Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113026 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nurlaely Mida Rachmawati
"Latar Belakang: Saat ini diketahui ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk terapi penderita alergi, yaitu menghindari alergen, intervensi farmakologis dan imunoterapi (Bratawidjaja, 1998). Cara yang terbaik dan paling aman adalah menghindari alergen, tetapi cara tersebut sulit dilakukan pada alergen yang terdapat di udara. Penggunaan obat anti alergi seperti antihistamin harus memperhatikan banyak hal, yaitu dosis yang digunakan harus tepat, menghindari penggunaan jenis obat lain yang dapat menyebabkan interaksi dengan metabolit hepar, pemberian antihistamin harus lebih hati-hati pada penderita kelainan fungsi hepar atau gangguan jantung (Siregar, 1998). Sedangkan hasil terapi dengan imunoterapi sulit mencapai hasil yang memuaskan kecuali pada penderita yang alergik terhadap satu atau dua jenis alergen. Selain itu jangka waktu terapi relatif lama dan biayanya relatif mahal. Karena itu dirasa perlu dicari alternatif terapi alergi yang lain yang lebih efektif, mudah dan lebih murah dibandingkan terapi yang sudah ada.
Tujuan dan sasaran: Penelitian ini bertujuan memurnikan protein plasmapeksin dan melakukan karakterisasi protein plasmapeksin hasil pemurnian. Dengan diperolehnya protein plasmapeksin murni diharapkan dimasa yang akan datang plasmapeksin murni dapat digunakan sebagai terapi alternatif untuk pengobatan penderita alergi atopik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Arinda Putri Pitarini
"Latar belakang: Rinitis alergi (RA) merupakan suatu kelainan hidung yang sering memengaruhi kualitas hidup penderitanya. Perubahan kualitas hidup pasien RA secara subjektif dapat diukur dengan kuesioner mini RQLQ dan secara objektif dengan hitung jumlah eosinofil pada mukosa hidung dan kadar IL 5 serum. Tujuan: Mengetahui karakteristik subjek RA dan mengetahui perubahan kualitas hidup, jumlah eosinofil mukosa hidung dan kadar interleukin 5 pada pasien rinitis alergi persisten sedang berat sebelum dan setelah terapi medikamentosa. Metode: Pre eksperimental yang bersifat analitik sebelum dan setelah terapi dengan jumlah subjek RA persisten sedang berat sebanyak 33 orang. Subjek diminta untuk mengisi kuesioner Mini RQLQ, dilakukan kerokan mukosa hidung dan pengambilan darah sebelum dan 2 minggu setelah terapi. Hasil: Didapatkan 14 subjek berjenis kelamin laki-laki dan 19 subjek perempuan dari 33 subjek penelitian dengan rerata usia 32,55 ± 11,67. Sebanyak 31 dari 33 subjek mengalami perubahan bermakna dari kualitas hidup, seluruh subjek mengalami perubahan jumlah eosinofil yang bermakna dan 30 dari 33 subjek mengalami perubahan kadar IL 5 yang responsif setelah terapi selama 2 minggu. Kesimpulan: Kualitas hidup pasien RA persisten sedang berat dapat diukur dengan menggunakan kuesioner mini RQLQ dan jumlah eosinofil mukosa hidung dan kadar IL 5 dapat digunakan untuk evaluasi terapi RA namun tidak untuk pemeriksaan penunjang rutin.

Background: Allergic rhinitis (AR) is a nasal disorders that frequently affects the quality of life. Changes in quality of life AR patient can be measured subjectively using mini RQLQ and objectively by eosinophil count of nasal mucosa and IL 5 level. Objectives: To find the subject characteristic of AR and quality of life, eosinophil count of nasal mucosa and IL 5 level changes of moderate-severe AR patient before and after medicamentosa therapy. Methods: Pre experimental analytic study before and after therapy with 33 subjects of moderate-severe AR. All subjects were asked to fill out Mini RQLQ, collect nasal scrapping and blood specimens before and 2 weeks after therapy. Result: Fourteen subjects were male and 19 were women out of 33 subjects, with mean age 32,55 ± 11,67 years. Thirty one out of 33 subjects had significant quality of life changes, all subjects had significant changes of eosinophil nasal scrapping and 30 out of 33 subjects had significant changes of IL 5 level after 2 weeks of medicamentosa therapy. Conclusion: Allergic rhintis patient quality of life can be measured by mini RQLQ and eosinophil nasal scrapping and IL 5 level can be used for therapy evaluation but not for routine examination."
2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Utama
"ABSTRAK
Latar belakang. Rinitis Alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi. Tungau debu rumah TDR merupakan aeroalergen tersering yang mensensitisasi reaksi alergi. Pada tahun 1988 reseptor vitamin D VDR , berhasil di klon. Reseptor vitamin D berlokasi di beberapa jaringan dan sel tubuh manusia, termasuk di peripheral blood mononuclear cells PBMCs dan limfosit T yang telah teraktivasi. Riset yang lebih jauh memperlihatkan bahwa vitamin D mempunyai beberapa efek dari pengaturan sitokin terhadap beberapa sel yang berbeda dari sistem imun. Vitamin D dapat menekan respon Th1 dan Th2. Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain.Tujuan. Melihat pengaruh pemberian Vitamin D terhadap kadar IL-10, IFN-? dan histamin pada kultur PBMC pasien rinitis alergiMetode. Sampel merupakan darah segar whole blood penderita rinitis alergi yang telah dilekukan prick test, serta diiisolasi dengan metode Ficoll. Bahan biologis tersimpan yang berupa supernatan kultur. Kultur sel limfosit sebelum perlakuan, diberi pendedahan tanpa atau dengan 1,25 OH 2D3 100 nM, waktu inkubasi 7 hari, dengan penambahan PHA dan alergen tungau pada hari ke-4. Kultur sel-sel PBMC dari pasien RA setelah perlakuan, dilakukan harvest pada hari ke-7, kemudian supernatanannya dialikuot untuk diukur kadar sitokin IFN-? dan IL-10, dan diuji secara statistik untuk melihat pola dari tiap parameter.Hasil: Pemberian alergen tungau tanpa vitamin D menyebabkan meningkatnya kadar histamin serta menurunkan kadar IL-10 dan IFN-?. Pemberian vitamin D pada kultur sel PBMC yang telah diberi alergen tungau menyebabkan peningkatan kadar IL-10 dan penurunan kadar IFN-? dan histamin.Simpulan: Menurunnya kadar histamin dan IFN-? terhadap stimulasi alergen tungau pasien rinitis alergi yang diberi vitamin D cenderung berhubungan dengan meningkatnya kiadar IL-10.

ABSTRACT
Background. Allergic rhinitis is an inflammatory disease caused by an allergic reaction in atopic patients. House dust mites TDR are the most common aeroalergens that sensitize allergic reactions. In 1988 vitamin D receptor VDR , successfully in clones. Vitamin D receptors are located in several tissues and human body cells, including peripheral blood mononuclear cells PBMCs and activated T lymphocytes. Further research has shown that vitamin D has some effects of cytokine regulation on several cells different from the immune system. Vitamin D can suppress Th1 and Th2 responses. Th1 and Th2 cells inhibit the development of each other. Aim.To identify the Effect of Vitamin D On IL 10 IFN and histamine levels on PBMC Cultur of Allergic Rhinitis PatientsMethod. The sample is fresh blood whole blood of allergic rhinitis patients who have been prick tested, and isolated by Ficoll method. Pre treated lymphocyte culture, treated with or without 1,25 OH 2D3 100 nM, and incubated for 7 days, with addition of PHA and allergen mites on day 4. Cultures of PBMC cells from RA patients after treatment were harvested on day 7, then the supernatant was dialyzed for measured levels of IFN and IL 10 cytokines using elisa kits and tested statistically to see patterns of each parameter.Result. Giving allergen mites without vitamin D causes increased levels of histamine and lowers levels of IL 10 and IFN . Provision of vitamin D in PBMC cell culture that has been given allergen mites causes increased levels of IL 10 and decreased levels of IFN and histamine.Conclusion. Reduced levels of histamine and IFN against allergen mite stimulation of allergic rhinitis patients given vitamin D tend to be associated with increased IL 10 levels."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suzy Maria
"ABSTRAK
Latar Belakang: Atopi yang ditandai dengan sensitisasi (produksi IgE) terhadap alergen merupakan faktor risiko untuk terjadinya penyakit alergi. Karena komposisi genetik cenderung stabil, peningkatan prevalensi penyakit alergi diduga disebabkan oleh faktor lingkungan yang berubah.
Tujuan: Mengetahui faktor yang memengaruhi sensitisasi terhadap alergen hirup dan munculnya manifestasi penyakit alergi pada populasi dewasa muda di Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada mahasiswa baru Universitas Indonesia tahun 2019. Mahasiswa diminta mengisi kuesioner berisi data demografi, kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), menjalani pemeriksaan fisik dan uji cukil kulit terhadap lima alergen hirup (kecoa, Dermatophagoides farinae, Dermatophagoides pteronyssinus, bulu kucing, epitel anjing). Sensitisasi ditandai dengan terdapat setidaknya satu hasil positif pada uji cukil kulit. Jika terdapat hasil positif pada dua atau lebih alergen, subyek disebut mengalami polisensitisasi. Manifestasi alergi yang dinilai berupa asma, rinitis alergi, dan dermatitis atopi.
Hasil: Proporsi sensitisasi adalah 44,8% (128 dari 286 subyek), sedangkan proporsi manifestasi penyakit alergi adalah 57,7% (165 dari 258 subyek). Manifestasi penyakit alergi didapatkan pada 84 (65,6%) subyek dari subkelompok yang tersensitisasi. Sensitisasi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (OR 2,25; IK95% 1,38-3,71; p=0,001) dan subyek yang lahir secara caesar (OR 2,46; IK95% 1,22-5,06; p=0,013), sebaliknya lebih sedikit pada subyek yang berasal dari urban (OR 0,54; IK95% 0,32-0,90; p=0,019). Subyek yang tersensitisasi cenderung untuk memiliki manifestasi penyakit alergi (OR 1,79; IK95% 1,10-2,95; p=0,020). Pada subkelompok yang tersensitisasi, manifestasi penyakit alergi ditemukan lebih banyak pada subyek yang tinggal di urban (OR 2,58; IK95% 1,15-6,01; p=0,024), obese (OR 5,25; IK95% 1,35-34,92; p=0,036), dan mengalami polisensitisasi (OR 2,26; IK95% 1,01-5,10; p=0,046).
Simpulan: Sensitisasi terhadap alergen hirup dipengaruhi oleh jenis kelamin lakilaki, status urban, dan riwayat persalinan caesar. Munculnya manifestasi penyakit alergi dipengaruhi oleh adanya sensitisasi. Pada subkelompok yang tersensitisasi, munculnya manifestasi penyakit alergi dipengaruhi oleh status urban, obesitas, dan polisensitisasi.

ABSTRACT
Background: Atopy marked by allergen sensitization (IgE production) is a risk factor for allergic diseases. Since genetic composition tends to be stable, the increase of allergic diseases prevalence is suspected due to changing environment factors.
Purpose: To identify the factors affecting sensitization to inhalant allergen and allergic diseases manifestation in Indonesian young adults.
Methods: Cross-sectional study done on Universitas Indonesia 2019 new students. Students were asked to fill in a demographic questionnaire, an International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) questionnaire, undergo physical examination and skin prick tests for five inhalant allergens (cockroach, Dermatophagoides farinae, Dermatophagoides pteronyssinus, cat hair, dog epithelium). Sensitization was marked by at least one positive result on the skin prick test. If there were two or more positive allergen results, subject was deemed as being polysensitized. Evaluated allergic manifestations were asthma, allergic rhinitis, dan atopic dermatitis.
Result: Sensitization was found in 44.8% (128 out of 286 subjects), while allergic diseases clinical manifestation was found in 57.7% (165 out of 258 subjects). The manifestation was found in 84 (65.6%) subjects from the sensitized subgroup. Sensitization was found more on male (OR 2.25; 95%CI 1.38-3.71; p=0.001) and subjects born by caesarean section (OR 2.46; 95%CI 1.22-5.06; p=0.013), whereas fewer on subjects from urban (OR 0.54; 95%CI 0.32-0.90; p=0.019). Sensitized subjects tended to demonstrate allergic diseases manifestation (OR 1.79; 95%CI 1.10-2.95; p=0.020). In the sensitized subgroup, allergic diseases manifestation was found more on subjects living in urban (OR 2.58; 95%CI 1.15-6.01; p=0.024), are obese (OR 5.25; 95%CI 1.35-34.92; p=0.036), and are polysensitized (OR 2.26;
95%CI 1.01-5.10; p=0.046).
Conclusion: Sensitization to inhalant allergens was affected by male sex, urbanstatus, and caesarean section birth. Allergic diseases manifestation was affected by presence of sensitization. In the sensitized subgroup, allergic diseases manifestation was affected by urban status, obesity, and polysensitization."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T55537
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winna Putri Meirita
"Telah dilakukan penelitian mengenai identifikasi protein alergen serbuk sari akasia (Acacia auriculiformis dan Acacia mangium) dan kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.). Tujuan penelitian adalah mengidentifikasi protein alergen serbuk sari tanaman Acacia auriculiformis, Acacia mangium, dan kelapa sawit. Ekstrak protein sampel serbuk sari menunjukkan hasil negatif pada uji dot blotting karena konsentrasi protein sampel rendah. Protein serbuk sari kelapa sawit dengan berat molekul (BM) 31 kDa diduga sebagai alergen utama karena bereaksi positif terhadap > 80% serum individu alergi maupun individu normal. Individu normal bereaksi positif terhadap protein tersebut diduga karena faktor atopi.

The research was about identification of allergenic pollen protein from acacia (Acacia auriculiformis and Acacia mangium) and oil palm (Elaeis guineensis Jacq.). The aim of the research was to identify allergenic pollen protein from Acacia auriculiformis, Acacia mangium, and oil palm. Protein extract of pollen sample which was extracted by phenol extract method showed negative result in dot blotting assay because protein concentration of sample was low. Oil palm pollen protein with 31 kDa molecular weight was suspected as major allergen because it showed positive reaction to >80% of serum either allergy or normal individual. Normal individual which showed positive reaction to the protein was suspected cause of atopy."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S43078
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Igor Ian Wiguna
"Pendahuluan: Alergi merupakan suatu kondisi yang sangat sering ditemukan pada anak-anak dan dapat mempengaruhi kondisi fisik serta sosial dari mereka yang terkena. Ada banyak faktor yang diduga dapat memengaruhi reaksi alergi pada anak-anak seperti, status merokok orang tua, konsumsi air susu ibu, metode melahirkan, dan lain-lain. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara berbagai faktor dari alergi dengan kejadian reaksi alergi pada anak dibawah lima tahun di Jakarta.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dengan subjek terdiri atas ayah dan atau ibu beserta dengan anaknya. Sebanyak 120 subjek ikut dalam penelitian ini. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara acak di berbagai puskesmas di Jakarta. Penelitian ini menggunakan kuesioner yang dibuat berdasarkan UK’s diagnostic criteria of atopic dermatitis dan pedoman dari Kaiser Foundation Health Plan of Washington untuk menilai reaksi alergi pada anak. Pengisian kuesioner dilakukan oleh ibu atau ayah. Analisa data akan dilakukan dengan uji deskriptif chi-square dan regresi logistik multivariat menggunakan IBM SPSS versi 24.
Hasil: Hubungan yang signifikan terhadap alergi menurut uji chi-square ditemukan pada beberapa faktor seperti, konsumsi ASI dan status merokok ayah (p < 0,05). Hasil dari uji regresi logistik multivariat menunjukan bahwa faktor yang paling berperan dalam mengakibatkan reaksi alergi adalah durasi dari konsumsi ASI dan metode melahirkan (p<0,05).
Kesimpulan: Faktor risiko yang berperan mengakibatkan reaksi alergi pada anak di bawah lima tahun adalah durasi konsumsi ASI, metode kelahiran, status merokok ayah dan konsumsi ASI. Faktor yang paling berperan mengakibatkan reaksi alergi pada anak di bawah lima tahun adalah durasi konsumsi ASI dan metode kelahiran.

Introduction: Allergy is a condition that is very often found in children and could affect their physical and social condition. There are a lot of factors suspected to affect allergic reactions in children such as, parental smoking status, breastmilk consumption, mode of delivery, and etc. This research aims to see the association between several factors of allergy and the occurrence of allergic reaction in children-under five years old in Jakarta.
Methods: This research used cross-sectional design with the subject consist of father and or mother as well as their children. A group of 120 subjects participated in this research. The selection of the research subjects was done randomly in several health centers in Jakarta. This research used questionnaire that is structured based on UK’s diagnostic criteria of atopic dermatitis and principles from Kaiser Foundation Health Plan of Washington to assess allergic reactions in children. The filling of the questionnaire was done by father or mother. The data analysis was done using descriptive analysis chi-square and multivariate logistic regression using IBM SPSS version 24.
Results: Significance association towards allergy based on chi-square test was found in several factors such as, breastmilk consumption and father smoking status (p<0,05). The result of multivariate logistic regression test shows that the factor that affect the most in causing allergic reactions are duration of breastmilk consumption and mode of delivery.
Conclusion: The main factors that causes allergic reactions in children under-five years old from this research are duration of breastfeeding and mode of delivery. However, other than duration of breastfeeding and mode of delivery, father’s smoking status and breastfeeding were also found as risk factors of allergic reactions.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anesia Tania
"ABSTRAK
Latar belakang: Erupsi obat alergik EOA tipe sindrom Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik SSJ/NET adalah EOA berat yang jarang terjadi namun dapat mengancam nyawa. Tata laksana utama EOA tipe SSJ/NET saat ini adalah menghentikan pajanan obat penyebab. Di beberapa negara Asia, polimorfisme gen HLA-B telah digunakan sebagai metode skrining pada pemberian obat berisiko tinggi. Tujuan: Mengetahui sebaran obat penyebab dan polimorfisme gen HLA-B pada pasien EOA tipe SSJ/NET di Jakarta. Metode: Studi potong lintang ini dilakukan pada bulan April ndash; Juni 2017 di RSCM, RS Persahabatan, RS Fatmawati, RSUD Koja, dan RSUD Tarakan. Pemilihan sampel dilakukan secara total sampling pada pasien EOA tipe SSJ/NET di 5 RS tersebut selama 2 tahun. Dilakukan anamnesis dan penentuan obat dengan algoritma ALDEN dan pemeriksaan typing gen HLA-B dengan metode PCR ndash;SSOP. Hasil: Didapatkan 22 subjek dengan median usia 45,5 tahun dan sebagian besar perempuan. Obat penyebab tersering yang ditemukan adalah karbamazepin. Pada subjek, alel HLA-B yang tersering adalah HLA-B 15:02 dan HLA-B 18:01. Alel HLA-B 15:02 ditemukan pada lima 72 dari tujuh SP dengan obat penyebab karbamazepin. Simpulan: Obat penyebab EOA tipe SSJ/NET yang paling sering ditemukan pada SP adalah karbamazepin, dengan 5 dari 7 SP memiliki gen HLA-B 15:02.

ABSTRACT
Background Stevens Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis is a very rare but life threatening type of cutaneous drug eruption. The principle management of SJS TEN is withdrawal of causative drug and preventing reexposure to said drug. In other countries in Asia, spesific HLA B allele has already been utilized as a screening method to prevent SJS TEN. Objective to acquire data regarding causative drugs and HLA B allele polymorphism in SJS TEN patient in Jakarta. Method This cross sectional study was performed in RSCM, RS Persahabatan, RS Fatmawati, RSUD Koja, and RSUD Tarakan from April to June 2017. The sampling method is total sampling of all patient in all five hospital from March 2015 to March 2017. Subject fulfilling the inclusion and exclusion criteria was interviewed and their blood sample was taken for DNA extraction. The DNA was examined with PCR SSOP and Luminex technology for high resolution HLA B typing. Results We studied 22 subjects. The median age was 45,4 years old 14 74 and female gender predominate. The most common causative drug in this study is carbamazepine. HLA B 15 02 and HLA B 18 01 were the most common allele in all subjects. HLA B 15 02 was found in five 72 out of seven subjects whose condition was caused by carbamazepine. Conclusion The most common causative drug of SJS TEN in five hospitals in Jakarta is carbamazepine, with five 72 out seven subjects had HLA B 15 02 allele. "
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suriani Alimuddin
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pemeriksaan IgE spesifik serum baru diperkenalkan di Indonesia, tetapi belum ada data uji diagnostik mengenai akurasinya dalam mendeteksi alergen tungau debu rumah dan kecoa pada pasien asma dan atau rinitis alergi. Tujuan: Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan akurasi diagnosis pemeriksaan IgE spesifik serum dalam mendiagnosis sensitisasi alergen Dermatophagoides pteronyssinus Der p , Dermatophagoides farinae Der f , Blomia tropicalis Blo t dan Blatella germanica Bla g pada pasien asma dan atau rinitis alergi.Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang pada pasien alergi pernapasan dan merupakan bagian dari studi epidemiologi mengenai sensitisasi IgE spesifik di Divisi Alergi-Immunologi, RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, antara September dan Desember 2016. Pengukuran sensitisasi IgE spesifik dilakukan dengan metode imunoblot Euroline , Euroimmun AG, Germany . Alergen yang diuji adalah Der p, Der f, Blo t, dan Bla g. Hasilnya dibandingkan dengan baku emas uji tusuk kulit. Uji diagnostik yang dilakukan meliputi sensitivitas, spesifisitas, positive predicitive value PPV , negative predictive value NPV , likelihood ratio positif dan negatif LR and LR- .Hasil: Serbanyak 101 pasien dilibatkan dalam studi, 77 76,2 di antaranya adalah perempuan. Rerata usia pasien adalah 38,8 tahun. Berdasarkan uji tusuk kulit, sensitisasi tertinggi yang didapatkan adalah terhadap Blo t 76,2 , disusul oleh Der p 70,3 , Der f 69,3 , dan Bla g 41,6 . Sensitisasi IgE-spesifik tertinggi ditunjukkan oleh Der f 52,9 , diikuti oleh Der p 38,2 , Blo t 33,3 dan Bla g 10,8 . Alergen Der p memiliki 50,7 sentivitas, 90 spesifisitas, 92,3 PPV, 43,5 NPV, 5,1 LR dan 0,1 LR-. Der f memperlihatkan 71,4 sensitivitas, 87,1 spesifisitas, 82,6 PPV, 57,4 NPV, 5,5 LR dan 0,3 LR-. Alergen Blo t menunjukkan 41,6 sensitivitas, 91,7 spesifisitas, 94,1 PPV, 32,8 NPV, 5,0 LR , dan 0,6 LR-. Alergen Bla g menghasilkan 23,8 sensitivitas, 98,3 spesifisitas, 90,9 PPV, 64,4 NPV, 14,5 LR dan 0,8 LR-.Kesimpulan: Pemeriksaan IgE spesifik serum dalam mendiagnosis sensitisasi alergen Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae, Blomia tropicalis, dan Blatella germanica pada pasien asma dan atau rinitis alergi memperlihatkan sensitivitas rendah sampai sedang, tetapi spesifisitas dan PPV yang tinggi.

ABSTRACT
Background Serum specific IgE testing has recently been introduced in Indonesia, but diagnostic test has not been performed to know its performance to detect house dust mite and cockroach allergens in patients with allergic asthma and or rhinitis.Objective The objective of this study was to obtain diagnostic accuracy of serum specific IgE testing in diagnosing allergen sensitization to Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae, Blomia tropicalis, and Blatella germanica allergens in patients with allergic asthma and or rhinitis.Method This was a cross sectional study among patients with respiratory allergy and was part of a larger epidemiology study on specific IgE sensitization in the Division of Allergy Immunology, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta between September and December 2016. Specific IgE sensitization was measured using immunoblot method Euroline , EuroImmun AG, Germany . Allergens tested were Dermatophagoides pteronyssinus Der p , Dermatophagoides farinae Der f , Blomia tropicalis Blo t , and Blatella germanica Bla g . The results was compared to the standard skin prick test . Diagnostic test were performed and include sensitivity, specificity, positive predicitive value PPV , negative predictive value NPV , positive and negative likelihood ratio LR and LR .Results A total of 101 patients were enrolled 77 76.2 were women. Patients mean age was 38.8 years old. Based on SPT, sensitization was highest for Blo t 76.2 , followed by Der p 70.3 , Der f 69.3 , and Bla g 41.6 . Specific IgE sensitization was highest for Der f 52.9 , followed by Der p 38.2 , Blo t 33.3 and Bla g 10.8 . Der p allergen had 50.7 sentivity, 90 specificity, 92.3 PPV, 43.5 NPV, 5.1 LR and 0.1LR . Der f showed 71.4 sensitivity, 87.1 specificity, 82.6 PPV, 57.4 NPV, 5.5 LR and 0.3 LR . Blo t allergen had 41.6 sensitivity, 91.7 specificity, 94.1 PPV, 32.8 NPV, 5.0 LR , and 0.6 LR . Bla g allergen had 23.8 sensitivity, 98.3 specificity, 90.9 PPV, 64.4 NPV, 14.5 LR and 0.8 LR .Conclusion Serum specific IgE testing to Dermatophagoides pteronyssinus, Dermatophagoides farinae, Blomia tropicalis, and Blatella germanica allergens in patients with allergic asthma and or rhinitis showed only low to moderate sensitivity, but high specificity and PPV."
2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Widyati Rahadian
"ABSTRAK
Tungau debu rumah merupakan sumber alergen yang dapat menyebabkan alergi. Menurut biofisika, terjadinya alergi dalam tubuh manusia adalah hasil munculnya pencetakan alergi allergy imprinting yang berasal dari kontak tubuh manusia dengan zat dan berkembang dari pencetakan biofisik dengan substansi informasi. Penelitian dirancang dengan desain eksperimental untuk menilai dampak bioresonansi gelombang elektromagnetik terhadap perubahan profil mediator pro inflamasi type 2 IL4 dan IL13 dan mediator anti inflamasi IL10 yang dihasilkan oleh kultur sel darah lengkap yang diambil dari subjek alergi rhinitis karena tungau debu rumah. Hasil menunjukkan bahwa pada group dengan perlakuan bioresonansi didapatkan perbedaan. IL 4 dan IL13 yang diberi antigen tungau terhadap kontrol negatif lebih rendah dibandingkan dengan group yang tanpa perlakuan bioresonansi. Kadar IL10 sebagai mediator anti inflamasi lebih meningkat dibandingkan dengan group tanpa perlakuan bioresonansi. Hasil analisa respon sel darah lengkap yang menunjukkan kenaikan dari kondisi kontrol RPMI dibandingkan terhadap PHA Phytohemagglutinin menggambarkan bahwa kelompok dengan perlakuan bioresonansi dan yang tidak diberi perlakuan bioresonansi pada hari ke-7 masih hidup dan menghasilkan produksi sitokin. Produksi meditor akibat perlakuan bioresonansi gelombang elektromagnetik tidak mengubah fungsi biologik dari peran anti inflamasi yang secara fungsional dapat menghambat laju produksi inflamasi. Kata kunci: alergi tungau debu rumah, bioresonansi, interleukin

ABSTRACT
House dust mites are a source of allergens that can cause allergies. In the view of biophysics the occurrence of allergies in the human body is the result of the emergence of allergy imprinting which comes from human body contact with substances and evolves from biophysical printing with the substance of information. The study was designed with an experimental design to assess the impact of bioresonance of electromagnetic waves on changes in pro inflammatory mediator profiles IL 4 and IL 13 and anti inflammatory mediators IL 10 produced by complete blood cell cultures drawn from subjects of rhinitis allergy due to dust mites home. The result shows that the group given the bioresonance treatment, the difference between IL 4 and IL 13 given the mite antigen to negative control is lower than that of group without treatment. Level of IL 10 as an anti inflammatory mediator is increased compared to the group without bioresonance treatment. Result of a complete blood cell response analysis which shows an increase in control condition RPMI compared to PHA Phytohemagglutinin illustrates that the exposed group and non exposed to bioresonance on the 7th day are viable and produce cytokine production. The production of meditators due to the exposure of programmed bioresonance treatment does not alter the biological functioning of the anti inflammatory role that functionally is able to inhibit the rate of inflammatory production. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>