperinci dalam bentuk kalimat-kalimat pertanyaan meliputi hal-hal sebagai berikut: (i) bagaimana konsep dan hakekat ekonomi dari transaksi kontrak berjangka komoditi?, (ii) bagaimana pendapat para ahli berkenaan dengan pajak atas penghasilan yang diperoleh dari transaksi kontrak berjangka komoditi?, (iii) bagaimana perlakuan PPh atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari kontrak berjangka komoditi yang saat ini berlaku di Indonesia?, dan (iv) bagaimana pengaturan PPh yang seharusnya diterapkan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dari kontrak berjangka komoditi di Indonesia ?.
Untuk membantu proses pengkajian dan pembahasan masalah tersebut dilakukan penelitian secara deskriptif analitis, yakni mendeskripsikan terlebih dahulu semua informasi atau data yang diperoleh dari penelitian. Selanjutnya atas semua data tersebut dilakukan analisis yang dikaitkan dengan ketentuan PPh yang berlaku saat ini dan korelasinya dengan sistem pemajakan yang memenuhi persyaratan keadilan vertikal dan horizontal. Yang pada akhirnya dari analisis data tersebut dapat dirumuskan suatu kesimpulan atau memberikan saran-saran. Sebagai pendukung analisis dilakukan penelitian lapangan melalui wawancara mendalam dengan pengambil keputusan dalam bidang perpajakan yakni pejabat di Direktorat Jenderal Pajak, dengan penyelenggara bursa yakni pihak Bursa Berjangka Jakarta, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan pelaku bursa seperti pialang anggot'a bursa. Dalam transaksi kontrak berjangka komoditi digunakan mark to market basis dalam arti setiap hari dilakukan penghitungan berdasarkan settlement price untuk hari yang bersangkutan sehingga diketahui keuntungan atau kerugian nasabah. Meskipun demikian penghitungan keuntungan atau kerugian bersih dilakukan pada saat jatuh tempo atau terdapat cash settlement. Yang menjadi objek PPh adalah penghasilan (keuntungan) yang telah terealisasi. Namun, secara teoritis untuk pengakuan atas keuntungan atau kerugian ini menggunakan matching basis yakni apabila kerugian underlying jatuh dalam tahun buku yang berbeda dengan tahun buku diperolehnya keuntungan dari derivative yang dimaksudkan sebagai lindung nilai bagi underlying yang bersangkutan maka keuntungan derivative tersebut harus dibukukan dalam tahun buku yang sama dengan dideritanya kerugian underlying.
Berkenaan dengan penggunaan mark to market basis dalam kontrak berjangka pada dasamya tidak menjadi suatu masalah karena memang hal itu merupakan habitual practice dari transaksi tersebut. Sedangkan berkaitan dengan pengakuan ada tidaknya suatu penghasilan dari kontrak berjangka komoditi ini tetap mendasarkan pada realization principles. Oleh karena itu pengakuan adanya penghasilan atau kerugian pada kontrak berjangka komoditi dihitung setelah terselesaikannya suatu transaksi kontrak berjangka komoditi yakni pada saat jatuh tempo transaksi dan pada saat terjadi penyelesaian secara tunai (cash settlement). Maksud penghitungan dalam hal ini adalah penghitungan bersih setelah terlebih dahulu memperhitungkan keuntungan atau kerugian hariannya dari transaksi kontrak berjangka komoditi yang bersangkutan.
Pada akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang bagaimana pengenaan PPh yang seyogyanya diterapkan atas penghasilan dari kontrak berjangka komoditi yakni berpedoman pada 4 hal pokok. Mengingat sampai dengan saat ini Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi yang melingkupi tata laksana perpajakan belum merumuskan peraturan perpajakannya maka menurut hemat penulis 4 hal pokok tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merumuskan peraturan perpajakannya. Hal ini tidak lain dimaksudkan agar segera dapat tercipta suatu kepastian hukum atas perlakuan perpajakan dari keuntungan atau kerugian transaksi kontrak berjangka komoditi."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12134
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarto
"Selaras dengan perputaran mesin perekonomian. perkembangan perekonomian suatu negara sangat berpengaruh terhadap ragam atau jenis penghasilan. Satu diantaranya berasal dari harta yang dialihkan, yang dapat menghasilkan keuntungan berupa capital gains. Sebagai suatu jenis penghasilan, capital gains telah lama dikenakan pajak di Indonesia, yaitu sejak berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 (Ord. PPs 1925). Dari penelitian yang dilakukan oleh Richard A Musgrave dan Peggy B Musgrave menunjukkan bahwa perlakuan pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh dari capital gains sangat kontroversial. Untuk itu penyusun hendak mengkaji sejauh mana kontroversi pengenaan Pajak Penghasilan atas capital gains di Indonesia.
Dari penelusuran yang penyusun lakukan, terdapat tiga masalah pokok yaitu (1) apakah masih perlu memberikan penegasan mengenai pengertian capital gains dalam peraturan perpajakan Indonesia, (2) apakah pengenaan pajak atas capital gains di Indonesia sudah sesuai dengan prinsip pemungulan pajak. dan (3) apakah pengenaan pajak yang berbeda-beda terhadap capital gains memberi pengaruh yang cukup berarti terhadap transaksi atas harta.
Untuk menjawab masalah pokok tersebut, penyusun melakukan penelitian melalui kajian pustaka terhadap berbagai literatur baik dalam bentuk buku, artikel dan lainnya yang behubungan dengan teori pajak pada umumnya dan pajak atas capital gains pada khususnya. Penyusun juga melakukan pengkajian berdasarkan peraturan di berbagai negara mengenai pengenaan pajak atas capital gains.
Dari pengkajian, analisis dan pembahasan yang penyusun lakukan diperoleh kesimpulan bahwa (1) masih perlu memberikan penegasan pengertian capital-gains dalam peraturan perpajakan Indonesia. Juga capital assets perlu dihedakan sebagai short-term capital assets dan long-term capital assets; (2) pengenaan dan pemungutan pajak atas capital gains di Indonesia secara teoretis memenuhi prinsip perpajakan yang baik, dan (3) adanya pengenan pajak yang berbeda-beda terhadap capital gains ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan bagi transaksi yang berhubungan dengan ohjek capital gains yaitu harta (capital assets).
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, penyusun memberikan saran (1) agar pengertian capital gains diperluas di dalam UU Pajak Penghasilan sehingga mencakup keuntungan yang diperoleh dari pengalihan atau pertukaran asset dan juga melakukan pembedaan atas jenis harta antara short-term capital assets dan long-term capital assets; dan (2) pengenaan pajak capital gains sehaiknya dibedakan dengan penghasilan biasa lainnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T7478
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1995
S22955
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>