Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138642 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dzuriyatun Toyibah
"Sejak reformasi 1998 sebagaimana dinyatakan Faultier (2001) tengah terjadi peningkatan fungsi masyarakat sipil. Dalam penelitian ini penulis melihat terjadinya peningkatan fungsi masyarakat sipil sampai ke tingkat lokal seperti yang terjadi di Cipari, Cilacap, Jawa Tengah. Bagi sebagian aktifis masyarakat sipil hal itu dianggap penting karena ujung tombak kedaulatan rakyat sebenarnya ada di tingkat masyarakat desa. Tanpa perubahan di tingkat masyarakat akar rumput maka perubahan yang terjadi di tingkat nasional tidak akan memberi pengaruh.
Sebagai ide yang diambil dari proses sejarah masyarakat Eropa, ide masyarakat sipil dalam kehidupan di masyarakat lokal nampak dalam organisasi-organisasi keagamaan yang fungsinya masih sangat terbatas. Penulis menggunakan definisi masyarakat sipil yang menurut Hikam (1999: 3) terwujud dalam berbagai organisasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara. Dengan definisi tersebut masyarakat sipil terdiri dari lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial keagamaan, paguyuban, dan juga kelompok kepentingan di Cipari.
Organisasi masyarakat sipil di lokasi penelitian yang mendapat tempat di masyarakat, seperti NU, masih lebih berorientasi kepada masalah-masalah agama dalam arti sempit (transendental} semata. Program dan kegiatannya tidak diorientasikan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata bagi anggotanya. Melainkan hanya berfungsi untuk menjaga tradisi yang telah mapan.
Program pemberdayaan masyarakat sipil dalam proses otonomi daerah merupakan upaya yang dilakukan oleh PP Lakpesdam NU. Program ini bertujuan agar organisasi masyarakat sipil (CSO) di tingkat lokal bisa memiliki fungsi sebagai organisasi masyarakat sipil yang sebenarnya. Pelaksanaannya dimulai dengan lokakarya desa di lima desa. Masing-masing lokakarya menghasilkan program desa dan forum warga. Forum warga sebenarnya tidak direncanakan untuk menjadi organisasi melainkan forum yang sifatnya informal sebagai wahana diskusi, sharing gagasan dan lain-lain, Dengan demikian Forum warga ini kemudian menjadi forum bagi organisasi masyarakat sipil di Cipari. Karena program masih dalam tahap awaI sehingga mereka masih perlu didampingi oleh fasilitator. Untuk memudahkan kerja fasilitator dibentuk forum warga kecamatan.
Adapun program utama dari Forum Warga adalah sosialisasi tentang wacana perubahan kepada masyarakat melalui beberapa cara. Pertama, dialog publik dan dialog mengenai masalah-masalah yang ada di desa dan kecamatan Cipari. Kedua, dengar pendapat (public hearing) dengan lembaga pemerintah (Bupati, DPRD, Camat, Desa dan BPD) dan lembaga penyedia jasa (public service) seperti PLN, KUA. Ketiga, mengadakan dialog dan seminar tentang otonomi desa dalam kebijakan otonomi daerah, tugas dan wewenang BPD. Keempat, menerbitkan bulletin Eling. Forum warga juga sedang merencanakan melaksanakan polling tentang pandangan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.
Dengan program pemberdayaan masyarakat sipil dalam proses otonomi daerah telah menciptakan ruang-ruang diskusi bagi kelompok-kelompok yang berbeda di wilayah kecamatan Cipari. Misalnya antara NU, Muhammadiyah, Katolik, dan lain-lain. Hubungan antara NU dan Muhammadiyah; hubungan Muslim dan Non Muslim yang selama ini agak tegang, diharapkan akan bisa mencair.
Program pemberdayaan masyarakat sipil dalam proses otonomi daerah, juga telah memberi kontribusi mengubah orientasi berorganisasi sebagai ritualitas menjaga tradisi, menjadi berorganisasi sebagai wahana pemecahan alternatif masalah-masalah bersama. Termasuk di dalamnya membawa masalah kehidupan masyarakat agar mendapatkan perhatian dalam kebijakan publik melalui partisipasi dalam pembentukan kepemerintahan yang baik (good governance). Karena perubahan paradigma pemerintahan di tingkat lokal (Cipari) selama ini, baru dimaknai sebagai sebuah keharusan karena datang dari instruksi pemerintah pusat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T9169
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riza Primahendra
"As a discourse, the existence of civil society can be traced ever since four centuries ago, and it is still under process up to this day. In recent perspective, civil society is idealised as a precondition for the establishment of democracy and equal distribution of developmental benefits. It is clear that civil society is no panacea. Civil society has its own roles, primarily in initiating processes of catalyst of dialogue, balancing interest, picking up signals, and initiating collective action. These four roles can support the process of democratization and moving towards a better development; and therefore the empowerment of civil society is seen as a strategic action."
2003
CJCE-1-1-April2003-1
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Depok: Piramedia, 2010
340.115 MEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Surya Culla
"Hubungan antara Walhi-YLBHI dan negara tidaklah sesederhana di permukaan. Konstalasi politik, interaksi antar-aktor individu dan institusi telah ?menyembunyikan rahasia? di balik dinamika itu yang mungkin tidak bisa dipahami hanya dengan semata melihatnya sebagai konflik atau hubungan dikhotomis antara masyarakat sipil dan niagara. Interaksi yang berlangsung justru ternyata saling terkait, dibangun secara rasional di antara pelaku yang terlibat, tidak hanya antara aktor ornop dan pemerintah, juga sektor internasional dan masyarakat sendiri dalam hubungan kompleks itu. Konteks itulah yang mempengaruhi tumbuhnya Walhi dan YLBHI sebagai masyarakat sipil.
Berdasarkan konteks tersebut, sludi ini mengungkapkan beberapa temuan teoritis. Pertama, berkaitan dengan teori hubungan antara masyarakat sipil dengan ncgara. Menurut teori yang ada, masyarakat sipil dikonstruksi sebagai: (1) organisasi yang dibentuk oleh masyarakat di Iuar sektor negara", dan (2) ?domainnya terpisah dari atau di luar domain niagara. " Konstruksi ini temyata tidak sesuai dengan konteks kasus Walhi dan YLBHI, sehingga perlu dimodifikasi bahwa (1) ?masyarakat sipil merupakan kelompok yang dibentuk masyarakat sendiri atau masyarakat bersama negara dan (2) "domainnya terbentuk dan berkembang karena interaksinya dengan domain negara".
Dengan modifikasi tersebut, studi ini melihat bahwa ?niagara dapat berperan positif dalam pembentukan masyarakat sipil", sedangkan teori yang ada cenderung mengkonstruksi ?peranan negara tidak sebagai faktor positif dan menentukan dalam pembentukam masyarakat sipil."
Kedua, berkaitan dengan karakteristik masyarakat sipil, meliputi: autonomy, self supporting dan say generating Hasil studi ini mengungkapkan berdasarkan kasus spesifik Walhi dan YLBHI, karakteristik aranomy tampakrnya dapat diwujudkan, berbeda dcngan seff supporting dan self generating. Namun demikian, berkembangnya kriteria-kriteria tersebut tampaknya dipengaruhi oleh konstalasi interaksi antara; (1) unsur-unsur negara; (2) lembaga-lembaga intemasional; dan (3) masyarakat sendiri.
Dengan konstruksi tersebut, maka hasil studi ini menambahkan sesuatu yang baru pada teori masyarakat sipil yang ada, bahwa ?(1) kebijakan politik akomodatif negara, (2) keterlibatan Iembaga-Iembaga internasional, dan (3) partisipasi masyarakat sendiri dari segi sumber daya - merupakan faktor faktor yang menentukan bagi proses terwujudnya karakteristik autonomy, self supparting, dan self generating masyarakat sipil?. Temuan ini memodifikasi teori masyarakat sipil yang ada yang cenderung "mengkonstruksi perwujudan ketiga karakteristik maayarakar sipil tersebut berdasarkan pada penekanan kemampuan potensial entitas masyarakat sipil sendiri, tidak melihat urgensi dukungan peranan sektor negara, internasional, dan masyarakat sendiri". "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
D816
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chandhoke, Neera
Yogyakarta: Wacana, 2001
306.2 CHA b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Mudatsir Mandan
"Studi tesis ini berjudul Kelas Menengah Kritis: Studi tentang Posisi Ornop (Organisasi Non Pemerintah) terhadap Negara dalam Perspektif Masyarakat Sipil (Civil Society), bertujuan merekonstruksikan suatu bangunan teoritik tentang kelas menengah serta identifikasi pengelompokan kelas tersebut. Fokus bahasannya pada kelas menengah kritis yang bersumber dari kalangan ornop, serta hubungannya dengan negara. Sedangkan topik yang dibahas, tentang kelas menengah secara umum, menurut pandangan teori klasik maupun kontemporer tentang negara dan masyarakat sipil; dan organisasi non pemerintah.
Studi menggunakan metode kualitatif dengan cara penelusuran riset kepustakaan (library research) sebagai data sekunder dan data dari BPS. Jumlah buku yang digunakan sebagai referensi sebanyak 89, dengan 3 buku utamanya. Pokok permasalahan yang diangkat pada intinya berkaitan dengan posisi masyarakat yang lemah di hadapan negara yang sangat kuat, terutama pada masa rezim orde baru. Dalam posisi seperti itu ornop (organisasi non pemerintah), berposisi sebagai pengimbang terhadap dominasi negara. Ornop 'dikatagorikan sebagai penggerak demokrasi, yang mengarah pada terwujudnya masyarakat sipil.
Dari studi ini didapatkan tiga kesimpulan utama, yaitu:
1. Kerangka analisis Weberian tentang kelas, yang menekankan pada pendekatan pluralistic approach dalam rangka diferensiasi sosial, dipandang lebih cocok sebagai alat analisis guna memahami munculnya kelas menengah Indonesia. Pandangan Marxian tentang kelas lebih bersifat simplistis deterministik dan bersifat uni demensional sehingga tidak cocok untuk analisis kelas di Indonesia.
2. Kemunculan kelas menengah Indonesia berlangsung secara lambat dan dalarn jangka waktu yang lama, dimulai sejak jarnan penj aj ahan Belanda. Sedangkan keberadaannya dapat diidentifikasi melalui kepentingan sosial, ekonomi, politik maupun ideologis. Sikap politik kelas menengah cenderung sangat beragam, tetapi dapat didikotomikan menjadi kelas menengah kooperatif dependen (jumlahnya cukup besar) dan kelas menengah kritis independen terhadap negara (jumlahnya relatif kecil). Kelas menengah kritis banyak berasal dari kalangan ornop.
3. Keberadaan kelas menengah kritis,mengindikasikan adanya suatu kelompok yang lebih otonom dari pemerintah serta merupakan elemen yang penting dari ideologi alternatif guna mencari format baru yang lebih demokratis menuju masyarakat sipil yang kuat. Kelas menengah kritis mengambil posisi berhadapan dengan negara, menjadi kekuatan kritis sebagai pengimbang dari idelogi pembangunanisme pemerintah; kekuatan kritis sebagai penekan atas hegemoni negara terhadap masyarakat sipil; dan kekuatan kritis sebagai kontrol sosial atas pelaksanaan pembangunan negara.
Studi merekomendasikan dilakukannya suatu model penelitian yang lebih konperhensip tentang kelas menengah kritis hubungannya dengan perubahan sosial yang sedang terjadi di Indonesia. Rekomendasi ini didasarkan atas adanya dugaan yang kuat bahwa: (1) Kelompok-kelompok independen yang kritis terhadap negara pada masa orde baru, terutama dari kalangan ornop, mempunyai peranan yang signifikan terhadap terjadinya proses reformas; (2) Arus reformasi yang mengarah pada percepatan proses demokratisasi menuju masyarakat sipil, akan terus bergulir dan mengakibatkan terjadinya perubahan mendasar di Indonesia; (3) Dengan demikian akan terjadi suatu pengelompokan atau tatanan sosial yang baru yang diakibatkan oleh perubahan mendasar yang terus didorong oleh arus kekuatan kekuatan pro-demokrasi."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T4254
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luhur Budianda
"Salah satu objek wisata yang ada di Kota Padang adalah objek wisata Pantai Air Manis. Dari tahun ke tahun, jumlah wisatawan yang berkunjung ke objek wisata ini terus meningkat. Peningkatan kunjungan wisatawan ini membawa konsekuensi terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendukung yang memadai.
Namun pada kenyataannya, pesatnya perkembangan sarana pendukung pariwisata tidak diikuti dengan peningkatan kualitas objek dan daya tarik wisata, seperti kebersihan, perawatan dan pemeliharaan objek, atraksi wisata serta industri kerajinannya. Seringkali pembangunan dan penataan suatu objek wisata oleh pemerintah akhimya terlantar karena kurangnya pemeliharaan dan perawatan. Begitu juga dengan atraksi wisata dan kerajinan cenderamata yang kurang mempunyai daya jual dan daya saing.
Untuk mengatasi masalah tersebut pertu digalang dan ditingkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata. Dalam artian mengikut sertakan masyarakat dalam proses dan usaha pengembangan pariwisata, sehingga rasa memiliki dan tanggung jawab tumbuh pada masyarakat terhadap objek wisata yang ada di daerahnya. Dengan rasa memiliki dan tanggung jawab ini, maka masyarakat akan ikut merawat dan memelihara kelestarian objek wisata tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitis. Data dikumpulkan dengan menggunakan teknik wawancara yang mendalam, kuesioner dan pengamatan di lapangan. Kuesioner diberikan kepada masyarakat, dan wawancara dilakukan terhadap pejabat pemerintah daerah yang terkait dan tokoh-tokoh masyarakat. Data yang terkumpul dianalisis secarp kualitatif dan kuantitatif.
Kesimpulan yang diperoleh bahwa dalam pelaksanaan pengembangan pariwisata di Kelurahan Air Manis, peranan pemerintah daerah masih sangat dominan. Kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan lebih banyak ditentukan dari atas (top down), dan masyarakat hanyalah sebagai penerima hasil-hasil pembangunan, serta tidak memberi peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Pada hakekatnya masyarakat di Kelurahan Air Manis Kecamatan Padang Selatan Kota Padang, mau dan mampu (dalam batas-batas tertentu) untuk berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata_ Namun pada kenyataannya, partisipasi masyarakat tersebut masih jauh dari yang diharapkan atau masih rendah, terutama dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Sedangkan dalam proses pemeliharaan hasil-hasil pembangunan pariwisata, partisipasi masyarakat sudah cukup tinggi. Dan dari 7 (tujuh) faktor yang mempengaruhi, ada 3 (tiga) faktor yang dominan menyebabkan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata di Kelurahan Air Manis, yaitu faktor tidak adanya kesempatan untuk berpartisipasi, motivasi dan komunikasi. Sedangkan faktor-faktor yang lainnya yaitu, faktor pendidikan, penginterprestasian yang dangkal terhadap agama, tersedianya kesempatan kerja yang lebih baik di luar pedesaan dan faktor kepemimpinan merupakan faktor yang turut memberikan dukungan positif terhadap partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut disarankan untuk diadakan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui bentuk dan pola partisipasi masyarakat yang mampu menciptakan dan mendukung pengembangan pariwisata, sehingga kualitas objek wisata semakin meningkat dan lebih baik dari sekarang ini. Kepada pihak pemerintah khususnya pemerintah daerah agar dalam pengembangan pariwisata mengikut sertakan masyarakat sekitarnya karena keberhasilan, kenyamanan dan keindahan objek wisata sangat bergantung pada masyarakat di sekitamya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T 970
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Suryadi
"Studi ini bertujuan untuk meneliti permasalahan pokok, yakni eksistensi dan perkembangan Petisi 50 sebagai masyarakat madani dalam politik di Indonesia. Ruang lingkup penelitian dibatasi tahun 1980 - 1998 (era Orde Baru), tepatnya sejak kelahiran Petisi 50 (5 Mei 1980) hingga runtuhnya kekuasaan Soeharto (21 Mei 1998).
Dua pertanyaan utama yang hendak dijawab dalam tesis ini: (1) bagaimana pengaruh politik negara Orde Baru terhadap eksistensi dan perkembangan Petisi 50 sebagai masyarakat madani; dan (1) mengapa Petisi 50 marnpu menunjukkan diri sebagai masyarakat madani yang mandiri?
Dalam membahas pokok permasalahan tersebut, maka dirumuskan titik perhatian pada hubungan variabel multivariat, yaitu antara variabel pengaruh dan variabel terpengaruh. Ada pun variabel pengaruh adalah negara Orde Baru dan kekuatan internal Petisi 50; sedangkan variabel terpengaruh adalah Petisi 50 sebagai masyarakat madani.
Kerangka teoritis yang digunakan adalah konsep masyarakat madani (civil society). Sehubungan konsep tersebut, sebenarnya terdapat sejumlah sudut pandang. Salah satu diantaranya yang digunakan dalam studi adalah perspektif yang melihat masyarakat madani sebagai kelompok-kelompok sosial dan politik yang muncul berdasarkan inisitatif dari masyarakat, dengan ciri utamanya memiliki kemandirian (otonomi) terhadap negara.
Jenis penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah sepenuhnya bersifat kualitatif; dengan mendasarkan diri pada data yang dikumpulkan melalui wawancara dan studi kepustakaan. Wawancara dilakukan untuk mendapatkan informasi dad tokoh-tokoh pelaku Petisi 50 sebagai sumber data primer, melalui prosedur wawancara tidak berstruktur atau pertanyaan terbuka. Sedangkan studi kepustakaan mengandalkan data dari sumber-sumber berupa buku, majalah, surat kabar, maupun dokumen-dokumen tertulis lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan pembuktian teoritis dan kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, kelompok Petisi 50 dalam eksistensi dan perkembangannya memenuhi kategori secara teoritis untuk dapat disebut sebagai masyarakat madani dengan ciri-ciri yang ditampilkan antara lain: (1) otonomi terhadap pengaruh kekuasaan negara; (2) sifat kesukarelaan dan keswadayaan sebagai kelompok politik; (3) dimilikinya kebebasan berkumpul dan berpendapat; (4) aktivitasnya yang mencerminkan kesesuaian dengan faktor 1, 2, dan 3; dan (5) adanya pluralisme dalam hal spektrum sosial dan politik dalam realitas internalnya. Kesimpulan analisa tersebut diperoleh melalui fakta-fakta yang terungkap dalam melihat hubungan antara Petisi 50 dengan negara Circle Baru dan dinamika internal Petisi 50 sebagai masyarakat madani.
Kedua, perilaku politik negara Orde Baru yang otoriter, represif dan restriktif tidak mempengaruhi eksistensi dan perkembangan Petisi 50 sebagai masyarakat madani. Petisi 50 tetap mampu menunjukkan sikap kritis dan otonominya sebagai masyarakat madani, meskipun negara Orde Baru dengan berbagai cara berupaya menghambat dan menutup ruang publik kelompok ini. Terbukti, Petisi 50 tetap aktif mengadakan pertemuan, menyampaikan protes dan kritik melalui produk produk tertulis mereka; sejak kelompok ini lahir tahun 1980 hingga Iengser-nya Presiders Soeharto tahun 1998.
Ketiga, Petisi 50 mampu mempertahankan eksistensinya sebagai masyarakat madani yang mandiri, disebabkan pengaruh realitas faktor eksternal dan internalnya. Dilihat dari faktor eksternal, dalam konteks hubungannya dengan negara Orde Baru, Petisi 50 lebih banyak mengandalkan aktivitas melalui produk tertulis yang disalurkan ke lembaga-lembaga formal (terutama DPR), sehingga negara Orde Baru tidak memiliki alasan untuk menghambat pertumbuhannya dengan tuduhan sebagai gerakan makar atau inkonstitusional. Strategi ini juga efektif; mengingat sifat negara Orde Baru yang otoriter. Dilihat dari faktor internal, para pelaku Petisi 50 relatif memiliki kemampuan finansial (ekonomi) yang memadai, moralitas (prinsip) individual yang konsisten, dan prestise di mata masyarakat dan pemerintah, sehingga mampu bertahan hidup sebagai kelompok yang mandiri. Namun demikian, dibanding faktor eksternal, kemandirian itu lebih banyak dipengaruhi faktor internalnya."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"ABSTRAK
Studi untuk mempelajari hubungan antara orang Kristen dan Islam di Indonesia
penting sekali dilakukan karena di Indonesia akhir-akhir ini banyak terjadi konflik
yang melibatkan kedua agama. Penelitian ini dimaksudkan untuk: (1) mengetahui
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi hubungan antara orang Kristen dan orang
Islam, (2) memberikan sumbangan terhadap teori tentang hubungan antar kelompok
dalam masyarakat sipil, (3) memberikan rekomendasi kepada pemerintah, pemimpin
agama dan umat beragama agar memiliki hubungan yang semakin membaik, dan (4)
memberikan rekomendasi bagi penguatan masyarakat sipil. Lokasi penelitian yang
dipilih yaitu Kota Bandung dan Kota Sukabumi karena kedua kota ini relatif kurang
mengalami konflik agama, kota Bandung mewakili kota yang besar sedangkan
Sukabumi mewakili kota kecil (desa).
Variabel dependen dari penelitian ini yaitu: Perilaku Inklusif, Sikap Inklusif
dan trust terhadap orang dari agama lain. Sedangkan variabel independen
dikelompokkan ke dalam tiga tingkat yaitu: (1) identitas dan interaksi sehari-hari
yang termasuk dalam tingkat mikro, (2) interaksi asosiasional yang mewakili tingkat
meso, dan (3) pengaruh negara (state) yang merupakan tingkat makro. Untuk
mengukur variabel perlu dibuat alat ukur berupaya kuesioner. Survei pendahuluan
dilakukan di Kota Bogor terhadap 31 orang responden untuk melakukan uji
reliabilitas dari alat ukur yang akan digunakan. Selain itu juga dilakukan juga uji
validitas terhadap instrumen yang akan digunakan. Instrumen yang telah diuji
validitas maupun reliabilitas dipakai untuk melakukan wawancara terhadap 149
orang di Sukabumi dan 147 orang di Bandung. Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara multi stage sampling. Data dianalisis dengan menggunakan path
analysis, Mann Whitney dan korelasi Pearson.
Dari hasil pengolahan data, didapatkan beberapa temuan sebagai berikut: (1)
Orang Kristen sebagai kelompok minoritas di kedua kota yang diteliti, lebih
berperilaku inldusif dibandingkan dengan orang Islam. Hal ini seturut dengan teori
Blau yang mengatakan bahwa semakin besar ukuran suatu kelompok maka semakin
keeil kemungkinan anggota kelompok tersebut berhubungan dengan kelompok lain.
(2) Di kota kecil (Sukabumi), semakin tinggi perilaku inldusif seseorang maka
semakin tinggi sikap inklusif maupun tingkat trust-terhadap-agama-lain; namun
demikian hal ini tidak berlaku di kota besar seperti Bandung. Hal ini sejalan dengan
teori Varshney yang menyatakan bahwa di desa (atau kota kecil) cara yang efektif
untuk meningkatkan hubungan yaitu melalui interaksi sehari-hari. (3) Di Kota besar,
seorang yang aktif di organisasi non-agama akan mempunyai trust-terhadap-agama-lain yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak. Hal ini pun sesuai dengan
teori Varshney yang mengatakan bahwa di kota besar interaksi sehari-hari tidaklah
efektif untuk meningkatkan hubungan, dan cara yang efektif yaitu interaksi
asosiasional. (4) Di kota besar (seperti Bandung) anggota dari kelompok minoritas
(seperti Kristen) akan kurang menonjolkan identitas kekristenannya dan lebih
menonjolkan identitas yang lain. Kenyataan di Bandung ini sesuai dengan pendapat
Stryker yang mengatakan bahwa individu akan cenderung untuk lebih menonjolkan
identitas snsial yang sama dengan yang dimiliki oleh mayolitas orang dalam
masyarakat tersebut. (5) Di Kota besa: (seperti Bandung) seorang yang memiliki
identitas yang kuat akan lebih inklusif dibandingkan dengan yang lain. Namun hal
ini tidak berlaku di kota kecil seperti Sukabumi. (6) Untuk orang Islam, semakin
tinggi mobilitas seseorang rnaka sernakin tinggi juga perilaku maupun sikap
inklusifnya, namun hal ini tidaklah berlaku untuk orang Kristen. Kenyataan ini
sesuai dengan teori Blau yang rnengatakan bahwa bahwa mobilitas meningkatkan
kemungkinan untuk terjadinya kontak antar kelompok, sebab orang-orang yang
punya mobilitas tinggi akan cenderung untuk membawa kenalan lama dan kenalan
baru bersama-sama. (7) Berlawanan dengan pendapat orang pada umumnya, ternyata
orang-orang Muhammaddiah di Kota Sukabumi dan Bandung lebih memiliki trust-
terhadap-agama-lain dibandingkan dengan orang Islam lainnya termasuk NU.
Selanjutnya didapati bahwa dalam hal keagamaan, kiai dan ustad adalah agen-
sosialisasi yang dominan bagi orang-orang NU; sedangkan untuk orang
Muhammadiah yaitu orang tua dan guru sekolah.
Untuk peranan negara didapatkan bahwa masyarakat merasa sudah cukup
rnendapat perlindungan pernerintah dalam hubungan antar agama, namun pemerintah
dinilai kurang memfasilitasi hubungan antar agama dan dianggap tidak adil terhadap
kelompok minoritas.
Dari hasil penelitian ini, ada beberapa saran dan rekomendasi yang
disampaikan, antara lain: (1) Di kota besar, setiap umat beragama dianjurkan
meningkatkan kegiatan asosiasional dengan bergabung dengan organisasi-organisasi
non agama baik yang formal maupun yang informal. Hal ini akan bisa meningkatkan
hubungan antar kelompok beragama dan penguatan masyarakat sipil. (2) Untuk
menjaga supaya masyarakat sipil tetap bebas dari negara, maka tokoh-tokoh ormas
(termasuk partai) yang sudah menjabat di pemerintahan harus berhenti dari
jabatannya di ormas dan bukan hanya sekedar non-aktif. (3) Pemerintah perlu
melakukan affirmative action secara vertikal dengan menolong yang miskin atau pun
yang lemah. Jangan affirmative action dilakukan secara horisontal. Ini berarti
pemerintah harus menolong yang perlu ditolong tanpa melihat apa agama atau pun
sukunya. (4) KTP (Kartu Tanda Penduduk) leblh baik tidak mencantumkan idenlitas
seseorang, terutama identitas agamanya karena kelnmpok minoritas umumnya tidak
merasa aman jika identitas minoritasnya diketahui. Lagi pula informasi ini bisa
disalah-gunakan untuk melakukan tindakan yang diskriminatif."
2006
D803
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitria Ramadhanti
"Penelitian ini melihat strategi advokasi masyarakat sipil dalam mendorong revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Penelitian ini menganalisis kasus dan fenomena strategi masyarakat sipil dengan teori Policy Advocacy Organization Gen dan Wright (2013). Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan sumber data primer dari wawancara dan pengolahan data sekunder. Penelitian ini menunjukkan strategi advokasi yang dilakukan oleh masyarakat sipil meliputi taktik-taktik dengan membangun koalisi, melobi pembuat kebijakan, dan melakukan kampanye informasi. Upaya strategi advokasi yang dilakukan masyarakat sipil bergerak dengan sistematis dan terstruktur meskipun pada hasil akhirnya tidak semua tuntutan masyarakat sipil dapat berhasil dipenuhi. Penelitian ini mengidentifikasi bahwa sumber daya koalisi masyarakat sipil dalam melakukan advokasi kebijakan tidak terlalu kuat untuk dapat memperoleh akomodasi tuntutan secara menyeluruh. Taktik yang dilakukan dalam strategi-strategi masyarakat sipil kurang dilakukan secara maksimal untuk mencapai kemaksimalan tujuan koalisi masyarakat sipil.

This study examines civil society advocacy strategies in the pursuit of a revision of the Information and Electronic Transactions Act. It examines cases and events of civil society strategy using the theory of Policy Advocacy Organization by Gen and Wright (2013). Utilizing primary data sources from interviews and subsequent data processing, qualitative research methods are applied. This study demonstrates that civil society employs lobbying strategies that involve coalition building, persuading lawmakers, and information campaigns. The advocacy approach of civil society is methodical and planned, despite the fact that not all of its requests are ultimately met. This study shows that the civil society coalition's policy advocacy resources are insufficient to secure a thorough accommodation of claims. In order to optimize the goals of the civil society coalition, fewer methods are used in civil society strategies."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>