Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 107722 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andrias Darmayadi
"Elit adalah orang-orang pilihan yang mempunyai kecakapan dan kapasitas untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik. Elit juga merupakan kelompok kecil yang menentukan arah kehidupan negara. Besarnya tuntutan terhadaap peranan elit untuk dapat mentransformasikan nilai-nilai ideal dalam masyarakat menjadi kenyataan empiris terutama dalam negara yang menganut demokrasi dan dengan kultur partai politik yang kuat seperti Indonesia, adalah suatu kewajiban bagi partai politik untuk dapat memilih dan menempatkan kadernya secara selektif.Oleh sebab itu mekanisme rekruitmen elit menjadi salah satu faktor terpenting dalam proses pembentukan pemerintahan yang aspiratif.
Pemilihan Umum tahun 1999 menghasilkan PDI Perjuangan sebagai pemenang dengan raihan 33,7 % suara, kenyataan inipun berimbas pada daerah Kota Bandung yang berhasil meraih kursi mayoritas di DPRD Tingkat II. Penelitian terhadap proses mekanisme rekruimen elit pada PDI Perjuangan Kota Bandung merupakan pokok permasalahan yang dianalisa dalam tesis Pendekatan metodologis yang dilakukan dalam mengidentifikasi serta membahas permasalahan ini adalah dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, yang mengutamakan pencarian informan yang menguasai permasalahan secara mendalam.
Dalam penelitian ini dikedepankan teori-teori partai politik, sistem pemilihan umum serta teori elit dan teori rekruitmen elit, sebagai kerangka berfikir yang membantu dalam menganalisa hasil-hasil temuan penelitian di lapangan. Dengan adanya kerangka teori, dapat dikorelasikan antara fakta lapangan yang didapat dan melihat apakah terdapat kesenjangan antara teori dengan fakta lapangan yang ditemukan.
Dari hasil penelitian yang didapat dalam - mekanisme rekruitmen elit PDI Perjuangan, PDI Perjuangan tidak mempunyai standar acuan, sehingga untuk mekanisme rekruitmen di daerah mekanismenya merupakan wewenang daerah, baik menemukan nama calon maupun dalam penentuan nomor unit calon. Tanpa adanya standar acuan dari DPP, DPC PDI Perjuangan Kota Bandung membentuk Tim Sembilan sebagai pihak yang akan bertanggung jawab dalam mekanisme rekruitmen elit. Pertimbangan mengenai Achievement (prestasi) dan kaderisasi belum menjadi pertimbangan utama dalam mekanisme rekruitrnent elit. Pertimbangan dari sisi askriptif dan pola patron klien justru lebih mengedepan dalam mekanise rekuitmen elit, di dalam politik modern saat ini yang seharusnya mulai meminimalisir kriteria-kriteria tersebut.
Dari hasil-hasil temuan penelitian, terdapat beberapa kesimpulan dalam penelitian ini, yaitu perlu adanya acuan yang jelas dari DPP PDI Perjuangan mengenai mekanisme rekruitmen elit baik untuk menetapkan nama calon maupun penetapan nomor unit. Pertimbangan dari kriteria achievement (prestasi) harus lebih dikedepankan guna mendapatkan sumber daya manusia partai yang teruji kapasitasnya dalam menjalankan aspirasi konstituennya. Oleh karena itu program kaderisasi harus segera dilakukan secara berkala dan berkesinambungan.

Recruitment Of Political Party Elites In The 1999 General Election: A Case Study Of Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Bandung CityPolitical elites are those figures who are of capability and capacity to lead and practice political control. They are a small group which determine the direction of state's life. The heavy demand for the elites' role in transforming ideal values of people into empirical realities, particularly in a nation which upholds democracy and with a strong political party culture, make it an imperative for any political party to be capable of selecting and placing its cadres selectively. Accordingly, a political elite recruitment mechanism is of highest importance in a process of creating an aspirative government.
In the 1999 general election PDI Perjuangan (Indonesia Democratic Party for Struggle) won with 33.7% of votes. It was accompanied by the winning of the party in Bandung City electorate with a majority in local parliament (DPRD). A research on the Bandung City PDIP's elite recruitment mechanism was the major problem analyzed in this thesis. The methodological approach used in identifying and discussing the problem was qualitative research, by particularly searching for those informants who know in deep the problem.
Political party theories, general election systems, elite theories and elite recruitment theories were all used in this research as a frame of reference that was helpful in analysing the findings of research in field. By this theoritical framework, it could be correlated between the fact in field and the related theories, to see whether there were discrepancies between them.
From the results obtained on the PDIP's elite recruitment mechanism it could be seen that there were some anomalies in the mechanism, that is, the party has no standard rule or reference, so the recruitment mechanism in local level was determined at local level, such as in deciding the candidates and their ranks. With no standard reference issued by the party's leadership at national level (DPP), the Bandung City PDIP's local leadership (DPC) created a Team Nine discharged to decide an elite recruitment mechanism.. Considerations on achievement and forming of cadres were not prioritized in the elite recruitment mechanism. Instead, the major considerations in the mechanism were ascribed side and patron-client patter, which is currently being eliminated from modern politics.
From the results, it could be concluded that DPP PDIP needs to determine a clear reference for decising the parliamentary candidates and their ranks. Achievement criterium should be prioritized in order to attain the party's human resource of proved capacity in exercising their constituent's aspiration. Achievement has a close relationship with party's forming of cadres program. Therefore, a forming of cadres program should be carried out periodically and continuously."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T 13823
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abd. Rohim Ghazali, 1967-
"Dalam berbagai kajian teori politik, selalu ditegaskan bahwa partai politik merupakan salah satu pilar demokrasi. Secara teoritis, demokrasi tidak bisa dibangun dalam suatu negara tanpa adanya partai politik yang menjadi wahana agregasi kepentingan segenap warganya. Tetapi pada kenyataannya, partai politik tidak selamanya berfungsi secara maksimal dalam proses demokratisasi. Inilah kondisi yang terjadi di Indonesia pada masa transisi dan konsolidasi demokrasi yang berlangsung sejak 21 Mei 1998 hingga ditulisnya tesis ini (akhir tahun 2003).
Transisi politik yang terjadi di Indonesia dimulai sejak 21 Mei 1998. Pada masa ini telah lahir puluhan partai politik, di samping tetap eksisnya partai yang sudah ada sejak sebelum proses transisi berlangsung.
Setelah "Pemilu Perintis" pasca transisi dilangsungkan, 7 Juni 1999, seharusnya Indonesia sudah memasuki tahapan konsolidasi demokrasi. Tapi pada kenyataannya, proses transisi berlangsung terus disebabkan karena tidak berjalannya proses konsolidasi demokrasi.
Tesis ini mengkaji peranan salah satu dari partai-partai politik yang tumbuh pada era transisi dan konsolidasi di Indonesia, yakni Partai Amanat Nasional (PAN). PAN dipilih sebagai obyek kajian karena partai ini dipersepsikan banyak kalangan sebagai partai reformis: didirikan di atas platform yang reformis, dan dipimpin oleh tokoh-tokoh yang reformis.
Metode yang digunakan dalam tesis ini adalah content analysis yakni dengan cara analisis kualitatif yang secara teknis mencakup klasifikasi, penggunaan kriteria sebagai dasar klasifikasi, yang kemudian dianalisis untuk menghasilkan konklusi. Dalam merumuskan konklusi ditetapkan tiga macam kriteria: (i) legitimasi, yakni konklusi yang memperkuat data-data sekunder serta temuan-temuan hasil penelitian yang sudah dipublikasikan sebelumnya; (ii) verifikasi, yakni peninjauan ulang terhadap data-data sekunder dan temuan-temuan hasil penelitian sebelumnya; dan (iii) prediksi, yang berupa proyeksi ke depan yang beranjak dari kondisi obyektif yang ada di masa lalu dan masa sekarang.
Ada tiga teori yang digunakan dalam tesis ini, yakni teori-teori transisi politik, konsolidasi demokrasi, dan fungsi partai politik.
Dari metode yang dipakai, dan teori-teori yang menjadi rujukan, kajian tesis ini menemukan kesimpulan bahwa partai-partai politik pada umumnya, dan PAN khususnya, belum mampu berperan maksimal dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia dalam kurun waktu 1998 hingga 2003.
Menurut tesis ini, ada empat faktor yang menyebabkan PAN kurang mampu berperan maksimal dalam proses transisi dan konsolidasi demokrasi di Indonesia. Pertama karena partai yang dideklarasikan 23 Agustus 1998 ini kurang konsisten dengan platform yang telah ditetapkannya. Kedua, seperti umumnya partai politik, PAN juga dilanda konflik internal yang berkepanjangan. Ketiga, masih kuatnya ketergantungan PAN pada Amien Rais sebagai tokoh simbolik. Keempat, disebabkan karena perolehan suaranya yang tidak signifikan dalam Pemilu 1999, PAN tidak memiliki bargaining yang memadai untuk menjadi motor penggerak demokratisasi. PAN masih tersubordinasi oleh kekuatan-kekuatan partai lain yang perolehan suaranya jauh lebih besar.
(Rincian isi Tesis: x + 229 halaman; Daftar Pustaka:75 buku, 3 artikel jurnal, 1 makalah, 27 majalah, 5 tabloid, 32 surat kabar, 4 media online, 12 orang nara sumber, tahun buku-buku yang digunakan: 1988 s/d 2003)."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13803
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amanah Upara
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keluarnya Ketua DPW Partai NasDem Malut Mukti Baba dan beberapa pengurus partai. Sehingga NasDem merekrut elit partai lain untuk menjadi anggota partai dan Caleg DPRD Malut Pileg 2014. Sebagai pijakan teoritis, penelitian ini menggunakan dua teori yakni: Pertama, teori partai politik dari Otto Krichheimer dan Kantz S. Richard tentang partai Catch-all. Kedua, teori modal politik dari Kimberly L. Casey, modal sosial dari Pierre Bourdieu, Robert D. Putnam dan Francis Fukuyuma dan teori modal ekonomi dari Pierre Bourdieu.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sedangkan teknik analisa data menggunakan deskriptif analisis. Penelitian menggunakan dua metode pengumpulan data yakni: Pertama, wawancara mendalam terhadap informan yang memahami proses rekrutmen elit partai. Kedua, melalui dokumentasi dengan pengumpulan data dengan cara membaca, mempelajari, menganalisa bahan-bahan yang relevan dengan masalah penelitian, seperti buku, artikel dari internet, naskah, dan arsip yang berhubungan dengan topik penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab Partai NasDem merekrut elit partai lain pada Pileg 2014 di Malut yakni: Pertama, elit yang direkrut merupakan elit populer. Kedua elit partai yang direkrut merupakan elit politik lokal. Ketiga, elit yang direkrut memiliki basis massa. Keempat, elit partai yang direkrut memiliki dukungan modal finansial.
Implikasi teoritis menunjukkan bahwa dalam menghadapi kontestasi politik pada Pileg 2014, Partai NasDem merekrut elit partai lain dari latar belakang partai yang memiliki ideologi berbeda-beda dan merekrut elit partai yang memeliki modal politik, modal sosial dan modal ekonomi dengan tujuan untuk meraih dukungan eloktoral yang signifikan pada Pileg 2014 di DPRD Malut.

ABSTRACT
This research is based on the departure of Malut Mukti Baba, the head of the NasDem Party, and several other party members. As a result of this departure, the Nasdem Party recruited elites from other parties to become its member and to become candidates in the 2014 Legislative Election.
As a theoretical foundation, this research used two theories namely: First, the theory of the political parties Kantz Krichheimer and Otto S. Richard about Catch-all parties. Second, the theory of the political capital of Kimberly L. Casey, the social capital of Pierre Bourdieu, Robert D. Putnam and Francis Fukuyama and the economic capital theory of Pierre Bourdieu.
This research used qualitative methods, while the technique of data analysis using descriptive analysis. The study used two methods of data collection are: First, in-depth interview to the informant who understand the process of recruitment of the party elite. Secondly, through the documentation with data collection by reading and analyzing the materials that are relevant to the research problems, such as books, articles from the internet, and archives related to the research topic.
The principal findings of this research because of the Party elite NasDem recruit another party in 2014 Malut Pileg namely: First, the elite recruits a popular elite. Secondly, the party elite who recruited the local political elite. Third, the elite recruits a mass base. Fourth, the party elite recruits have the support of financial capital.
The theoretical implication shows that in facing the 2014 Legislative Election, NasDem Party recruit elite other parties of background party has and ideology different and recruit the party elite who own a political capital, social capital and economic capital for the purpose of gaining support eloctoral significant in 2014 parliament legislative election of the Malut.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
T45201
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arbi Sanit
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997
324 ARB p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"As the majority in this country, the Moeslems have an important role in determining who and what party will win the uocoming general election this year and then lead this country for the next five years...."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Candrasari
"Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan dan pembuat kebijakan masih sangat rendah baik pada demokrasi yang sudah mapan maupun bagi yang baru tumbuh. Jumlah perempuan menurut data statistik lebih dari 50 persen populasi, namun keterwakilan perempuan tidak proporsional pada semua tingkat pengaruh, pengambil keputusan dan pembuat kebijakan. Ketimpangan keterwakilan demokrasi yang sangat besar sebenarnya bergantung pada political will di tingkat para pengambil keputusan dan pembuat kebijakan yang pertama-tama harus dimulai di dalam sebuah partai politik sebagai stake holder. Sebenarnya konsep kesetaraan gender sama sekali bukan hal mewah dan sudah tidak dapat ditangguhkan lagi bagi negara untuk memberlakukannya.
Dalam dunia politik Perbedaan gender yang pada akhirnya menciptakan ketidakadilan gender atau gender inequalities dan budaya patriarkhi yang dimaksud merupakan suatu sistem dari struktur dan praktek-praktek sosial dalam mana kaum laki-laki menguasai dan menghisap, kata kuncinya adalah kekuasaan laki-laki atas perempuan.
Ketidakadilan gender ini dapat dilihat dari hasil Pemilu 1999 jumlah perempuan yang mendapatkan kursi di tingkat nasional DPR RI hanya mencapai 9 persen dan hasil Pemilu 2004 ada sedikit peningkatan yakni menjadi 11,08 persen. Dan sebagai studi kasus dalam tesis ini diambil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) dengan pertimbangan sebagai salah satu partai terbesar dan partai nasionalis.
Dari hasil penelitian data perempuan di struktur harian PDI Perjuangan terutama pada Jabatan Ketua dan Sekretaris hampir dibawah 1 persen mengakibatkan posisi tawar untuk caleg jadi juga rendah karena ada peraturan yang dikeluarkan Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan yakni di dalam SK 304 dan SK 267,tahun 2004 tentang tata cara penjaringan dan penyaringan yang mengatur jabatan Ketua dan Sekretaris berhak mendapat prioritas utama untuk mendapat nomor unit jadi. Adanya standar ganda yang dipergunakan dan masih sangat bias gender karena tidak adanya political will dari para elit-elit partai. Tim penjaring dan penyaring untuk caleg PDI Perjuangan 99, 9 persen terdiri dari laki-laki yang sekaligus para elitis pengurus partai.
Para elit di struktur harian partai di PDI Perjuangan-beranggapan dengan memberikan quota 30 persen bagi perempuan adalah sangat tidak demokratis karena mengacu pada hak istimewa bagi perempuan sehingga mengabaikan laki-laki.
Sehingga di dalam perjalanan perempuan untuk mendapatkan hak-hak yang setara dengan laki-laki di dunia politik dirasakan perlu di definisikan kembali tentang peran gender dan mengkoreksi stereotip-strereotip dan ketidakseimbangan untuk memastikan bahwa setiap warga negara memiliki akses yang sama terhadap sumber daya.
Jumlah halaman : 141 : pustaka : 56 buku : 8 dokumen : 12 artikel Surat Kabar/majalah :30 narasumber wawancara : 12 Tabel : 6 lampiran)

Daily Structural Position Influence in the Indonesia Democratic Party the Struggle Against Legislative Recruitment Pattern in the 2004 ElectionWomen involvement in decision and policy making is still underprivileged both in well established and the under developing democracy. Statistical data stated that women were more than 50 percent of population; nevertheless, women's representation is less likely proportional in every influencing level, within the decision and policy makers. This overwhelmingly unbalanced of democratic representation is actually depends on political will amongst those decision and policy makers, which initially started within a political party as the stake holder. Literally, the gender equality concept is not something considered as an inapplicable luxury, and it should not be postponed for the state to apply.
In the political world, gender differential, in which ends up by creating gender inequalities and patriarchy culture, meaning as a system of structure and social practices, where men rules and absorbs, the keyword is men rules over women.
This gender inequality can be seen from the result of the 1999 Election, where the number of women earned positions in the DPR RI at national level were only 9 percent, and from the result of the 2004 Election, there was only a minor increase to 11,08 percent. In consideration as one of the largest political and nationalist party, the case study for this thesis was taken from the Indonesia Democratic Party the Struggle (PDI Perjuangan).
Taken from the study on women's data in the daily structure of the Indonesia Democratic Party the Struggle, focused on its chairman and secretary, which nearly less than 1 percent causing ineffective position to inaugurated legislatives recruits, also low for the policy pronounced by the Central Administration Board of the Indonesia Democratic Party the Struggle, in its SK 304 and SK 267, year 2004, regarding procedures and conducts of recruitment and screening, which placing the Chairman and Secretary position in primary priority to have inaugurate serial number. The use of existing double standard and refractivity in gender caused by lack ness of political will from the Party's elites. The legislative recruitment and screening team of the Indonesia Democratic Party the Struggle were 99.9 percent are men; who also elite of the Party's administrative.
Elites in daily structure of the Indonesia Democratic Party the Struggle considers that, by giving 30 percent of quota to women is so not democratic, because it points to the women's special rights, thus ignoring men.
So that in women's journey toward equality of rights against men in political world is necessary to redefine the gender role and correcting stereotypes and inequalities, in regard to ensure that each citizen is having equal access to resources.
Pages : 141 : Literatures : 56 books : 8 documents : 12 newspaperlmagazine articles : 30 informant interviews : 12 tables : 6 appendixes)
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T13708
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hidayat
"Penelitian tentang kekalahan partai politik berbasis keagamaan pada suatu daerah tertentu masih sedikit jumlahnya. Penelitian ini penting karena sebenamya berbagai kasus yang berkaitan dengan kekalahan suatu parpol berbasis keagamaan itu tidak gampang untuk dikalahkan oleh partai yang platform-nya berlawanan dengan partai keagamaan dimaksud. Dari delapan kali Pemilu pertama yang pernah diselenggarakan di Indonesia Parpol Islam selalu memenangkan perolehan suara, namun pada Pemilu 1999 Parpol Islam itu mengalami kekalahan. Sejauh ini belum ada penelitian mengenai kekalahan Parpol Islam tersebut.
Penelitian ini difokuskan pada faktor-faktor mengapa kekalahan Parpol Islam terjadi di Kota Pekalongan. Permasalahn yang diajukan berkait dengan variabel yang menyebabkan kekalahan serta sebaliknya mengapa PDI Perjuangan dapat memenangkan Pemilu di basis pemilih Islam yang telah lima kali menggungguli perolehan suara dibandingkan dengan kalangan nasionalis sekuler. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan teori elite, teori konflik, teori korporatisme, teori negara, teori perilaku pemilih, dan teori demokratisasi, yang digunakan untuk menganalisis persoalan tersebut.
Dengan menggunakan teknik wawancara mendalarn dan studi pustaka, dikumpulkan data-data yang kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif. Dari analisis tersebut penulis menemukan bahwa : kekalahan Parpol Islam di Kota Pekalongan pada Pemilu 1999 disebabkan konstelasi politik nasional yang kala itu sedang terjadi perseteruan di antara elite politik Orde Baru, daya tolak kekuatan Islam politik, dan daya tarik politik Megawati Soekarnoputri.

The Lose of Islamic Political Parties during 1999 Election: A Case Study in Pekalongan CityResearches on the lose of religious political parties in certain districts are not common. This research is important because in most cases, religious political parties rarely defeated by political parties from opposing religious base. From the total of 8 elections ever held in Indonesia, Islamic political parties always win considerable votes but it was in 1999 election that Islamic political parties had to face a defeat. There was no research covering the lose of Islamic political parties up to this point.
This research is focus on the factors of why Islamic political parties lose in the election at Pekalongan. The problem posed in this research related to what variables which caused the lose and why PDI Perjuangan, which had won over other secular-nationalist political parties for five times, can win the election in Islamic hardcore areas. To answer these problems, this research use theories of elite, conflict, corporatism, state, voting behaviour and democratisation as a tool of analysis.
Data collected by in-depth interview and library research, which analysed later by qualitative analysis. The writer concluded from the analysis that the lose of Islamic political parries in Pekalongan during 1999 election was cause by the conflict inside the national political constellation between the New Order elites, the decreasing power of Islamic politics and the increasing power of Megawati Soekamoputn."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2005
T 13892
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellya
"Untuk pertama kalinya Pemilihan Umum (Bab VIIB Pasal 22E) dimasukkan dalam amandemen UUD '45. Selanjutnya Pemilu diatur oleh Undang-Undang nomor 12/2003 yang diantaranya memuat tentang Sistem Pemilu Proporsional Dengan Daftar Calon Terbuka. Sistem Pemilu itu merupakan suatu terobosan politik yang baru di Era Reformasi sehingga menarik untuk diteliti.
Dari latar belakang tersebut timbul pertanyaan penelitian yaitu: 1. Apakah Sistem Pemilu Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka cukup efektif untuk menjaring calon legislator pilihan rakyat atau malahan menciptakan konflik dan fragmentasi di dalam partai?; 2. Apakah Undang-Undang Pemilu menguntungkan Partai Politik Besar dan merugikan Partai Politik Kecil?; 3. Apakah Undang-Undang Pemilu dapat menciptakan sistem multi-partai sederhana seperti yang diamanatkan oleh Undang Undang Partai Politik nomor 31 tahun 2002 ?
Untuk menjawab pertanyaan penelitian penulis memakai pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif-analitis. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam terhadap 7 orang informan kunci dan penelusuran transkrip rekaman persidangan selama pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu sampai disahkan menjadi Undang-Undang No.1212003, didukung data sekunder hasil pemilu 2004, serta studi pustaka.
Teori yang untuk menganalisa penelitian ini memakai: Teori Transisi demokrasi O'Donnel, Teori Sistem Pemilu Reynolds, dan Teori Demokrasi Inklusif Young.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pemilu gagal menjaring calon legislator pilihan rakyat, bahkan sebagian menimbulkan masalah dikalangan legislator terpilih. Undang-Undang Pemilu No. 1212003 memberikan keuntungan bagi Partai Besar berupa over-representation, dan merugikan Partai Kecil dengan under-representation. Undang-Undang Pemilu belum dapat menciptakan sistem multi-partai sederhana, tetapi dampaknya mengurangi jumlah peserta Pemilu 2004.
Implikasi teoritisnya adalah teori transisi demokrasi O'Donnel berlaku dalam penelitian ini khususnya bagi Partai Besar PDIP dan Golkar (partai lama), yang mana. Partai Besar cenderung mempertahankan kekuasaannya terhadap pemilih maupun terhadap Partai Kecil dalam pembuatan Undang-Undang Pemilu No. 12/2003.

For the first time, election (section VIIB article 22e) is included in the amendment of UUD 1945. Furthermore, election is arranged by the Law number 23 years 2003 which inserts the open list proportional system. This system is a new political breakthrough in the reformation era so that interesting to be explored.
From that background, some research questions rise. They are 1) is the system of open List proportional effective to select legislative candidates who are chosen by the voters or does it emerge political conflict and fragmentation among the parties; 2) does it give any advantages for major parties and oppositely disadvantages minor political parties; 3) is the law can develop simple multiparty system as mentioned in the Law number 31 year 2002 on Political Party.
To answer those question, this research applies qualitative approach and the category of the research is descriptive analytic. Primary data collection is examined by using in-depth interview with seven key informants and tracking transcript of codification sessions of the law. is also supported by secondary data such as the result of election in 2004 and literature study.
Theories applied in the research to analyze the issues are theory of transition to democracy from O'Donnel, theory of election from Reynolds, and theory of inclusive democracy from Young.
The result shows that the system of election applied in the law fail to select legislative candidates chosen by the voters, and even raises problems for elected candidates. The law gives advantages for major parties in term of over-representation and disadvantages minor parties in term of under-representation. The Law of Election has not developed simple multiparty system, even though the implication is degradation the number of political parties which involve in the election.
The theoretical implication of the research is that theory of transition to democracy from O'Donnel is relevant with the result of the research, especially for major parties such as Indonesian Democratic Party-Struggle and Golkar, which tend to maintain their power to their voters and minor parties in the codification of the law.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T22110
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Faridah
"Golkar adalah organisasi politik di Indonesia yang selalu menempati urutan tertinggi dalam perolehan suara pada setiap Pemilu. Hal ini selain karena Partai Golkar didukung oleh struktur organisasi dan kelembagaan yang sudah mapan, juga karena telah memiliki pengala man yang cukup matang dalam pemenangan suara dalam setiap pelaksanaan Pemilu. Namun, kesuksesan tersebut belum didukung oleh penerapan kebijakan yang lebih responsif gender yang berakibat pada rendahnya tingkat keterwakilan perempuan dalam kepengurusan Partai Golkar dan di parlemen. Jadi, permasalahan penelitian ini adalah bagaimana kebijakan Partai Golkar dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di Parlemen pada periode kepengurusan 1999 - 2004.
Penelitian ini terkait erat dengan teori budaya patriarki dari Gorda Lerner dan Aristoteles, teori gender dari Arid Budiman dan Nunuk P Murniati, teen Kuota dari Drude Dahlerup, teori kebijakan dari Friedrick dan Anderson, teen demokrasi dari Robert Dahl, serta mempunyai signifikansi dengan pengembangan teori Partai Politik yang terkait erat dengan fungsi Partai Politik dan Miriam Budiarjo.Dari teori tersebut, terdapat signifikansi praktis dalam upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan di kepengurusan Partai Golkar khusiisnya dan di Parlemen umumnya.
Fokus analisis penelitian ini adalah pada Partai Golkar dengan variabel yang diamati adalah kebijakan dan fungsi Golkar sebagai Partai politik, sosialisasi politik , dan sistem rekruitmen dalam partai Golkar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian bersumber dari hasil wawancara mendalam (dept interview) terhadap 15 orang informan kunci (key informant). Teknik penentuan informan kunci dengan metode snow ball. Data sekunder meneakup studi kepustakaan dan publikasi ilmiah serta laporan lembaga resin yang terkait dan dapat dipertanggungjawabkan secara akadeniik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai Partai, Golkar memiliki kebijakan politik yang jelas, dengan mekanisme (struktur dan kerangka) organisasi dan pengkaderan yang modem, terstruktur dan sistematis dengan poly rekruitmen kader yang baik. Tapi, budaya patriarki sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Gorda Lerner dan Aristoteles masih mengakar kuat di tubuh Partai Golkar yang berimplikasi pada rasionalisasi penempatan pengurus perempuan dalam struktur partai menjadi tidak signifikan dengan jumlah kader perempuan Partai Golkar dan kurangnya peningkatan keterwakilan perempuan di Parlemen. Partai Golkar juga belum maksimal dalam menjalankan fungsinya secara lebih "demokratis" sebagaimana teori Robert Dahl, yang berimplikasi pada kebijakan yang bias gender yang mengakibatkan rendahnya keterwakilan perempuan di Parlemen, yalmi hanya berhasil menempatkan 16 orang kader perempuan atau 11,76% dari 136 kursi yang diperoleh Partai Golkar dalam Pemilu 1999 lalu..rumlah yang jaub dari target kuota yang disarankan dalam UU Partai Politik.

Golkar is a political organization in Indonesia which always in the highest position in every election. It is not only because the party is supported by an establish structure of organization and institution, but also its vivid experience in winning the elections. However, its success has not been supported by more responsive politic implementation on gender which causes lower-level women representative ness in the board of the organization and in the parliament. Thus, the problem of the research is that how is the policy of the party in increasing women representative ness in parliament in the period of 1999-2004.
This research has a strong attachment with theory of culture of patriarchy from Gerda Lerner and Aristoteles, theory off gender from Arief Budiman and Nunuk P Murniati, theory c; quota from Drude Dahlerup, theory of policy from Friedrick and Anderson, theory of democracy from Robert Dahl, theory and relates to development theory of political party from Miriam Budiardjo. From the theories, there is a practical significance of efforts in endorsing women representative ness in the board of the party and in parliament in general,
The focus of the research is on Golkar Party and variables of the research are policy and function of the party as a political party, political socialization, and recruitment system in the party. The research applies a qualitative approach. Data resources of the research are from in=depth interview on 15 key informants using snowball technique. Secondary data includes literature study, scientific publication, and also official reports from related institutions,
The result of the research shows that as a party, Golkar has a clear policy, with its mechanism (structure and framework) of organization and modern, structured and systematic forming of cadre with good recruitment system. However, culture of women in its board and representative in parliament. The party has also less afford in implementing its function to be more democratic. It implicates to bias gender policy and lower-level of women representative ness in parliament. The party only got 16 representatives or 11, 76% from 136 seats of the party in parliament a results of 1999 election and less then quota targeted by the law of Political Party.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21723
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dadang Prayitna
"Indonesia yang menganut sistem multi partai merupakan konsekuensi logis dari banyaknya partai yang tumbuh di Indonesia. Pada era reformasi diterbitkannya UU Nomor 2 Tahun 1999 sebagaimamana telah diubah dengan UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang memberikan kebebasan rakyat mendirikan partai politik. Hal ini membuat partai politik tumbuh bagaikan jamur. Keberadaan partai politik dalam jumlah besar inl banyak kalangan mengkawatirkan berakibat pada ketidaksehatan kehidupan demokrasi, karena banyak partai politik yang ada tidak menjalankan peran dan fungsi partai politik sebagaimanamestinya yang ada adalah pragmentasi partai politik. Dari latar belakang permasalahan tersebut ada keinginan untuk melakukan penyederhanaan jumlah terhadap partai politik yang ada di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Umum UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya sistem kepartaian yang sehat dari dewasa yaitu sistem multi partai sederhana.
Dalam sistem multi partai sederhana akan lebih mudah dilakukan kerjasama menuju sinerji nasional. Pemerintah sudah tidak mungkin lagi bertindak sewenang-wenang untuk membatasi dan melarang berdirinya partai politik, apalagi untuk membubarkannya. Penyederhanan yang dilakukan adalah secara alamiah oleh seleksi rakyat melalui pemilihan umum dengan menerapkan electoral threshold sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pemilu No, 3 Tahun 1999 Pasal 39 ayat (3) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 2003 Pasal 9 ayat (1) huruf a, b dan c yang menerapkan aturan electoral threshold atau ambang Batas yang harus dipenuhi bagi partai politik yang akan mengikuti pemilihan umum. Jika tidak mencapai electoral threshold partai tersebut harus membubarkan diri atau membuat partai baru. Dari hasil Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 banyak partai politik yang tidak memenuhi ketentuan electoral threshold, sehingga banyak partai politik yang berguguran, membubarkan diri dan mengganti baju baru. Untuk mendirikan partai politik itu harus memenuhi berbagai persyaratan sebagiamana diatur Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Pada dasarnya partai politik di Indonesia juga dapat disederhanakan. Berdasarkan ideologi, karena sebenarnya jumlah partai politik dapat disatukan dalam kelompok ideologi yang sama. Kelompok sekuler (nasionalis kebangsaan dan nasionalis kerakyatan) dan kelompok agamis (Islam konservatif dan Islam Moderat) dari sisi tersebut dapat dijadikan tolak ukur untuk menerapkan prosentase electoral threshold. Disamping itu sistem kepartaian dan sistem pemilu berkaitan erat dengan keberadaan partai politik dalam suatu negara, namun sistem tersebut harus disesuaikan dengan latar belakang budaya setempat, sehingga penerapannya dapat berjalan dengan baik. Dalam perubahan sistem harus diperhatikan juga kondisi objektiv suatu masyarakat dalam negara, dan tidak bisa dipaksakan penerapannya sistem secara murni karena latar belakang budaya suatu bangsa yang berbeda."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T18699
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>