Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168941 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jose Roesma
"Perhatian terhadap hipertensi mulai berkembang di Indonesia sejak akhir tahun 1950-an di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan R.S.Dr Cipto Mangunkusumo. Laporan pertama hasil penelitian terhadap kelompok penderita hipertensi disampaikan oleh Murdowo (1973) dalam Kongres Ahli Penyakit Dalam Indonesia kedua meliputi 91 penderita rawat inap di RSU Sanglah Denpasar. Laporan pertama survai mengenai hipertensi baik dari masyarakat perkotaan (Semarang) maupun masyarakat pedesaan (kabupaten Blora) disampaikan oleh Boedhi Darmojo pada Kongres Nasional Ahli Penyakit Dalam ke 3 (1975) dan kemudian diikuti oleh laporan survai di pelbagai daerah Indonesia pada kongres-kongres berikutnya. Penelitian yang berskala nasional dan meliputi beberapa daerah dilaksanakan oleh Kartari (1976,1988). Dari keseluruhan data survai yang telah dilakukan, didapatkan prevalensi hipertensi rata-rata dalam masyarakat Indonesia adalah 8.99 %."
Jakarta: UI-Press, 1991
PGB 0113
UI - Pidato  Universitas Indonesia Library
cover
Czeresna Heriawan Soejono
"Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi hipertensi sistolik terisolasi (HST) pada populasi berusia 40 tahun ke atas di Indonesia serta faktor-faktor risiko yang ada.
Metode : Desain penelitian adalah potong lintang; subyek diperoleh dari pasien yang berobat ke dokter dan keluarga atau pengantar mereka. Dokter terpilih secara acak dari 11 kotamadya dan 11 kabupaten yang terpilih secara acak (systematic random sampling assignment) dari lima pulau besar Indonesia dan satu kepulauan Maluku. Nilai pengukuran tekanan darah menggunakan nilai baku dari 3NC VII tahun 2003.
Hasil : Subyek yang terkumpul adalah 4436 orang dan HST terdapat pada 316 subyek. Faktor yang berpengaruh terhadap HST adalah umur (OR 1,06 ; 95%CI 1,06 - 1,07), riwayat DM (OR 1,44 ; 95%CI 1,04 - 2,02) , dan riwayat gagal ginjal (OR 1,71 ; 95%CI 0,99 - 2,94). Pada subyek yang merokok, rerata lama merokok yang menderita HST adalah 28,78±14,45 bulan sedangkan yang tidak menderita HST adalah 22,33±11,80 bulan (p = 0,003).
Kesimpulan : Prevalensi HST adalah 7,12%. Terdapat hubungan antara umur, riwayat DM dan gagal ginjal dengan HST. Pada penelitian ini tidak terdapat hubungan antara merokok, riwayat keluarga dengan hipertensi dan indeks massa tubuh dengan HST. Pada subyek yang merokok, ternyata lama merokok berbubungan dengan kejadian HST.
Daftar pustaka: 37 (1994-2003).

Isolated Systolic Hypertension in Indonesia, Prevalence and Risk FactorsObjective of this study was to examine the prevalence of isolated systolic hypertension (ISH) amongst Indonesia people at the age of 40 years and over with its associated risk factors.
Methods: Cross sectional study; subjects were collected from persons who visited their doctors or their families. Doctors participated in this study were randomly assigned from 11 cities and 11 district area at five big islands and archipelago also in a systematic random sampling assignment. Measurement of blood pressure were using the standard procedure stated in INC VII (2003).
Results: Of the 4436 subjects, 316 persons met the criteria of ISH. Factors associated with ISH were age (OR 1.06 ; 95%CI 1.06 - 1.07), history of DM (OR 1.44 ; 95%CI 1.04 - 2.02) , and history of renal failure (OR 1.71 ; 95%CI 0.99 - 2.94). Amongst subjects who were smoking, mean duration of smoking in ISH persons was 28.78±14.45 months while in non-ISH persons was 22,33±11,80 months ( p = 0.003).
Conclusion: The prevalence of ISH was 7.12%. Age, history of DM and history of renal failure were associated with ISH. There were no association between smoking, family history of hypertension and body mass index with ISH in this study. Amongst smoking subjects, the duration of smoking was associated with ISH.
References: 37 (1994-2003)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T12780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"The analysis of hypertension prevalence for Indonesia citizen aging of 15 years old and its risk factors has been conducted. Data of National Health Basic Survey (Riskesdas) 2007 and National Health Basic Survey (Riskesdas) 2007 and National Health Survey (Susenas) 2007 data were used...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Atang Saputra
"Dimasa mendatang masalah penyakit tidak menular akan menjadi prioritas masalah kesehatan di Indonesia. Salah satu masalah tersebut adalah masalah hipertensi Hipertensi sebagai salah satu dari penyakit tidak menular, perlu di tangani secara "nation wide" mengingat prevalensinya cukup tinggi dan umumnya sebagaian besar masyarakat tidak mengetahui dirinya menderita tekanan darah tinggi. Dan berbagai laporan penelitian didapatkan kenyataan bahwa dari seluruh penderita, 50% tidak mengetahui dirinya menderita hipertensi (Sukahatya, 1986).
Boedi Darmojo (1988), mengemukakan bahwa prevalensi penyakit hipertensi berkisar antara 5%--15%. Prevalensi hiperensi pada penduduk 20 tahun keatas diberbagai daerah di Indonesia antara tahun 1975-1985 berkisar 5-19%. Prevalensi terendah ditemukan pada penduduk pegunungan Jaya Wijaya, (0,65%), sedangkan tertinggi ditemukan di Silungkang, Sumatera Barat sebesar 19,4% (Soenarto, dkk., 1991).
Berdasarkan penyababnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
Hipertensi esensial atau hipertensi primer yaitu hipertensi yang belum diketahui penyebabnya dengan pasti atau idiopatik.
Hipertensi sekunder yaitu hipertensi yang berhubungan atau disebabkan oleh penyakit lain.
Menurut Darmojo, proporsi penderita hipertensi primer (esensial) sebesar 95% dari seluruh penderita hipertensi, sehingga hipertensi primerlah yang merupakan problem masyarakat yang lebih panting untuk diperhatikan.
Karena pengobatannya memerlukan waktu yang lama bahkan sampai seumur hidup dan dapat menimbulkan komplikasi-komplikasi yang dapat berakibat fatal, maka hendaknya faktor-faktor resiko (adalah faktor yang berhubungan dengan resiko terjadinya suatu penyakit namun belum tentu merupakan penyebab langsung terjadinya penyakit) hipertensi harus di identitkasi untuk kemudian dikendalikan.
Dalam upaya penanganan hipertensi, khususnya upaya-upaya pencegahan dan promotif perlu diperhatikan faktor-faktor yang berhubungan atau mempengaruhi hipertensi.
Menurut Achmadi (1991), kondisi kesehatan masyarakat tergantung pada kondisi lingkungannya dan perilaku penduduk. Faktor-faktor lingkungan dan perilaku yang diduga berperan dalam hipertensi esensial antara lain : karakteristik individu yang terdiri dari umur, jenis kelamin, genetik (Susalit, 1991), kebiasaan merokok (Anderson, 1981), kebiasaan minum alkohol (Medika, 1992)
Berbagai penelitian hipertensi umumnya dilakukan secara sporadik, fragmated dan kecil-kecil. Untuk mendapatkan data secara "nation wide" agaknya memerlukan sumberdaya mahal.
Salah satu sumberdaya, yang didalamnya memiliki variabel hipertensi adalah SKRT atau Survey Kesehatan rumah Tangga yang dilakukan secara berkelanjutan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Kesehatan R.I. SKRT telah dilakukan sejak 1982 dan terahir adalah tahun 1995.
Data SKRT 1995, menunjukkan bahwa penyakit Sistem Sirkulasi termasuk hipertensi merupakan penyebab utama kematian (18,9%). Namun dari data SKRT 1995 belum ada analisis profil hipertensi nasional. Oleh sebab itu, perlu di susun pertanyaan : bagaimana gambaran hubungan faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan kejadian hipertensi pada kelompok umur 25 tahun keatas di Indonesia?"
Universitas Indonesia, 1999
LP1999 47
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Atang Saputra
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1999
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Fenida
"Hipertensi adalah salah satu penyakit sistim kardiovaskuler dengan prevalensi tinggi di masyarakat dan dapat menimbulkan berbagai gangguan organ vital tubuh dengan akibat kelemahan fungsi organ, cacat maupun kematian.
Banyak faktor yang mempengaruhi hipertensi tidak terkendali, namun demikian faktor mana yang paling dominan, berapa besar hubungannya belum terungkap sepenuhnya. Hal ini akan diungkapkan pada penelitian ini dengan menggunakan jenis disain kasus kontrol dimana kasus dan kontrol diambil dari pengunjung poliklinik Ginjal - Hipertensi RSUPNCM dengan besar sampel 200 untuk kasus dan 200 untuk kontrol.
Sebelum dilakukan analisis ditentukan terlebih dahulu " Cut off Point " dari variabel independen. Pada analisis bivariat ternyata variabel yang menunjukkan hubungan bermakna dengan hipertensi tidak terkendali (HTT) adalah lntensitas Terapi (IT), usia dan Body Mass Index (BMI), sedangkan variabel yang menunjukkan hubungan tidak bermakna yaitu merokok dan jenis kelamin, selanjutnya dilakukan analisis multivariat untuk menentukan model, temyata variabel yang dapat dimasukkan kedalam model adalah IT, usia dan BMI.
Untuk mengurangi risiko HTT, penderita hipertensi sebaiknya menjalani terapi nonfarmakologi (penurunan berat badan bila obesitas, latihan fisik secara teratur, mengurangi makan garam menjadi < 2,3 g Natrium atau < 6 g NaCL sehari, makan Ca, K dan Mg yang cukup dan diet, membatasi asupan alkohol , kafein, kopi, teh, berhenti merokok) dan terapi farmakologi dengan sebaik mungkin.

Hypertension is a cardiovascular disease with high prevalence in the society. The disease is able to distress vital organ function even worst death. There are two kinds of hypertension; control and uncontrolled.
Uncontrolled hypertension is influenced by many factors but the significant factors and their relationship can't be determined yet. Through this research. I would try to reveal the significant factors and their relationship. The research is used the control case design with 400 sample; case and control are taken from the visitors at the Polyclinic Ginjal-Hipertensi Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo.
Cut off point is determined from independent variables before we do analysis. Based on bivariat analysis, Define Daily Doses (DDD), age, and Body Mass Index (BMI) are significant variables for uncontrolled hypertension. On the other hand, gender and smoking are insignificant variables. Furthermore, model is determined by doing multivariate analysis. DDD, age, and BMI are variables that in fact can be input to the model.
To reduce the risk of uncontrolled hypertension, nonpharmacology and pharmacology should be treated to patients simultaneously.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T1869
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harny Edward
"LATAR BELAKANG: Hipertensi merupakan salah satu masalah kesehatan yang turut berperan dalam peningkatan angka morbiditas dan mortalitas stroke, gagal jantung dan gagal ginjal. Morbiditas dan mortalitas hipertensi meningkat dengan makin banyaknya faktor risiko yang dimiliki, makin tinggi tekanan darah dan makin lama seseorang menderita hipertensi. Sampai saat ini mekanisme pasti terjadinya hipertensi belum jelas. Belakangan ini disfungsi endotel juga dikaitkan dengan hipertensi. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran kadar sVCAM-1 dan MAU, membuktikan adanya hubungan antara kadar sVCAM-1 dan MAU, menganalisis pengaruh usia, gender, obesitas, terkendali tidaknya hipertensi, lama sakit dan kadar kolesterol terhadap kadar sVCAM-1 dan MAU pada penderita hipertensi primer.
BAHAN DAN METOPE: Penelitian ini menggunakan 65 subyek non diabetik dengan kadar hs-CRP < 5 mgIL dan protein win < 3+. Dilakukan pemeriksaan kadar sVCAM-1, K-LDL, albumin dan kreatinin urin terhadap subyek dengan protein win negatif atau trace, sedangkan subyek dengan protein urin 1+ atau 2+ hanya dilakukan pemeriksaan kadar sVCAM-1 dan K LDL. Penetapan kadar sVCAM-1 berdasarkan prinsip quantitative sandwich enzyme immunoassay, penetapan kadar K-LDL berdasarkan prinsip enzimatik homogen, penetapan kadar albumin urin berdasarkan prinsip imunoturbidimetri, penetapan kreatinin urin berdasarkan metode kinetik Jaffe dan MAU dinyatakan dengan rasio albumin 1 kreatinin urin.
HASIL: Hasil penelitian menunjukkan proporsi kadar sVCAM-1 tinggi sebesar 81,5 % dan MAU 27,7 %. Kadar sVCAM-1 tinggi dan MAU lebih banyak dijumpai pada subyek tua, lelaki, hipertensi tak terkendali, lama sakit > 10 tahun dan obese. Dari hasil analisis multivariat derigail regresi rr ultipel, Adak didapatkan korelasi -yang bermakna antara kadar sVCAM-1 dengangender dan lama sakit namun didapatkan korelasi yang bermakna antara kadar sVCAM-1 dengan usia, MAP dan K-LDL. Hubungan tersebut dapat digambarkan melalui suatu persamaan yaitu kadar sVCAM-1 = 175 + 9,7 x usia (tahun) + 5,9 x MAP (mmHg) -- 2,9 x kadar K-LDL (rngldL) dengan nilai R2 adjusted sebesar 23,1 %. Tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara MAU dengan usia, gender, MAP. 1MT, lama sakit dan K-LDL.Tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara kadar sVCAM-1 dan rasio A 1 K.
KESIMPULAN: Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan proporsi kadar sVCAM-1 tinggi 81,5 % dan MAU 27,7 %. Hal ini menunjukkan bahwa pada penderita hipertensi primer telah terjadi disfungsi endotel. Dari analisis multivariat menunjukkan kadar sVCAM-1 berkorelasi dengan usia, MAP dan K-LDL, sedangkan MAU tidak berkorelasi dengan variabel tersebut. Kadar sVCAM-1 tidak berkorelasi dengan MAU.

Hypertension is a health problem which contributes in the increase morbidity and mortality of stroke, heart failure, and renal failure. The morbidity and mortality of hypertension were influenced by various risk factors, the height of blood pressure and the lenght of illness. The mechanism of hypertension up to now remains unclear. Recently, endothelial dysfunction has been associated with hypertension. The aims of this study were to obtain the level of sVCAM-1 and microalbuminuria (MAU) in primary hypertension, to analyse the relationship between sVCAM-1 level and MAU, to analyse the influences of age, gender, obesity, control of hypertension, length of illness, and the level of LDL cholesterol on sVCAM-1 level and MAU.
Sixty five non diabetic subjects with hs-CRP level < 5 mg/L and protein urine < 3 + were enrolled in this cross sectional study. The level of sVCAM-1 were performed on all subjects by ELISA using reagents from R&D system, while MAU was determined by calculated the albumin : creatinine ratio in the urine. The level of LDL cholesterol was performed by homogenous enzymatic assay.
The results indicated that the proportion of increase of sVCAM-1 level was 81.5% and MAU was 27.7% in primary hypertension. Increase of sVCAM-1 level and MAU were found more frequently in older subjects, male, uncontrolled hypertension, length of illness more than 10 years, and obese subject. The results of multivariate analysis with multiple regression showed that sVCAM-1 level significantly correlated with age, mean arterial pressure (MAP), and LDL cholesterol level, but did not correlate with gender, and length of illness. The relationship could be formulated as: sVCAM-1 level = 175 + 9.7 x age (years) + 5.9 x MAP ( mm Hg) -- 2.9 x LDL cholesterol level (mgldL) with R2 adjusted 23.1%. There were no correlation between MAU with age, gender, MAP, obesity, ienght of illness, and LDL cholesterol level. The level of sVCAM-1 did not correlate with albumin:creatinine urine ratio (MAU).
Based on high proportion of increased sVCAM-1 and MAU, it is concluded that endothelial dysfunction occur in primary hypertension. The level of sVCAM-1 significantly correlates with age, MAP, and LDL cholesterol level, while MAU does not correlate with these variables. There is no correlation between sVCAM-1 level and MAU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21351
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pius A.L. Berek
"Slow deep breathing (SDB) adalah tindakan nonfarmakologis untuk menurunkan tekanan darah pasien hipertensi primer. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas SDB terhadap penurunan tekanan darah pasien hipertensi primer. Metode penelitian ini menggunakan desain Randomized Clinical Trial dengan pretest dan post test control group. Sampelnya 142 responden, meliputi 33 responden kelompok rendah garam (RG), 37 responden kelompok SDB, 39 responden kombinasi kelompok SDB dan RG; dan 33 responden kelompok kontrol. Sampel diambil dengan cara randomisasi.
Hasil penelitian menunjukan penurunan tekanan darah secara bermakna terutama pada kelompok SDB. Tekanan darah sistolik menurun 28,59 mmHg (P value=0,002) dan tekanan darah diastolik 16,92 mmHg (P value=0,007). Analisis dengan uji Tukey diketahui tekanan darah sistolik yang berbeda secara bermakna yaitu antara SDB dan kelompok kontrol (P value=0,001). Tekanan darah diastolik yang berbeda secara bermakna, yaitu: RG dan SDB-RG (P value=0,046); RG dan kelompok kontrol (P value=0,003); SDB dan SDB-RG (P value=0,038) serta SDB dan kelompok kontrol (P value=0,005). Penelitian ini merekomendasikan penerapan SDB untuk membantu menurunkan prevalensi hipertensi sehingga meminimalkan komplikasi yang mungkin timbul.

Slow deep breathing is a nonpharmacology therapy to reduce blood pressure in patients with primary hypertension. The purpose of this study was to determine the effectiveness of slow deep breathing exercise to reduce blood pressure in patients with primary hypertension in Atambua East Nusa Tenggara. The method of this research was a quantitative research: a randomized clinical trial design with pretest and post test control group. The sample was 142 respondents, which consisted of 33 respondents in the lower salt (RG) group, 37 respondents in the slow deep breathing (SDB) group, 39 respondents in the combination of SDB-RG group; and 33 respondents in the control group. The method of sampling used a randomization.
The results showed that there were differences in the reduction of systolic blood pressure in SDB group for 28.59 mm Hg and diastolic blood pressure for 16.92 mmHg. The result of Anova analysis showed that there was a significant decrease on average of systolic blood pressure (p = 0.002) and diastolic blood pressure (p = 0.007). Further analysis by Tuckey test of systolic blood pressure found that between SDB group and control group were significantly different, however the other groups was not significant. (P = 0.001). After undergoing further Tukey analysis we found that the systolic blood pressure of four groups has significant differences. The SDB and controlling groups have P value=0,001 differences. RG and the controlling groups have P value=0,003 differences. SDB and SDB-RG groups have P value=0,038 differences. And SDB and controlling groups have P value=0,005 differences. This research would like to suggest applied non-pharmacological actions particularly toward SDB groups in order to decrease the prevalence of hypertension. This will minimize consequences caused by this problem."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T29384
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Krisnawati F.
"Latar belakang. Hipertensi dapat terjadi pada semua orang termasuk para karyawan. Salah satu faktor risiko hipertensi antara lain adalah faktor stresor di lingkungan kerja. Oleh karena itu perlu diidentifikasi faktor stresor kerja dan faktor lainnya yang berpengaruh terhadap risiko hipertensi.
Metode. Desain penelitian ialah nested case-control. Kasus adalah karyawan yang menderita hipertensi atau sedang makan obat antihipertensi. Satu kasus dipadankan dengan dua orang kontrol menurut tahun kasus didiagnosis hipertensi dan menurut jenis kelamin. Kontrol dipilih di antara karyawan yang tidak pernah menderita hipertensi. Semua faktor risiko pada kasus dan kontrol dihitung sampai saat kasus didiagnosis hipertensi. Penelitian dilaksanakan di antara karyawan kantor pusat PT A Jakarta bulan Mei 2004 dengan jumlah karyawan 255 orang.
Hasil. Diperoleh 70 kasus hipertensi dan 140 kontrol. Subjek berumur 25 sampai 65 tahun. Risiko hipertensi berkaitan dengan stresor beban kualitas berlebih, stresor beban kuantitas berlebih, pengembangan karir, umur tua (55-65 tahun), obesitas, merokok, dan adanya riwayat hipertensi di antara keluarga. Sedangkan faktor ketaksaan peran, konflik peran, dan tsnggung jawab tidak terbukti mempertinggi risiko hipertensi. Jika dibandingkan dengan stresor beban kualitas ringan, siresor beban kualitas sedang tinggi mempertinggi risiko hipertensi 7 kali lipat [rasio odds (OR) suaian = 7,47; 95% interval kepercayaan (Cl) = 1,40-39,76]. Selanjutnya jika dibandingkan dengan stresor beban kuantitas ringan, stresor beban kuantitas yang sedang - tinggi mempertinggi risiko hipertensi 4 kali lipat (OR suaian = 4,10; 95% CI =1,06-15,90).
Kesimpulan. Stresor beban kualitas berlebih, stresor kuantitas berlebih dan stresor pengembangan karir (moderat) mempertinggi risiko hipertensi, oleh karena itu stresor tersebut perlu dicegah.

Job Stressors and Other Risk Factors Related to Hypertension Risk Among PTA Employees in Jakarta Background. Every one including employees may suffer hypertension. Several risk factors including job stress are related to hypertension. Therefore, it is beneficiary to identifies the risk factors.
Methods. This study used nested case-control design. Case was defined as an employee who had hypertension, or those who were under antihypertension treatment. One case was matched with two controls that never had hypertension and by gender. All risk factors were counted as of reference date for cases. This study has been done on 255 subjects among center office PTA employees in Jakarta in May 2004.
Results. There were 70 cases and 140 controls aged 25 to 65 years. Hypertension was related to quality job overload , quantity job overload, career development, elder age, obesity, current and past smoking habits, and present offamily history on hypertension. However, it was noted that role ambiguity, role conflict, and responsibility did not increase the risk of hypertension. Compared with those who had mild qualitative job stressor, those who had moderate or heavy qualitative job stressor had a seven folds risk having hypertension [adjusted odds ratio (OR) = 7.47; 95% confidence interval (Cl) = 1.40-39.76]. In addition, relative to those who had mild quantitative job stressor, those who had moderate or heavy ones had four times increased risk to have hypertension (adjusted OR = 4.10; 95% C1=1.06-15.90).
Conclusion. Moderate or heavy qualitative job stressor, moderate or heavy quantitative job stressor and career development increase the risk of hypertension, therefore these stressors need to be prevented.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13682
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wijayanto
"Terapi komplementer yang dapat diberikan pada pasien hipertensi primer adalah teknik relaksasi, salah satunya adalah terapi masase. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh terapi masase menggunakan minyak aromaterapi terhadap tekanan darah pasien hipertensi primer. Penelitian ini menggunakan desain eksperimen semu dengan rancangan rangkaian waktu (Time Series Design) dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Besarnya sampel pada penelitian ini 42 orang, dimana jumlah responden pada kelompok terapi masase menggunakan minyak aromaterapi 24 orang dan kelompok terapi masase menggunakan minyak VCO (virgin coconut oil) 18 orang. Setiap responden mendapatkan terapi masase pada area kaki, punggung, bahu, lengan atas, leher dan kepala selama 30 menit 2 kali per minggu selama 3 minggu.
Hasil penelitian didapatkan ada pengaruh terapi masase menggunakan minyak aromaterapi terhadap penurunan tekanan darah sistolik-diastolik pasien hipertensi primer (p value < 0,05). Terapi masase menggunakan minyak aromaterapi lebih efektif menurunkan tekanan darah sistolik dibandingkan dengan terapi masase menggunakan minyak VCO. Sedangkan terapi masase menggunakan minyak VCO lebih efektif menurunkan tekanan darah diastolik dibandingkan dengan terapi masase menggunakan minyak aromaterapi.
Penelitian ini merekomendasikan bahwa terapi masase menggunakan minyak aromaterapi dapat digunakan untuk menurunkan dan mengendalikan tekanan darah tinggi pasien hipertensi primer serta perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut.

Message therapy is one of the complementary therapies that can be given to Primary Hypertension Patient. This study aims to examine the influence of message therapy using aroma therapy oil on primary hypertension patient’s blood pressure. The quasi experiment with time series design was used in this study. Forty two respondents were recruited using consecutive sampling method, where 24 respondents were grouped into message using aroma therapy and another 18 respondents using VCO (virgin coconut oil). Each of respondents had message therapy on foot, back, shoulder, upper arm, neck, and head areas for 30 minutes twice a week within 3 weeks.
The result shows that there was significant influence of message using aroma therapy oil on hypertension patient's blood pressure (p value < 0,05). Message using aroma therapy oil was more effective in decreasing systolic blood pressure compare to those who had message with VCO. However, message using VCO was more effective in decreasing diastolic blood pressure compare to those who had message with aroma therapy oil.
It is recommended that message using aroma therapy oil can decrease and maintain normal systolic blood pressure on primary hypertension patients. This study needs further investigation on how message and other complementary therapy can maintain normal blood pressure.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2013
T35210
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>