Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156108 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yosephine Sri Sutanti
"Studi kasus terhadap kegiatan informal dilakukan di bengkel mobil "A", Jakarta. Desain ini dipilih karena memang sektor informal masih belum banyak diteliti. Data dikumpulkan dari pengamatan, anamnesis, pemeriksaan fisik, penunjang dan lingkungan. Hasil kajian didapatkan 2 kasus tenaga kerja , masa kerja 15 dan 11 tahun, dengan keluhan mata silau, yang mendapat pajanan kronik radiasi sinar ultra violet dan percikan logam (gram) berulang. Pengukuran pajanan radiasi yang diterima jaringan masih di bawah NAB, kelainan berupa sikatriks kornea (nebula) pada kedua pengelas dan pinguekula pada seorang pengelas.
Faktor yang mendukung terjadinya kelainan yaitu akibat kurangnya pengetahuan tentang bahaya pengelasan dan tidak adanya alat pelindung mata (goggles) selama pengelasan. Diagnosis penyakit akibat kerja pada studi ini sikatriks kornea berupa nebula akibat percikan logam berulang selama pengelasan.

Disorder of the Eye of Welding Labor, A Case Study at a Garage "A" in Jakarta, 1998.A case study on informal sector was conducted at a garage "A" in Jakarta. This design was selected because there has not much studies being conducted on informal sector. Data were collected from observation, anamnesis, physical and laboratory examination and environment condition. As a result, there were two workers with 15 and 11 years of working period who have eye complaints due to the chronically exposed of ultra violet radiation and repeatedly hit metal sparks. Measurement of radiation exposure to the tissue was still under the TLV. Disorder of the eyes were corneal cicatrices (nebula) in both workers and pingeucula in one of the workers.
Contributing factor to the disorder was due to the lack of knowledge about the dangerous of welding and no protection (goggles) during the welding activities. The occupational diseases diagnosed in this studio arc corneal cicatrices (nebula) due to repeatedly metal sparks during welding activities.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karamoy, Andrita
"Tujuan: Untuk mengetahui apakah pemberian suplemen antioksidan dapat mengurangi pemanjangan waktu pemulihan makula pada juru las dengan pemakaian safety goggle. Design: Uji klinis tersamar ganda kelompok paralel secara randomisasi.
Metode: 44 subyek dibagi menjadi.2 kelompok. Kelompok perlakuan 21 subyek mendapat suplemen vitamin C 50 mg, vitamin E 10 mg dan β-carotene 6 mg selama 2 minggu berturut-turut, sedangkan kelompok kontrol 23 subyek mendapat plasebo. Pengukuran WPM dilakukan sebelum dan sesudah suplementasi baik pada saat sebelum dan sesudah 5 menit bekerja menggunakan safety goggle.
Hasil : Selisih WPM sebelum dan sesudah mendapat suplemen (WPM 2) pada kelompok perlakuan adalah 17,90±5,58 detik, sedangkan kelompok kontrol adalah 23,78±6,64 detik terdapat perbedaan bermakna secara statistik (3WPM 2) antara kedua kelompok penelitian (p<0,05).
Kesimpulan : Pemberian suplemen vitamin C 50 mg, vitamin E 10 mg and β -carotene 6 mg selama 2 minggu berturut-turut pada juru las yang menggunakan safety goggle terbukti dapat mengurangi pemanjangan WPM.

Objective: To evaluate whether assigning antioxidants supplement to welders using safety goggles could influence the prolong recovery time of photostress lest.
Methods: The study is randomized, double-blinded clinical trial. Forty-four male welders were included and divided into two groups and conduct matched pairs based on age and visual acuity. Twenty-one (21) welders for 5 minutes work assigned with antioxidants (subject group), while twenty-three (23) welders for the same duration assigned with placebo (control group) were given supplement for 14 days continuously. The antioxidants contained vitamin C 50 mg, vitamin E 10 mg and β-carotene 6 mg. The study was conducted at the Technical Institute of Welders in Surakarta from December 2004 through January 2005.
Results: The photostress recovery test in subject group produce an improvement (p< 0,05) while in placebo group remains unchanged (p>0,05).
Conclusion: Oral vitamin C 50 mg, vitamin E 10 mg and β -carotene 6 mg are proven to reduce the prolong time of photostress recovery test in welders using safety goggles.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syska Widyawati
"Tujuan: Membandingkan kualitas fungsi penglihatan berupa tajam penglihatan, sensitivitas kontras dengan dan tanpa adanya glare pada pemakaian lensa intraokular (LIO) jenis rigid PM1i/LI dengan jenis lensa lipat (LLIO) dari bahan acrylic hyrophilic.
Tempat: Perjan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Metoda: Prospektif, randomisasi pada 40 mata katarak senilis imatur derajat 1-3. Dua puluh pasien menggunakan LIO PMMA dan 20 lainnya menggunakan LLIO acrylic hydrophilic. Pengukuran kualitas fungsi penglihatan ditakukan pada hari ke-28, parameter yang diukur adalah tajam penglihatan dengan koreksi terbaik, sensitivitas kontras dengan dan tanpa adanya glare menggunakan alat Takagi contrast glare tester.
Hasil: Karakteristik pasien pra operasi antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna, kecuali pada nilai astigmatisme kornea (p 0,023) namun seluruh nilai astigmatisme kornea kurang dan 3 dioptri sesuai kriteria inklusi. Seluruh pasien mencapai tajam penglihatan maksimal dengan koreksi pada hari ke-28 (rerata - 0.075±0.044) dengan koreksi yang diberikan pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna, demikian pula dengan nilai astigmatisme kornea pasca operasi. Pengukuran sensitivitas kontras dengan dan tanpa glare kelompok acrylic lebih rendah daripada kelompok PMMA, namun pada uji statistik tidak didapat perbedaan bermakana (p0,05).
Simpulan: Tajam penglihatan dengan koreksi, sensitivitas kontras dengan tanpa adanya glare pada pemakaian LIO jenis PMMA dan LLIO jenis acrylic sama baik.

Purpose: To compare the quality of visual function by means of best corrected visual acuity, and contrast sensitivity with and without glare in pseudophakic patients using PMMA rigid intraocular lens and foldable acrylic hydrophilic.
Place: Perjan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Method: A prospective, randomized study was performed on 40 patients with immature senile cataract grade 1-3. All the patients underwent phacoemulsification, with 20 patients receiving rigid PMMA and the other 20 foldable hydrophilic acrylic. The quality of visual function was measured as best corrected visual acuity and contrast sensitivity with and without glare using the Takagi contrast glare tester 28 days after surgery.
Result: Patient characteristics before surgery in both group showed no significant difference, except for corneal astigmatism (p=0.023), however the amount of astigmatism in all patients were not more than 3 diopter, meeting the inclusion criteria. All patients achieved maximal visual acuity in day-28 after surgery (mean - 0.075+ 0.044) with best spectacle correction. The mean of correction given and the corneal astigmatism after surgery in both groups were not significantly different. The measurement of contrast sensitivity with and without glare condition were lower in acrylic group but showed no statistically significant difference (p>0.05) compared to the PMMA group.
Conclusion: Best corrected visual acuity and contrast sensitivity with and without glare in pseudophakics using rigid PMMA intraocular lenses were comparable to hydrophilic acrylic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Asroruddin
"Tujuan: Mengevaluasi kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan tingkat gangguan penglihatan dan penyakit mata penyebab gangguan penglihatan pada populasi gangguan penglihatan berat dan buta di Indonesia.
Metode: Studi dilakukan di 5 provinsi di Indonesia dengan menggunakan teknik cross sectional melalui pemeriksaan oftalmologis lengkap dan wawancara terpimpin menggunakan kuesioner NEI-VFQ25 pada 134 responden studi validasi kebutaan Riset Kesehatan Dasar 2013, yang berusia 18 tahun atau lebih dan visus <6/60. Skor kualitas hidup total dan subskala dari kuesioner diperbandingkan berdasarkan kelompok buta dan gangguan penglihatan berat, penyakit mata penyebab, dan kisaran lama kebutaan.
Hasil: Kebutaan dan gangguan penglihatan ditemukan lebih tinggi pada perempuan, usia lanjut, dan tingkat pendapatan dan pendidikan rendah, dengan katarak sebagai penyebab utama. Skor kualitas hidup pada responden buta lebih rendah secara bermakna dibanding gangguan penglihatan berat dalam skor total (p=0,001), penglihatan dekat (p=0,002), dan penglihatan jauh (p=0,007). Tidak ditemukan perbedaan bermakna pada skor kualitas hidup pada responden dengan glaukoma dibanding katarak (p=0,052) dan penyakit lainnya, namun glaukoma memiliki skor paling rendah. Perbedaan kualitas hidup juga tidak berbeda bermakna berdasarkan kisaran lama gangguan penglihatan.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan kualitas hidup terkait penglihatan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tingkat gangguan penglihatan. Kualitas hidup tidak berbeda bermakna berdasarkan penyakit mata penyebab dan lama gangguan penglihatan.

Purpose: To evaluate vision-related quality of life in severe low vision and blind population based on grade of vision loss and ocular morbidity in Indonesia.
Method: A cross-sectional study was conducted in five provinces in Indonesia by ophthalmological examination and guided-interview using NEI-VFQ25 questionnaire in 134 respondents of Blind Validation Study of Basic Health Survey 2013, aged 18 years or more with presenting visual acuity <6/60. Comparison of composite and subscale score of questionnaire was analyzed in blind and severe low vision group, based on ocular morbidity, and onset (range) of impairment.
Result: Severe low vision and blind was mostly found in female, productive ages, and low education level and income, with cataract as the leading cause. Composite score of blind was statistically significant lower than severe low vision group (p=0,001), also in distance act (p=0,007) and near act (p=0,002), and in almost all subscale score. Total score of glaucoma respondents was the lowest other than cataract and other ocular disease, include all subscale score. Quality of life score and ocular diseases (p=0,052) and also onset (range) of visual impairment were not significantly related.
Conclusion: Visual impairment had impact on vision-related quality of life in blind and severe low vision based on age, sex, and visual impairment grade. No significant difference of quality of life was found based on ocular morbidity and onset of visual impairment.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Oktavidal Felani Putra
"Latar Belakang : Beban kerja pada pemandu lalu lintas udara dengan penggunaan layar VDT dapat menimbulkan risiko sindrom mata kering yang dapat mengganggu fungsi penglihatan sehingga berisiko menurunkan keselamatan penerbangan. Tujuan dari penelitian ini adalah melihat prevalensi sindrom mata kering pada pemandu lalu lintas udara di bandara Soekarno Hatta beserta faktor-faktor risiko yang berhubungan.
Metode : Desain penelitian menggunakan potong lintang dengan total sampling. Dilakukan pada pemandu lalu lintas udara unit controller ACC dan APP di bandara Soekarno Hatta. Sindrom Mata Kering diukur menggunakan dua macam pemeriksaan, yaitu secara subjektif dengan menggunakan kuesioner Occular Surface Dissease Index OSDI dan secara objektif dengan menggunakan tes schirmer. Variabel yang dianalisis adalah Usia, jenis kelamin, jabatan, masa kerja, jumlah pesawat yang ditangani 1 hari, merokok, gangguan fungsi penglihatan.
Hasil : Dari 316 PLLU unit controller hanya 134 responden yang bersedia mengikuti penelitian dan 124 responden yang memenuhi kriteria inklusi. Didapatkan prevalensi sindrom mata kering 60,5 dengan mayoritas adalah derajat ringan sebesar 33,1 . Faktor-faktor dominan yang berhubungan dengan sindrom mata kering adalah jabatan dan gangguan fungsi penglihatan. Jika dibandingkan dengan PLLU dengan jabatan supervisor pengawas maka PLLU dengan jabatan senior yang memang tugasnya adalah sebagai pelaksana di ACC dan APP lebih cenderung sindrom mata kering [ Odd Ratio OR = 3,54 ; 95 interval kepercayaan IK 1,44 -8,71; nilai p = 0,006 dan gangguan fungsi penglihatan dengan sindrom mata kering menunjukkan hasil analisis multivariate OR = 0,44; 95 interval kepercayaan IK = 0,20-0,96; nilai p=0,038].
Simpulan : Jabatan dan gangguan fungsi penglihatan berhubungan dengan terjadinya sindrom mata kering pada pemandu lalu lintas udara di bandara Soekarno Hatta.Kata Kunci : Jabatan;gangguan fungsi penglihatan;sindrom mata kering;PLLU

Background Workload of the Air Traffic Controller using a VDT can increase the incidence of dry eye syndrome and lead to limitation of the visual capacity, this condition can decrease the flight safety.
Methods The design of the study was Cross sectional with total sampling of all Air Traffic Controller ACC and APP unit in Soekarno Hatta Airport. Two type of measurements was used to identify dry eye syndrome, using Ocular Surface Disease Index OSDI questionnaire for subjective and Schirmer Test as the objective test. Variables included were age, sex, job position, length of service, number of aircrafts handled in one day, smoking, visual disorders.
Results From 316 Air Traffic Controllers only 134 were willing to participate and only 124 respondents meet the inclusion criterias. The prevalence of dry eye syndrome among ATC is 60,5 , mostly 33,1 is mild dry eye syndrome. The dominant factors that associated with dry eye syndrome in ATC were job position and the visual disorders. Senior controllers have a 3,54 higher risk to get dry eye syndrome compared to supervisors Odd Ratio OR 3,54 95 IC 1,44 8,71 p 0,006 and the visual disorders associated with dry eye syndrome OR 0,44 95 IC 0,20 0,96 p 0,038.
Conclusions Job Position and visual disorders were with dry eye syndrome in Air Traffic Controller at Soekarno Hatta Airport.Keywords Job Position Visual Disorders Dry Eye Syndrome ATC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiansyah Kusuma
"Banyak organisasi yang bergerak dibidang pelayanan kesehatan mata telah banyak mengajukan panduan dalam pelayanan kesehatan mata terutama yang berkaitan dengan penglihatan warna. The most widely used untuk skrining gangguan penglihatan warna adalah tes Ishihara. Namun saat ini ditawarkan vision tester yang multifungsi untuk banyak berbagai skrining kesehatan mata termasuk penglihatan warna. Untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara hasil pemeriksaan menggunakan vision tester dengan hasil pemeriksaan menggunakan tes Ishihara pada skrining penglihatan warna pekerja dan untuk mengetahui proporsi gangguan penglihatan warna pada pekerja yang menjadi subyek dalam penelitian ini, dilakukan studi potong lintang dengan memakai data sekunder dari hasil pemeriksaan para pekerja laki-laki dari berbagai jenis perusahaan di Jakarta dan Bogor. 32 dari 492 (6,5%) pekerja terdeteksi sebagai gangguan penglihatan warna oleh tes Ishihara. Namun terlihat ketidaksesuaian hasil yang diperoleh dari kedua alat dimana 152 dinyatakan normal oleh tes Ishihara, sedangkan vision tester menyatakan sebagai gangguan dengan presentasi ketidaksesuaian mencapai 33%. Keduanya ternyata berbeda secara bermakna berdasarkan uji Mc Nemar (p<0.001) dan memiliki tingkat kesesuaian yang rendah berdasarkan uji Kappa dengan nilai 0,21 (p<0.001). Perbedaan panjang gelombang cahaya mungkin menyebabkan bias. Proporsi pekerja dengan gangguan penglihatan warna sebesar 6,5%. Sedangkan berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan vision tester prevalensi gangguan penglihatan warna sebesar 37,4%. Sebagai simpulan adalah hasil pemeriksaan menggunakan vision tester ternyata memiliki ketidaksesuaian dengan hasil pemeriksaan menggunakan tes Ishihara pada skrining penglihatan warna. Dan proporsi gangguan penglihatan warna pada pekerja yang menjadi subyek dalam penelitian ini menurut tes Ishihara sebesar 6,5%, sedangkan menurut vision tester sebesar 37,4%. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mencari penyebab ketidaksesuaian ini. Juga disarankan melakukan penelitian yang sama dengan menggunakan vision tester dari merek yang berbeda lain.

Most eye health services organizations had released guidence to vision examination especially related the color vision. Ishihara test is the most widely used for color vision screening. However currently a multifunctional tester offered for vision screening including color vision. A Cross sectional study was conducted by using secondary data to determine the level of suitability between the vision tester and the Ishihara test, based on the results of color vision screening from booth in Male workers from several types of companies in Jakarta and Bogor and also to find out the proportion of impaired colour vision from them. 32 of 492 (6.5%) workers detected as impaired color vision by Ishihara test. But a significant mismatch results was obtained from both which 152 declared normal by Ishihara test, while the vision tester states as impaired and the mismatches reaches 33%. Both tools showed the mismatch according to Mc Nemar test (ρ <0.001) and had a low level of suitability from the Kappa test based on the value of 0.21 (ρ <0.001). The difference of wavelengths of light may cause bias. From the results of Ishihara test, proportion of workers with impaired color vision is 6.5%. While based on the results of vision tester, impaired color vision is 37.4%. We conclude that there is no suitability between the vision tester and the Ishihara test, based on the results of color vision screening. Needed further research to find the cause of this mismatch. Also suggested to do the same study by using vision tester from different brands."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yani Fathur Rohman
"Eksklusi sosial pada penyandang disabilitas penglihatan di tempat kerja berkaitan dengan pengaturan organisasi dan institusi. Kajian-kajian sebelumnya mengenai ekslusi sosial dan penyandang disabilitas penglihatan di tempat kerja dapat dikatagorikan ke dalam tiga subtansi yakni diskriminasi sosial, persoalan aksesibilitas, dan faktor internal penyandang disabilitas. Kajian-kajian mengenai stigma cenderung fokus pada pelabelan negatif yang dilekatkan pada penyandang disabilitas. Selanjutnya, kajian-kajan terkait aksesibilitas cenderung mengeksplorasi mengenai lingkungan fisik yang tidak mendukung penyandang disabilitas dalam mobilitas sosial. Sedangkan faktor internal penyandang disabilitas cenderung menjelaskan terkait rendahnya sumber daya dan motivasi penyandang disabilitas penglihatan. Kajian-kajian sejenis belum menjelaskan secara spesifik terkait stigma, pengaturan internal perusahaan & tekanan institusional sebagai bagian dari proses eksklusi sosial penyandang disabilitas penglihatan dalam mendapatkan haknya di tempat kerja. Peneliti berargumen bahwa proses eksklusi sosial pada penyandang disabilitas penglihatan di tempat kerja terjadi karena persinggungan antara stigma, kompleksitas struktur organisasi, dan tekanan instutusional pada perusahaan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus di perusahaan X dan Y, serta pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan dokumentasi.

Social exclusion toward people with visual impairments in the workplaces related to organizational and institutional setup. Similiar studies about social exclusion and people with visual impairments in the workplaces can be categorized into three substances, namely social discrimination, accessibility issues, and internal factors of persons with disabilities. Social discrimination tend to focus on negative labeling attached to persons with visual impairments. Furthermore, studies related to accessibility tend to explore the physical environment that does not support people wit visual impairments in social mobility. While internal factors tend to explain the low resources and motivation of people with visual impairments. Previous studies have not specifically explained the related stigma, internal company regulation & institutional pressure as part of the social exclusion process for persons with visual disabilities in obtaining their rights at work. This research show that the process of social exclusion toward people with visual impairments in the workplace occurs because of the intersection between stigma, the complexity of the organizational structure, and institutional pressure on the company. This study uses qualitative methods with case studies in companies X and Y, and data collection was done by interviews, observation and documentation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T54110
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusfiatra
"ABSTRAK
Latar Belakang : Gangguan sustained attention merupakan gangguan kognitif yang paling sering terjadi pascacedera kepala, yang akan mempengaruhi kualitas hidup dan produktivitas kerja pasien dan faktor yang mempengaruhinya belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi gangguan sustained attention visual dan auditorik pascacedera kepala dan faktor yang mempengaruhinya.Metode : Studi ini dilakukan secara potong lintang deskriptif pada pasien pascacedera kepala di IGD, Ruang Rawat dan Poliklinik Neurologi RSCM bulan Oktober 2016 - Januari 2017. Faktor yang dianalisis adalah derajat cedera kepala, dan gambaran CT scan kepala berupa jumlah lesi dan lokasi lesi. Penilaian sustained attention visual dilakukan dengan pemeriksaan Ruff 2 7 Selective Attention Test RSAT dan penilaian sustained attention auditorik dengan lsquo;A rsquo; Random Letter Test. Gangguan sustained attention visual ditetapkan jika T Score Total Speed atau T Score Total Accuracy < 40. Gangguan sustained attention auditorik ditetapkan jika terdapat kesalahan > 2 pada lsquo;A rsquo; Random Letter Test.Hasil : Diantara 38 orang subjek pascacedera kepala, didapatkan prevalensi gangguan sustained attention visual sebesar 60,5 dan gangguan sustained attention auditorik sebesar 57,9 . Subjek cedera kepala sedang 55,3 memiliki potensi risiko 15,7 kali mengalami gangguan sustained attention dibandingkan cedera kepala ringan 34,2 IK 95 1,21-204,5 . Subjek dengan lesi fokal di hemisfer bilateral 23,7 memiliki potensi risiko 7,92 kali mengalami gangguan sustained attention dibandingkan subjek dengan CT scan normal 50 IK 95 1,19-131,54 .Kesimpulan : Gangguan sustained attention banyak dijumpai pascacedera kepala. Cedera kepala sedang dan lesi fokal di hemisfer bilateral merupakan faktor yang mempengaruhi gangguan sustained attention

ABSTRACT
Background Impaired sustained attention is the most common cognitive impairment after head injury, which will affect quality of life and work productivity. Its influencing factors are yet to be known. The objective of this study is to determine the prevalence of impaired visual and auditoric sustained attention as well as its associated factors.Methods This was a descriptive, cross sectional study performed on patients after head injury in the emergency unit, inpatient unit, and outpatient unit of Cipto Mangunkusumo Hospital from October 2016 to January 2017. We analyzed the degree of injury as well as head CT scan, including amount of lesion and location of lesion. Visual sustained attention was evaluated using the Ruff 2 and 7 Selective Attention Test, whereas auditoric sustained attention was evaluated using lsquo A rsquo Random Letter Test. Impaired visual sustained attention was established if the Total Speed T Score or Total Accuracy T Score was "
2017
T55607
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Handayani Putri
"Tujuan
Untuk mengetahui efektivitas pemberian suplemen antioksidan vitamin C dan E terhadap perbaikan sensitivitas kontras pada anak-anak penderita defisiensi vitamin A.
Subyek dan Metode
Penelitian uji klinis tersamar ganda pada anak usia 7-10 tahun di Nanggroe Aceh Darussalam. Subyek dengan kadar serum vitamin A rendah ( 0,35-0,70pmolll ) dan fungsi sensitivitas kontras abnormal ( <1,75 log unit ) diikutkan dalam penelitian ini. Pemberian suplemen vitamin dibagi atas dua kelompok, yaitu vitamin A 200.000 IU dan plasebo serta kelompok vitamin A 200,000 IU, vit.C 250mg dan vit.E 200 IU pada hari 1,2,14. Evaluasi kadar serum vitamin A dilakukan pada hari ke-21 dan sensitivitas kontras pad hari ke-8,9,14 dan 21.
Hasil :
Ditemukan sebanyak 48 (26,6%) anak dari 180 anak usia 7-10 tahun menderita defisiensi vitamin A dengan sensitivitas kontras abnormal. Peningkatan kadar serum vitamin A tidak menunjukkan perbedaan yang berbeda bermakna pada kedua kelompok (p=0.84), tapi perbaikan fungsi sensitivitas kontras lebih cepat dan tinggi ditunjukkan oleh subyek kelompok suplemen vit.A, C dan E pada hari ke-8 dan 14.
Kesimpulan :
Pemberian suplemen antioksidan secara bermakna meningkatkan kinerja vitamin A dalam memperbaiki fungsi sensitivitas kontras pada anak-anak penderita defisiensi vitamin A.

Purpose
To evaluate the effectiveness of vitamin A, C and E supplementations to the recovery of contrast sensitivity in children with vitamin A deficiency.
Material and methods
This research is double blind clinical study to 7-10 year old children in Nanggroe Aceh Darussalam. The subject are patients with low concentration of vitamin A serum ( 0,35-0,70µmoV1 ) and abnormal contrast sensitivity ( <1,75 log unit ). The vitamin supplementations were divided into two groups, e.g. vitamin A 200.000 IU with placebo and vitamin A 200.000 IU, vit.C 250mg and vit.E 200 IU, which were given on the 1S1 ,2nd and 14'h day . The vitamin A serum concentration was evaluated on the day 21st and evaluation of contrast sensitivity on 8u' , 9`h, 14th and 215` day.
Results
There were 48 (26,6% ) out of 180 7-10 year old children that suffered vitamin A deficiency with abnormal contrast sensitivity. There were no significant differenciess of vitamin A serum concentration between two groups (p=0,84), however there was faster and higher contrast sensitivity function recovery to the subject with vit.A,C and E supplementation on the 8th and 14'h day.
Conclusion
Multi vitamin (antioxidants ) supplementations was significantly improve the vitamin A function in recovering the contrast sensitivity on children with vitamin A deficiency.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58441
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Nashita Noegroho
"Setiap manusia berhak mendapatkan pendidikan sebagaimana sesuai dengan Pasal 26 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pelaksanaan pendidikan sangat lekat dengan yang dinamakan literasi, sehingga akses literasi bagi setiap individu merupakan hal yang penting guna untuk mendapatkan informasi. Aksesibilitas literasi merupakan suatu hambatan bagi penyandang disabilitas netra, gangguan penglihatan, dan disabilitas dalam membaca karya cetak sehingga mengakibatkan adanya ancaman paceklik buku. Hambatan terjadi dikarenakan adanya proses hukum dalam hal hak cipta untuk memproduksi, mendistribusikan, melakukan pertukaran antar negara terhadap ciptaan literasi. Lahirnya Traktat Marrakesh bertujuan untuk mengatasi paceklik buku dengan mengatur pembatasan dan pengecualian hak cipta terhadap fasilitasi akses literasi sehingga penyandang disabilitas netra, gangguan penglihatan, dan disabilitas dalam membaca karya cetak dapat mendapatkan akses literasi dalam format yang dapat diakses tanpa melanggar hak cipta. Traktat Marrakesh diadopsi pada tanggal 27 Juni 2013 dan mulai berlaku 30 September 2016. Indonesia merupakan salah satu negara penandatangan dari Traktat Marrakesh, namun baru meratifikasi pada tahun 2020 melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2020. Tepat satu tahun sebelum Indonesia meratifikasi Traktat Marrakesh, Thailand telah mengaksesi Traktat Marrakesh dengan melakukan amandemen terhadap Copyright Act BE 2537 (1994) melalui Copyright Act (No. 4) B.E. 2561 (2018). Sebagai negara anggota ASEAN, ratifikasi dan aksesi Indonesia dan Thailand terhadap Traktat Marrakesh merupakan salah satu bentuk pengimplementasian dari Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN. Penelitian ini menemukan bahwa dalam pengaturan dan implementasi Traktat Marrakesh terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Dalam segi perbandingan pengaturannya, Indonesia lebih unggul dalam menetapkan pihak-pihak yang terlibat dalam hal fasilitasi akses literasi dibanding dengan Thailand. Akan tetapi, dalam segi perbandingan implementasi, Thailand lebih unggul dalam hal pertukaran akses literasi lintas batas dibanding dengan Indonesia.

Every human being has the right to education in accordance with Article 26 of the Universal Declaration of Human Rights. Education is closely related to what is called literacy, so access to literacy for each individual is important in order to obtain information. Literacy accessibility is an obstacle for people with visual impairments, resulting in the threat of book famine. Barriers occur due to the legal process in terms of copyright to produce, distribute, exchange between countries for literacy works. Marrakesh Treaty aims to overcome book famine by regulating copyright restrictions and exceptions to facilitate access to literacy so that people with visual impairments can get access to literacy in accessible formats without violating copyright. Marrakesh Treaty was adopted on June 27, 2013 and entered into force on September 30, 2016. Indonesia is one of the signatory countries of the Marrakesh Treaty, but only ratified it in 2020 through Presidential Regulation Number 1 of 2020. Exactly one year before Indonesia ratified the Marrakesh Treaty, Thailand had acceded to the Marrakesh Treaty by amending the Copyright Act BE 2537 (1994) through Copyright Act (No. 4) B.E. 2561 (2018). As ASEAN member countries, the ratification and accession of Indonesia and Thailand to Marrakesh Treaty is a form of implementation of ASEAN Declaration of Human Rights. This study found that there are significant differences in the regulation and implementation of the Marrakesh Treaty. In terms of regulatory comparison, Indonesia is superior in determining the parties involved in facilitating access to literacy compared to Thailand. However, in terms of implementation comparison, Thailand is superior in terms of cross-border literacy access exchange compared to Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>