Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170714 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andi Aslamiah Achmad
"Manusia membutuhkan informasi dan hiburan. Salah satu sumber informasi yang banyak digunakan oleh masyarakat saat ini adalah televisi. Mengapa televisi ?. Televisi memiliki banyak keunggulan yaitu mudah dalam penggunaannya, menghasilkan audio dan visual sekaligus, mudah didapatkan dan yang utama program acara yang disajikan sangat bergam dan dikemas dengan cara yang menarik. Bahkan orang-orang, sering mengumpamakan televisi sebagai `second mother' (ibu kedua) yang dapat memberi pengaruh pada proses pembentukan persepsi dan nilai-nilai terutama terhadap anak-anak dan remaja.
Beragamnya isi pemberitaan televisi termasuk penyajian program berita yang mengkhususkan pada kejadian kriminal dan banyak ditayangkan merupakan salah satu alasan mengapa penelitian ini dilakukan. Dalam penyajian berita khusus kriminal khalayak dengan mudah melihat peristiwa kekerasan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat dengan sangat vulgar, berani, mengerikan, menakutkan sekaligus membuat hati miris. Penayangan adegan kriminal dan kekerasan yang terus menerus dikhawatirkan dapat menjadikan khalayak utamanya anak-anak dan remaja menjadi tidak sensitif atau tidak peka terhadap kejadian kriminal , sehingga peristiwa-peristiwa sejenis dianggap hal yang lumrah.
Penelitian ini, ingin mengetahui apakah ada pengaruh antara menonton berita khusus tentang kriminal dengan persepsi pelajar terhadap perilaku pro kekerasan. Teori utama yang digunakan adalah teori kultivasi yang dikemukakan oleh Gerbner. Teori ini berasumsi bahwa apabila seseorang sering melihat adegan kekerasan yang terus menerus dan berulang-ulang maka akan mempengaruhi persepsi mereka sehingga timbul anggapan bahwa dunia ini penuh dengan kekerasan.
Yang menjadi populasi penelitian ini adalah pelajar SLTP di Kota Bogor, dengan sampel yang dipilih dari 2 SLTP negeri di Kota Bogor. Untuk mengetahui hubungan antara variabel dilakukan pengujian dengan menggunakan analisis bivariat dengan menggunakan Korelasi Tau Kendal , analisis korelasi parsial.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut : (1) Tidak ada hubungan yang signifikan antara menonton berita khusus kriminal dengan persepsi pelajar terhadap perilaku pro kekerasan. (2) Pengalaman tidak mempengaruhi hubungan antara menonton berita khusus kriminal dengan persepsi pelajar terhadap perilaku pro kekerasan. (3). Komunikasi antar pribadi.tidak mempengaruhi hubungan antar menonton berita kriminal dengan persepsi pelajar terhadap perilaku pro kekerasan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan tidak adanya pengaruh antara menonton berita khusus kriminal dengan persepsi pelajar terhadap perilaku pro kekerasan , antara lain karena tingkat terpaan tayangan berita kriminal terhadap responden relatif kecil. Menurut Gerbner penonton ringan (light viewers) umumnya menonton antara 1-2 jam perhari, dimana jenis penonton ini tidak melihat dunia sesuram dengan penonton berat (heavy viewers). Umumnya responden dalam menonton tayangan berita kriminal masih digolongkan sebagai penonton ringan (light viewers).
Self sensor dari dalam diri para responden yang kuat sehingga tayangan tersebut tidak mempengaruhi persepsi mereka. Hal ini disebabkan karena umumnya responden memiliki orang tua dengan status sosial ekonomi yang cukup tinggi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Fetter (1984) bahwa keluarga dengan status sosial yang tinggi lebih memungkinkan untuk menyediakan media lain yang dapat merangsang bakat dan keterlibatan orang tua mendorong untuk membaca serta membuat pekerjaan rumah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12158
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Drina Intyaswati
"Media televisi mempunyai keunggulan teknologi dan keunikan dalam proses penyampaian pesannya yaitu meliputi gambar 'dan suara, yang menghasilkan pesan yang lebih mudah dimengerti. Media massa khususnya televisi mengangkat peristiwa-peristiwa yang terjadi dan selanjutnya dikemas dalam bentuk berita yang mempunyai nilai jual agar suatu media dapat bersaing dengan media lainnya. Berita-berita televisi oleh masyarakat sering dimanfaatkan untuk mengetahui atau sebagai sumber informasi mengenai berbagai isu yang berkembang saat itu. Berita televisi yang memuat opini orang-orang tertentu mengenai berbagai isu bisa mempengaruhi persepsi khalayak mengenai opininya sendiri dan juga opini orang lain. Terpaan berita televisi yang sama tidak selalu menimbulkan persepsi yang sama pada semua individu dalam masyarakat.
Proses persidangan kasus Buloggate II yang dimulai 25 Maret 2002 dan diadakan setiap minggu merupakan proses persidangan yang mengundang banyak perhatian di berbagai kalangan masyarakat dan juga media massa. Dalam penelitian ini ingin dilihat bagaimana kontribusi menonton berita di televisi terhadap pembentukan persepsi khalayak mengenai kasus Buloggate II.
George Gerbner sebagai pioner peneliti kultivasi percaya betul kepada kekuatan efek media khususnya televisi pada pembentukan persepsi penontonnya. Akan tetapi hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun menonton televisi dilakukan dengan cukup perhatian dan adanya kepercayaan terhadap isi berita televisi, pembentukan persepsi mengenai kasus Buloggate II tidak dipengaruhi oleh menonton berita di televisi. Pembentukan persepsi dalam penelitian ini dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan keterlibatan terhadap kasus Buloggate II serta pendidikan responden."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T11453
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Ghazali
"ABSTRAK
Seiring dengan berkembang pesatnya pertelevisian Indonesia, penelitian tentang televisi cenderung meningkat pula- Namun penelitian yang obyeknya bukan "output" siaran, amatlah langka bukan hanya di Indonesia tapi juga dalam perkembangan studi komunikasi secara global. Peneliti telah melakukan studi terhadap Manajemen Kebijaksanaan Siaran TVRI Stasiun Pusat Jakarta (1990, UI, skripsi S-1), dan kini ingin melanjutkannya di tingkat S-2 dalam konteks pertelevisian Indonesia yang sudah bukan tunggal atau monopoli TVRI lagi.
Studi ini berada pada genre "Interaksionisme Simbolik" dengan aliran `The Chicago School". Aliran ini menghindari pendekatan kuantitatif dan "scientific", namun menekankan pada kesejarahan, autobiografi, studi kasus, catatan-catatan, surat-Surat, wawancara tidak langsung, serta observasi terlibat.
Penelitian ini bergerak dari interaksi Teori Komunikasi dan Teori Organisasi, bahwa komunikasilah yang menciptakan struktur sosial, sehingga memasuki Teori Sistem dan Jaringan-nya yang luas. Dalam sistem (dengan analisis tatanan Weber, Garth dan Mills) terdapat tatanan ekonomi, politik, sosial, ideologi, dan budaya. Sedang anggota sistem yang abstraksinya lebih rendah dikaji dari analisis Kesejarahan llmu Media Massa. Interaksi dalam sistem berorientasi pada makna, sehingga antara anggola bisa lahir Teen Konvergensi dan Disvergensi.
Temuan penelitian yang perlama adalah pelaku-pelaku Budaya Pertelevisian Indonesia, yakni: Pemerintah (bersama Politisi), Praktisi Media (termasuk di dalamnya: Pengelola Stasiun TV, Rumah Produksi dan Periklanan), Peneliti (bersama Pemerhati), dan Pemirsa Sedangkan puncak penemuan adalah Model Budaya Pertelevisian Indonesia, yang sekaligus merupakan kritik terhadap Model Organisasi Industri Televisi diony'n Owen di& 1974 dan direvisi Agee dkk. 1991, serta Model McQuail, 1987. Model ini lebih fleksibel, terbuka untuk pergerakan, dan kemungkinan "overlapping" posisi dan sikap. sebagai dari Konvergensi dan Disvergensi.
Sebagaimana lazimnya aliran "Chicago School", penelitian ini memang mengarah pada studi makro, namun peneliti memperlengkapinya dengan pemeriksaan praktek model berupa sebuah studi kasus, yakni: Kasus Program "Perspektif" di SCTV, serta berbagai catatan terhadap fenomena lain yang merupakan ciri khasnya aliran "Chicago". Intinya tetaplah sebagai contoh terhadap: bagaimana "membaca" Budaya Pertelevisian Indonesia tersebut.
Temuan yang penting di dalam Budaya Pertelevisian Indonesia dan Modelnya adalah demikian kuatnya pertimbangan ekonomi politik dalam Budaya Pertelevisian Indonesia, yang seharusnya diimbangi dengan pertimbangan lainnya, terutama pertimbangan meningkatkan ketahanan komunikasi dengan dukungan ahli-ahli komunikasi dan bidang lain yang terkait serta berkompeten. Implikasi yang penting digarisbawahi dari penelitian ini antara lain perlunya segera dibentuk Badan Penyiaran Indonesia yang terpadu dan memegang otoritas tertinggi dalam bidang penyiaran. Badan inilah yang merencanakan, menganalisis dan membuat kebijakan serta keputusan mengenai pertelevisian Indonesia, dengan anggotanya yang terdiri dari berbagai departernen dan instansi serta pakar dari banyak bidang terkait."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Palupi, Dian Setia
"Runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998, memiliki dampak tersendiri bagi perkembangan industri media massa di Indonesia, baik industri media cetak, maupun industri media elektronik. Dengan dihapuskannya ketentuan memiliki Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), maka setiap orang di Indonesia, memiliki hak yang sama untuk mengeluarkan pendapatnya, termasuk dapat mengurus ijin untuk mendirikan media sendiri, seperti koran, radio, dan televisi. Peranan TVRI yang sudah mulai berkurang sejak adanya televisi swasta di Indonesia, lebih tidak terlihat lagi, sejak munculnya televisi-televisi baru yang kian menjamur, baik yang dapat beroperasi secara nasional, seperti Metro TV, Trans TV, Lativi, TV 7, dan Global TV, maupun yang beroperasi di daerah tertentu saja, seperti Jtv di Surabaya, Menado TV, Bali TV, dan kabarkan akan segera muncul Batam TV.
Persaingan yang kian ketat antar televisi, baik persaingan dalam merebut pemirsa, maupun persaingan dalam merebut pasar ikian, mengharuskan sebuah stasiun televisi memiliki kekhasan tersendiri dalam setiap tayangannya, yang berbeda dengan stasiun televisi lainnya. Saat ini hanya ada dua stasiun televisi yang memang benar-benar menghadirkan sesuatu yang berbeda, yaitu Metro TV, yang menggebrak dengan menjadi stasiun televisi berita pertama di Indonesia, dan Global Tv, yang hanya menayangkan program musik, yang diambil dari MTV Asia.
Program benta di sebuah stasiun televisi, sebenarnya merupakan salahsatu program yang dijadikan andalan bagi semua stasiun televisi, karena dapat mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit bagi perusahaan. Kendati bukanlah dijadikan sebagai acara utama, dan dipasang pada jam jam tayangan utama (prime time), namun beberapa stasiun televisi, menayangkan berita, justru pada jam tayang utama.
Seluruh program berita kriminal ini, rata-rata memiiiki rating yang tinggi untuk kategori program berita, terutama program kriminal Patroli dan Buser. Dengan tingginya rating yang dimiliki, tentunya membuat program ini semakin menghasilkan pendapatan bagi stasiun televisi. Tidak dapat dipungkiri, bahwa dengan banyaknya program kriminal yang ada, maka akan membuat persaingan antara satu televisi dengan stasiun televisi lainnya. Masing-masing program kriminal ini tentunya dituntut oleh pemilik perusahaan, dan para share holder, untuk mempertahankan rating yang telah dicapainya, agar pendapatan yang didapat dari iklan akan terus bertambah, karena tingginya rating yang didapat oleh sebuah program acara, tentunya menentukan harga iklan (rate card) di sebuah stasiun televisi. Banyaknya program serupa inilah yang akhirnya menimbulkan persaingan atau kompetisi antar stasiun televisi, dalam memperebutkan pasar audience (audience share) dan perebutan slot iklan.
Berbagai strategi dilakukan oleh stasiun televisi ini untuk meperoleh rating dan pendapatan yang baik. Strategi yang dibuat mulai dari penempatan jam tayang yang tepat, hingga penempatan acara yang diperkirakan memperoleh rating tinggi, dijadikan sebagai alat agar acara yang dibuat dapat bersaing. Untuk Buser SCTV misalnya, sebelum tayangan Buser, pihak programming menyiarkan acara infotainment yang memang sangat digemari dan mendapatkan rating yang tinggi.
Untuk menentukan harga rate card iklan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jam tayang program, jenis program, rating yang didapat oleh program, dan juga harga rate card program sejenis di stsiun televisi lain. Khusus untuk tayangan berita memang sedikit berbeda dengan tayangan yang bersifat hiburan. Hal ini lebih dikarenakan tayangan berita lebih mencerminkan image stasiun televisi dibandingkan tayangan hiburan. Seburuk apapun rating yang diperoleh tayangan berita, tetap saja tayangan berita dipertahankan oleh stasiun televisi yang bersangkutan. Selain itu pendapatan yang diperoleh sebuah tayangan berita, termasuk tayangan berita kriminal, tidak terpengaruh dari besarnya rating. Dengan rating yang tidak tinggi, pemsukan yang didapat dari sebuah tayangan berita tidak akan berbeda jauh.
Kerjasama yang sangat baik haruslah dibina antar departemen yang bersangkutan, selain tentunya kerjasama di dalam departemen yang sama juga harus ditingkatkan. Rapat koordinasi dengan departemen-departemen terkait khususnya programming dan departemen sales dan marketing harus dilakukan secara kontinue dan berkesinambungan, agar mutu acara dan pendapatan perusahaan dari program yang bersangkutan dapat terkontrol dengan baik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14256
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maryani
"Saat ini tayangan kriminal di televisi semakin meningkat. Padahal sudah banyak penelitian yang menyatakan bahwa tayangan /criminal di televisi memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat terutama anak dan remaja. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh tayangan kriminal di televisi terhadap persepsi remaja tentang perilaku kekerasan.
Desain yang digunakan adalah deskriptif korelasi secara Cross Sectional. Responden sebanyak 62 responden diambil dengan menggunakan teknik Random Sampling, yang merupakan siswa SMUN 38 dan SMU Banda Kandung Jakarta. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner yang disebarkan. Selanjutnya data dianalisa menggunakan uji Chi square dan uji Pearson Correlation Coeffisient.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa X2 hitung = 0.296 dan X2 tabeI=3.84 dengan Df=1 dan alpha=0.05, maka X2 hitung lebih kecil dari X2 label yang berarti Ho gagal ditolak. Oleh karena tidak ada hubungan atau Ho gagal di tolak maka tidak dilakukan uji Pearson Correlation Coeffisient. Kesimpulannya tidak ada pengaruh antara tayangan kriminal di relevisi terhadap persepsi remaja tentang perilaku kekerasan."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2004
TA5399
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Wiryandari
"Menurut Dimmich & Rothenbuhler (1984) dalam perkembangan Teori `Niche' atau celung, bahwa kelangsungan hidup suatu industri media sama halnya dengan makhluk hidup tergantung pada sejumlah sumber penunjang yang ada di sekitarnya. Menurut teori ini ada tiga sumber utama penunjang kehidupan media, yakni: capital (iklan), types of content (jenis isi media) dan types of audience (jenis penonton).
Dari survey yang dilakukan oleh organisasi Cooper sejak tahun 1959 menunjukkan bahwa televisi merupakan sumber berita yang paling banyak digunakan dan dipercaya oleh masyarakat untuk memperoleh berita (Dominick, 1996). Bagi stasiun TV sendiri program acara berita sangat penting artinya karena merupakan representasi image dari stasiun TV itu sendiri. Daya jual sebuah stasiun tv dapat dipengaruhi oleh departemen pemberitaannya.
Hal inilah yang membuat stasiun TV berusaha menampilkan program acara berita yang baik dan berkualitas, sehingga diminati oleh penonton yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan iklannya. Dengan kehadiran 10 stasiun TV swasta membuat pilihan audiens terhadap acara berita makin banyak. Menurut data ACNielsen acara berita sore merupakan acara yang paling banyak ditonton oleh audiens dibandingkan acara berita pagi maupun siang harinya dan kondisi ini berlaku di hampir semua stasiun TV swasta yang menayangkan program berita secara regular.
Dari teori yang pernah dilakukan sebelumnya, diketahui ada banyak faktor yang mempengaruhi audiens menonton acara berita antara lain pengeluaran, pendapat terhadap isi, penilaian tentang penyiaran, akivitas promosi, pendapat kelompok, minat, media use dan penilaian terhadap packaging (Kotler, 2000; Barwise & Ehrenberg,1988; Turrow, 1997; McQuail & Windahl, 1996; Sutisna, 2001; Webster & Wakshlag, 1983; Rubin, 2002). Berdasarkan latar belakang di atas, maka penelitian ini akan menjawab beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Diketahuinya faktor yang paling dominan mempengaruhi intensitas menonton a audiens terhadap program berita sore pilihan di TV.
2. Diketahuinya topik-topik berita yang diminati audiens terhadap program acara berita sore pilihan di TV.
3. Diketahuinya Intensitas audiens dalam menonton program acara berita sore pilihan di televisi
Penelitian yang bersifat ekspanatif ini dilakukan pada populasi penduduk usia 17 tahun ke atas dan sampelnya dipilih secara simple random sampling. Sedangkan yang menjadi sample adalah warga 3 RT di Kelurahan Kelapa Gading Barat dengan total responden 100 orang.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa program acara berita Liputan 6 Petang, Seputar Indonesia dan Metro Sore merupakan acara favorit pilihan responden. Sementara, topik-topik yang paling diminati oleh responden dalam tayangan suatu berita antara lain masalah metropolitan dan kesehatan masing-masing sebesar (9%) diikuti oleh topik yang mengupas masalah nasional (8,8 %), bencana alam (8,5%) dan kriminalitas sebesar (7,8%). Hasil pengolahan data dalam penelitian ini memaparkan bahwa media use menjadi satu-satunya faktor yang mempengaruhi secara langsung intensitas menonton audiens.
Setelah dilakukan elaborasi berdasarkan acara berita favorit pilihan responden seperti Liputan 6 Petang, Seputar Indonesia dan Metro Sore, menunjukkan bahwa hanya acara berita Metro Sore yang memperlihatkan adanya 3 variabel yang signifikan mempengaruhi secara langsung intensitas menonton audiens, yaitu: pengeluaran, motivasi penilaian terhadap packaging dan pendapat kelompok. Oleh karena itu, pihak-pihak yang berkepentingan dalam perencanaan dan pengelolan televisi perlu mempertimbangkan faktor -faktor di atas dalam menyusun program atau format berita.
Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa sebanyak 66% dari total responden memiliki intensitas menonton di atas rata-rata. Responden, umumnya, menonton acara berita sore pilihan sebanyak 6-7 kali per minggu dengan durasi menonton selama 20-30 menit per harinya. Dengan demikikian bisa dikatakan bahwa intensitas menonton berita sore pilihan oleh responden cukup tinggi. Hal ini juga didukung oleh strategi stasiun televisi yang menayangkan program acara berita sore dengan durasi yang tidak terlalu panjang, sehingga mampu membuat audiens cukup intens melihat tayangan tersebut.
Ada beberapa rekomendasi akademis yang diajukan berdasarkan hasil penelitian ini. Disamping menggali lebih dalam lagi teori-teori komunikasi mengenai perilaku audiens terhadap program acara berita TV. Perlu juga diperhatikan dalam setiap penelitian tentang proses konsumsi media yaitu pengaruh berbagai jenis media yang terdapat di lingkungan audiens. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan kajian teoritis yang lebih luas dan mendalam agar didapatkan model regresi yang lebih baik."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12119
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Yoesoef
"Karya-karya drama pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942?1945) pada umumnya sarat dengan propaganda pemerintah militer Jepang yang berusaha mengajak masyarakat Indonesia untuk membantu peperangan melawan Amerika dan Inggris dalam Perang Dunia II. Karya sastra dijadikan alat propaganda yang tepat, terutama drama, karena masyarakat dapat langsung menerima pesan-pesan dan mencontoh apa yang seharusnya dilakukan dalam masa perang itu. Para seniman kemudian dihimpun oleh Kantor Dinas Propaganda (Sendenbu) untuk bekerja dalam lapangan kesenian masing-masing untuk memberi semangat kepada rakyat Indonesia. Sejumlah penulis drama, antara lain seperti Usmar Ismail, El Hakim, Armijn Pane, Soetomo Djauhar Arifin, dan Merayu Sukma menyambut dengan semangat program pemerintah tersebut dengan menghasilkan karya-karya drama dan dimainkan oleh grup sandiwara yang juga banyak bermunculan pada saat itu.

Many plays in Japanese occupation period (1942?1945) were full of propaganda of Japanese Military Government that tried to influence Indonesian people to assist Japanese troops in fighting American army in World War II. Literature was used as a proper propaganda tool, especially plays, where people could get the message directly about what they should do in war situation. A lot of artists were gathered by the Propaganda Service Office (Sendenbu) to work on their fields of creativity (music, sculpture, literature, drama, painting) in order to encourage Indonesian people to participate in the war. Some playwrights such as Usmar Ismail, El Hakim. Armijn Pane, Soetomo Djauhar Arifin, and Merayu Sukma enthusiastically welcomed the program. They wrote many plays that were played by various drama groups that sprang up in that period."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yogi Arief Nugraha
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana media dalam hal ini media televisi (RCTI dan SCTV) memaknai realitas konflik yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia dalam proses produksi beritanya.
Penelitian tentang pola pemberitaan atau pendekatan jurnalistik yang digunakan media televisi dalam proses produksi berita seputar konflik di Indonesia, mengajukan pendekatan jurnalisme perdamaian dan paradigma konstruksionis yang memandang tidak adanya realitas obyektif termasuk dalam berita.
Penelitian deskriptif analitis dengan pendekatan kualitatif ini melakukan kajian terhadap kebijakan dan pandangan pengelola berita di RCTI dan SCTV atas realitas konflik yang terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia hingga masuk ke dalam proses produksi berita.
Studi kualitatif terhadap kebijakan dan pandangan pengelola berita di RCTI dan SCTV disertai analisis berita seputar konflik di RCTI dan SCTV, ditemukan bahwa pemahaman berita yang mencerminkan realitas serta prinsip jurnalisme berimbang dan obyektif dianggap sebagai paradigma tepat dalam menyikapi realitas di wilayah konflik.
Pandangan konstruksionis yang banyak diadopsi oleh pendekatan jurnalisme perdamaian (intervensi dan subyektif terhadap realitas di wilayah konflik demi penyelesaian konflik melalui pemberitaan media) dipandang sebagai bentuk jurnalisme sepihak dan tidak obyektif.
Pada kenyataannya, bagian pemberitaan RCTI dan SCTV pada proses produksi berita seputar konflik tanpa disadari melakukan konstruksi atas realitas seperti memilih angle, nara sumber, penokohan dan penekanan isu tertentu.
Akibat digunakannya pendekatan jurnalisme obyektif (objektifitas semu)- tidak melakukan intervensi subyektif pada proses produksi berita seputar konflik, maka media seringkali dituding mengeksploitasi konflik demi kepentingan bisnis. Dan lebih jauh lagi media dinilai tidak berperan dalam penyelesaian suatu konflik.
Diperlukan kebijakan manajemen RCTI dan SCTV untuk menempatkan program berita sebagai fungsi sosial televisi terhadap pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Salah satunya dengan melakukan intervensi subyektif terhadap suatu berita konflik dengan motif penyelesian masalah.
Program berita televisi sebagai social cost diharapkan dapat menciptakan model pemberitaan yang tidak berorientasi pada selera pasar atau rating, melainkan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan demikian tudingan bahwa televisi hanya mengutamakan kepentingan komersial dapat diimbangi dengan fungsi pemberitaan yang konstruktif."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12097
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afghani Trisna Ramadhan
"Pada awal keruntuhan kekuasaan Belanda di Indonesia, Jepang memanfaatkan kondisi krisis yang terjadi untuk mengambil alih kekuasaan Belanda. Berbagai upaya dalam propaganda dilakukan oleh Jepang, seperti mempengaruhi jurnalis Indonesia, membentuk organisasi propagandis, dan menyiarkan berita dan ulasan yang baik tentang Jepang. Tonarigumi digunakan oleh Jepang untuk membantu penyebarluasan propaganda ke masyarakat Indonesia. Artikel ini akan menjelaskan peran tonarigumi sebagai pembantu propaganda dan kebiasaan yang terbentuk akibat adanya propaganda yang disebarkan bertubi-tubi oleh Jepang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah dengan model sistematis. Hasil penelitian ini adalah tonarigumi berperan menjadi jembatan yang menghubungkan organisasi propagandis dan pemerintah dengan masyarakat. Dari peranan yang dijalankan itu, masyarakat memiliki kebiasaan yang terbentuk seperti menabung dan meningkatnya penggunaan bahasa daerah. Kebiasaan masyarakat yang sebelumnya terbiasa dengan penggunaan bahasa Belanda akhirnya tergantikan oleh bahasa daerah dan bahasa Jepang.

At the beginning of the collapse of Dutch rule in Indonesia, Japan took advantage of the crisis to take over Dutch power. Various efforts at propaganda were made by Japan, such as influencing Indonesian journalists, forming propagandist organizations, and broadcasting good news and reviews about Japan. Tonarigumi was used by the Japanese to help spread propaganda to Indonesian society. This article will explain the role of tonarigumi as a propaganda aid and a habit that was formed as a result of the propaganda that was disseminated repeatedly by the Japanese. This study uses historical research methods with a systematic mode. The result of this research is that tonarigumi acts as a bridge connecting propagandist organizations and the government with the community. Due to that role, people have established habits such as savings and increasing use of regional languages. The habits of the people who were previously accustomed to the use of Dutch were eventually replaced by regional languages and Japanese.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Risky Urbach Yunita
"Keadaan masyarakat Indonesia yang mulai membenci Jepang dimanfaatkan oleh Belanda untuk menarik simpati dari masyarakat Indonesia. Belanda menggunakan propaganda-propaganda untuk mendapat dukungan dan bantuan dari masyarakat Indonesia. Salah satu media propaganda tersebut adalah melalui surat edaran yang disebarkan di beberapa daerah di Indonesia. Penelitian ini membahas teknik-teknik propaganda yang digunakan dalam surat edaran tersebut. Setelah dianalisis, ditemukan bahwa tidak semua teknik propaganda digunakan dalam surat edaran tersebut. Dari lima surat edaran yang dianalisis hanya terdapat empat teknik propaganda yang digunakan dari 13 teknik propaganda yang ada. Empat teknik propaganda tersebut adalah teknik propaganda wholesale condemnation, the use generalities applied to particulars, the doctoring of facts, dan a reputable mouthpiece.

As Indonesian society had begun hating the Japanese, the Netherlands used it to attract the sympathy from Indonesian. The Dutch used propagandas to gain some support and assistance from Indonesian. One of the propaganda media is handbill/flier which was distributed in several regions in Indonesia. This research talks about propaganda techniques used in the flier. Based on the analysis result, it was found that not all the propaganda techniques are used in the flier. From five fliers that were analyzed there are only four propaganda techniques used out of 13 techniques exist. Those four techniques are wholesale condemnation, the use generalities applied to particulars, the doctoring of facts, and a reputable mouthpiece."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2016
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>