Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197229 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gitrif Yunus
"Perkawinan adalah suatu peristiwa sosial penting dalam lingkaran hidup manusia. Perkawinan merupakan transisi dari fase kehidupan remaja menuju fase kehidupan berkeluarga. Perkawinan di berbagai kebudayaan masyarakat mengikuti aturan-aturan tertentu sesuai adat kebiasaan yang berlaku setempat.
Bermacam-macam adat kebiasaan dan aturan tentang persyaratan perkawinan yang berlaku diberbagai masyarakat. Berkenaan dengan persyaratan perkawinan, setidaknya ada tiga aturan yang bersifat universal, yaitu: aturan mas kawin (bride price), pertukaran gadis (bride-exchange), dan pencurahan tenaga untuk kawin (bride-service). Ketiga aturan tersebut berlaku pada masyarakat yang berbeda-beda. Salah satu atau dua syarat yang berlaku harus dipenuhi oleh orang yang mengambil inisiatif dalam perkawinan; biasanya yang menjadi pengambil inisiatif adalah laki-laki (Koentjaraningrat, 1985: 99).
Di samping itu dikenal pula dua persyaratan perkawinan yang berlaku pada masyarakat tertentu, yaitu berupa barang antaran (bride-wealth) sebagaimana ditemui pada masyarakat Koromojong dan suku Nuer di Afrika, dan berupa harta bawaan (dowry) seperti pada masyarakat Subanun di Philipina (Keeling, 1992: 7-9).
Pada masyarakat Pariaman Sumatera Barat terdapat adat kebiasaan dan aturan tentang persyaratan perkawinan yang khas, berbeda dengan aturan yang dikemukakan di atas, disebut uang japutan. Syarat perkawinan itu harus dipenuhi oleh keluarga calon pengantin perempuan yang menjadi pengambil inisiatif dalam perkawinan.
Adat kebiasaan itu dewasa ini telah mengalami perubahan. Perubahan itu berawal dari perubahan sosial dan perubahan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup anggota masyarakat. Dengan kata lain, perubahan sosial dan perubahan tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup mempunyai hubungan yang signifikan dengan perubahan adat kebiasaan.
Perubahan itu berlangsung antara lain melalui proses inovasi, dan inovasi itu diterima secara sosial. Inovasi terjadi karena adanya perubahan pada sistem kognitif anggota masyarakat. Perubahan sistem kognitif itu berdampak pada perubahan perilaku dan tindakan-tindakan individu anggota masyarakat. Karena perubahan perilaku dan tindakantindakan itu dapat diterima atau disetujui secara sosial, maka terjadilah perubahan pada kebudayaan masyarakat setempat."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Miko
"ABSTRAK
Kebertahanan suatu praktek sosial dalam suatu komunitas dapat dianggap sebagai pencerminan kebermaknaan tindakan sosial tersebut bagi komunitasnya. Tabuik Piaman merupakan salah satu dari sejumlah khazanah ritual dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat. Namun demikian, ia tidak menjadi kekhasan bagi masyarakat Minangkabau umumnya, melainkan hanya bagi komunitas terbatas di daerah Pariaman. Margaret Kartomi (1986) menamakan tipe ritual tabuik ini sebagai ritual ala Perso -Indian. Penamaan ini berkaitan dengan anggapan bahwa muasal tabuik di Pariaman merupakan produk difusi yang bermula dari persentuhan kultural antara kebudayaan Persia dengan India, untuk kemudian India dengan Indonesia.
Ritual sebagai sebuah peristiwa sosial dapat dipandang sebagai kesatuan struktural yang terdiri dari unsur mitos, ritual dan komunitas pendukungnya. Hakikat mitos dipandang merupakan representase dari sistem pengetahuan dan keyakinan komunitas, sedangkan ritual merupakan tindakan simbolik yang memperlihatkan cara bagaimana komunitas mengaktualisasikan apa yang dikatakan oleh sistem pengetahuan dan keyakinan komunitasnya. Sementara itu, dalam kedudukannya sebagai pendukung suatu kebudayaan, komunitas adalah subyek penerima, pemaham mitos serta petindak ritual. Bagaimana terbentuk signifikansi kesalingterkaitan antara cakrawala mitos, ritual dan orientasi komunitas terhadap unsur lain di luar sistem mitos merupakan soal yang ditelusuri. Perwujudan relasi struktural antara mitos, ritual dan orientasi komunitas terhadap sistem tradisional dan nasional tersebut dipandang merupakan pencerminan dari perubahan sosiokultural masyarakat.
Melalui studi kasus ritual tabuik di Pariaman, ditemukan pandangan bahwa sistem mitos berfungsi sebagai kode kultural bagi pelaksanaan ritual, di satu pihak, akan tetapi struktur ritual itu sendiri terwujud dalam suatu kekhasan, di lain pihak. Kekhasan struktur ritual itu sendiri merupakan manifestasi dari orientasi komunitas terhadap sistem tradisional dan nasional yang menjadi bagian dari lingkungan sosial masyarakat. dengan kata lain, cakrawala tabuik adalah perwujudan yang khas dari perpaduan cakrawala mitos dan ritual serta sikap kultural komunitas terhadap khazanah tradisional dan suasana-suasana nasional di Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Utama
"Sebagai bagian dari masyarakat Minangkabau, masyarakat Pariaman memiliki kebiasaan yang agak berbeda dengan daerah lain di Minangkabau. Dalam perkawinan tersebut pihak perempuan yang melakukan lamaran terhadap pihak laki-laki, juga hangs menyediakan persyaratan yang disebut dengan uang jemputan. Namun dalam perkembangannya uang jemputan ini mengalami perubahan menjadi uang hilang yang awalnya hanyalah merupakan suatu gejala. Sehingga lama-kelamaan menjadi suatu tradisi yang sudah berlaku dalam seluruh masyarakat.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang sosial budaya uang hilang ini dalam perkawinan masyarakat matrilineal dewasa ini. Kedua, menjelaskan fungsi tradisi uang hilang ini terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat. Ketiga, mengetahui faktor penyebab masih berlakunya uang hilang dalam perkawinan adat masyarakat Pariaman di tengah era kemajuan sekarang ini.
Penelitian yang mengambil kajian di Nagari Sicincin Kecamatan 2 X 11 Enam Lingkung dengan alasan ini Nagari ini masih kuat memegang tradisi dan adat-istiadat yang berlaku.
Berdasarkan hasil penelitian di daerah ini terlihat bahwa uang jemputan yang mendasari lahimya uang hilang ini awalnya berfungsi sebagai sarana distribusi kekayaan dan status sosial dalam suatu kaum. Namun dalam perkembangannya uang hilang ini berfungsi sebagai pengesahan status sosial, sarana mobilitas sosial, prinsip resiprositas dan fungsi terhadap peran dan kedudukan wanita dalam masyarakat.
Di era kemajuan sekarang ini dengan adanya proses modernisasi, uang Hilang masih tetap berlaku di tengah masyarakat. Hal ini disebabkan perubahan fungsi dan makna dari uang hilang itu sendiri. Sedangkan pengaruh modernisasi seperti yang dikemukakan oleh Chodak dengan teori modernisasinya yang menyebutkan pada induced modernization masyarakat dihadapkan pada transfomlasi struktur sosialnya melalui sistem pendidikan yang mengajarkan norma-norma dan nilai-nilai baru, tidak berpengaruh banyak terhadap uang hilang ini. Ini disebabkan masih besarnya pengaruh orang tua, ninik mamak serta lingkungan masyarakat yang masih menghendaki berlakunya tradisi ini.
Dari studi ini disimpulkan bahwa uang hilang yang berlaku di tengah masyarakat seiain berpengaruh negatif juga membawa pengaruh posistif dalam kehidupan masyarakat. Mengingat pengaruh negatif ini, penulis menyarankan agar kebiasaan uang hilang ini paling kurang secara bersama-sama dihilangkan dampak negatif yang timbul dari uang hilang ini."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T9541
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syamsul Bahri
"ABSTRAK
Perkawinan sebgagai salah satu fase dalam kehidupan manusia, meruapakn hal yang sakral dan urgent dalam realitas sosial budaya maskyarakat pada umumnya, adat dan agama menjadi dua landasan hidup yang dipegang dan diyakini, niali implementasi kedua wujud ini dapat terlihat dalam prosesi upacara perkawinan. Kajian ini berusaha mengungkap perwujudan adat (adeq) dan agama (saraq) dalam prosesi upacara perkawinan (mappabotting). Pada masyarakat Bugis di Kabupaten Sidenreng Rappang. Penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian kualitatif dengan metode etnografi. Metode etnografi dengan sendirinya menyediakan perangkat-perangkat yang memungkinkan proses penelitian berlangsung secara lebih baik, selain itu studi etnografi (ethnographic studies) dianggap sesuai dengan fokus kajian ini yaitu untuk mendeskripsikan dan menginterpretasi peristiwa budaya yang berlangsung dalam prosesi upacara perkawinan pada masyarakat Bugis di Kabupaten Sidenreng Rappang. Prosesi upacar perkawinan masyarakat Bugis di Kabupaten Sidenreng Rappang dapat dikategorikan menjadi tiga tahap; 9a0 Pra Perkawinan dengan prosesi Mammanu'-manu', Madduta atau Massuro, Mappasiarekeng, Mappasau botting/Cemme passili', Mappanretemme dan Mappacci atau tudammpenni; (b) Pesta Perkawinan dengan prosesi Mappenre Botting dan Marola atau mapparola; dan (c) Pasca Perkawinan dengan prosesi Mallukka botting, Ziarah kubur dan Massita beseng. Kajian ini menggambarkan bahwa posisi Islam dalam masyarakat Bugis di Kabupateng Sidenreng Rappang dapat diterima sebagai pegangan hidup. Hal tersebut menjelaskan bahwa adat (adeq) dan agama (saraq) mampu berjalan bersama sebagai perwujudan nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bugis di Kab. Sidenreng Rappang."
Denpasar: Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, 2017
902 JPSNT 24:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
I. Made Pantja
"Pendahuluan
Secara simbolis tujuan hidup orang Bali tercermin dalam kosmologi Hindu tentang pemutaran Gunung Mandaragiri di lautan susu untuk mendapatkan air suci kehidupan yang disebut tirta amrta. Untuk mengaduk lautan susu dipergunakan gunung tersebut dan untuk menjaga keseimbangan bagian bawah gunung disangga oleh seekor kura-kura raksasa yang dibelit oleh seekor ular naga. Pemutaran gunung tersebut dilakukan oleh para dewa yang dipimpin oleh Dewa Wisnu.
Arti simbolis kosmologi tersebut bahwa kehidupan di dunia ini selalu berputar dan berubah-ubah. Agar manusia selalu dapat mengikuti perubahan yang terjadi diperlukan keseimbangan dengan cara menghayati ajaran-ajaran agama.
Secara konseptual ajaran Hindu menyebutkan bahwa tujuan hidup beragama adalah moksartam jagaditayaca, iti dharma artinya hidup ini untuk mencapai kebahagiaan, kebahagiaan di akhirat (moksa) dan kebahagiaan di dunia ini (jagadita) (Mastra, 1982:24). Kebahagiaan tersebut dianggap sebagai penghubung untuk bisa kembali kepada asal mula manusia yaitu Hyang Widi, Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk itu sebutan untuk Hyang Widhi adalah Sangkan Paran yang artinya asal mula. Orang Bali amat percaya bahwa kehidupan di dunia ini berpengaruh terhadap kehidupan di dunia baka setelah meninggal dunia sehingga ada anggapan umum bahwa hidup di dunia ini untuk mencari bekal nanti setelah meninggal.
Bakal tersebut berupa hasil perbuatan yang dilakukan selama hidup yang disebut karma phala yaitu karma berarti perbuatan dan phala berarti hasil atau buah. Hasil yang akan diterima nanti tergantung pada baik buruknya karma. Dalam pengertian ini bukan saja perbuatan nyata tetapi juga termasuk berpikir dan berkata. Ketiga perbuatan ini berbuat, berkata dan berpikir yang baik dan benar merupakan pedoman yang tercakup dalam konsep trikaya parisuda isinya manacika yaitu berpikir yang baik; wacika yaitu berkata yang benar dan kayika artinya berbuat yang benar (Mastra, 1982:56).
Kehidupan beragama adalah fenomena sosial budaya yang dapat diamati di dalam kehidupan sehari-hari. Agama bagi penganutnya dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak yang memuat ajaran dan dipakai sebagai pedoman hidup yang amat diyakini kebenarannya sehingga didalam menghayati ajaran-ajaran tersebut para penganut bukan saja tidak menggunakan pertimbangan-pertimbangan yang rasional tetapi juga melibatkan emosi dan perasaan yang dampaknya penganut suatu agama menyerahkan keseluruhan jiwa dan raga kepada agama yang dianutnya (Suparlan,1982:76).
Ajaran-ajaran agama yang dipakai sebagai pedoman hidup di dalam kehidupan sehari-hari berisikan nilai-nilai aturan-aturan, resep-resep dan sebagainya yang mendorong prilaku dan kelakuan manusia. Ajaran-ajaran tersebut bersifat normatif yaitu sebagai tolak ukur untuk menentukan mana perbuatan yang sebaiknya bisa dilakukan dan mana yang sebaiknya tidak dilakukan, gejala mana yang harus dipertahankan dan mana yang tidak baik dilanjutkan dan sebagainya.
"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rauf Suleiman
"Suatu kenyataan ialah bahwa walaupun masa prasejarah telah berakhir secara formal di Indonesia, namun demikian kelangsungan tradisi tersebut masih jelas tampak di beberapa tempat. Bahkan beberapa bagian daerah Irian Jaya dan Nusatenggara, belum mengalami perubahan yang berarti, sehingga terkesan masih berada dalam kehidupan prasejarah (Soejono, 1990: 306).
Salah satu tradisi prasejarah yang masih hidup hingga saat ini ialah tradisi megalitik. Perkembangan tradisi ini, berlangsung cukup lama yaitu dari masa neolitik hingga sekarang (Van Heekeren, 1958: 44). Oleh karena itu tidak mengherankan jika tradisi megalitik ini telah memberikan dasar yang kuat bagi budaya bangsa Indonesia. Bahkan tradisi megalitik, dengan sangat dinamis mengikuti corak perkembangan budaya yang masuk ke Indonesia.
Pemujaan terhadap arwah nenek moyang (ancestor worship) merupakan ciri khas dari tradisi megalitik, bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Pendukungnya. Tradisi pemujaan ini berlangsung dan perkembangan terus menerus sejak ribuan tahun yang lalu, bahkan sampai sekarang. Persebarannyapun pada waktu Sekarang Menjangkau Wilayah Yang Cukup Luas, Seperti: Nias, Flores, Sabu, Timor, Sumba dan lain-lain (Soejono 1990: Sukendar, 1981/1982).
Pemujaan Terhadap Arwah Nenek Moyang Dari Tradisi Megalitik, Dilatar Belakangi Oleh Anggapan Bahwa Nenek Moyang yang meninggal itu masih hidup di dunia arwah. Arwah juga diyakini bersemayam di tempat-tempat tertentu yang dianggap suci, seperti gunung-gunung yang tinggi dan sebagainya (soejono, 1977). Prinsip inilah yang tinggi dan segenap monumen-monumen megalitik, baik yang sudah tidak berfungsi maupun yang masih berfungsi.
Di sulawesi selatan, peninggalan megalitik tersebar hampir di berbagai daerah. Tradisi hingga sekarang masih terus berlangsung dalam kehidupan masyarakatnya. Sebagai contoh di toraja, hingga saat ini penduduk setempat masih sering mendirikan menhir (simbuang). Simbuang tersebut ada kalanya dibuat dari batu maupun dari batang kayu, batang pinang dan bahkan batang bambu (rantepadang, 1989: 40). pelaksanaan pendirian simbuang ini erat kaitanya dengan kepercayaan aluk to dolo, yaitu kepercayaan lama yang berorientasi kepada pemujaan arwah leluhur (soejono, 1990: nadir, 1980).
Ada dugaan bahwa tradisi serupa pernah juga berkembang di daerah-daerah seperti sengkang dan sidenreng (sidrap) (tjitrosoepomo, 1987: 82)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liria Tjahaja
"Studi/pembahasan mengenai kasus perkawinan antar agama bukanlah merupakan hal yang baru karena sudah sering kita jumpai melalui beberapa artikel/tulisan maupun pertemuan/seminar-seminar yang pernah diadakan. Asmin (1986) membahas status perkawinan antar agama yang ditinjau dari UU Perkawinan no.1/1974. Menurut Asmin, Undang-Undang (UU Perkawinan Nasional tsb belum mengatur soal perkawinan antar agama sehingga untuk kasus tsb kepastian hukumnya belum jelas. Berkenaan dengan hal itu, Asmin mengusulkan agar UU Perkawinan no.1/1974 tsb disempurnakan (khususnya untuk rumusan ps.57). Berbeda dengan Asmin, studi yang kemudian dilakukan oleh Wiludjeng (1991) maupun Noryamin (1995), tidak semata-mata mempelajari kasus perkawinan antar agama dari sudut hokum/perundang-undangan.
Studi/penelitian yang dilakukan Wiludjeng maupun Noryamin dimulai dengan terlebih dulu menemukan dan mengungkapkan persoalan-persoalan yang bisa muncul sebagai akibat dari kasus perkawinan antar agama yang terjadi. Menurut Wiludjeng, untuk bisa memahami latar belakang terjadinya kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di Gereja Katolik, diperlukan pula pemahaman mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan janji perkawinan campur yang terjadi di Keuskupan Agung Jakarta. Dengan memahami faktor-faktor tsb, diharapkan bahwa langkah-langkah penanganan terhadap kasus-kasus perkawinan antar agama di Gereja Katolik dapat dilaksanakan secara lebih tepat dan bijaksana. Sementara itu Noryamin dalam penelitiannya mencoba menganalisa kasus perkawinan antar agama yang terjadi di daerah Jogyakarta dari sudut pandangan sosiologis. Dalam studi yang dilakukannya, Noryamin mengungkapkan gejala-gejala sosial yang mewarnai kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di Jogyakarta. Ia melihat pentingnya memahami gejala-gejala tsb dalam keseluruhan konteks kehidupan sosial masyarakat di Jogyakarta, sehingga pada akhirnya penanganan terhadap kasus perkawinan antar agama dapat memperhitungkan segala kondisi masyarakat yang ada.
Fakta menunjukkan bahwa kasus perkawinan antar agama banyak dibahas setelah dikeluarkannya UU Perkawinan no.1/1974, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama/kepercayaannya (ps.2, ay. 1), dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (ps.2,ay.2). Rumusan dalam UU Perkawinan Nasional tsb telah memunculkan adanya tanggapan pro dan kontra yang terjadi di tengah masyarakat. Tanggapan-tanggapan tsb juga didukung oleh situasi masyarakat yang dalam kenyataannya memang tidak bisa menghindar dari terjadinya kasus-kasus perkawinan antar agama. Dalam prakteknya, pelaksanaan pasal 2 UU Perkawinan no.1/1974 tsb memang tidak sepenuhnya bisa terlaksana.
Setelah dikeluarkannya surat edaran Mendagri tg1.17 April 1989 yang menegaskan kembali mengenai pelaksanaan UU Perkawinan no.1/1974 tsb, kasus perkawinan antar agama kembali hangat dibahas, khususnya pada tahun 1992. Pendapat/tanggapan mengenai kasus tsb-pun banyak bermunculan di media-media cetak. Contohnya: pendapat dari Bismar Siregar (Kompas,18 Januari 1992) ; Sjechul Hadi Permono (Kompas, 15 Januari 1992) ; Zakiah Daradjat (Kompas, 16 Januari 1992) ; Ali Said (Kompas, 21 Januari 1992); V.Kartosiswoyo (Kompas, 20 Januari, 1992); Rudini (Kompas, 30 Januari 1992). Semua tanggapan yang diberikan umumnya didasarkan pada pemikiran hukum tertentu yang oleh para ahli dianggap sebagai hukum yang paling benar. Dalam hal ini, sebagian besar para ahli mencoba mempertanggungjawabkan pendapatnya lewat hukum yang tertulis seperti halnya aturan-aturan negara dan agama.
Kenyataan konkrit saat ini menunjukkan bahwa kasus perkawinan antar agama tsb tetap terjadi tanpa bisa dibendung. Bahkan di kelompok umat Cina Katolik paroki Mangga Besar Jakarta, kasus perkawinan antar agama tersebut memiliki jumlah yang cukup tinggi. Perkawinan antar agama yang banyak terjadi di Gereja Katolik Mangga Besar adalah perkawinan di kalangan sesama etnis Cina. Jadi, walaupun secara hukum hal tsb dipersoalkan, dalam kenyataannya kasus-kasus perkawinan antar agama di paroki Mangga Besar dapat tetap dilangsungkan lewat macam-macam jalur lain.
Fakta sehari-hari telah menunjukkan bahwa persoalan perkawinan antar agama tidak hanya diselesaikan lewat jalur hukum tertentu saja. Maka keberadaan pluralisme hukum dalam kasus-kasus perkawinan antar agama sangatlah relevan untuk dikaji. Pluralisme hukum adalah kenyataan dimana beberapa sistem hukum/sistem normatif berperanan dan berinteraksi dalam arena sosial, sehingga dalam tindakan sosial tertentu sistem-sistem tsb bisa saling mempengaruhi sesuai dengan kondisi sosial yang sedang berlangsung. Dalam konteks pluralisme hukum, konsep "hukum" tidak semata-mata dimengerti sebagai aturan yang bersifat yuridik saja. Benda-Beckmann (1990) melihat bahwa berbagai bentuk kekompleksan normatif yang ada dalam masyarakat juga bisa dilihat sebagai hukum yang berfungsi mengatur kehidupan masyarakat tsb. Sally F.Moore (1983) berpendapat bahwa yang disebut hukum adalah segala sistem normatif yang dihayati oleh seseorang/kelompok sebagai sesuatu yang mengikat serta memiliki kekuatan yang bisa memaksanya berperilaku tertentu. Jadi. berbicara tentang pluralisme hukum berarti mau terbuka terhadap segala sistem normatif yang dapat ditemukan dalam berbagai bentuk pranata hukum.
Kasus-kasus perkawinan antar agama yang terjadi di paroki Mangga Besar telah memperlihatkan bahwa dalam mengatasi kasus perkawinan antar agama yang dihadapinya, masing-masing pasangan perkawinan campuran ybs tidak semata-mata berperilaku atas dasar hukum tertentu saja (misalnya: hukum negara atau hukum agama). Hasil penelitian menunjukkan bahwa arena interaksi sosial yang paling banyak mempengaruhi kehidupan pasangan perkawinan antar agama di paroki Mangga Besar adalah lingkungan hidupnya sebagai orang-orang yang berkebudayaan Cina serta kondisi masyarakat sekitar yang mendesak pasangan yang bersangkutan untuk akhirnya memilih kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan dunia sosial sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan hidup pribadinya. Dalam hal ini jenis sistem normatif yang dipilih pasangan perkawinan campuran di paroki Mangga Besar memang banyak dipengaruhi oleh arena/lapangan interaksi sosial tsb di atas.
Akhirnya hasil penelitian juga menunjukkan bahwa banyaknya kasus perkawinan antar agama yang terjadi di paroki Mangga Besar terutama sangat didukung oleh pola perkawinan yang dianut oleh umat Cina di Mangga Besar, yaitu perkawinan dengan sesama etnis Cina sendiri. Dengan pola perkawinan seperti ini kasus perkawinan antar agama ternyata tidak banyak membawa konflik. Dalam hal ini pasangan-pasangan perkawinan campuran yang ada tampaknya menyadari betul bahwa walaupun berasal dari agama yang berbeda, mereka masih memiliki nilai-nilai kebudayaan yang sama sebagai orang Cina."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1997
T1208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Hanief Saha Ghafur
"Suatu hal yang menarik untuk dikaji dewasa ini adalah pembangunan kepariwisataan. Pembangunan Pariwisata telah banyak menyuguhkan berbagai tontonan, permainan tradisional, upacara adat dan berbagai bentuk seni pertunjukan. Kegiatan ini telah menjadi agenda kegiatan resmi dari berbagai biro dan agen perjalanan wisata, perhotelan dan organisasi-organisasi kesenian di daerah. Semua bentuk kegiatan tersebut didukung oleh pemerintah, yang memang membutuhkan masukan devisa bagi pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai kepentingan besar dibalik semua perhelatan besar tersebut. Untuk itu, pemerintah akan berbuat apa saja bagi kesuksesan upacara-upacara tersebut.
Dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia banyak suguhan berupa macam-macam bentuk tontonan, permainan tradisional, upacara adat dan berbagai bentuk seni pertunjukan. Namun yang menjadi persoalan, yaitu apabila bentuk pertunjukannya berupa upacara ibadah keagamaan, seperti Hudoq. Bagi masyarakat dayak di pedalaman Kutai upacara Hudoq masih di anggap sakral dan dihayati sebagai upacara religius. Namun dilain pihak para penyelenggara, para turis asing, dan kebanyakan para penonton melihat upacara tersebut dengan sikap areligius, profan dan dianggap sebagai tontonan biasa.
Penelitian ini mengkaji dampak pembangunan pariwisata terhadap upacara perladangan dan upacara ritual Hudoq khususnya. Tulisan ini mencoba memberi gambaran tentang bagaimana proses pembangunan mendesakralisasi upacara ibadah keagamaan. Proses itu terjadi manakala Hudoq tercerabut dari basis sosial dan kulturalnya, sehingga menjadi sekedar sebuah tontonan yang areligius dan profan. Ketercerabutan tersebut karena Hudoq sudah kehilangan nuansa religio-culturalnya melalui proses pembangunan yang telah disekularisasikan."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Hanan Pamungkas
"Sembonyo adalah upacara bersih laut yang dilakukan nelayan di dusun Karanggongso, desa Tasik Madu, Kecamatan Prigi, kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Dalam upacara tersebut dilakukan berbagai kegiatan yang disertai dengan beberapa sesaji. Sekalipun dalam skala kecil (di tingkat dusun) upacara ini cukup menarik untuk dikaji. Selain bentuk sesajinya unik, upacara ini cenderung untuk dipertahankan. Mengacu pada Geertz dan Turner, fenomena simbolik dalam upacara semacam itu merupakan gambaran nilai-nilai sosial yang ideal dan menjadi pusat pendorong Bari berbagai kegiatan sosial ekomoni masyarakatnya. Sementara itu warga masyarakat menginterpretasikan "teks-teks simbolik" dalam upacara itu sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian permasalahan penelitian ini adalah apa sebenarnya makna simbol sembonyo, bagaimanakah warga masyarakat menginterpretasikan makna simbol upacara tersebut, serta apa fungsi upacara bagai masyarakat Karanggongso.
Melalui analisa simbol seperti yang dilakukan Turner, yakni dengan menganalisis simbol dominan dan instrumental dalam upacara Sembonyo, maka diketahui adanya perpaduan unsur pemujaan kesuburan dan pemujaan nenek moyang sebagai konsep utama dari upacara. Tema besar dari upacara Sembonyo adalah slametan yang oleh Geertz dilukiskan sebagai terciptanya keseimbangan psikososial manusia Jawa dalam hubungan antar manusia dan alam. Tatanan ideal ini diperlukan masyarakat, mengingat keterbatasan pengetahuan dan teknologi nelayan dalam mengatasi krisis alam (laib) serta adanya krisis sosial sebagai akibat konflik diantara warga masyarakat nelayan di luar upacara. Karena itulah Sembonyo berfungsi sebagai "pembersih" warga masyarakat dari ganguan alam maupun ganguan moral. Selain memiliki fungsi integratif semacam itu, sembonyo juga berfungsi memperkokoh peranan elit dusun, melalui rangkian upacara yang diciptakan. Setiap tahunnya upacara sembonyo, yang oleh Turner disebut "drama sosial", diperingati agar nilai-nilai yang ideal itu teraktualisasikan. Tidak semua warga memberi makna sakral kepada simbol upacara sembonyo tidak lebih dari kegiatan rekreatif."
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Harijanto
"ABSTRAK
Warga suku-suku yang akan melangsungkan perkawinan adat disyaratkan bahwa sebelum melaksanakan perkawinan maka kesalahan yang pernah dilakukan oleh seorang atau lebih dari kerabat suku calon mempelai laki-laki terhadap kerabat suku calon mempelai wanita harus dihapuskan terlebih dahulu. Penelitian ini mengacu pada teori Sally Falk Moore mengenai arena sosial yang bersifat semi otonom. Kemudian mengacu pada teori John Griffiths mengenai pluralisme hukum. Selanjutnya mengacu pada teori Laura Nader dan H. F. Todd. Jr. mengenai bagaimana sengketa-sengketa diselesaikan. Untuk menjelaskan pengertian hukum mengacu pada konsep Leopold Pospisil mengenai 4 atribut hukum.
Dalam penelitian ini telah diperoleh hasil yang mencakup 3 pokok, yaitu:
Pertama, masyarakat Enggano yang terdiri dari kelompok-kelompok suku memiliki semacam otonomi yang diakui dan bersifat terbatas (semi-otonom), yang mana mereka memiliki aturan-aturan hukum adat sendiri yang mengatur semua lapangan kehidupan. Aturan-aturan hukum adat itu dipertahankan berlakunya sampai saat ini.
Kedua, strategi penyelesaian sengketa bahwa pihak yang dianggap bersalah harus berusaha untuk menyelesaikan kesalahannya melalui perdamaian adat (yahauwa). Jika pihak yang dianggap bersalah membiarkan sengketa itu berlarut-larut, maka pihak yang merasa dirugikan akan mendiamkan saja. Pada suatu saat pihak yang merasa dirugikan akan mengungkap kembali kesalahan itu, yaitu ketika seorang bujang dari kerabat suku pihak yang dianggap bersalah akan melamar resmi (pahkuku' akh) seorang gadis dari kerabat suku pihak yang merasa dirugikan, yang mana perdamaian adatnya dijadikan syarat pelamaran resmi oleh kerabat suku gadis.
Ketiga, aturan-aturan hukum perkawinan adat memeliki kekuatan-kekuatan berlaku dalam masyarakat Enggano yang bersifat semi otonom itu."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>