Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134249 dokumen yang sesuai dengan query
cover
S. Bambang Widoyono
"Salah satu dampak dari meningkatnya proporsi populasi usia lanjut adalah meningkatnya proporsi penyakit degeneratif termasuk stroke. Hingga saat ini berapa besar rata-rata biaya rawat inap stroke dan berapa besar biaya tambahan (Out of pocket) untuk pasien Askes di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek belum diketahui.
Analisis biaya dilakukan dengan membandingkan rata-rata biaya rawat inap dari 50 pasien stroke yang dirawat inap sejak 1 April -- 15 Juni 2004 di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek, dengan menggunakan variabel Jenis Kelamin, Umur, Kelas Perawatan, Lama Hari Rawat dan komponen biaya rawat inap dengan menggunakan metode cross sectional pendekatan kuantitatif.. Analisis biaya dilakukan dengan menggunakan daftar tilik terhadap data rekam medik dan administrasi keuangan rawat inap di semua kelas perawatan (Kelas Utama, Kelas I, Kelas II dan Kelas III).
Rata-rata biaya rawat inap pasien Askes per pasien per hari adalah sebesar Rp-189.400; lebih besar dibanding pasien Non Askes Rp.169.552,-. Meskipun demikian secara statistik tidak menunjukkan ada perbedaan bermakna (p= 0,195). Komponen biaya yang paling besar yaitu biaya akomodasi rawat inap sebesar 29,0 % diikuti oleh biaya bahan dan obat sebesar 19,5 % dari total biaya rawat inap pasien stroke.
Faktor/variabel yang berpengaruh terhadap rata-rata total biaya rawat inap stroke adalah Kelas Perawatan (p = 0,014) dan Lama Hari Rawat (p = 0,000), sedangkan untuk variabel Jenis Kelamin dan Umur tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap rata-rata total biaya rawat inap (p = 0,466 dan 0,950).
Hasil dari analisis regresi ganda dengan metode enter diperoleh persamaan garis sebagai berikut:
Tagihan Biaya Rawat Map = Rp.159.310,6 - Rp.237.733 (Kelas Perawatan) + Rp.157.819,7 (Lama Hari Rawat) Kesimpulan dari analisis biaya rawat inap ini adalah tidak ada perbedaan rata-rata biaya rawat inap menurut jenis pembayar, jenis kelamin, umur namun ada perbedaan rata-rata biaya rawat inap untuk variabel Kelas Perawatan dan Lama Hari Rawat, dengan faktor yang paling berpengaruh yaitu Lama Hari Rawat dengan beta sebesar 0,608
Bahan bacaan : 32 (1968- 2004)

The Influencing Factors Analysis of Stroke Health Care Cost at RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Bandar Lampung 2004Impact of aging population in a public health are degenerative diseases proportion increased , included stroke and how much average strokes health care cost and out of pocket cost stroke patient of PT. Askes at RSUD Dr. H. Abdul Moeloek are unknown.
Cost Analysis in strokes were compared mean health care cost for 50 stroke patients who hospitalization 1 April - 15 June 2004 at RSUD Dr. Hi. Abdul Moeloek Bandar Lampung variables sex, age, class of health care, Length of Stay and all costs health care component, with prospective cross sectional study.
Cost analysis based on medical record, admission used checklist of patient healthcare cost in all class (VIP, I, II and III). The mean stroke cost Askes patient per patient per day are (Rp.189.400,-) more than Non Askes health care cost (Rp.169.552,-). The cost difference was not statistically significant (p = 0,195). Cost component that most influence is accommodation cost (29,0 °ro) and Medicine cost (19,5 %) of total strokes cost health care.
Patient factors that influencing to total health care cost with statistically significant were health care class (p = 0,014) and Length of Stay (p = 0,000) but sex and age variables were not statistically significant (p = 0,466 and 0,950).
The result of regression analysis have got regression lines :
Tagihan Biaya Rawat Inap = Rp.159.310,6 - Rp.237.733 (Kelas Perawatan) + Rp.157.819,7 (Lama Hari Rawat)
Stroke health care cost at RSUD Dr. H. Abdul Moeloek was not statistically
Significant difference between Askes patient and Non Askes Patient, Male and Female, Age < 60 years and > 60 years but were statistically significant difference between health care class and length of stay. Length of Stay was variable that most influenced to total strokes health care cost with beta 0,608.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13072
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Suwenda
"Dukungan dana merupakan salah satu faktor yang penting (Key Acres Mini) dalam peningkatan manajemen Rumah Sakit dalam upaya mengantisipasi perubahan yang terjadi. Asset Rumah Sakit baik yang sudah dimiliki maupun yang akan diperoleh perlu diamankan agar dapat meningkatkan kemampuan finansial Rumah Sakit dalam peningkatan manajemen Rumah Sakit, agar tetap survive dan dapat berkembang.
RSUD Swadana merupakan satu cara efektif dalam menanggulangi kendala peraturan perundangan (ICW) agar manajemen RSUD mempunyai keleluasaan penuh dalam mengelola keuangan untuk tumbuh dan berkembang.
RSUD Majalaya dalam upaya menuju konversi menjadi RSUD swadana mempunyai permasalahan dalam bidang penerimaan biaya pelayanan Rumah Sakit khususnya akibat adanya pasien pulang tidak membayar dan adanya sebagian biaya pelayanan yang tidak tertagihkan.
Untuk mengatasi hal tersebut disusun SOP yang akan dapat memonitor transaksi harian biaya pelayanan sekaligus merupakan instrumen pengawasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan penerapan SOP dengan efektivitas penerimaan biaya rawat inap dengan cara membandingkan proporsi pasien pulang tidak membayar dan proporsi biaya pelayanan rawat inap tidak tertagihkan sebelum dan sesudah SOP di berlakukan.
Metode penelitian yang digunakan adalah studi cross sectional dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Sampel yang diambil untuk meneliti fenomena pasien pulang tidak membayar sebesar 420 sampel, sedangkan untuk meneliti fenomena biaya pelayanan rawat inap yang tidak tertagih dipilih sampel sebesar 170 dengan pemilihan besar sampel dengan menggunakan modifikasi methode Luts. Proporsi diambil dari penelitian pendahuluan yang dilakukan bulan Agustus 1996 terhadap data 1-14 Juni 1996.
Analisa data dengan menggunakan uji statistik beda proporsi pada dua sampel independen. Hasil penelitian menemukan bahwa SOP penerimaan biaya rawat inap berhubungan secara bermakna dengan masalah penurunan proporsi pasien pulang tidak membayar, demikian juga dengan fenomena biaya pelayanan rawat inap tidak tertagihkan dengan tingkat kepercayaan 95 %.
Disarankan untuk RSUD Majalaya agar melakukan evaluasi periodik terhadap SOP untuk keperluan penyesuaian terhadap perubahan yang mungkin terjadi, melanjutkannya kepada pengembangan komputerisasi sistem informasi akuntansi serta melakukan pemberdayaan Sumber Daya Manusia.
Bagi Kepala Daerah Tingkat II Bandung diharapkan agar membantu pembiayaan Komputerisasi Sistem Informasi Akuntansi, mengatasi kelambatan pencairan anggaran serta mendukung upaya mengkonversi RSUD Majalaya menjadi unit Swadana.

One of the key factors in hospital management in the 21st century, is the hospital ability to anticipate changes in their environment. To be able to survive and grow in the fast environmental changes, one of the key competences is the hospital ability to manage their asset especially their financial resources.
The Swadana Hospital is one example of government's policy initiate change for public hospital, where the hospital can manage their own operational revenues instead of submit the revenue to the government as stated in the old policy. One of the objectives of swadana hospital is to increase hospital efficiency and effectiveness through the flexibility in using their own resources.
Majalaya General Hospital status is not yet a swadana hospital. To reach the swadana status several problems should be solved. One of the problems is the high percentages of unpaid hospital bills and ineffective debt collection procedure. To solve this problem the hospital developed standard operating procedure (SOP) for Inpatient's billing procedure.
The study objective is to compare the proportion of unpaid hospital bills and unpaid debt collected bills before (July & August 1996) and after (October & November 1996) the introduction of Inpatient billing's SOP. Design of this study is cross sectional using quantitative and qualitative survey methodology. Sample for unpaid hospital bills is 420 cases, while sample for unpaid debt collection procedure is 170 cases. Data analysis was done using analysis of proportion difference with two independent samples.
The study found that Inpatient billing's SOP significantly reduced the total number of unpaid hospital bills, and also increased the effectively of debt collection process. Suggestion is made for the hospital to evaluate the implementation of the SQP periodically, at least once in three months. Another suggestion for the hospital is to improve the hospital information system using a computerized system, so that data monitoring and evaluation can be done effectively. To be able to implement those activities, training and education to improve the skill and knowledge of hospital personnel should be given a first priority."
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardo Rudy Surjanto
"ABSTRAK
Rumah Sakit HUSADA (dahulu bernama Rumah Sakit "Jang Seng Ie") yang terletak di Jalan Raya Mangga Besar 137-139 merupakan salah satu rumah sakit tertua di Jakarta yang didirikan pada tanggal28 Desember 1924 oleh Dr. Kwa Tjoan Sioe dengan tujuan membantu masyarakat miskin yang membutuhkan pertolongan khususnya dalam bidang kesehatan. Dalam perkembangannya sejalan dengan tujuan sosial dari pendiri, Rumah Sakit HUSADA menjadi sebuah Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat (IPSM) dibawah naungan Perkumpulan HUSADA sebagai suatu organisasi nirlaba. Kedudukan Rumah Sakit HUSADA sebagai Rumah Sakit Umum Pusat II wilayah Jakarta Pusat bagian Utara memegang peranan penting dalam fungsi dan tugas rumah sakit dalam memberikan pelayanan kesehatan dalam sistem kesehatan nasional.
Dengan kapasitas sejumlah 530 (lima ratus tiga puluh) tempat tidur dan 164 diantaranya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu, Rumah Sakit HUSADA mencoba menerapkan sistem subsidi silang dalam penetapan tarif ruang perawatan rawat inap. Namun berdasarkan perhitungan tarif dan unit cost dari setiap kelas ruang perawatan tersebut diperoleh hasil bahwa pihak rumah sakit mengalami kerugian mencapai Rp 3 milyar per tahun. Artinya pendapatan dari tarif yang dikenakan kepada pasien tidak dapat menutup biaya operasional atas ruang perawatan rawat inap tresebut. Keadaan ini jelas tidak sehat bagi suatu organisasi terlebih dengan semakin minimnya sumbangan dari kaum dermawan ataupun pemerintah yang diterima oleh rumah sakit, hal ini jelas akan menyebabkan terhentinya kegiatan operasional pada suatu ketika pada saat rumah sakit tidak mampu lagi menutup defisit keuangan yang terjadi terus menerus.
Break even analysis terhadap jumlah hari rawat maupun tingkat pengisian tempat
tidur (BOR) serta tarif dibutuhkan untuk mengetahui secara pasti titik impas (break
even). Dengan mengetahui break even point (BEP) tersebut maka hasil tersebut dapat
dijadikan acuan guna mengurangi kerugian yang timbul dengan berusaha meningkatkan
jumlah pasien maupun penyesuaian tarifruang perawatan rawat inap sampai pada tingkat
tertentu. Perhitungan BEP tarif baik pada kondisi saat ini (BOR rata-rata 60%) maupun
skenario BOR rata-rata 50%, 70%, 80%, dan 90% dibuat sebagai asumsi dalam analisis.
Pada kenyataannya penetapan tarif tidak hanya berdasarkan unit cost semata tetapi juga harus memperhatikan marked based atau tarif rumah sakit swasta lain, sehingga tarif yang ditetapkan merupakan tarif yang kompetitif dan juga berada dalam aturan-aturan yang dibuat oleh Kanwil Depkes DKI Jakarta. Berdasarkan 3 (tiga) alternatifyang dibuat dengan memperhatikan situasi pesimis (BOR 50%), situasi normal (BOR 60%) serta situasi optimis (BOR 70%) diperoleh 3 macam tarifyang disarankan untuk ditetapkan oleh rumah sakit berdasarkan situasi yang diproyeksikan.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah perlu adanya penyesuaian tarif ruang perawatan rawat inap di Rumah Sakit HUSADA sesuai dengan hasil analisis yang dilakukan guna mengurangi tingkat kerugian yang di alami saat ini dan dapat menjalankan konsep subsidi silang serta meningkatkan efisiensi penggunaan tempat tidur agar dapat menekan unit cost serendah mungkin."
2000
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasan
"Perkembangan jaman merubah fungsi rumah sakit dari usaha sosial menjadi jasa produktif yang menhasilkan laba.
Tingginya laju inflasi dibidang kesehatan dibanding laju inflasi dibidang ekonomi dan belum adanya patokan biaya standar terhadap setiap jenis pelayanan kesehatan dan consumer Ignorance serta tidak adanya pengawasan dari Dinas Kesehatan menyebabkan terjadinya moral hazard yang tidak dapat dikendalikan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan sistim pengendalian biaya dengan mengembangkan sistim pembayaran pra upaya antara lain dengan penetapan DRG's.
Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memperoleh sistem pembiayaan dengan Diagnosis Related Group untuk Apendektomi yang baik dan benar sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi rumah sakit.
Penelitian ini menggunakan studi ekplorasi dengan metode Cross Sectional dari sampel 344 pasien untuk mencari variasi pembiayaan dalam rangka menetapkan DRG' s Apendisitis di Rumah Sakit Sumber Waras tahun 2003.
Hasil penelitian menunjukkan lama hari rawat pada Apendisitis komplikasi tanpa penyakit penyerta adalah 5,4 hari, lama hari rawat apendisitis komplikasi dengan penyakit penyerta adalah 6,6 hari, lama hari rawat apendicitis tanpa komplikasi dan tanpa penyakit penyerta adalah 3,2 hari dan apendicitis tanpa komplikasi dengan penyakit penyerta adalah 3,8 hari.
Rata-rata biaya apendisitis di kelas III dengan komplikasi tanpa penyakit penyerta adalah Rp.5.126.624,- , dan dengan penyakit penyerta Rp. 5.561.593,-sedangkan rata-rata biaya apendisitis tanpa komplikasi dan tanpa penyakit penyerta adalah Rp. 3.938.800,- dan dengan penyakit penyerta adalah Rp_ 4.112.461,﷓
Kesimpulan penelitian bahwa langkah-langkah general logic Diagnostic Related Groups dapat diterapkan Namun batasan umur 69 tahun tidak dapat digunakan untuk penyakit penyerta karena secara empiris penyakit penyerta dibedakan antara usia dewasa muda dan dewasa tua. Penerapan DRG's ini dapat diterapkan bila batasan umur yang dipakai adalah 60 tahun yaitu batasan umur dewasa muda dan tua.
Daftar Pustaka: 30 (1986 - 2004)

Case Study of DRG's Appendicitis Financing in Sumber Waras Hospital of 2003 Period development has changes the hospital function from social exertion into productive service to make a profit.
The highly inflation rate in health area in contrasting to inflation rate in economy area and absence of standard cost criterion into every kind of health care and consumer ignorance as well as Health Official's monitoring has causes occurrence of uncontrollably moral hazard. To overcome the problem, we need a cost control system by develop the preoccupation cost system among others is by determination of DRG's.
The research purposed to obtain the appropriate financing system by Diagnosis Related Group for Appendectomy in order to be able to increase efficacy and efficiency of the hospital.
The research uses exploration study with study case method from sample of 344 patients to find the variation of financing in order to determine DRG's Appendicitis in Sumber Waras of Hospital of 2003.
The result shows that the nursing period for complicated Appendicitis without following disease is 5,4 days, nursing period for complicated Appendicitis with following disease is 6,6 days, nursing period for non-complicated Appendicitis without following disease is 3,2 days, and nursing period for non-complicated Appendicitis with following disease is 3,8 days.
The average of financing of the class III complicated appendicitis without following disease is Rp 5.126.624,-, with following disease is Rp 5.561.593,-. While average of financing of non-complicated appendicitis without following disease is Rp 3.938.800,- and with following disease is Rp 4.112.461.
The conclusion of the result is that general logic steps of Diagnostic Related Groups could be applied but age limitation of 69 year could not be used for following disease because empirically, the following disease was differentiated between young and old adult. The DRG's could be implemented if the usage of age limitation according to research age, that is, childhood, young and old adult. The variables related to the DRG's arrangement are main diagnosis, age characteristic, utility and secondary diagnosis. Cost of treatment was based to tariff of appendicitis in class III.
References: 30 (1986 - 2004)
"
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T12869
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Trihandoyo
"Tingkat pemulihan biaya pada unit-unit produksi di RSUD sangat bervariasi yang dipengaruhi oleh masing masing tingkat pendapatannya. Diharapkan konsep subsidi silang dapat berjalan guna pemerataan pelayanan kesehatan.
Penelitian ini merupakan penelitian kasus yang dilakukan di 2 RSUD di Propinsi Jawa Tengah (RSUD Sragen dan RSUD Wonogiri). Pengumpulan data dilakukan dengan melihat data yang sudah ada hasil dari penelitian penulis pada tahun 2000, dan untuk data keuangan tahun 2001 menggunakan penyesuaian (adjustment) dengan indeks harga konsumen dari data biaya tahun 2000. Perhitungan biaya dilakukan dengan dengan 2 Cara yaitu secara full cost maupun secara direct cost.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan unit produksi yang tertinggi di RSUD Sragen pada tahun 2000 adalah rawat inap dan terendah elektro diagnostik, sedangkan tahun 2001 pendapatan tertinggi rawat inap dan terendah radiologi. Pada RSUD Wonogiri pada tahun 2000 pendapatan tertinggi rawat inap dan terendah diagnostik, untuk tahun 2001 pendapatan tertinggi juga rawat inap dan terendah kamar operasi (OK).
Biaya total unit produksi pada tahun 2000 berdasarkan perhitungan full cost di RSUD Sragen tertinggi rawat inap dan terendah adalah fisioterapi, untuk tahun 2001 biaya total unit produksi tertinggi juga rawat inap dan terendah fisioterapi.
Sedangkan biaya total unit produksi tahun 2000 di RSUD Wonogiri yang tertinggi adalah rawat inap dan terendah adalah tindakan diagnotik, tahun 2001 tertinggi rawat inap dan terendah diagnostik Jika perhitungan berdasarkan direct cost, biaya total unit produksi tahun 2000 di RSUD Wonogiri tertinggi rawat inap dan terendah elektro diagnostik, tahun 2001 tertinggi rawat inap dan terendah elektro diagnostik. RSUD Wonogiri tahun 2000 tertinggi rawat inap dan terendah diagnostik, tahun 2001 tertinggi juga rawat inap terendah diagnostik CRR RSUD Sragen tahun 2000 dan 2001 dihitung secara full cost, hanya satu unit produksi yang CRR > 100%, CRR hasil retribusi RSUD Sragen sebesar 35.54% dan 27.81% jika dihitung direct cost ada lima unit produksi yang CRR > 100%, CRR hasil retribusi RSUD Sragen sebesar 70.75% dan 54.31%. CRR RSUD Wonogiri tahun 2000 dan 2001 dihitung secara full cost, ada dua unit produksi yang CRR > 100%, CRR hasil retribusi RSUD Wonogiri sebesar 35.27% dan 29.95% jika dihitung direct cost ada di unit produksi yang CRR > 100%, CRR hasil retribusi RSUD Wonogiri sebesar 56.98% dan 47.09%.
Dan perhitungan SHU unit produksi tahun 2000 dan 2001 dihitung secara full cost pads RSUD Sragen dan RSUD Wonogiri, hampir tidak ada unit produksi mempunyai SHU positif sehingga tidak terjadi subsidi silang. Jika dihitung secara direct cost ada beberapa unit produksi yang mempunyai SHU positif, jadi masih terjadi subsidi silang antar unit produksi. Namun SHU total dari hasil retribusi di kedua RSUD tersebut masih teriihat negatif.
Terlihat adanya perbedaan besaran subsidi silang antara kedua RSUD pada tahun 2000 dan 2001, dimana unit produksi yang CRR >100% (SHU positif) berbeda antara RSUD Sragen dan RSUD Wonogiri. RSUD Sragen sebagian besar (5 unit produksi) yang mempunyai SHU positif, sedangkan di RSUD Wonogiri ada 2 unit produksi yang mempunyai SHU positif yaitu unit produksi laboratorium dan radiologi.

Analysis Of Cross-Subsidy for Production Unit at Sragen District Hospital and Wonogiri District Hospital, 2000-2001Cost Recovery Rate (CRR) for production unit at District Hospital are various influenced by each income level to expect establishing cross-subsidy concept for equity of health care service.
This case research performed at 2 District Hospital in Central Java Province (Sragen District Hospital and Wonogiri District Hospital). The data is collected by observing available research result of writer in 2000 and the financial data collection 2001 by applies adjustment with Consumption Price Index (CPI) of budget 2000. There are 2 methods of cost calculation namely full cost and direct cost.
The research result shows that the highest production unit income at Sragen District Hospital 2000 is from hospital wards and the lowest electrical diagnostic; in 2001 the highest production unit income is from hospital wards and the lowest electrical diagnostic. At Wonogiri District Hospital 2000 the highest production unit income is from hospital wards and the lowest electrical diagnostic, in 2001 the highest also from hospital wards and the lowest operation room (OK).
Full cost calculation defined that biggest total cost at production unit of year 2000 at Sragen District Hospital is hospital ward and the lowest is physiotherapy, in 2001 the biggest and the lowest also from hospital ward and physiotherapy. At Wonogiri District Hospital the biggest total cost at production unit of year 2000 is hospital ward and the lowest electro diagnostic, in 2001 the biggest and the lowest are also from hospital ward and electro diagnostic. If calculation with direct cost the biggest and the lowest total cost at production unit at Sragen District Hospital in 2000 are hospital ward and electro diagnostic, in 2001 the biggest and the lowest also from hospital ward and electro diagnostic. At Wonogiri District Hospital in 2000 the biggest is hospital ward and the lowest electro diagnostic, in 2001 the biggest and the lowest also from hospital ward and electro diagnostic CRR at Sragen District Hospital in 2000 and 2001 full cost calculation define that only one production unit having CRR > 100%, CRR percentage of retribution at Sragen District Hospital 35.54% and 27.81%, and direct cost calculation define that there are 5 production units having CRR > 100%, CRR percentage of retribution at Sragen District Hospital 7035% and 54.31%. CRR at Wonogiri District Hospital full cost calculation define that there are 2 units production unit having CRR > 100%, CRR percentage of retribution at Wonogiri District Hospital 35.27% and 29.95%, and direct cost calculation define that there are 2 unit production unit having CRR > 100%, CRR percentage of retribution at Wonogiri District Hospital 56.98% and 47.09%.
Full cost calculation business yield remaining (SHU) of production unit at Sragen District Hospital and Wonogiri District Hospital in 2000 and 2001, production unit almost never have positive SHU more ever cross-subsidy was not establish there. Meanwhile direct cost calculation define that there are some units having positive S}JU where such cross-subsidy is establish among production units. However total SHU from total retribution of both District Hospital shows negative result.
There is define difference cross-subsidy of both District Hospital of year 2000 and 2001, the production unit having CRR > 100% (positive SHU) between Sragen District Hospital and Wonogiri District Hospital was difference. Almost the production unit at Sragen District Hospital having positive SHU and only 2 production units at Wonogiri District Hospital having positive SHU there are Iaboratory and radiology.
Reference: 24 (1980 - 2001)"
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T 9446
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dedy Suparman
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1991
S18175
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Puspa Dewi
"Saat ini dalam pengelolaan sualu rumah sakit membutuhkan biaya yang terus meningkat. Hal ini disebabkan antara lain karena meningkatnya biaya-biaya umum di rumah sakit, meningkatnya kebutuhan pelayanan oleh masyarakat Serta kemajuan di bidang teknologi kedokteran. Di lain pihak, kemampuan sumber dana pemerintah semakin terbatas sehingga peran serta masyarakat dalam pembiayaan rumah sakit perlu terus digali dan ditingkatkan. Pembaharuan sistem pengelolaan keuangan pada rumah sakit pemerintah telah dirintis sejak tahun 1992, dengan dikeluarkannya kebijakan pemerintah tentang unit swadana. Sejalan dengan hal tersebut diatas juga diharapkan adanya peningkatan akses dan keterjangkauan upaya pelayanan kesehatan bagi penduduk miskin di kelas III pada rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta yang ditunjuk. Berbagai upaya juga lelah dilakukan oleh Pemerintah untuk menyalurkan subsidi ke masyarakat, baik melalui sisi supplay (provider) atau sisi demand (langsung ke pasien).
RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung adalah salah satu rumah sakit swadana pemerintah yang mengemban misi sosial danjuga sebagai rumah saklt rujukan tertinggi di Provinsi Lampung. Sejak dicanangkannya program JPSBK tahun 1998 hingga program JPKMM pada tahun 2005, telah ikut berperan dalam menyelenggarakan program-program tersebut. Pada tahun 2005, RS.AM bekerja sama dengan PT Askes (Persero) untuk melayani masyarakat miskin di Lampung khususnya Kota Bandar Lampung. Berdasarkan hasil negosiasi disepakati tarif paket-paket pelayanan termasuk di dalamnya tarif paket rawat inap untuk program JPKMM sebesar Rp90.000,- per hari/pasien. Dalam aplikasinya, rumah sakit membuat aturan pembagian tarif paket tersebut menjadi tiga komponen besar yaitu jasa pelayanan, pembelian alat kesehatan dan bahan habis pakai dan retribusi rawat inap kelas III.
Sejak diimplementasikannya program JPKMM di RSAM bulan Januari 2005, utilisasi rawat inap kelas III baik dilihat dari aspek jumlah hari rawat maupun jumlah pasien telah menunjukkan peningkatan secara bermakna. Hal ini juga diikuti dengan peningkatan penerimaan yang memberikan kontribusi sampai dengan 65,5% di tahun 2005. Padahal tarif yang digunakan adalah tarif paket, dimana informasi biaya satuan di rumah sakit belum tersedia. Selain itu sistem pengajuan klaim oleh RS kepada PT Askes mempunyai kesenjangan waktu yang cukup berarti sampai dengan pembayaran klaim dan tidak semua klaim yang diajukan dapat disetujui. Seyogyanya peningkatan penerimaan memberikan kontribusi (keuntungan) khususnya bagi Unit rawat inap kelas III.
Tujuan dari penelitian ini untuk mendapatkan gambaran mengenai potensi kesinambungan keuangan Unit rawat inap kelas III di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung dengan retribusi program JPKMM tahun 2005. Penelitian ini bersifat operational research melalui pendekatan kualitatif dengan metode wawancara, observasi dan telaah dokumen.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa, tarif rawat inap program JPKMM yang ditetapkan sangat jauh dibawah biaya satuan akrual maupun normatif, tetapi tarif tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan UC actual tanpa AIC dan biaya pegawai. Hal tersebut didukung pula dengan adanya subsidi silang dalam tarif paket (shadow revenue). Pasien program JPKMM memberi kontribusi cukup besar terutama untuk Unit rawat inap kelas III. CRR tanpa AIC dan biaya pegawai >I00%. Pihak manajemen RS telah melakukan upaya efisiensi dengan tepat sebagai salah Satu cara meningkatkan penerimaan dan mengurangi pengeluaran.
Dari hasil penelitian, maka disimpulkan bahwa Unit rawat inap kelas III RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung dengan retribusi program JPKMM tahun 2005 mempunyai potensi untuk mewujudkan kesinambungan keuangan. Untuk meningkatkan dan menjamin kesinambungan tersebut hendaknya dilakukan sosialiasi tentang program JPKMM kepada Direktur dan jajarannya, pelaksana pelayanan khususnya Kelas III dan unit terkait serta kepada Dinas Kesehatan dan Pemda Provinsi Lampung, melakukan survey kepuasan pasien JPKMM, melakukan penelitian lanjutan terkait dengan multiplier effect, menata birokrasi keuangan RS dan mereview laporan keuangan terkait dengan modal kerja RS, menghitung biaya satuan unit lain, menambah jenis pelayanan dan menyederhanakan birokrasi keuangan supaya Iebih cepat dalam pembayaran klaim."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T21106
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heliani Dwiana Tjokroadiredjo
"ABSTRAK
Untuk mengetahui harga pokok jual berdasarkan biaya yang seharusnya dari keluaran Instalasi Gizi 1992, telah dilakukan telaah biaya produksi 1992 dari seluruh komponen biaya produksi yang terlibat. Atas dasar telaah biaya produksi tersebut dilakukan analisis perbandingan harga jual berdasarkan unit cost dengan harga jual yang berlaku, sehingga dapat ditentukan harga jual yang seharusnya dari keluaran Instalasi Gizi di tiap kelas perawatan Instalasi Rawat Inap untuk mencapai keadaan pulang pokok.
Penelitian dilakukan dengan latar belakang bahwa rumah sakit mampu memperoleh manfaat yang setinggi-tingginya dari proses penyelenggaraan makanan dalam arti mampu mengikut sertakan proses penyelenggaraan makanan dalam penerimaan laba dari total sales rumah sakit, tetapi dilain pihak belum mampu menyajikan informasi biaya produksi Instalasi Gizi yang mengakibatkan belum dapat ditentukannya harga jual keluaran Instalasi Gizi yang layak karena belum dimanfaatkannya dengan optimal informasi biaya yang ada, sehingga belum dirasakan nilai tambahnya untuk dapat mengatasi biaya operasionalnya yang semakin meningkat.
Hasil penelitian yang merupakan analisis komponen biaya produksi kaitannya dengan penentuan harga jual di Instalasi Gizi Rumah Sakit Setia Mitra diharapkan dapat menjadi landasan bagi rumah sakit dalam hal menentukan harga produk lainnya berdasarkan biaya produksi."
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Teknik Renografi menggunakan Alat Renograf adalah salah satu modalitas pemeriksaan fungsi ginjal selain dengan pemeriksaan laboratorium dan teknik Sinar-X. Renograf IR-03 untuk pemeriksaan fungsi ginjal hasil rancangbangun BATAN telah dikonstruksi dan menjalani uji laboratorium di PRPN-BATAN Serpong dan uji klinis di RSUP DR.Sardjito Jogyakarta. Biaya yang berkaitan dengan pemakaian klinik Alat Renograf di rumahsakit telah dianalisis yang terdiri dari komponen nilai radiofarmaka dan nilai investasi alat Renograf. Perhitungan biaya radiofarmaka hippuran 131Iodine per tahun dengan estimasi jumlah pasien 2000 orang sebesar Rp. 30 juta, Total Direct Cost adalah Rp. 212,5 juta dan biaya modal satu Alat Renograf sebesar Rp. 250 juta. Nilai Titik Impas (Break Event Point) Investasi satu Alat Renograf adalah 1194 (0,597%) atau setara Rp. 209,475 juta, dengan biaya per prosedur adalah Rp. 85.000,-. Harga ini tergantung pada beberapa variable terutama volume (kapasitas pelayanan pasien).
Perhitungan analisis Cash-Flow untuk melihat seberapa jauh investasi tersebut menarik dan memberi prospek ke masa depan menunjukkan nilai Rate of Return yang diperoleh yaitu ROR ( i*) adalah 22,6%, jauh diatas suku bunga simpanan Bank saat ini yaitu <10%. Perhitungan analisa Payback Period menunjukkan nilai 1,818 tahun, sangat prospektif secara ekonomi. "
610 JKY 20:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Susilo
"Membangun budaya keselamatan pasien merupakan langkah awal dalam pengembangan keselamatan pasien. Budaya keselamatan pasien di rumah sakit merupakan bagian dari budaya organisasi, sehingga pengkajian tentang budaya organisasi diperlukan untuk menjadi panduan dalam mengembangkan keselamatan pasien. Penelitian ini bertujuan mengetahui budaya keselamatan pasien di kalangan pemberi pelayanan di RSUD dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung dan mengidentifikasi profil budaya organisasi pada jajaran pimpinannya.
Penelitian deskriptif dengan interpretasi dan analisis kualitatif ini mengambil subyek penelitian para pemberi pelayanan dan jajaran manajemen rumah sakit, dengan cara menyebarkan kuesioner dan melaksanakan Consensus Decision Making Group (CDMG). Instrumen penelitian menggunakan kuesioner AHRQ (Agency for Heath Research and Quality) membagi budaya keselamatan pasien menjadi 1.) Budaya Keterbukaan, 2.) Budaya Keadilan, 3.) Budaya Pelaporan, 4.) Budaya Belajar, 5.) Budaya Informasi. Sedangkan kuesioner Organization Culture Assesment Instrument (OCAI) menilai 6 kriteria budaya yaitu 1.) Karakter Dominan, 2.) Kepemimpinan Organisasi, 3.) Manajemen Karyawan, 4.) Perekat Organisasi, 5.) Penekanan Strategis, 6.) Kriteria Keberhasilan. Budaya organisasi terbagi menjadi Tipe Clan, Adhocrazy, Market dan Hierarki.
Hasil penelitian mendapatkan bahwa budaya keterbukaan, terutama kerjasama dalam unit merupakan dimensi budaya keselamatan pasien yang terkuat dan dominan. Sedangkan respons non punitive dan pencatatan merupakan dimensi yang terlemah. Tipe budaya Hierarki didapatkan sebagai tipe budaya organisasi yang dominan sekaligus kuat untuk saat ini dan yang diharapkan. Hal ini menjadi panduan untuk memilih strategi peningkatan mutu melalui Competing Value Framework dalam rangka pengembangan dan peningkatan keselamatan pasien. Rencana tindak lanjut dibuat dan disepakati dalam Consensus Decision Making Group (CDMG) untuk membumikan unsur keselamatan pasien dalam visi dan misi organisasi serta penguatan budaya keselamatan melalui pelatihan keselamatan pasien bagi seluruh staf. Blamming culture harus secara perlahan dan signifikan segera dihilangkan dalam semua bentuk pelayanan di rumah sakit.

Building a culture of patient safety is the first step in the development of patient safety. Culture of patient safety in hospitals is part of the culture of the organization, so that the assessment of organizational culture needed to be a guide in developing patient safety. This study aims to determine the patient safety culture among providers in dr. H. Abdul Moeloek Lampung and identify organizational culture profile in the ranks of leadership.
Descriptive study with qualitative interpretation and analysis of the study subjects took care providers and hospital management board, by distributing questionnaires and implement the Consensus Decision Making Group (CDMG). The research instrument used questionnaires AHRQ (Agency for Heath Research and Quality) dividing the patient safety culture to 1.) Cultural Openness, 2.) Cultural Justice, 3) Cultural Reporting, 4.) Cultural Learning, 5.) Cultural Information. While questionnaires Organization Culture Assessment Instrument (OCAI) assesses six cultural criteria, namely 1.) Dominant character, 2) Organizational Leadership, 3) Employee Management, 4.) Adhesive Organization, 5.) Strategic Emphasis, 6.) Success Criteria. Organizational culture is divided into Type Clan, Adhocrazy, Market and Hierarchy.
Results of the study found that a culture of openness, especially cooperation in the unit are the dimensions of patient safety culture is strongest and dominant. While the non-punitive responses and recording the weakest dimension. Type Hierarki culture obtained as the dominant type of organizational culture as well strong for the current and expected. It serves as a guide to select a quality improvement strategy through Competing Value Framework in order to develop and increase patient safety. Follow-up plan prepared and agreed in the Consensus Decision Making Group (CDMG) to ground elements of patient safety in the vision and mission of the organization and strengthening a culture of safety through patient safety training for all staff. Blamming culture must gradually and significantly soon be eliminated in all forms of service in hospitals.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T45964
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>