Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 178511 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Wiwit Gemiwati
"Dalam lima tahun terakhir, Pekanbaru merupakan kota endemis demam berdarah dengue (DBD) dengan kejadian kasus setiap bulan dengan angka insiders yang melebihi angka nasional (20 per 100.000 penduduk). Keberadaan tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor demam berdarah diduga dipengaruhi oleh keadaan seperti curah hujan, hari hujan, indeks hujan, kelembaban dan suhu. Dalam studi ini diteliti hubungan iklim sebagai faktor risiko dengan angka bebas jentik (ABJ) dan dengan angka insiden demam berdarah dengue.
Untuk menganalisis faktor-faktor risiko iklim terhadap ABS dan angka insiden demam berdarah dilakukan studi ekologi di Kota Pekanbaru Propinsi Riau. Data lklim (curah hujan, hari hujan, indeks hujan, suhu dan kelembaban) selama 7 tahun terakhir (1995-2001) dikumpulkan dari Badan Meteorologi dan Geofisika Balai Wilayah I Stasiun Meteorologi Pekanbaru, sedangkan ABJ insiden DBD diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru dan Dinar Kesehatan Propinsi Riau. Hubungan iklim dengan angka bebas jentik, angka bebas jentik dan angka insiden dan iklim dengan angka insiden DBD dengue dianalisis menggunakan uji korelasi, regresi linier sederhana dan regresi linier ganda dengan metoda backward untuk mendapatkan prediksi model hubungan. Karena data ABJ tersedia dalam triwulan maka data iklim yang semula tersusun sebagai data bulanan diubah menjadi data triwulan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa ABJ mempunyai hubungan bermakna dengan suhu (p = 0,044) yang berpola positif dengan keeratan sedang (r = 0,383) dan kelembaban (p = 0,017) yang berpola negatif dengan keeratan sedang (r = -0,446). Selanjutnya regresi liner menunjukkan bahwa model hubungan suhu dengan ABJ adalah ABJ = 73,6 + 0,76 x suhu, sedangkan model hubungan kelembaban dengan ABJ adalah ABJ = 124,3 -- 0,36 x kelembaban. Namun, ABJ dengan angka insiden DBD dan iklim dengan angka insiden DBD tidak mempunyai hubungan bermakna. Disimpulkan bahwa sebagian variabel iklim merupakan faktor risiko ABJ tetapi tidak terbukti bahwa ABJ merupakan faktor risiko DBD.
Daftar bacaan : 40 (1986-2002)

The Relationship Between Climate Factors, Free Vectors Number, and Number of Dengue Incidences in Pekanbaru City Since 1995 Until 2001In the last five years Pekanbaru has been an endemic city of dengue hemorigic fever (DHF) where cases are found monthly with the incidence exceeded the national rate ( 20 per 100.000 population). The existence of breeding places of Aedes aegypti, a DHF vector, are believed to be associated with climate such as rainfall, rainy day, temperature and humidity. This study is aimed to explore association between climatic variables as environmental risk factor with Container Index (Cl, as free-larvae percentage) and with DHF incidence.
To analyze this association, an ecological study has been carried out in Kota Pekanbaru, the Province of Riau. Climate data (rainfall, rainy day, rain index, relative humidity, and temperature) during the last seven years (1995-2001) were collected from the Regional Division I of Meteorology and Geophysics Station, Pekanbaru, whereas CI and DHF incidence were obtained from Health District and Health Province Office, Pekanbaru. The association of climatic variables with CI, Cl with DHF incidence, and climate with DHF incidence were analyzed using correlation, simple linear regression, and multiple linear regression with backward method to generate prediction models. As the CI data were available in trimontly, the climate data were converted accordingly.
Statistical analyses show that CI has significantly associated with temperature (p = 0,044) positively and moderately ( r = 0,383) and with relative humidity (p = 0,017) negatively and moderately ( r = -0,446). Further, linear regression indicates that the association model of temperature with Cl is CI = 73,6 + 0,76 x temperature, while the association model of relative humidity with CI is CI = 124,3 - 0,36 x RR However, CI with DHF incidence and climate with DHF incidence are not significantly associated. It is concluded that particular climatic variables are risk factors of CI but it cannot be proved that CI is a risk factor for DHF incidence.
References: 40 (1986-2002)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T 12730
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nia Ratnasari
"Demam berdarah dengue (DBD) di Kulon Progo mengalami fluktuasi selama 10 tahun terakhir dan pada tahun 2013 insiden naik 3 kali lipat dari tahun 2012. Faktor iklim dipercaya mempengaruhi keberadaan jentik Aedes aegypti yang berpengaruh terhadap insiden DBD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi faktor iklim dan angka bebas jentik (ABJ) dan dengan kejadian DBD di Kabupaten Kulon Progo, DIY tahun 2008-2013. Hubungan suhu, kelembaban, kecepatan angin, lama penyinaran matahari, curah hujan, dan angka bebas jentik terhadap angka insiden DBD menggunakan studi ekologi time series dan dianalisis dengan uji korelasi. Data iklim bulanan diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Propinsi D.I.Yogyakarta. Data ABJ dan insiden DBD diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo.
Hasil penelitian menyatakan bahwa suhu, kelembaban, kecepatan angin, lama penyinaran matahari, dan curah hujan tidak memiliki korelasi dengan ABJ (p>0,05). Insiden DBD memiliki korelasi dengan kelembaban (r = 0,277 ; p = 0,032), lama penyinaran matahari (r = -0,355 ; p = 0,003), dan curah hujan (r = 0,335 ; p = 0,004), sementara variabel suhu, kecepatan angin, dan ABJ tidak terbukti memiliki korelasi dengan insiden DBD. Bebrapa faktor iklim memiliki korelasi terhadap munculnya insiden DBD di Kabupaten Kulon Progo.

Dengue in Kulon Progo have a fluctuation for past 10 years and in 2013 the incidence inceased up to three times higher than incidence in 2012. Climatic factors have well-defined roles in Aedes aegypti larval indices and dengue transmision. The aim of this study is to find out the correlation between climatic factors and larval indices, and with dengue incidence in Kulon Progo District year 2008-2013. The relationship between temperature, humidity, wind speed, sunshine duration, larval indices, and dengue incidence were studied using ecological time series study, and were analyzed by correlation test. Monthly reported climate data were obtained from the Meteorology, Climatology, and Geophysics Departement of Yogyakarta. Larval indices and monthly reported dengue incidences were obtained from the Health District Office of Kulon Progo.
The result of this study showed that temperature, humidity, wind speed, sunshine duration and rainfall have no significant correlation with larval indices (p>0,05). Dengue incidence was significantly correlated with humidity (r = 0,277 ; p = 0,032), sunshine duration (r = -0,355 ; p = 0,003), and rainfall (r = 0,335 ; p = 0,004), furthermore, temperature, wind speed, and larval indices were found out to have no significant correlation with dengue incidences. Some of climatic factors have a correlation with the occurence of dengue incidences in Kulon Progo District.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S55039
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amah Majidah Vidyah Dini
"Salah satu dampak dari perubahan iklim adalah kemungkinan eningkatan kejadian yang terus menerus dari vector borne disease (Munasinghe, 2003). Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit berbasis vektor yang menjadi penyebab kematian utama di banyak negara tropis. Penelitian Silaban (2005) menyatakan bahwa variasi iklim (jumlah hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban) memiliki hubungan bermakna dengan insiden DBD di Kota Bogor. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan hubungan antara faktor iklim (suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban, dan kecepatan angin) dengan kejadian DBD di Kabupaten Serang tahun 2007- 2008. Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder faktor iklim dan jumlah kasus DBD. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara faktor iklim suhu, curah hujan, hari hujan, lama penyinaran matahari, kelembaban dan kecepatan angin dengan angka insiden DBD di kabupaten Serang pada tahun 2007-2008."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Debbie Valonda S.
"Upaya yang dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam pengendalian penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah dengan dibentuknya Juru Pemantau Jentik (Jumantik) yang bertugas melakukan pemeriksaan jentik secara berkala, sehingga diharapkan dapat mengurangi kejadian kasus DBD. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Angka Bebas Jentik (ABJ) di Kelurahan Pejaten Timur Kecamatan Pasar Minggu Kota Administrasi Jakarta Selatan dengan metode pendekatan cross sectional dan melibatkan 131 Jumantik sebagai responden. Metode analis data menggunakan analisis univariat dan bivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor tingkat pendidikan (p = 0,026), tingkat pengetahuan (p = 0,023) dan kegiatan pelaksanaan PSN (p = 0,001) berhubungan dengan Angka Bebas Jentik (ABJ). Kesimpulan dari penelitian ini terdapat tiga variabel yang mempengaruhi ABJ di Kelurahan Pejaten Timur yaitu tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan kegiatan pelaksanaan PSN, meskipun perlu adanya penelitian lebih lanjut.
Efforts made by the Government of Jakarta in disease control Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) is the establishment of larva monitoring (Jumantik) assigned to conduct periodic checks larva, which is expected to reduce the incidence of dengue cases. This study aims to determine the factors that affect Figures Non Larva (ABJ) in Sub Pejatentimur District of Pasar Minggu, South Jakarta Administration City with cross sectional method and involves 131 Jumantik as respondents. Method of data analysts using univariate and bivariate analyzes. The results showed that the factor of the level of education (p = 0.026), the level of knowledge (p = 0.023) and the activities of the implementation of PSN (p = 0.001) associated with figure Non Larva (ABJ). The conclusion of this study, there are three variables that influence in Sub Pejatentimur ABJ is the level of education, level of knowledge and implementation activities PSN, although the need for further research."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2015
S58996
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muyono
"Penyakit menular yang dibawa oleh vektor yang masih menjadi masalah hingga saat ini adalah penyakit Daman Berdarah Dengue (DBD), yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Sejak ditemukan di Indonesia pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta penyakit ini cenderung menyebar luas sejalan dengan meningkatnya mobilitas dan kepadatan penduduk.
Di Sumatera Selatan selama 5 tahun yaitu 1998 - 2002 tercatat rata rata jumlah kasus DBD 1.583 kasus (IR = 66,3/100.000 penduduk) dan CFR 2%, sedangkan Kota Palembang pada kurun waktu yang sama menunjukkan angka kejadian berfluktuasi, tahun 1998 (3022 kasus, CFR 2,94%), lalu tahun 1999 menjadi 1330 kasus (CFR : 2,25%), dan hingga akhir tahun 2002 tercatat sebanyak 1074 kasus (CFR : 1,67%).
Penelitian ini bertujuan mengetahui gambaran kejadian penyakit DBD, Angka Babas Jentik (ABJ) dan hubungan antara iklim yang meliputi curah hujan, hari hujan, suhu, kelembaban dan kecepatan angin dengan kejadian penyakit DBD dan ABJ serta hubungan ABJ dengan kejadian penyakit DBD di Kota Palembang Tahun 1998 - 2002.
Desain penelitian menggunakan studi ekologi time trend dengan memanfaatkan data sekunder yang dikumpulkan dari laporan bulanan Subdin P2P Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Stasiun Klimatologi Kenten Palembang serta menggunakan analisis rata-rata hitung (mean) dan analisis Korelasi Pearson diperoleh hasil sebagai berikut:
Kejadian DBD tertinggi tahun 1998 (3.022 kasus, IR = 2216,41100.000 penduduk dan CFR = 2,94%) dan terendah tahun 2001 (816 kasus, IR = 54,91100.000 penduduk serta CFR terendah tahun 2000 yaitu 1,14%). Sedangkan rata-rata ABJ selama 5 tahun sebesar 83,68%, angka tertinggi tahun 1999 (88,0%) dan terendah tahun 2002 (78%). Gambaran iklim: Curah hujan : rata-rata (227,23 mm), tertinggi Maret (367,16 mm) dan terendah Agustus (88,86 mm); Hari hujan : rata-rata (16,2 hari), tertinggi Desember (22,8 hari) dan terendah Agustus (9,4 hari); Suhu : rata-rata (26,9°C), tertinggi Mei (27,6°C) dan terendah Januari (26,06°C); Kelembaban: rata-rata (84,3%), tertinggi Januari (87,4%) dan terendah September (79,2%); Kecepatan angin: rata rata (3,06 knot), tertinggi September (3,8 knot) dan terendah April (2,03 knot).
Hubungan antara iklim dengan kejadian penyakit DBD diperoleh hasil sebagai berikut: Curah hujan: data tahun 2001, ada hubungan bermakna antara curah hujan dengan DBD, arah positif dan tingkat hubungan kuat; Hari hujan: data tahun 1999, 2002 dan 2002, ada hubungan bermakna antara hari hujan dengan DBD, arah positif dan tingkat hubungan kuat; Suhu udara: data tahun 2002, ada hubungan bermakna antara suhu udara dengan DBD, arah negatif dan tingkat hubungan kuat; Kelembaban udara: data tahun 2001 dan 2002, ada hubungan bermakna antara kelembaban udara dengan DBD, arah positif dan tingkat hubungan kuat; Kecepatan angin: data tahun 1999, ada hubungan bermakna antara kecepatan angin dengan DBD, arah positif dan tingkat hubungan kuat. Sedangkan hubungan antara iklim dengan Angka Bebas Jentik dan hubungan antara Angka Bebas Jentik (ABJ) dengan kejadian penyakit DBD tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan.
Untuk mengantisipasi kejadian DBD dimasa mendatang perlu dilakukan pencegahan dengan jalan: mengaktifkan pokja DBD, upaya menggerakkan masyarakat melakukan PSN-DBD, pembagian abate dan ikan predator; peningkatan promosi penanggulangan DBD melalui media massa/elektronik; peningkatan survailence aktif ke rumah sakit minimal seminggu 2 kali dan survailence vektor; serta perlu ditingkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektoral dengan instansi terkait seperti badan meteorologi dan geofisika, dinas pendidikan, Pemda dan Tim Penggerak PKK.

Contagion disease brought by vector which still become problem till now days is Dengue Disease (DBD), cause by dengue virus which contagious through mosquito vector of Aides aegypli. Since found in Indonesia in the year 1968 in Surabaya and Jakarta this disease tend to widely disseminate in line with the increase of mobility and density.
In South Sumatra during 5 year that is 1998 - 2002 noted an average rate cases of DBD L583 cases (IR = 66,3/100.000 residents) and CFR 2%, while Palembang at the same time show event fluctuation number, year 1998 (3022 cases, CFR 2,94%), then year 1999 becoming 1330 cases (CFR : 2,25%), and till the end of year 2002 noted as much 1074 cases (CFR : 1,67%).
This research aim is to know prescription of DBD disease occurrence, Free Number Larva (ABJ) and relation between climate which covers rainfall, rain day, temperature, dampness and speed of wind with DBD disease occurrence and ABJ also relation ABJ with DBD disease occurrence in Palembang Year 1998 - 2001.
Research design use study of ecology time trend by using secondary data collected from monthly report of Subdin P2P of Palembang City Health Service and Kenten Palembang Climatology Station and also use analysis of mean calculation and Pearson Correlation analysis obtained by following result:
Highest DBD occurrence in year 1998 (3.022 cases, IR = 2216,41100.000 resident and CFR = 2,94%) and lowest in year 2001 (816 cases, IR = 54,9/100.000 resident also lowest CFR in year 2000 is 1,14%). While ABJ mean during 5 year equal to 83,68%, highest number in year 1999 (88,0%) and lowest in year 2002 (78%). Climate Description: Rainfall: mean (227,23 mm), highest in March (367,16 mm) and lowest in August (88,86 mm); Rain day: mean (16,2 day), highest in December (22,8 day) and lowest in August (9,4 day); Temperature: mean (26,9oC), highest in May (27,6oC) and lowest in January (26,06oC); Dampness: mean (84,3%), highest in January (87,4%) and lowest in September (79,2%); Wind speed: mean (3,06 knot), highest in September (3,8 knot) and lowest in April (2,03 knot).
Relation between climate and DBD disease occurrence obtained following result: Rainfall: year 2001 data, there are meaningful relation between rainfall by DBD, positive direction and strong relation level; Rainy day: data of year 1999, 2002 and 2002, there is a meaningful relation between rainy day with DBD, positive direction and strong relation level; Air temperature: data of year 2002, there is a meaningful relation between air temperature with DBD, negative direction and strong relation level; Air dampness: data of year 2001 and 2002, there is a meaningful relation between air dampness by DBD, positive direction and strong relation level; Wind speed: year data 1999, there is a meaningful relation between wind speed by DBD, positive direction strong relation level. While relation between climate with Free Number of Jentik and relation between Free Number of Jentik (ABJ) with DBD disease occurrence is not found a significant relation.
To anticipate DBD occurrence in the next period require prevention by: activating pokja DBD, spraying before infection season, strive to make society do PSN, allotting abate and fish predator; improvement of DBD prevention promotion through mass medialelectronic; improve active surveillance to hospital minimally 2 times in one week; and need to improve cooperation pass program and pass sectored with related institution like geophysics and meteorology, education, Local Government and PICK Activator Team.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2004
T13065
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lela Asmara
"Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 menyebutkan bahwa salah satu program yang dilaksanakan dalam bidang kesehatan adalah pencegahan dan pemberantasan penyakit menular (Bappenas, 2004). Penyakit menular yang menjadi prioritas pencegahan dan pemberantasan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 diantaranya adalah malaria, diare, polio, filariasis, kusta, tuberkulosis paru, HIV/ AIDS, pneumonia, dan penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Demam Berdarah Dengue (DBD) juga termasuk salah satu penyakit menular yang menjadi prioritas dalam upaya pencegahan dan pemberantasan (Bappenas, 2005). Sampai saat ini cara penanggulangan yang dapat dilakukan untuk penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah dengan memberantas nyamuk penularnya karena belum ada vaksin dan obat untuk membasmi virusnya (Ditjen P2M & PL, 1992). Pemberantasan nyamuk penular DBD terutama dilakukan terhadap jentiknya yaitu melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Sejak adanya Surat Edaran Gubernur Propinsi DKI Jakarta No 46 pada tanggal 4 November 2004 mengenai Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSNDBD) di Propinsi DKI Jakarta yang diikuti dengan adanya Surat Keputusan Walikotamadya Jakarta Timur, maka setiap hari Jumat mulai pukul 09.00 hingga pukul 09.30 di wilayah Jakarta Timur selalu dilaksanakan kegiatan PSN.
Peningkatan Angka Bebas Jentik, yang merupakan indikator keberhasilan kegiatan PSN, di wilayah Jakarta Timur yang telah melebihi target Angka Bebas Jentik nasional (95%) pada tahun 2006 (dari 93,03% pada tahun 2005 menjadi 96,63% pada tahun 2006) dapat diasumsikan bahwa potensi penularan DBD di wilayah Jakarta Timur cenderung menurun, sehingga Insidens Rate DBD juga akan menurun. Namun pada kenyataannya, Insidens Rate DBD di wilayah Jakarta Timur dari tahun 2005 sampai tahun 2006 cenderung meningkat (282,3 per 100.000 penduduk pada tahun 2005 menjadi 344 per 100.000 penduduk pada tahun 2006).
Berdasarkan masalah tersebut perlu diketahui apakah ada hubungan antara Angka Bebas Jentik dengan Insidens Rate kasus tersangka DBD di tingkat kecamatan Kotamadya JakaraTimur Tahun 2005-2007.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan desain studi korelasi. Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Kotamadya Jakarta Timur dan web site Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta, serta data primer melalui observasi. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pada tahun 2005 hubungan angka bebas jentik dengan insidens rate DBD di tingkat kecamatan Kotamadya Jakarta Timur menunjukkan hubungan yang lemah atau tidak ada hubungan ( r = -0,121 ). Sedangkan pada tahun 2006 dan 2007 menunjukkan hubungan sedang ( r = - 0,301 dan r = - 0,351).
Hasil uji statistik didapatkan tidak ada hubungan yang signifikan antara angka bebas jentik dengan insidens rate DBD pada tahun 2005-2007 (p > 0,05). Mengingat pentingnya kegiatan PSN sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan DBD, maka sebaiknya kegiatan PSN dilaksanakan secara terusmenerus dan hasilnya harus dipantau secara teratur melalui kegiatan pemeriksaan jentik berkala (PJB) yang dilakukan oleh petugas Puskesmas atau tenaga terlatih.
Selain itu juga perlu ditingkatkan penyuluhan mengenai kegiatan PSN DBD kepada semua kalangan masyarakat sehingga masyarakat dapat ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan PSN dan tidak hanya dilakukan dengan 3 M, tetapi juga dengan melakukan metode lain (larvasida selektif, memasang ovitrap, memelihara ikan pemakan jentik, fogging,dan lain-lain)."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Winasis
"Penyakit demam berdarah dengue DBD masih merupakan masalah kesehatan yang serius di Indonesia karena hampir terjadi setiap tahun DBD juga masih menjadi masalah kesehatan di Kota Tangerang Selatan Incidence rate IR DBD di Kota Tangerang Selatan adalah sebesar 52 per 100 000 penduduk 2011 60 per 100 000 penduduk 2011 dan 54 per 100 000 penduduk 2013 Skripsi ini membahas mengenai gambaran penyakit demam berdarah dengue DBD menurut variabel epidemiologi yaitu variabel orang variabel tempat dan variabel waktu serta hubungannya dengan kepadatan penduduk dan angka bebas jentik di Kota Tangerang Selatan tahun 2011 - 2013 Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan studi ekologi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama 2011 - 2013 penderita DBD terbanyak adalah jenis kelamin laki laki pada golongan umur 15 tahun dan kasus tertinggi terjadi di bulan Desember 2011 dan bulan Juni 2012 dan 2013 Penelitian menunjukkan bahwa tidak cukup bukti untuk membuktikan bahwa antara kepadatan penduduk dan angka bebas jentik berhubungan dengan incidence rate IR DBD di Kota Tangerang Selatan tahun 2011 - 2013.

Dengue hemorrhagic fever (DHF) is still a serious health problem in Indonesia because almost happens every year. DHF is also still a health problem in Tangerang Selatan City. Incidence rate (IR) of DHF in Tangerang Selatan city was 52 per 100,000 inhabitants (2011), 60 per 100,000 inhabitants (2011) and 54 per 100,000 inhabitants (2013). This thesis discusses the overview of dengue hemorrhagic fever (DHF) according to the epidemiological variables (person, place, time) variables and its relation to population density and larvae-free numbers in Tangerang Selatan City in 2011-2013. This study is a descriptive research approach to ecological studies.
The results showed that during 2011 - 2013 is the highest DHF male gender, the age group > 15 years and the highest cases occurred in December (2011) and June (2012 and 2013). Research shows that there is sufficient evidence to prove that the population density and larvae-free numbers associated with incidence rate (IR) of DHF in Tangerang Selatan City in 2011-2013."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
S57510
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Junghans
"Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit endemis di Indonesia dan di beberapa negara yang terletak di daerah tropis maupun subtropis. Meningkatnya kejadian penyakit DBD dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah faktor iklim. Dalam program pemberantasan penyakit DBD faktor iklim belum banyak mendapat perhatian, sehingga upaya pencegahan dan penanggulangan DBD yang dilakukan belum optimal.
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kotamadya Jakarta Timur Provinsi DKI Jakarta, untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor iklim dan kejadian DBD. Faktor iklim yang diteliti meliputi curah hujan, jumlah hari hujan, kelembaban, suhu, kecepatan angin, dan pencahayaan matahari.
Penelitian ini merupakan studi ekologi/studi korelasi populasi dengan menggunakan data sekunder selama 5 tahun (1998-2002) Data jumlah kasus DBD per minggu diperoleh dari Suku Dinas Kesehatan Masyarakat Kotamadya Jakarta Timur, sedangkan data faktor-faktor iklim diperoleh dari Stasiun Meteorologi Jakarta. Data iklim harian selanjutnya dikonversi menjadi data per minggu.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara curah hujan, kelembaban dan jumlah kasus DBD, hubungan yang sedang antara jumlah hari hujan, suhu, pencahayaan matahari dan jumlah kasus DBD, serta hubungan yang tidak bermakna antara kecepatan angin dan jumlah kasus DBD. Bentuk hubungan antara curah hujan, jumlah hari hujan, suhu, kecepatan angin, penyinaran matahari dan jumlah kasus DBD adalah cubic, sedangkan bentuk hubungan antara kelembaban dan jumlah kasus DBD adalah quadratic.

Relationship between Climate and Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) Cases in East Jakarta 1998-2002Dengue hemorrhagic fever (DHF) is epidemic disease in Indonesia and some countries in tropical, subtropical and temperate areas of the world. The increasing of DHF cases is caused many factors, and one of them is climate factor. This factor does not get much interested in DHF controlling programs yet, so that the intervention strategy is not optimum.
The research is conducted in East Jakarta, to know whether climate factors are related to DHF cases. The climate factor in the study is rainfall, rain days, humidity, temperature, wind velocity, and sun shine.
This study is an ecological study using secondary data for 5 years (1998-2002). The weekly DHF cases data come from East Jakarta Health Services, and the daily climate data come from Jakarta meteorological station, conversed to weekly data for 5 years in 1998 to 2002.
The study shows that there are a significant relationship between DHF cases and rainfall, rain days, relative humidity, temperature, and sunshine. There is not significant relationship between DHF cases and wind velocity. The model of relationship between climate factors and cases are cubic, except the relationship between humidity and cases is quadratic.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2003
T13044
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sejati
"Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah salah satu penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti. Persebaran penyakit DBD tergantung pada nyamuk Aedes aegypti yang penyebarannya terutama dipengaruhi faktor lingkungan fisik, yaitu variasi iklim yang terdiri dari curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan variasi iklim dengan kejadian penyakit DBD di Kota Padang selama periode tahun 1995-1999, dengan desain Cross Sectional Study.
Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Padang dari tahun 1995 -1999, sedangkan data variasi iklim diperoleh dari laporan hasil pengukuran Badan Meteorologi dan Geofisika Tabing Padang selama periode 1995-1999. Data diolah untuk mendapatkan informasi frekuensi kasus DBD, Angka Bebas Jentik, hubungan antara variasi iklim dengan Angka Bebas Jentik, dan hubungan antara variasi iklim dengan kejadian penyakit DBD.
Hasil penelitian yang diperoleh di Kota Padang selama periode tahun 1995-1999 adalah jumlah kasus DBD yang tertinggi terjadi tahun 1995, tahun 1996, dan 1998, terdapat 9 kecamatan endemis dan 2 kecamatan sporadis. Rata-rata ABJ di Kota Padang selama periode 1995-1999 masih dibawa angka harapan nasional (berkisar 91-93%).
Hasil Uji Statistik menunjukan tidak adanya hubungan antara curah hujan, suhu udara, dan kelembaban udara dengan kejadian penyakit DBD. Tidak ada hubungan antara variasi iklim (curah hujan, suhu udara, dan kelembaban) dengan ABJ, kecuali antara suhu dengan ABJ (p < 0,05; r = -0.310).
Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan desain cross sectional study (potong lintang), untuk itu disarankan pada penelitian selanjutnya agar dapat menggunakan data primer dan dengan desain yang lebih baik.

Correlation between Variaed Climate with Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) Incident in Padang 1995-1999Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) disease is one of communicable disease that is caused by dengue virus and transmitted by Aedes aegypti mosquito. The spreading of DHF depends on Aedes aegypti mosquito dealing with environment factors physically, such as variaed climate, categorized as like rainfall amount, temperature, and humidity.
This study proposed to find out the correlation between the variaed climate and DHF incidence in Padang City 1996-1999, with cross sectional study design. This study employed secondary data from Dinas Kesehatan Padang City since 1995 - 1999, and variaed climate data is taken from the result of, National Meteorology and Geophysic measurement at Tabing, Padang, 1995-1999.
The data had been analyzed to get the information of DHF case frequency, larva free rate (ABT), correlation between the varied climate, and larva free rate, and correlation between variaed climate factors and DHF case.
The result approachment in Padang City 1995-1999 are the total of the DHF case the highest happened in 1995, 1996, and 1998; 9 endemic subdistrict, and 2 sporadic subdistrict, the average of ABJ in Padang City in 1995-1999 periode remain under National expectation rate (91%, 93%).
The result of Statistical test showed that there is no correlation between rainfall amount, air temperature and humidity, and DHF case. There is no correlation between varied climate (rainfall amount, temperature, and humidity) and larva free rate, except temperature and larva free rate (p< 0,05; r -0,310).
This study employed secondary data with cross sectional design. There for, it is suggested for the further study to employ primary data with a better design.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T8380
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yukresna Ivo Nurmaida
"Salah satu penyakit yang diakibatkan oleh lingkungan adalah Demam Berdarah. Penyakit ini berpotensi menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Vektor penular penyakit ini adalah Nyamuk Aedes aegypti yang hidup di tempat-tempat penampungan air buatan manusia ataupun alamiah. Tahun 2003 terjadi ledakan kasus Demam Berdarah Dengue di Kota Medan dan muncul suatu anggapan di masyarakat bahwa kejadian tersebut dipicu oleh banyaknya penangkaran walet di tengah kota Medan
Dengan memakai desain kasus kontrol dilakukan penelitian apakah ada hubungan antara jarak penangkaran Walet dan faktor resiko lainnya (kebersihan lingkungan, kondisi tempat penampungan air, keberadaan jentik dan karakteristik responden) dengan kejadian Demam Berdarah Di Kota Medan tahun 2003. Penelitian dilaksanakan di seluruh wilayah Kota Medan dengan sampel 100 orang pada kasus dan 100 orang pada kontrol. Pengolahan data dilakukan dengan cara univariat, bivariat dengan chi square, dan multivariat dengan uji regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jarak penangkaran walet dengan kejadian DBD, namun tetap dicurigai bahwa penangkaran Walet potensial dalam menimbulkan kejadian DBD. Kebersihan lingkungan mempunyai hubungan dengan kejadian DBD dengan OR 2,90 (CI 95% 1,63-5,15), kondisi tempat penampungan air mempunyai hubungan dengan kejadian DBD dengan OR 5,706 (CI 95% 1,59 - 20,39), keberadaan jentik mempunyai hubungan kejadian DBD dengan OR 4,55 (CI 95% 2,16 -9,61). Karekteristik reponden umur mempunyai hubungan dengan kejadian DBD OR 3,21 (CI 95% 1,72 -5,97), pengetahuan tidak mempunyai hubungan dengan kejadian DBD, dengan OR 2,69 (CI 95 % 1,16 -6,21) diketahui bahwa perilaku mempunyai hubungan dengan kejadian DBD. Dan semua variabel yang diuji diketahui bahwa variabel kondisi tempat penampungan air yang paling dominan dalam menimbulkan kejadian DBD.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa variabel jarak penangkaran walet dan variabel pengetahuan tidak mempunyai hubungan dengan kejadian DBD namun tetap potensial dalam menimbulkan DBD. Variabel yang mempunyai hubungan dengan kejadian DBD adalah kebersihan lingkungan, kondisi tempat penampungan air, keberadaan jentik, umur dan perilaku. Dan ke empat variabel tersebut kondisi tempat penampungan air yang paling dominan pengaruhnya terhadap kejadian DBD.
Penertiban dan pembinaan terhadap pengusaha penangkaran Walet harus tetap dilakukan mengingat hal tersebut potensial sgbagai pencetus DBD. Penyuluhan yang lebih intensif sehingga mampu menggugah minat masyarakat untuk menjaga Iingkungannya dari Ae. aegypti dan memelihara tempat penampungan air mereka hams dilaksanakan secara berkesinambungan. Pemeriksaan jentik tetap dilakukan minimal 1 kali dalam 3 bulan.

Relationship of Swallow Distance Encage and Other Risk Factors with Dengue Fever Event in Medan Year of 2003One of disease caused by environmental condition is Dengue Fever. It is potent to obtain Kejadian Luar Biasa (KLB = extraordinary event). Vector agent is Aedes aegypti mosquito that lived in collecting and saving water areas both made-man and naturally. In 2003 it happen called Dengue Fever Explosion in Medan and emerge an society's hunch that it happen triggered by so many swallow encage areas in the city.
Using cases control design system take an investigation what there are connection between swallow distance encage and another risk factor (such environment health, collecting and saving water areas, mosquito-larva and respondent characteristic) with Dengue Fever event at Medan in 2003. This research takes in all around the Medan city with 100 men samples on cases and 100 men on control. Data processing by univariat, bivariat with chi-square, and multivariate with logistic regression test.
Research result shown that statistical test know, there no connection between swallow distance encage and Dengue Fever events (DBD), but still suspicious that swallow encage is potential as emerge DBD..Environment tidiness has connection in OR 2,90 (Cl 95% 1,63-5,15), condition of collecting and saving water areas in OR 5,706 (Cl 95% 1,59 - 20,39), mosquito-larva existing in OR 4,55 (Cl 95% 2,16 - '9,61). Respondent characteristic age has connection with DBD in OR 3,21 (CI 95% 1,72 - 5,97), knowledge has no connection in OR 2,69 (Cl 95% 1,16 - 6,21). Attitude also known has connection with DBD events. From all of variables, which tested known that collecting and saving water condition variable is most dominant emerge DBD events.
From research result can conclude that swallow distance encage and knowledge variables have not connection on DBD events but potential in emerge DBD still. Variable those have connection with DBD events such as environment tidiness, condition of collecting and saving water areas, mosquito-larva existing, age and attitude. From fourth variables condition of collecting and saving water areas is most dominant to DBD events.
Orderly and assistance to swallow encage entrepreneurs have to do continuously intend it is potent to DBD stimuli. More intensive illumination to awakening people for maintain their environment from Ae, aegyoti and maintain collecting and saving water areas sustains. Mosquito-larva inspection'has to do once each three month.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T 12839
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>