Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59128 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ahmad Zaini
"Sejak Mei 1998, bangsa Indonesia mengalami perubahan politik yang biasa dikenal dengan sebutan reformasi. Reformasi, tentu saja dikaitkan dengan usaha untuk melakukan perubahan menuju sistem politik yang demokratis, baik nasional maupun lokal. Tentu saja perubahan-perubahan yang terjadi akan membawa implikasi yang sangat luas terhadap kehidupan politik nasional. Salah satu yang paling menonjol adalah perubahan sistem kepartaian, dari sistem tiga partai menjadi sistem banyak partai. Kemenangan PDI Perjuangan pada pemilihan umum 1999 di kab. Serang, menarik untuk dikaji tentang variabel-variabel yang menyebabkan partai Islam kurang mendapat respon positif dari pemilih muslim.
Fenomena tersebut dirumuskan dalam bentuk pertanyaan: bagaimana pandangan masyarakat terhadap hubungan agama dan politik, bagaimana pandangan masyarakat tentang pelaksanaan pemilihan umum 1999, dan mengapa partai politik Islam kurang mendapat dukungan suara pada pemilihan umum 1999 di kabupaten Serang.
Tesis ini membatasi masalah di sekitar pelaksanaan Pemilihan Umum 1999. Penelitian ini berlokasi di kabupaten Serang, dengan sampel empat kecamatan, yaitu kecamatan Petir, Cikeusal, Pamarayan, dan Cikande. Sedangkan penentuan responden digunakan teknik sampling, yaitu area random sampling. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan didukung oleh teori-teori kepustakaan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi pustaka, angket, wawancara, observasi, sedangkan analisis data menggunakan pendekatan kualitatif.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa pemilihan umum 1999 dianggap sebagai jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia saat ini. Meskipun masih diliputi oleh berbagai kekurangan, masalah, dan penyimpangan dalam pelaksanaannya, pemilihan umum 1999 dinilai oleh banyak pihak lebih demokratis dan memenuhi syarat sebagai free and fair election.
Kemenangan PDI Perjuangan pada pemilihan umum 1999 menunjukkan bahwa penggunaan isu-isu agama untuk dimanipulasi bagi kepentingan politik sudah tidak mempan lagi. Hasil ini membuktikan bahwa PDI Perjuangan justru mendapat dukungan yang signifikan dari umat Islam sebagai pemilih mayoritas di kabupaten Serang."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juri Ardiantoro
"Penelitian ini secara umum berusaha menggambarkan dan menganalisis konteks perubahan politik Indonesia, khususnya pemilu yang diselenggarakan tahun 1999. Secara khusus penelitian ini menganalisis hubungan-hubungan dinamik dalam Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 1999, yang menyangkut unsur-unsur negara dengan aktor-aktor dan struktur-struktur politik lain dalam penyelenggaraan pemilu di era transisi.
Penelitian mencakup empat isu utama yang tercermin dalam tujuan penelitian, yakni: (1) Pemilu'99 dalam konteks transisi politik Indonesia; (2) kelembagaan penyelenggara Pemilu di Indonesia, khususnya KPU Pemilu 1999; (3) bekerjanya unsur-unsur negara dalam struktur kelembagaan dan kinerja KPU Pemilu 1999; dan (4) peranan politik demokratik KPU'99 dalam meletakan landasan yang kokoh bagi pembaharuan (reformasi) kelembagaan politik di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendasarkan pada paradigma konstruktivisme. Sedangkan Iandasan teoritiknya menggunakan teori dialektika agensi-struktur dalam teori strukturasi Anthony Giddens. Dan, metode pengumpulan data yang digunakan adalah mengkombinasikan metode wawancara mendalam, studi dokumentasi dan observasi.
Penelitian ini berhasil mengajukan dun kesimpulan utama, yaitu kesimpulan praktik politik dan teoretik. Kesimpulan praktik secara umum menggambarkan bahwa perubahan politik (menuju demokrasi) selalu menghasilkan polarisasi kekuatan-kekuatan politik, baik di tingkat negara maupun di akar rumput (grass roots). Pada konteks yang lebih lanjut, perubahan ini tentu saja menyulut terjadinya ketegangan, konflik, dan tarik menarik kepentingan antara aktor-aktor politik yang bermain.
Pada lingkup yang lebih mikro di KPU, polarisasi politik tidak saja bersumber dari latar belakang ideologi, kultur dan sikap politik masa Ialu aktor-aktor tersebut. Oleh karena di era transisi politik ini terjadi ketidakpastian mengenai apa yang akan terbentuk dan terlembagakan, maka, polarisasi kekuatan politik jug bersumber dad usaha-usaha memperebutkan peluang sekaligus mengukuhkan pengaruhnya pads konstruksi politik yang akan terbentuk nantinya. Cara yang ditempuh antara lain terlibat dalam mempengaruhi pembuatan dan implementasi segala perangkat aturan. Karena, peraturan-peraturan yang akan muncul akan sangat menentukkan sumber sumber mana yang secara sah boleh dikerahkan ke arena individual dan politik, serta pelaku-pelaku mana yang diperkenankan masuk dan terlibat.
Apa yang terjadi di KPU adalah cerminan bagaimana masing-masing aktor itu menggunakan legitimasi dan kebenaran yang dimilikinya untuk memainkan peranan politik tersebut. Akibatnya, aturan yang di satu sisi memberikan dasar legitimasi bagi keberadaan dan kinerja KPU, tetapi pada sisi yang lain telah menyumbang berbagai kontroversi dan kontradiksi politik.
Pada saat negara menjadi bagian yang ikut bennain dalam pertarungan tersebut yang lebih paralel dengan arus utama (mainstream) politik publik justeru gagal meyakinkan sebagian besar politisi di KPU untuk mengambil sikap dan tindakan politik yang sejalan. Sebabnya, negara tidak sepenuhnya mampu mengontrol dinamika politik yang ada dengan sumber-sumber alokatif maupun kekuatan ototritatif dan kapasitas organisasionalnya di satu sisi, sementara itu,di pihak negara pun kekuatannya terfragmentasi, tidak utuh. Sementara pada saat yang sama, para aktor di KPU justru dengan bebasnya memainkan dan menginterpretasikan kepentingannya.
Sedangkan kesimpulan teoretik dalam penelitian ini dapat menggambarkan temuan-temuan teoretik yang pads dasarnya konfirmasi atau penguatan terhadap "kebenaran" teori tersebut. Namun demikian, modifikasi atas beroperasinya teori ini juga nampak.
Tidak adanya dominasi baik antara agen-agen politik yang bertarung, maupun struktur-struktur politik yang tersedia dan diproduksi di KPU selama penyelenggaraari Pemilu'99 membuktikan bahwa Giddens dalam hal ini besar: determinasi terhadap proses sosial (politik), bukan terletak pads salah satunya, tetapi keduanya saling mengandaikan. Sehingga kekuasaan atau power yang dapat terbentuk, diraih atau dikuasai juga terbukti pada sejauhmana para pelaku (actor) politik itu menguasai dan memproduksi struktur-struktur (baik legitimasi, dominatif, maupun signifikansi) yang ada.
Dengan memahami dinamika di KPU, apa yang disebut relasi agensi-struktur sangatlah bersifat relatif. Artinya, apa yang disebut agensi pada beberapa kasus dapat bertindak sebagai struktur; demikian juga sebaliknya. Bahkan pada saat ia bertindak pada salah satunya, dalam waktu yang bersamaan dapat secara otomatik bertindak atas yang lainnya. Agensi, termasuk negara juga seringkali bukanlah sebuah entitas yang tunggal, namun terfragmentasi sedemikian rupa, demikian juga sebaliknya.
Path pain-inilah peneliti kemudian mengajukan kritik terhadap teori Giddens. Sesungguhnya relasi agensi-struktur bukan saja bersifat komplementer sehingga dikatakan struktur dapat memediasi (mediating) tindakan agensi, tetapi masing-masing sesungguhnya saling melekatkan (embeddeding). Penyamaan aktor dalam praktik-praktik sosial tidaklah dapat diterima sepenuhnya, karena, seringkali diantara aktor- aktor itu menegasikan aktor lain (yang lebih rendah "strata"), terutama menyangkut keputusan atau kebijakan. Selain itu, teori ini belum juga memberikan penjelasan lebih detail mengenai praktik-praktik politik yang tidak tunggal atas isu yang sama, pads ruang (space) dan waktu (time) yang sama pula; padahal baik ruang maupun waktu menurutnya bukanlah arena atau panggung atau tindakan melainkan unsur konstitutif dan pengorganisasian."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, [2003;2003, 2003]
T209
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fhadilah Eka Pratiwi
"Dalam penelitian ini terdapat tiga pokok permasalahan: Pertama, terkait dengan hak konstitusional dalam pendirian partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum, Kedua, mengenai perkembangan pengaturan mengenai pendirian partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum dari zaman orde baru sampai dengan sekarang, dan Ketiga, mengenai penyelesaian sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu tahun 2014 dihubungkan dengan keikutsertaan dalam pemilu. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif yang bertumpu pada data sekunder dan disajikan secara deskriptif analitis.
Hasil penelitian ini menunjukkan pendirian partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum dijamin oleh UUD Tahun 1945 setelah perubahan. Pengaturan mengenai pendirian partai dan keikutsertaan dalam pemilu di zaman orde baru sangat dibatasi oleh penguasa. Menuju pemilu tahun 2014 pengaturan mengenai pendirian partai politik dan keikutsertaan dalam pemilihan umum menunjukkan arah ke penyederhanaan partai politik terlihat dengan persyaratan yang harus dipenuhi. Penyelesaian sengketa pemilu yang berkaitan dengan verifikasi partai politik peserta pemilu di Bawaslu dan PTTUN telah menjamin hak konstitusional partai politik untuk ikut serta dalam pemilihan umum.

This research will focus on three main problems. First, constitutional right to established political parties and participation in election. Secondly, the development of regulation on establishment political parties and participation in election from orde baru era until now. Thirdly, the settlement of verification dispute of political parties participants in election 2014 associated with the right to participation in election. The method used in this research is judicial-normative which has its bearing on secondary data, this research will also be presented in the form of descriptive-analytical.
The result of this research shows that established of political parties and participation in election was guarantee in UUD 1945 after change. The regulation of establishment political parties and participation in election was limited by the authorities in orde baru. Towards 2014 election, regulation of establishment political parties and participation in election shows the direction to simplification political parties based on requirement that must be fulfilled. The settlement of verification dispute in Bawaslu and PTTUN shows guaranteed of constitutional right to participate in election.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46445
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toip Heriyanto
"Pemilihan umum yang telah dilaksanakan pada tahun 2004, sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (1) W Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka. Dalam sistem itu para pemilih diharuskan untuk memilih dua tanda gambar, yaitu tanda gambar partai politik dan tanda gambar orang sebagai calon anggota legislatif Selain itu, dalam sistem pemilihan umum proporsional ini, diatur juga mengenai asas yang dipergunakan yaitu asas langsung, umum, bebas dan rahasia (Luber) dan asas jujur dan adil (Jurdil). Dengan penggunaan sistem pemilihan yang proporsional dan penggunaan asas Luber dan Jurdil, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah :
1. Apakah pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD itu telah-benar dilaksanakan secara langsung, dalam arti rakyat memilih secara langsung anggota DPR dan DPRD sesuai dengan yang diinginkan atau sesuai dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara ?
2. Seberapa besar sebenarnya peran partai politik dalam proses penentuan para caleg dan caleg terpilih untuk menjadi anggota DPR ? Dan, apakah ada hubungannya antara peran partai politik dalam proses penentuan para caleg dan caleg terpilih tersebut dengan penerapan sistem pemilihan umumnya itu sendiri ?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T19787
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairul Fahmi
Jakarta : Rajawali, 2011
324 KHA p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bernad Dermawan Sutrisno
"Setidaknya ada 4 (Empat) pemasalahan perwakilan politik yang diciptakan oleh sistem pemilu 1999, yakni kesenjangan harga kursi yang mencolok antar daerah Pemilihan, rendahnya mandat yang dimiliki oleh para wakil rakyat, terjadinya pengingkaran daerah perwakilan oleh beberapa wakil rakyat, dan kurang mengakomodasi perwakilan politik lokal dan perempuan. Dan keempat permasalahan tersebut, maka penelitian ini berusaha untuk menjawab dua pertanyaan penelitian yakni : Bagaimanakah proses pelaksanaan sistem pemilu 1999 dilihat dad dimensi - dimensi secara teoritis perancangan sebuah sistem pemilu, dan Bagaimanakah pengaruh sistem pemilu 1999 terhadap perwakilan politik anggota DPR dilihat dari sisi mandat suara, representasi wilayah dan representasi kelompok masyarakat.
Adapun teori yang digunakan untuk membahas permasalahan tersebut adalah teori tentang sistem pemilu yang menyangkut Besaran Distrik (District Magnitude), Formula Pemilihan (Electoral Formula), dan Batas Dukungan Pemilihan (Electoral Threshold), serta teori Perwakilan Politik yang menyangkut dua hal yakni : perwakilan politik dalam artian statistik merupakan sampel (wakil) dari suatu populasi (masyarakat), dan perwakilan politik yang dianggap meliputi proporsi yang sama untuk setiap kelompok datam masyarakat yang relevan seperti umur, jenis kelamin, pekerjaan dan lain - lainnya dalam suatu populasi masyarakat.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sistem pemilu 1999 telah menciptakan diskriminasi terhadap daerah yang berpenduduk padat, adanya ketidakseimbangan bobot mandate, tidak memberikan ruang akomadasi yang seimbang terhadap kelompok masyarakat, meniadakan peluang munculnya Partai lokal, tidak melibatkan rakyat pada pencalonan Keanggotaan DPR, terjadinya sentralisasi calon Anggota DPR, banyaknya suara yang tidak sah, adanya kesenjangan perolehan suara Partai dengan kursi yang diraih Partai, sistem mendorong konflik internal Partai, dan pengingkaran Daerah Pemilihan. Akibatnya, sistem pemilu 1999 sangat berpengaruh terhadap perwakilan politik anggota DPR, yakni bentuk perwakilan politik yang mencerminkan ketidakseimbangan perwakilan antar wilayah, serta kurangnya perwakilan politik kelompok masyarakat khususnya orang lokal dan perempuan.
Implikasi teoritis adalah analisis perwakilan politik dengan menggunakan teori sistem pemilu cenderung menghasilkan perwakilan politik angka kuantitatif atau data -data statistik. Perwakilan politik yang terekam baru sebatas pada konfigurasi tabel angka, dan data kuantitatif. Padahal perwakilan politik menyangkut berbagai aspek kualitatif seperti representasi kepentingan. Aspirasi kelompok fungsional tidak terdeteksi dengan menggunkan angka statistik. Oleh karena itu, dalam penelitian perwakilan politik tidak cukup hanya menggunakan analisis teori sistem pemilu, tetapi jugs teori lain yang menyangkut hubungan perilaku dan interkasi kepentingan dan aspirasi antara wakil rakyat dengan rakyat yang diwakili.

At least there is 4 (four) of Problems of politics delegation created by system general election 1999, namely difference of chair price striking interregional election, its low is mandate owned by all people proxy, the happening of denial of delegation area by some people proxy, and less accommodate the local political delegation and woman. And fourth the problems, hence this research is out for reply two research question namely: What will be process of execution of system general election 1999 seen from dimension theoretically scheme a general election system, and What will be influence of system general election 1999 to political delegation member Parliament seen and side of voice mandate, regional represents and representative of society group.
As for theory used to study the problems is theory about system general election which is concerning its Big Canton (District Magnitude), Formula Election (Electoral Formula), end Boundary of Election Support (Electoral Threshold), and also theory of Politics Delegation which is concerning two matter namely: political delegation in statistical means represent the sample (proxy) and a population (society), and politics delegation assumed cover the same proportion to each; every group in relevant society like age, gender, work and others in a society population.
Result of research show that system of general election 1999 have created the discrimination to overpopulated area, existence of imbalance of Wight mandate, don't give the well-balanced space accommodate. to society group, negating local Party appearance opportunity, don't entangle the people at nomination of Membership Parliament, the happening of centralizes of candidate of Member Parliament, to the number of illegal voice, existence of acquirement difference voice the Party with the chair which is reached for by a Party, system push the internal conflict Party, and denial Election Area. As a result, system of general election 1999 very having an effect on to political delegation of member Parliament, namely form politics delegation mirroring delegation imbalance usher the region, and also the lack of delegation is political of society group specially local people and woman.
Theoretical implication is political delegation analysis by using theory system of general election tend to yield the political delegation quantitative number or statistical. Politics delegation which new record limited at configuration is tables of number, and quantitative date. Though political delegation concerning various aspect qualitative like representation importance. functional Group aspiration is not detected by using statistical number. Therefore, in insufficient political delegation research only use the analysis of theory of general election system, but also other theory which is concerning behavioral relation and interaction of importance and aspiration between people proxy with the people deputized.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14349
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuliansyah
"Penelitian ini berfokus pada pemenuhan hak memilih anggota TNI dan Polri dalam pemilihan umum. Anggota TNI dan POLRI dilarang memilih dalam pemilihan umum, sementara UUD 45 menjamin hak untuk memilih dalam pemilihan umum bagi semua warga negara Indonesia (yang sudah berusia 18 tahun atau lebih) dan dalam prinsip hak asasi manusia, hak memilih merupakan hak setiap individu sebagai warga negara. Berdasarkan hal tersebut, timbul pertanyaan sebagai berikut: (a) Mengapa terjadi pelarangan hak untuk memilih dan dipilih bagi anggota TNI dan Polri? (b) Bagaimana persepsi masyarakat terhadap hak memilih anggota TNI dan Polri dalam pemilihan umum?, (c) Bagaimana persepsi anggota TNI dan Polri dalam menyikapi hak memilih mereka? (d) Bagaimana Hak memilih anggota TNI dan Polri dalam perspektif hak asasi manusia?, dan (e) Apa yang sepatutnya dilakukan oleh DPR dan pemerintah dalam pemenuhan hak memilih bagi anggota TNI dan Polri pada pemilihan umum?
Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan historis dan deskriptif,, dilakukukan dengan penelitian pustaka dan penelitian lapangan. Informan berasal dari anggota TNI, Polri dan masyarakat sipil, sedangkan narasumber dipilih dari dari kalangan TNI dan Polri, peneliti, akademisi, anggota DPR, dan praktisi hak asasi manusia. Janis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Dengan menggunakan purposive sampling dan wawancara terfokus.
Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa: a) Pembatasan hak memilih bagi anggota TNI dan Polri dalam pemilihan terjadi mulai pemilu ke-2, yaitu pemilu tahun 1971, pemilu 1977, pemilu 1982, pemilu 1987, pemilu 1992, pemilu 1997 dan pemilu 1999, sebagai konsekuensi atas diangkatnya perwakilan TNI dan Polri dalam legislatif; b) Persepsi masyarakat dan persepsi anggota TNI dan Polri terhadap hak memilih anggota TNI dan Pohi beragam, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan berbagai argumen; c) Dalam perspektif hak asasi manusia bahwa hak memilih anggota TNI dan Polri adalah hak asasi individu TNI dan Polri sebagai warga negara yang harus diberikan. Pembatasan hak memilih bagi anggota TNI dan Polri bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia dan UUD 45. Hasil penelitian menyarankan bahwa: a) Perlu merevisi undang-undang yang membatasi hak memilih bagi anggota TNI dan Polri dan menyiapkan mekanismelperaturan pelaksananya; b) Perlu mempercepat proses reformasi TNI dan Polri; c) Perlu regulasi tegas untuk mencegah pemanfaatan hierarki komando yang mengarahkan orientasi politik anggota TNI.; dan d) perlu diberikan pendidikan politik, demokrasi, hukum dan hak asasi menusia yang balk kepada anggota TNI dan Polri.

General elections as a tool for community to provide their political rights to vote and elected which conducted in a direct, general, free, and secret manner. As arranged in article 22E paragraph (1) of National Constitution 1945, article 43 paragraphs (1), (2) and (3) of Human Rights Law 1999, article 25 of International Covenant Civil and Political Rights (ICCPR). The right to vote and elected as a rights for Indonesia citizens without any discrimination, according to regulation in article 27 paragraph (1) and article 281 paragraph (2) of National Constitution 1945. Although, in Indonesia has law which limitate the right to vote for military and police officials as follows: article 145 of Law No. 12 Year 2003 on General Elections for House of Representative and Regional People's Representative Council, article 102 of Law No. 23 Year 2003 on Regional Government, article 28 paragraph 2 of Law No. 2 Year 2002 of Indonesia Police, article 39 paragraph 4 Law No. 34 Year 2004 on Indonesia Military. Based on that, hoisted questions as follows: (a) why it has restrictions on the right to vote for military and police officials? (b) how the community perceptions on the right to vote for military and police officials? (c) how the military and police officials perceptions in order to response their right to vote? (d) how the right to vote for military and police officials in human rights perspective? (e) what should House of Representative perform as legislative agency and government as executive agency in regulate of the right to vote for military and police officials in general elections?
This research has using qualitative descriptive type which conducted by library and field research. The informants are from military officials, police officials and civil community, subsequently the resources elected from military, police, researchers, academicians, house of representative members, and human rights practitioners. The type of data which used is composed from secondary and primary data which obtained by using sampling purposive and focus interview.
According to this research could be summarized that: a) Limitations of the right vote for military and police officials in general election started from second general elections in 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 and 2004. That limitations as consequence on elected as House of Representative members from military and police officials; b) a variety of community perception on the right to vote for military and police officials, there are some agree and disagree with many reasons; c) diverse military and police view on the right to vote, there are some agree and disagree with many reasons; d) in human rights perspective that the right to vote for military and police officials as individual rights also a citizens that have to given. The limitations of the right to vote for military and police officials aligned with article 22E paragraph (2), article 27 paragraph (1), article 28 paragraph (1) and article 281 paragraph (1) of National Constitution 1945, article 43 paragraph (1), (2) and (3) of Human Rights Law No. 39 Year 1999, and article 25 of 1CCPR. Therefore, it needed efforts to response the right to vote for military and police officials are: a) the right to vote for military and police officials should arranged immediately in a policy which prepared by government; b) to process shortly of military and police reforms and to prepare clear and legal regulations; c) to put attention on welfare from military and police officials; d) should have stern regulations to prevent using of commando hierarchy which deliver to the political orientation for military and police officials; e) to give a good political, democracy, legal and human rights education for military and police officials.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20698
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Habibi Kurniawan
"Salah satu aturan main yang harus dirumuskan didalam proses pelaksanaan pemilu yang demokratis adalah perumusan terkait mekanisme sistem pemilu beserta instrument- instrumen kepemiluannya. Sistem pemilu adalah instrument teknis pelaksanaan pemilu yang digunakan untuk menentukan keterpilihan suatu partai politik atau calon anggota legislatif didalam proses transisi kekuasaan. Di Indonesia, dari masa ke-masa terkait mekanisme sistem pemilu menjadi perdebatan didalam proses perumusan Undang- Undang Pemilu. Peristiwa ini-pun terjadi didalam proses pembahasan UU No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD terkait empat isu krusial yani sistem pemilu, ambang batas parlemen (parliamentary treshold), alokasi kursi ke dapil dan metode konversi suara menjadi kursi. Sikap PDI Perjuangan mengenai pembahasan sistem pemilu merupakan kepentingan dari keberadaan partai politik sebagai peserta pemilu didalam proses perebutan kekuasaan secara konstitusional dan berdasar atas pengalaman dan sejarah kepesertaannya didalam proses pemilu di Indonesia.
Teori yang digunakan didalam penelitian ini adalah teori sistem pemilu Arend Lijphart, teori model kebijakan partai politik Hans Deiter Klingeman, teori ideologi Terrence Ball, teori elit dan teori konsensus dan konflik Maswadi Rauf dan Maurice Duverger. Penelitian in menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian ini akan menggunakan dua teknik pengumpulan data, yakni data yang diperoleh dari wawancara yang akan digunakan sebagai sumber data primer dan studi kepustakaan (literature review) yang digunakan sebagai sumber data sekunder.
Kesimpulan penelitian bahwa sebagai sebuah proses politik, Fraksi PDI Perjuangan memiliki alasan atas kepentingan politik terkait empat isu krusial didalam pembahasan UU No 8/2012 Tentang Pemilu. Kepentingan politik yang dioperasionalkan dari pemahaman ideologis partai dalam proses tarik menarik kepentingan politik (political-interplay) didalam proses pembuatan undang-undang Pemilu No 8 Tahun 2012. Akan tetapi, keputusan yang diambil berdasarkan kompromi merupakan keputusan yang moderat untuk diambil diantara banyaknya perbedaan di antara fraksi-fraksi.
Implikasi teoritis menunjukkan bahwa pendekatan model kebijakan partai politik didalam prosedur negara demokratis, pendekatan elit dan konsensus politik telah memberikan implikasi positif terhadap proses pengambilan keputusan pembahasan Undang-Undang No 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD.

Among the rules that must be formulated in the process of a democratic election is one involving the mechanisms of an electoral system and its associated instruments. The electoral system is implemented as a technical instrument to determine the desirability of a political party or legislative candidate in the process of their transition to power. In the Republic of Indonesia, from time to time there has been considerable debate over the mechanisms of an electoral system during the process of formulating its Election Laws. Such a debate had then ensued during the discussion of Law No. 8 of 2012 on the Election of Members of DPR, DPD and DPRD, involving four crucial issues: the election system, parliamentary threshold, the allocation of seats to the constituencies and conversion methods of votes into seats. On that, the Indonesian Democratic Party of Struggle made a political stance that had been within the interest of political parties in their constitutional struggle for power, based on contesting history and experience in the election process of Indonesia.
The fundamental theories used in this study include Arend Lijphart's theory on the electoral system, Hans Deiter Klingeman's theory on the policy models of political parties, Terrence Ball's theory on ideology and Maswadi Rauf & Maurice Duverger's theories on the elite, consensus and conflicts. This study utilized qualitiative methods of research in its two techniques of data collection. Data obtained from interviews were used as the primary source, while literature references were used as the secondary source.
This study concluded that as a political process, factions in the Indonesian Democratic Party of Struggle had reasons within their political interest involving the four crucial issues in the discusssion of Law No 8/2012 on Elections. In the political process, Indonesia Democratic Party of Struggle implied the ideological platform. Although a decision was ultimately reached based on compromise, it had been moderacy taken from the various differences between factions of the political parties.
Theoretical implications show that in the procedures of a democratic country, the approaches of policy models of political parties, elite and political consensus gave positive implications for the decision making process in the discussion of Law No. 8 of 2012 on DPR, DPD and DPRD Elections.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2013
T38966
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Situngkir, Aderson
"Di negara demokrasi modern pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat, sarana pengakuan hak asasi Manusia (HAM) sekaligus sarana partisipasi rakyat dalam polilik. Kemudian pemilu dapat berfurgsi sebagai sarana legitimasi polilik, perwakilan atau representasi politik, mekanisme pergantian kekuasaan atau sirkulasi elit dan sebagai sarana pendidikan dan sosialisasi politik yang bersifat massal, dan periodik Sistem pemilu sangat berpengaruh terhadap ketahanan nasional karena dapat mempengaruhi sistem partai, sistem kebinet pemerintahan, mekanisme hubungan kerja antara lembaga negara dan tertinggi negara, alat proses budaya polilik yang berkembang di masyarakat.
Sejak Indoneda merdeka telah 8 (delapan) kali dilaksanakan pemilihan umum sistem proporsional dengan berbagai variasinya. Pemilu 1955 relatif demokratis tetapi hasil akhir kurang mendukung upaya peningkatan ketahanan nasional Pemilu Orde Baru 1971 - 1997 relatif kurang demokratis walaupun kabinet relaif lebih stabil tetapi DPR kurang berfungsi kuat dan efektif. Pemilu 1999 relatif demokratis tetapi hasilnya sampai sekarang kurang kondusif terhadap ketahanan nasional. Mengingat besarnya pengaruh sistem pemilu terhadap upaya peningkatan ketahanan nasional maka penulis melakukan penelitian terhadap sistem proporsional versus distrik dikaitkan dengan gatra nasional.
Peneiltian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan pemilu sistem proporsional dengan sistem distrik dilihat dari ciri atau dampak positif dan negatifnya jika diterapkan di Indonesia maupun empiris dinegara lain, dan untuk mengetahui sistem pemilu mana yang dapat lebih meningkatkan ketahanan nasional. Metode penelitian bersifat komparatif deskriptif, teoritis normatif dan empiris. Kajian data dilakukan dengan studi pustaka (library research) kemudian dikonfirmasi dengan data wawancara terhadap ilmuwan, tokoh - tokoh partai politik Orde Baru dan birokrasi yang diwakili KPU. Analisa data dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan dan keamanan (prosperity and security approach). Setelah dilakukan penelitian ternyata bahwa pemilu sistem distrik lebih meningkatkan ketahanan nasional dengan catatan masih ada kendala atau hal - hal yang perlu di benahi. Maka penulis menyarankan agar pemilu yang akan datang memakai sistem distrik. Untuk mengurangi dampak negatifnya seperti representasi minoritas politik maka sistem yang dipakai bervariasi. Apabila jumlah penduduk lebih sedikit maka variasi yang dipakai adalah single member constituency yaitu wakil distrik minimal satu. Apabila jumlah penduduk lebih banyak maka vaiasi yang dipakai adalah multi member constituency yaitu tiap distrik terdiri beberapa wakil sesuai rasio jumlah penduduk.
Pilihan sistem pemilu hanyalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan ketahanan nasional. Faktor lain adalah pelaksanaan pemilu yang demokratis, agar legitimasi politik baik parlemen maupun kabinet tinggi, mempengaruhi kinerja legislatif dan akuntabilitas politik Maka untuk menunjang pemilu demokratis disarankan agar ketentuan pemilu dan kepartaian diatur secara jelas dan tegas dalam konstitusi negara (UUD 1945) agar mempunyai kedudukan yang kuat, perlu dibentuk badan peradilan khusus pemilu atau artartrase dengan prinsip transparan, jurdil, cepat, biaya ringan dengan putusan paralel dengan pengumuman hasil pemilu. Apabila kader partai melakukan kecurangan seperti politik uang (money politic), suap atau sogok untuk mempengaruhi putusan politik rakyat maka calon dinyatakan non aktif lalu diajukan ke pengadilan. Kemudian masyarakat umum diberikan hak untuk mengajukan gugatan (class action) apabila partai ingkar terhadap janji kampanye. Kemudian DPR perlu diberdayakan melalui komisi dan penambahan staf ahli, dibuat kode etik (code of conduct) dan dewan kehormatan agar perilaku, disiplin dan kinerja DPR dapat meningkat."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T11160
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilvia Difa Nawi
"Skripsi ini membahas mengenai faktor keuntungan yang didapatkan oleh Rahmat Effendi sebagai petahana dalam Pilkada Kota Bekasi tahun 2018. Rahmat Effendi mendapatkan faktor keuntungan sebagai petahan, diantaranya adalah pro incumbent endorser bias, lalu campaign discount, dan district partisan bias. Dalam Pilkada Kota Bekasi tahun 2018, terdapat dua pasang calon yang maju. Diantaranya adalah Rahmat Effendi-Tri Ardhianto dan Nur Supriyanto-Adhy Firdaus. Rahmat Effendi sebagai petahana mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar dari penantangnya dalam Pilkada Kota Bekasi tahun 2018, sehingga Rahmat Effendi dapat memenangkan Pilkada Kota Bekasi tahun 2018. Metode yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode kualitatif yang dilakukan dengan wawancara mendalam.

This thesis discusses the profit factors obtained by Rahmat Effendi as incumbents in the Bekasi City Election in 2018. Rahmat Effendi gets a profit factor as a defense, including the pro incumbent endorser bias, then a discount campaign, and a biased district partisan. In the Bekasi City Election in 2018, there are two pairs of candidates who advance. Among them are Rahmat Effendi-Tri Ardhianto and Nur Supriyanto-Adhy Firdaus. Rahmat Effendi as a incumbent benefits far more than the challenger in the Bekasi City Election in 2018, so Rahmat Effendi can win the Bekasi City Election in 2018. The method used in this thesis is a qualitative method carried out by in-depth interviews.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>