Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138549 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agustinus Purnomo Hadi
"Pembebasan bersyarat, pada hakekatnya merupakan satu tahapan dari proses pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan. Tahapan itu merupakan rangkaian dalam penegakan hukum pidana, yang berarti menanggulangi kejahatan dengan sarana hukum pidana, yang dioperasionalkan melalui suatu sistem yang di sebut sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sebagai suatu sistem, maka akan didukung dengan unsur perundang-undangan (unsur substansial) dan unsur kelembagaan (unsur struktural) meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, yang harus bekerja secara terpadu. Namun, secara praktis, kenyataan menunjukkan, yang terjadi justru masih terdapat ketidakterpaduan baik unsur substansial maupun struktural, khususnya yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat. Dalam unsur substansial terdapat kontradiksi antara hukum pidana material dengan hukum pidana formal; antara hukum pidana material dengan hukum pelaksanaan pidana; antara hukum pidana formal dengan hukum pelaksanaan pidana.
Aspek yang sangat penting yang berkaitan dengan pembebasan bersyarat, bahwa secara faktual sebagian besar narapidana ternyata hanya menjalani dan dibina di dalam lembaga pemasyarakatan kurang dari setengah masa pidana dari putusan hakim. Keadaan ini disebabkan karena cara penghitungan persyaratan masa menjalani pidana duapertiga yang tidak sesuai dengan ide KUHP yang menjadi dasar pembebasan bersyarat. Unsur struktural, juga masih terdapat ketidakserasian yang berkaitan dengan proses pemberian pembebasan bersyarat, yaitu tidak dilibatkannya Hakim Wasmat dalam proses pemberian pembebasan bersyarat. Ketidakserasian itu berarti mengarah pada ketidakterpaduan sistem peradilan pidana, yang jika tidak diadakan perbaikan, justru dapat menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan, atau faktor kriminogen."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yayat Hidayat
"Penggunaan pidana perampasan kemerdekaan telah banyak mendapat kritik tajam terutama bila dikaitkan dengan ekses negatif dari pidana tersebut. Pengaruh negatif semakin nyata apabila terhadap pelaku tindak pidana dikenakan pidana penjara pendek. Berbagai negara mulai mengkaji adanya alternatif lain untuk menghindari pidana penjara pendek. Salah satu alternatif yang dapat ditawarkan sebagai pengganti dijatuhkannya pidana penjara pendek adalah pidana bersyarat.. Di Indonesia sendiri pidana penjara jangka pendek yang dijatuhkan dapat dihindari terhadap pelaku tindak pidana, hal ini dikarenakan di dalam KUHP dikenal adanya pidana alternatif pengganti pidana perampasan kemerdekaan atau pidana penjara jangka pendek yaitu pidana bersyarat yang diatur dalam Pasal 14 a sampai 14f KUHP.
Adapun tujuan dari penelitian yaitu untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bersyarat, pelaksanaan pengamatan, pengawasan dan pembimbingan terhadap terpidana bersyarat dan model atau jenis yang diharapkan dari pelaksanaan putusan pidana bersyarat.Berdasarkan tujuan penelitiannya, maka penelitian ini akan menggunakan metode penelitian normatif. Adapun pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif dengan mengandalkan data primer yang berupa wawancara. Wawancara yang dilakukan yaitu dengan wawancara mendalam yang dikelompokan dalam beberapa narasumber, yaitu Hakim pada Pengadilan Negeri Bekasi, Pengadilan Negeri Cibinong dan Pengadilan Negeri Bogor, Jaksa pada Kejaksaan Negeri Bekasi, Kejaksaan Negeri Cibinong dan Kejaksaan Negeri Bogor, Petugas Balai Pemasyarakatan Pada Balai Pemasyarakatan Bogor dan guru besar hukum pidana.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pertimbangan-pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat terdiri dari terdakwa melakukan tindak pidana ringan, adanya perdamaian antara terdakwa dan korban, usia dan kondisi fisik terdakwa, adanya pertimbangan bahwa tindak pidana terjadi karena korban, terdakwa tidak tahu telah melakukan tindak pidana, terdakwa memiliki tanggung jawab dan tanggungan dan telah adanya pengembalian kerugian yang timbulkan dari perbuatan terdakwa baik seluruhnya maupun sebagian, tidak berjalannya putusan pidana bersyarat dengan baik pengamatan dan pengawasan oleh Hakim wasmat, pengawasan oleh Jaksa dan pembimbingan oleh Balai Pemasyarakatan, model diharapkan dari pidana bersyarat yaitu adanya koordinasi antara Hakim, Jaksa dan Balai Pemasyarakatan dalam pelaksanaan putusan pidana bersyarat.
Disarankan kepada hakim dalam hal putusan pidana yang hukumannya di bawah 1 (satu) tahun lebih mengutmakan pidana bersyarat dari pada pidana penjara, dan dalam penjatuhan pidana bersyarat selain menetapkan syarat umum hakim juga diharapkan menetapkan syarat khusus terhadap terpidana bersyarat, kemudian disarankan adanya penyerahan terpidana bersyarat oleh Jaksa ke Balai Pemasyarakatan untuk dilakukan pembimbingan.

The use of criminal liberty deprivation has get many sharp criticisms especially when associated with the negatives excesses of the criminal. Negative influence is more noticeable when the criminal offence charged short imprisonment. Many countries began to examine the existence other alternatives to avoid short imprisonment. One of the alternatives that can be offered as a replacement for the charge of short imprisonment is a probation. In Indonesia short imprisonment which charged can be avoid against the criminal offenders, as in the Criminal Code recognized the existence of alternative criminal from criminal liberty deprivation or short imprisonment which is probation regulated in the section 14 a to 14 f of the Criminal Code (KUHP).
As for the purpose of the research is to find out the consideration of judges to charge probation, execution of observation, supervision and guidance to the convicted person and the model or type of execution of probation. Based on the purpose this research, this research will use the method of normative research. As for the approach use qualitative approach by relying on primary data which is interview. Interview conducted by interviewing in depth that are grouped within some sources, the Judge in Bekasi District Court, Cibinong District Court and Bogor District Court, State Attorney in Bekasi, State Prosecutor Cibinong and Bogor, State Correctional Officers In Correctional Hall Bogor and Professor of criminal law.
The result of the research found that considerations of judges in charging probation consist of defendant do light crime act, the existence of peace between the defendant and the victim, the age and physical condition of the defendant, there is consideration that the crime occurred because the victim, the defendant did not know had committed a criminal offence, the defendant has a responsibility and a dependent and returning loss which impact from the act of the defendant in whole part or some part, the verdict of probation not going well in observation and supervision by the the judge supervisory and observer, observer by attorney and guidance by the Correctional Hall, the model which expected from probation is coordination between Judges, Attorneys and Correctional Hall in the execution of the verdict of probation.
It is suggested to the Judge in that case the verdict of the criminal punishment under one year more prioriting probation than imprisonment, and in addition to charge probation beside apply general terms of Judges also expected to apply special terms to convicted of probation, then suggested submission convicted of probation by Attorney to Correctional Hall to give them guidance.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29507
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Tandigau, Rannu
"Pengorbanan bangsa Indonesia yang telah diraih untuk mencapai suatu kemerdekaan tidaklah mudah begitu saja, memerlukan rentan waktu yang sangat lama sampai mencapai kemerdekaan. Penegakan hukum yang terjadi selama ini dan sampai saat sekarang belum menunjukkan suatu kerja yang baik, akan tetapi masih jauh dari harapan dan hukum masih tertatih-tatih mengikuti keadaan yang seyogyanya diatur (het recht hink achter de feiten aan) namun sudah mulai nampak sedikit demi sedikit kinerja yang dilakukan oleh pemerintah sekarang ini karena tidaklah mudah untuk memperbaiki keadaan yang sudah sangat buruk, jadi diperlukan penahapan satu demi satu.
Institusi Kejaksaan sebagai lembaga negara di bawah eksekutif yang bertugas melakukan penuntutan mewakili negara, dalam hal ini seyogyanya hanya sebatas koordinasi dengan eksekutif bukan komando oleh eksekutif ini dilakukan agar fungsi penuntutan tetap independen, akuntabel, dan mandiri.
Hak oportunitas (asas oportunitas) yang dimiliki oleh Jaksa Agung berdasarkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. Bagian Kedua Khusus Pasal 35 huruf c, Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum yang menyangkut kepada seluruh rakyat bukan sekelompok golongan saja, dan harus dikoordinasikan juga dengan lembaga-lembaga pemerintah yang terkait terhadap asas
ini.
Lokasi penelitian penulis yaitu di wilayah DKI Jakarta tepatnya di Kejaksaan Agung R.I, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Mahkamah Agung R.I., dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Janis data yang dikumpulkan yakni studi kepustakaan (library study) dan studi lapangan (field study)."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T16423
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Mafia peradilan merupakan cap buruk yang melekat pada budaya kerja aparat penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, penasehat hukum , serta petugas permasyarakatan) yang mengesampingkan tata cara penegakan hukum secara benar serta melakukan perbuatan-perbuatan yang memperjualbelikan keadilan. Walaupun belum merupakan jaringan terorganisasi dan dan memiliki aturan-aturan yang mengikat pelaku mafia sebagai sebuah organisasi kejahatan telah nyata terlihat. Apabila tidak ditanggulangi secara serius, maka mafia peradilan akan menjadi organisasi kejahatan yang menguasai lembaga peradilan yang bertugas memerangi kejahatan."
JMHUMY 7:2 (2000)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Kencana, 2011
340.114 ROM s
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Chairul Huda
"Kurun waktu seratus tahun belakangan ini telah terjadi perubahan-perubahan pemikiran dalam hukum pidana. Perubahan pemikiran yang paling mutakhir adalah dilihatnya hukum pidana sebagai suatu konsep pengendalian sosial. Perhatian tidak lagi semata-mata ditujukan kepada perbuatan pidana (Aliran Klasik), ataupun perbuatan pidana dan pembuat perbuatan pidana (Aliran Modern), tetapi hukum pidana itu sendiri menjadi pusat perhatian (Aliran Kontrol Sosial). Konsep ini melahirkan gerakan yang bersifat abolisionistis terhadap hukum pidana. Selain itu timbul pula usaha untuk memperhatikan prinsip-prinsip negara kesejahteraan dalam sistern peradilan pidana dan upaya menemukan cara pelaksanaan pemidanaan yang lebih efektif. Akibatnya, berbagai permasalahan mendasar dalam hukum pidana yang selama ini dipandang telah selesai, dibuka kembali. Masalah-masalah tersebut kini dilihat dalam spektrum yang lebih luas, yang melibatkan metode dan pandangan pemikiran disiplin-disiplin lain.
Kenyataan ini menimbulkan berbagai kecenderungan dalam sistem dan pelaksanaan peradilan pidana. Kecenderungan-kecenderungan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga tahap, yaitu kecenderungan dalam tahap perumusan (kebijakan legislatif), kecenderungan dalam tahap penerapan (kebijakan yudikatif), dan kecenderungan dalam tahap pelaksanaan (kebijakan eksekutif). Tercatat adanya beberapa kecenderungan baru dalam kriminalisasi dan dekriminalisasi, kecenderungan meluasnya penggunaan wewenang diskresi aparat peradilan pidana, dan kecenderungan untuk memperlunak pelaksanaan pemidanaan.
Kecenderungan-kecenderungan demikian pada gilirannya berpengaruh terhadap sistem dan pelaksanaan peradilan pidana Indonesia. Betapapun beberapa kecenderungan telah terantisipasi dalam usaha pembaharuan hukum pidana, namun masih banyak kecenderungan-kecenderungan lain yang belum terlihat tanda-tandanya akan diantisipasi dalam berbagai rancangan dan peraturan perundang-undangan di Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudhistira Adhi Nugraha
"Penulisan tesis ini membahas mengenai permasalahan pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dalam praktek di pengadilan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, serta bertentangan atau tidaknya putusan hakim yang menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan asas legalitas.
Dari hasil penelitian yang bersifat yuridis normatif, di mana penelitian ini dilakukan berdasarkan sumber data sekunder dengan cara meneliti bahan pustaka yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, diperoleh kesimpulan bahwa pemidanaan terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus dapat dijatuhkan di bawah ancaman pidana minimum khusus, kendati pengaturan mengenai hal tersebut belum ada (sebelum diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Pemidanaan di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus tersebut dijatuhkan dengan melakukan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Selanjutnya, Penjatuhan pidana di bawah ancaman pidana minimum khusus terhadap terdakwa anak yang terancam pidana minimum khusus tidaklah bertentangan dengan asas legalitas, karena di sini hakim bukan sebuah "corong" atau "terompet"-nya undang-undang (la bouche de la loi) yang hanya menerapkan hukum yang ada secara apa adanya, melainkan hakim juga memiliki tugas untuk melakukan rechtvinding yang artinya adalah menyelaraskan undang-undang dengan tuntutan jaman, salah satunya dengan cara melakukan interpretasi atau menafsirkan undang-undang dalam rangka memperjelas atau melengkapi undang-undang tersebut.

This thesis is to discuss the issues of punishment for the accused children who threatened by special minimum sentence in court practice before the enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System, the basic consideration of judges in imposing capital below the special minimum sentence against the accused children who threatened by special minimum sentencing before the enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System, as well as whether or not the judge's decision which below the special minimum sentence against the accused children who threatened by special minimum sentencing before the enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System contradicts with the principle of legality.
From the research that is normative, where the research was conducted based on secondary sources and examine library materials including primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials, we concluded that the punishment for the accused children who threatened by special minimum sentence, could be below the special minimum sentence, although the regulation on that matter not already yet (before the promulgation and enactment of Law No. 11 Year 2012 About Children Criminal Justice System).
Punishment below the special minimum sentence imposed by certain considerations. Furthermore, the punishment below the special minimum sentence for the accused children who threatened by special minimum sentence is not against the principle of legality, because here the judge is not a "funnel" or "horn" of the law (la bouche de la loi) that just simply apply existing law as it is, but the judge also has a duty to perform rechtvinding which means aligning legislation with the spirit of the age, one way to interpretation the law in order to clarify or supplement the law.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T33048
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Purwati
"Proses pelayanan peradilan pidana mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, sidang di pengadilan dan pemasyarakatan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun kemudian, berbagai permasalahan kemudian muncul, mayotitas adalah berkaitan dengan pelaksanaan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur proses peradilan pidana tersebut. Ombudsman sebagai pengawas penyelenggaraan publik mempunyai peran dalam melakukan pencegahan dan pemeriksaan atas dugaan Maladministrasi yang terjadi dalam proses peradilan pidana tersebut, Maladministrasi tersebut juga berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Berdasarkan hasil penelitian, pengawasan dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik pada proses peradilan pidana dilakukan oleh pengawas internal seperti Inspektorat, Jaksa Agung Muda Pengawasan maupun Hakim Pengawas. Pengawasan eksternal kemudian dilakukan juga oleh beberapa instasni seperti Ombudsman. Namun kemudian, pengawasan yang dilakukan oleh Ombudsman tentu tersebut pada aspek administrasi atau formil peradilan. Hal tersebut dikarenakan, dalam hukum materiil pada proses pemeriksaan pidana menjadi kewenangan dari aparat penegak hukum. Dalam pelaksanaan kewenangan pengawasannya, Ombudsman juga memiliki kendala seperti sifat hasil pemeriksaan akhir Ombudsman yaitu saran perbaikan, tindakan korektif atau rekomendasi yang belum sepenuhnya dilaksanakan oleh instansi yang dilaporkan.

The process of criminal justice services starting from the process of investigation, investigation, prosecution, trial in court and correctional institutions has been regulated in statutory regulations. However, later, various problems then emerged, the majority of which were related to implementation that was not under the laws and regulations governing the criminal justice process. The Ombudsman as supervisor of public administration has a role in preventing and examining alleged maladministration that occurred in the criminal justice process, this maladministration also has the potential to cause human rights violations. Based on the results of the research, supervision in the process of providing public services in the criminal justice process is carried out by internal supervisors such as the Inspectorate, Deputy Attorney General for Supervision, and Supervisory Judges. External supervision is also carried out by several agencies such as the Ombudsman. But then, the supervision carried out by the Ombudsman is certainly on the administrative or formal aspects of the judiciary. This is because, in material law, the criminal examination process is the authority of law enforcement officials. In carrying out its supervisory authority, the Ombudsman also has obstacles such as the nature of the results of the Ombudsman's final inspection, namely suggestions for improvement, corrective action, or recommendations that have not been fully implemented by the agency reported."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ario Wahyu Hapsoro
"Tesis ini membahas mengenai hadirnya KPK sebagai lembaga negara independen anti korupsi yang mempunyai kewenangan penuntutan. Kewenangan yang selama ini telah menjadi domain institusi Kejaksaan dengan asas universal bahwa Kejaksaan sebagai dominis litis dalam bidang penuntutan dan Jaksa Agung sebagai pengendali tertinggi kewenangan penuntutan tersebut. Secara institusional atau kelembagaan terjadilah dualisme penuntutan dimana fungsi penuntutan di KPK dikendalikan oleh ketua KPK dan fungsi penuntutan di Kejaksaan dikendalikan oleh Jaksa Agung.
Pertanyaan penelitian dalam tesis ini adalah bagaimana mekanisme penuntutannya apabila terjadi penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik KPK dan Polri secara bersamaan, apakah kewenangan penuntutan yang ada pada KPK bertentangan dengan asas een ondeelbaar dan apakah dengan adanya dualisme kewenangan penuntutan tersebut sudah sesuai dengan sistem peradilan pidana.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme penuntutan suatu tindak pidana korupsi bila penyidikannya dilakukan oleh institusi Polri dan KPK secara bersamaan, untuk mengetahui apakah kewenangan penuntutan KPK bertentangan dengan asas een ondeelbaar dan untuk mengetahui apakah dengan adanya dualisme kewenangan penuntutan tersebut sudah sesuai dengan sistem peradilan pidana terpadu.
Metode penelitian dalam menjawab permasalahan tersebut adalah dengan suatu kajian yuridis normatif dan penelitian lapangan berupa wawancara terhadap para guru besar atau akademisi dalam bidang Hukum Acara Pidana dan Kriminologi serta para praktisi dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa kewenangan penuntutan yang dimiliki KPK sudah sesuai dengan tujuan politik kriminal dari pemerintah dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai suatu extraordinary crime dengan membentuk lembaga negara adhoc anti korupsi yang mempunyai kewenangan superbody, namun dalam prakteknya kewenangan tersebut juga menyimpangi sejumlah asas antara lain asas een ondeelbaar yaitu jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan dimana Jaksa Agung berada di puncaknya sebagai pengendali, menyimpangi asas dominis litis yang berlaku universal dimana Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan dengan Jaksa Agung sebagai pengendali tertinggi, serta adanya kekeliruan perihal ketentuan bahwa pimpinan KPK dapat bertindak selaku penuntut umum, padahal mereka bukan lah seorang jaksa sehingga seharusnya pengendalian penuntutan terhadap jaksa-jaksa di KPK tetap berada pada Jaksa Agung.

This thesis discusses the existence of KPK as an anti-graft independence agency that has prosecutorial power. The authority that has been the domain of the District Attorney’s Office with universal principle that District Attorney’s Office as Dominus litis in prosecution and the Attorney General as the supreme official controlling the prosecutorial powers. Institutionally, there is a dualism in prosecution where the prosecutorial function at KPK is controlled by the KPK Chairman and the prosecutorial function is controlled by the Attorney General.
The research question in this thesis is: how is the mechanism of the prosecution if the corruption case is handled by KPK and police investigators at the same time? Is the existing prosecutorial power of the Anti-Corruption Commission contrary to the principle of een ondeelbaar (universality and indivisibility) and is the dualism in prosecutorial powers in conformity with the integrated criminal justice system?
The research methodology to answer the research question is by conducting a judicial normative study and a field research by interviewing professors or academia who are experts in Law of Criminal Procedure and Criminology as well as the practitioners of the graft eradication.
The research findings state that the prosecutorial powers possessed by the Anti-Corruption Commission has conformed to the criminal politics objectives of the government in combating graft/corruption as an extraordinary crime by establishing an ad hoc anticorruption state agency which has the authority of a superbody; however, in practice this power also violates a number of principles, among others the principle of een ondeelbaar (universality and indivisibility), i.e. there is only one prosecutor and is inseparable in which the Attorney General is at the top as the controller, deviates from the principle of dominus litis that is applicable universally in which the District Attorney’s Office is the only prosecution agency with the Attorney General as the supreme controller, as well as the existence of errors in the provision stating that KPK Chairman can act as public prosecutor, despite the fact that he is not a prosecutor; therefore, the prosecution control of the prosecutors at KPK shall remain in the hands of the Attorney General.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T36003
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Samuel
"ABSTRAK
Sistem peradilan pidana sejatinya adalah proses yang dikonstruksikan untuk menanggulangi kejahatan melalui proses peradilan yang dilakukan terhadap pelaku tindak pidana. Proses yang dilakukan tersebut memperhadapkan pelaku tindak pidana dengan negara yang diwakili oleh penuntut umum. Dalam proses demikian pelaku tindak pidana didampingi dan dibela oleh advokat. Advokat melalui Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah penegak hukum yang bebas dan mandiri, yang menjalankan profesinya di dalam maupun di luar pengadilan. Advokat adalah bagian dari sistem peradilan pidana yang integratif dalam rangka menanggulangi kejahatan. Pada saat ini sistem peradilan pidana di Indonesia menganut sistem non-adversarial yang memberikan posisi sentral kepada hakim untuk bertindak aktif dalam menilai fakta (kesalahan), hukum, dan hukuman. Bahkan hakim cenderung bertindak sebagai semi-prosecutor. Tentu saja keadaan demikian tidak memberikan keleluasaan kepada advokat untuk melakukan pembelaan kepada kliennya berdasarkan dalil-dalil yang dibenarkan oleh hukum. Dalam perkembangannya, karakter adversarial yang merupakan ciri sistem peradilan di negara-negara common law diadopsi ke dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun demikian karakter adversarial tersebut tidak diadopsi secara utuh, setidaknya demikian terlihat dalam Rancangan KUHAP. Karakter adversarial yang dianut dalam Rancangan KUHAP masih menganut prinsip hakim aktif dalam persidangan. Dalam sistem adversarial, advokat sebagai penasihat hukum terdakwa di sidang pengadilan memiliki peran yang lebih baik untuk membela kepentingan hukum terdakwa. Peran tersebut ditandai dengan kedudukan yang sama antara penuntut umum maupun advokat di persidangan. Penuntut umum dan advokat akan berperan aktif untuk menemukan kebenaran berdasarkan pembuktian melalui proses adu atau counter balance. Posisi penuntut umum dan advokat sebagai demikian menjadikan posisi hakim bersifat pasif atau hakim hanya sebagai wasit dalam proses adu tersebut. Letak pembenaran sistem adversarial atau sistem perlawanan adalah pada kenyataan bahwa sistem ini merupakan suatu sarana, di mana kemampuan individu dapat ditingkatkan sampai titik di mana ia memperoleh kekuatan untuk melihat realitas dengan mata yang bukan matanya sendiri, di mana ia mampu untuk menjadi bebas dari keberpihakan dan bebas dari prasangka sebagaimana “dapat dimungkinkan oleh keadaan manusia”. Dengan kata lain, sistem adversarial menyakini bahwa kebenaran akan muncul melalui proses adu yang dilakukan secara seimbang dan fair antara penuntut umum dan advokat.

ABSTRACT
The criminal justice system is actually a constructed process to overcome crime through judicial proceedings against defendant. The process undertaken is by confronting the defendant with the state represented by the public prosecutor. In the process, the defendant is represented and defended by advocates. Advocate based on Law Number 18 of 2003 regarding advocate is a law enforcerment officer who is free and independent, performing his profession in or outside the court. Advocate is a part of an integrated criminal justice system to overcome crime. Nowadays, the criminal justice system in Indonesia adopts non-adversarial system that gives the judge a central position to act actively in assessing the facts (guilty), law, and punishment. Moreover, the judges tend to act as a semi-prosecutor. Indeed, such conditions do not give adequate freedom to the advocates in defending their clients based on justified arguments. In the development, adversarial characteristic as the characterictic of criminal justice system of common law’s country is being adopted in criminal justice system in Indonesia. However, the adversarial characteristic is not fully adopted as a seen in the draft of The Code of Criminal Procedure which is still adhered to the principle of active judges in the trial. In the adversarial system, advocates as the defendant’s legal counsel in the trial have a better role in defending the legal interests of the accused. That role is characterized by an equal position of both the public prosecutor and the advocate in the court. Prosecutor and advocate will play an active role to find the truth through evidence-based process or counter balance. The position of the public prosecutor and advocate will give a passive position to the judge or the judge only play as a referee in that trial. The justification of adversarial system is a reality that the system is a place, where any individual’s ability could be improved up to the point where he gains the power to see the reality through his own eyes, where he was able to be free from prejudice as “human condition possibility”. In other words, the adversarial system believes that the truth will appear through counter balance process which is equally and fairly between prosecutor and advocate."
Universitas Indonesia, 2013
T33133
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>