Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 200740 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karuwai, George
"Sampai saat ini hampir tidak satupun wilayah di Indonesia yang tidak mengenal konflik, baik dari konflik yang sifatnya Un Manifest (belum muncul ke permukaan) maupun konflik yang Manifest (sudah menjadi konflik terbuka). Di daerah Sentani dapat terlihat bahwa implikasi teoritis dan praktis dari saling pengaruh antara hukum negara (nasional) dan hukum adat (lokal) mengakibatkan konflik tanah adat antara sesama komunitas adat Sentani, antara warga dan pendatang, antara warga dan pemerintah, antara pemerintah setempat dengan pemerintah yang lebih besar (tinggi). Konflik yang terjadi di daerah Sentani merupakan konflik laten maupun konflik kekerasan yang kapan dan dimanapun dapat muncul kembali. Penelitian ini difokuskan kepada jenis-jenis konflik, akar penyebab pemicu konflik, sumber-sumber penyebab konflik, bentuk dampak dari konflik serta langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik tersebut.
Di dalam penulisan ini metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, sebagai prosedur yang tertulis atau lisan dari orang-orang serta perilaku yang dapat diamati dan diarahkan pada latar dari individu serta organisasi secara holistik (utuh).
Penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif yakni menggambarkan tanah adat dan potensi konflik yang terjadi antara masyarakat adat Sentani, masyarakat adat Sentani dan pendatang maupun masyarakat dan pemerintah serta pemerintah dan pemerintah di daerah Sentani dengan desain penelitiannya adalah studi kasus.
Dengan adanya konflik atau sengketa tanah adat memungkinkan pandangan-pandangan yang selama ini dianggap baik, diperdebatkan kembali sehingga muncul pandangan baru. Hal yang tebih penting lagi yaitu untuk menguji gagasan dan nilai kinerja kelompok institusi-institusi yang ada dalam masyarakat adat Sentani sehingga penanganan konflik atau sengketa yang dilaksanakan selama ini secara sadar dan pemecahannya dapat diterima oleh semua pihak, dapat memberikan sumbangan yang berupa pola-pola atau pegangan-pegangan baru dalam penyelesaian konflik atau sengketa di daerah Sentani.
Akibat adanya konflik-konflik tanah adat tersebut memunculkan dampak konflik negatif dan konflik positif di daerah Sentani yang menjadi ancaman bagi keberlanjutan kehidupan komunitas lokal itu sendiri antara lain : retaknya hubungan sosial, terhambatnya fungsi sosial masyarakat, dan rapuhnya nilai-nilai sosial kemasyarakatan pada masyarakat Sentani, adanya inovasi (pembaharuan) dan perkembangan-perkembangan dari kebudayaan lokal (adopsi) serta pranata sosial di dalam komunitas adat Sentani itu sendiri maupun pemerintah Kabupaten Jayapura.
Karena itu disimpulkan bahwa akar penyebab konflik tidak berdiri sendiri dan merupakan satu kesatuan yang saling terkait sehingga diperlukan pola penyelesaian yang harus dilakukan sesegera mungkin dan secara cepat, menyuluruh serta terpadu (komprehensif) di dalam komunitas adat Sentani (struktur dan sistem adat) maupun di pihak pemerintah (mengimplikasikan kepentingan-kepentingan adat setempat) dengan memperhatikan faktor-faktor yang saling terkait tersebut.
(VI Bab, xxiv, 303 Halaman, 3 Tabel, 1 Peta, 4 Bagan, 3 Foto, Bibliografi : 58 Buku, 4 Peraturan Pemerintah, 2 Tesis, 2 Skripsi, 7 Makalah, 3 Jurnal, 2 Lampiran)"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13902
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Suporaharjo
"Obyek sengketa tanah antara komunitas Ketajek dengan Perusahaan Daerah Perkebunan (PDP) Jember adalah bekas hak Erfpach Verponding No. 2712 dan Verponding No. 2713 dikenal dengan nama kebun Ketajik I dan II atas nama NV Land Bow My Oud Djember (LMOD) leas keseluruhan 477,87 ha yang berakhir haknya tanggal 29 Juli 1967, terletak di desa Pakis dan desa Suci kecamatan Panti, kabupaten Jember, Propinsi Jawa Timur.
Sengketa tanah Ketajek mulai mencuat ketika pada tahun 1972 pemerintah daerah kabupaten Jember yang dipimpin Bupati Abdul Hadi yang juga sebagai komisaris PDP jember mulai berencana mengambil alih Kebun Ketajek I dan 11 yang telah digarap warga Ketajek sejak tahun 1950-an.
Proses pengambilalihan oleh PDP Jember atas tanah kebun Ketajek I dan II yang telah didistribusikan kepada warga Ketajek melalui kebijakan land reform pada tahun 1964 ini akhirnya menimbulkan konflik yang berlarut-larut hingga saat ini. Mengapa konflik sosial atas tanah Ketajek terus bertahan cukup lama dan bagaimana pilihan strategi penyelesaian konflik yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa serta para pihak yang terlibat dalam pusaran konflik tersebut coba dipahami lebih mendalam melalui penelitian ini.
Tujuan penelitian ini adalah:
1) Menelusuri dan memetakan sejarah dan sumber penyebab konflik;
2) Menemukenali faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya eskalasi konflik;
3) Mendalami proses-proses pilihan dan akibat dari strategi manajemen/penyelesaian konflik yang digunakan para pihak yang berkonflik; dan
4) Memberikan rekomendasi perbaikan atas cara-cara penyelesaian konflik antara masyarakat Ketajek dan PDP Jember yang selama ini dilakukan.
Pendekatan yang dilakukan untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih karena dianggap sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu memahami fenomena peristiwa terjadinya konflik dan kaitannya terhadap keberadaan berbagai pihak, baik yang pro maupun kontra dengan penyelesaian konflik atas tanah antara komunitas Ketajek dan PDP Jember. Dari kelompok yang pro dan kontra coba dilakukan wawancara dan pemahamam secara mendalam atas usulan penyelesaian yang seharusnya dilakukan atas sengketa tanah Ketajek ini. Berbagai pendapat dari wawancara dengan informan dan penelusuran dokumen atas cara intervensi untuk menyelesaikan konflik ini kemudian direview dan di analisis kekuatan dan kekurangannya dengan cara membandingkan pengalaman di tempat lain atau kasus-kasus yang sudah pernah terjadi.
Dalam penelitian ini konflik dilihat sebagai suatu bentuk interaksi yang dapat membangun, mengintegrasikan dan meneruskan struktur dalam masyarakat. Konflik coba dipahami dari sisi positif dan sisi negatif. Konflik seharusnya dihadapi dan dikelola karena konflik dapat dipahami dari para pihak yang terlibat, sumber penyebab, tahapan perkembanganya, faktor-faktor yang mempengaruhi eskalasi dan kemungkinan mekanisme intervensinya.
Temuan penting dari hasil penelitian ini antara lain: adanya lima cara penyelesaian yang diusulkan para pihak yang berkepentingan, yaitu:
1) Pemberian tali asih/ganti rugi;
2) Membawa kasus sengketa ke pengadilan (peradilan umum);
3) Menempuh jalur hukum non pengadilan atau jalur politik;
4) Musyawarah; dan
5) Membangun kemitraan antara PDP dan warga Ketajek.
Pilihan terhadap tali asih/ganti dan membawa kasus ke lembaga pengadilan merupakan pilihan utama dari Pemerintah kabupaten/PDP Jember. Sementara pihak komunitas Ketajek lebih menyukai pendekatan jalur hukum non pengadilan atau politik dan musyawarah.
Dari hasil analisis terhadap kegagalan beberapa pilihan strategi penyelesaian yang telah ditempuh menunjukkan bahwa keputusan pilihan jalan keluar dilakukan secara sepihak oleh yang berpower kuat dan tidak mengatasi sumber penyebabnya, rendahnya keahlian para mediator/fasilitator, lemahnya anal isa atas problem bersama, dialog antara para pihak yang bersengketa sering bersifat konfrontatif, berbagai proses yang dilakukan lebih bersifat permusuhan dari pada kolaboratif, terjadinya polarisasi dalam berbagai kelompok dari komunitas Ketajek, terjadinya rivalitas antara para pihak yang berkepentingan mendampingin komunitas, tidak ada kemauan politik dari pimpinan/elit yang berada di pemda/PDP, DPRD untuk berbagi power/kegiatan manfaat kepada komunitas lokal atas aset sumberaya alam yang ada.
Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa cara penyelesaian yang telah ditempuh seperti pemberian tali asih/ganti rugi, musyawarah dan membawa kasus ke peradilan umum telah gagal menyelesaikan sengketa tanah Ketajek, karena cara-cara tersebut tidak membawa kepada kesepakatan secara bulat yang didukung oleh semuat pihak yang terlibat dan memuaskan kepentingan seluruh pihak.
Sedangkan dari sisi kebijakan pemerintah daerah kabupaten Jember, dapat disimpulkan bahwa pemda tidak memiliki infrastruktur baik dari segi kelembagaan maupun sumberdaya manusia untuk melaksanakan penyelesaian konflik secara non litigasi atau alternative dispute resolution (ADR). Niatan untuk menyelesaikan konflik secara ADR hanya ada dalam teks saja, dalam prakteknya tidak ada kebijakannya.
Oleh karena itu, dengan melihat berbagai usulan dari para pihak yang berkepentingan dengan sengketa tanah Ketajek, maka direkomendasikan kepada pemda dan DPRD kabupaten Jember untuk mempertimbangkan strategi kolaborasi untuk menyelesaikan sengketa tanah Ketajek.
Dalam melaksanakan strategi kolaborasi para pihak yang bersengketa harus mempunyai kemauan untuk merubah penyelesaian konflik dari pendekatan permusuhan ke pendekatan yang bukan bersifat permusuhan (nonadiersarial approach). Karena dalam proses kolaborasi perlu keterbukaan, kesadaran adanya saling ketergantungan, menghormati perbedaan, membutuhkan partisipasi aktif para pihak yang berkonflik, membutuhkan jalan keluar dan penetapan hubungan yang disepakati bersama dan kesadaran bahwa kolaborasi adalah suatu proses bukan resep.
Ada empat desain umum untuk kolaborasi yang harus mendapatkan perhatian seksama para pihak yang berkonflik, yaitu yang berkaitan dengan upaya-upaya bersama menemukan pilihan yang tepat atas:
1) Perencanaan yang apresiatif;
2) Strategi kolektif;
3) Dialog; dan
4) Menegosiasikan penyelesaian.
Agar dapat membangun desain kolaborasi yang konstruktif dan mendapatkan komitmen dari para pihak yang bersengketa maka harus ada kejelasan tahapan yang dapat dijadikan panduan bersama. Tahapan ini paling tidak terdiri dari, tahap pertama, kejelasan dalam menetapkan problem; tahap kedua, kejelasan dalam menetapkan arah kolaborasi; dan tahap ketiga, kejelasan dalam menetapkan pelaksanaannya.
Untuk mendukung keberhasilan strategi kolaborasi, juga peran dukungan pemerintah daerah kabupaten jember merupakan faktor penting. Tanpa kemauan yang kuat dari pihak pemda untuk mendukungnya maka mustahil tahapan proses kolaborasi tersebut dapat dijalankan. Oleh karena itu, kemauan politik dari pemda tidak cukup hanya dicantumkan dalam teks POLDAS tapi harus diwujudkan dalam praktek, yaitu dengan cara menyediakan sumberdaya manusia yang terlatih sebagai fasilitator/mediator andal dan dukungan membangun kelembagaannya.
Review Strategies For The Resolution Of Social Land Conflicts: A Case Study Of Ketajek Community Vs. Jember Estate Company, In Kecamatan Panti, Kabupaten Jember East Java Province The land disputed by Ketajek community and Jember estate company (PDP) used to belong to the rights of Erfpach Verponding No. 2712 and No. 2713. They are known as Ketajek Estate I and If, on behalf of NV. Land Bow My Oud Djmber (WOD), with the overall area of 477.87 hectares located in Pakis and Suci villages, kecamatan Panti, Kabupaten Jember, East Java. The rights ended on 29 July 1967.
The land conflict broke out in 1972 when the local government under Bupati Abdul Hadi, who was also one of PDP's board of directors, planned to take over Ketajek Estate I and II which had long been cultivated by Ketajek local people since 1950s.
Ketajek I and II having been distributed since 1964 by means of land reform policy, the take-over has caused an intractable conflict-up to now. This research tries to explore how the social conflict of Ketajek land remains unresolved, and what kinds of conflict resolution strategies have been adopted by the conflicting parties as well as those involved in the turbulence of conflict. So, the objectives of this research are:
1) To dig up and map the history and sources of conflict;
2) To identify the factors influencing the conflict escalation;
3) To observe the process of selection and the result of conflict management/resolution strategy applied by the conflicting parties; and
4) To provide a recommendation of how to improve the existing conflict resolution methods between Ketajek community and PDP Jember.
The research made use of qualitative approach. This approach best-matched with the objectives of the research, i.e. to understand conflict fenomena in connexion with the presence of multi parties, both those in favor and those against the resolution of the land conflict between Ketajek community and PDP Jember. For the pros and cons, interviews were given to get a deep understanding of what opinions they have about the resolution proposed for Ketajek land conflict. Ideas obtained from the interviews with informants and data from scrutinizing the documents about intervention methods for this conflict were collected to be reviewed and analyzed to get the strength and weaknesses by comparing with experience from other sites or with the preceding cases.
In this research, conflict was seen as a form of interaction that can develop, integrate, and continue the structures within a society. It is understood from both positive and negative perspectives because conflict should be faced and managed as it can be understood from the perspectives of the parties involved, from the very cause, from the stages of development, from the factors influencing the escalation and from the possibilities of intervention mechanisms The important findings of the research are, among others, five methods of resolution proposed by interest parties, i.e.:
1) Providing a compensation;
2) Bringing the case to the court;
3) Taking an extra-court law (nonlitigation) orpolitical action;
4) Building dialog/negotiation; and
5) Building a partnership between PDP and Ketajek local people. The local governmentiPDP jember prefers options 1 and 2, whereas Ketajek community prefers points 3 and 4.
From the analysis of the above failure, it was found that: the options were made unilaterally by the power-ed party, and it failed to hit the source of the problems, the facilitators/mediators were unskilled, the analysis of the shared problems was poor, dialogs between conflicting parties were frequently confrontational, the processes were more confrontational than collaborative, groups of Ketajek community were polarized, there was a rivalry between interest parties that went with the community, there was a lack of political will from elites in the local government/PDP, DPRD to share power/activities/benefit with the local community over the natural resources.
The conclusion is that the five resolutions failed to lead to an agreement supported by all parties and failed to satisfy all. From the perspective of Jember local government's policy, it can be concluded that the local government did not have adequate infrastructures, either in the form of institutions or human resources to enact a no litigation conflict resolution or alternative dispute resolution (ADR). To manifest the ADR was all in theory; in practice, none of the policies used it.
Considering the ideas proposed by interest parties in the Ketajek Iand conflict, therefore, it is recommended to the local government and DPRD Jember to think over collaborative strategies to resolve Ketajek land conflict.
In plying the collaborative strategies, the conflicting parties must have a will to shift from adversarial approaches to no adversarial ones since the collaborative processes need openness, respect for difference, the awareness of interdependency, active participation of the conflicting parties, way out and agreed relationship, and the awareness that collaboration is a process, not a recipe.
There are four general designs for collaboration to be noted carefully by the conflicting parties related to joint efforts to make the smart choice of
1) Appreciative planning;
2) Collective strategy;
3) Dialog; and
4) Negotiation of resolution.
In order to be able to build a constructive design for collaboration that all conflicting parties are committed to, there must be clear stages for a common guideline, The stages should at least comprise first stage, a clear problem statement; second stage, a clear direction of collaboration; and third stage, a clear operation.
To support a successful collaborative strategy, the support from Jember local government is an important factor. Without a strong will from the local government to sustain it, it is impossible for the collaborative processes to be operated. Therefore, the political will of the local government should not only be typed on POLDAS text, but should also be realized in practice, by providing skilled human resources for the best facilitators/mediators and giving support or developing the institution.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11544
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jannus Rumbino
"Kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia. Gejala ini merupakan konsekuensi logis dari pesatnya peningkatan kebutuhan akan lahan dalam pembangunan. Irian Jaya ternyata tidak bebas pula dari kasus-kasus sengketa tanah dan justru menarik karena banyak terjadi di antara penduduk asli Irian Jaya sendiri. Contoh kasus sengketa tanah yang dibahas ini mengenai dua desa dari penduduk asli Irian Jaya yang hidup di pinggiran kota. Oleh karena itu tulisan ini membahas tentang proses penyelesaian sengketa tanah pada penduduk asli pinggiran kota di Irian Jaya dalam konteks kemajemukan hukum.
Manfaat dari tulisan ini adalah mengungkapkan proses penyelesaian sengketa tanah yang tidak hanya dilakukan dengan cara-cara adat yang sudah lazim dikenal dalam masyarakat yang bersangkutan tetapi juga digunakan cara-cara yang datang dari luar masyarakatnya sebagai akibat dari pengaruh yang datang dari kota. Selain itu tulisan ini diharapkan dapat menambah informasi tentang pola penguasaan dan pemilikan tanah adat di Irian Jaya. Fokus tentang proses penyelesaian sengketa tersebut dianalisis dengan menggunakan konsep kemajemukan hukum yang kuat dan kemajemukan hukum yang lemah menurut Griffiths.
Sasaran penelitian ini adalah penduduk desa Ayapo dan penduduk desa Yoka di Kecamatan Sentani Kabupaten Jayapura Propinsi Irian Jaya. Penduduk desa Ayapo dan penduduk desa Yoka termasuk penduduk pinggiran kota. Sebagai penduduk pinggiran kota, sudah tentu tidak terhindar dari pengaruh-pengaruh yang datang dari kota, yang membawa perubahan pula pada proses penyelesaian sengketa tanah.
Penelitian yang sifatnya kualitatif ini dilakukan di desa-desa tersebut di atas dengan menggunakan metode perluasan kasus (the extended case method), artinya unsur-unsur lain di luar sengketa tanah dan proses penyelesaiannya seperti letak dan keadaan geografis, asal usul dan perkembangan penduduk, mata pencaharian, pemukiman, kepemimpinan, pola penguasaan tanah, dan dampak pengaruh luar terhadap penguasaan tanah menjadi perhatian pula dari penulis sebagai peneliti. Sedangkan teknik-teknik pengumpulan data ditekankan pengamatan terlibat, wawancara mendalam dengan beberapa informan kunci; dan wawancara sambil lalu dengan penduduk desa pada umumnya.
Sengketa tanah dan proses penyelesaiannya merupakan inti dari tulisan ini. Berkaitan dengan itu dikemukakan alasan/dasar tuntutan dari pihak-pihak yang bersengketa mengenai tanah yang disengketakan sedangkan dalam proses penyelesaian sengketanya, pihak-pihak yang bersengketa menggunakan cara-cara adat yaitu negosiasi/musyawarah, mediasi, rasa kekeluargaan. Pihak-pihak yang bersengketa menggunakan pula prosedur peradilan formal untuk mengesahkan kesepakatan-kesepakatan yang telah diputuskan di lingkungan adat. Peradilan formal (Pengadilan Negeri Jayapura, dan Pengadilan Tinggi Irian Jaya) secara silih berganti telah memenangkan pihak-pihak yang bersengketa. Tetapi ketika sengketa tanah antara pihak yang bersengketa dinaikkan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) di Jakarta, seluruh keputusan yang sebelumnya telah memenangkan pihak-pihak yang bersengketa dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi. Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan akan mengadili sendiri sengketa/perkara itu dan sebagai hasilnya dikeluarkanlah keputusan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menyatakan bahwa tidak ada pihak yang menang dan kalah dalam sengketa tersebut. Pihak-pihak yang bersengketa lebih baik menyelesaikan saja sengketa itu dengan cara-cara adat yang dilandasi dengan rasa kekeluargaan. Pihak-pihak yang bersengketa dapat melaksanakan keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dan akhirnya berdamai juga pihak-pihak yang bersengketa.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari inti tulisan ini ialah dalam proses penyelesaian sengketa, pihak-pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara adat maupun cara-cara yang berlaku resmi di tingkat peradilan pemerintah. Klimaksnya pemerintah dalam hal ini Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak memenangkan salah satu pihak yang bersengketa, hanya dianjurkan agar sengketa/perkara itu diselesaikan secara musyawarah dan mufakat saja secara adat. Buktinya sengketa itu diselesaikan juga secara adat dan akhirnya berdamai juga pihak-pihak yang bersengketa. Tindakan Mahkamah Agung Republik Indonesia tidak memutuskan salah satu pihak yang bersengketa sebagai pemenang dan mengembalikan sengketa/perkara itu untuk diselesaikan secara adat saja agar tidak merusak hubungan-hubungan sosial para pihak bersengketa yang telah lama terjalin secara turun temurun yang diistilahkan oleh Nader dan Todd sebagai hubungan multipleks."
Depok: Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Woro Retno Mastuti
"Penelitian ini adalah salah satu bentuk tanggung-jawab kami sebagai peneliti muda atas naskah-naskah nusantara yang ribuan jumlahnya. Memang, dari segi kuantitas, belum banyak yang kami lakukan untuk menyelamatkan naskah-naskah nusantara tersebut. Namun demikian, laporan penelitiari ini semakin memacu kami untuk berbuat lebih banyak lagi.
Penggarapan naskah yang kami lakukan ini juga merupakan tugas seorang filolog, yaitu orang yang menyintai naskah-naskah lama. Tujuan kerja filologi adalah mengungkapkan produk masa lampau melalui peninggalan tulisan, mengungkapkan budaya lalu, menyajikan teks yang terbaca oleh masyarakat.masa kini dalam bentuk suntingan.
Sebetulnya, masih .banyak naskah yang harus digarap. Dari 109 peti naskah Surat-surat Tanah koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, kami hanya sanggup mengerjakan 2 peti saja. Hal yang tidak dapat dihindari dari penggarapan naskah tersebut adalah kesulitan dalam membaca naskah dalam aksara Bali. Hal ini disebabkan kondisi naskah yang usianya cukup lama, aksara yang sudah tidak jelas lagi untuk dibaca, keterbatasan waktu, dana, dan tenaga.
Namun demikian, dari 2 peti naskah yang berhasil digarap dapat diungkapkan berbagai aspek yang terkandung di dalam naskah ini. Yaitu. Bahasa Bali Kuno, system penanggalan, pola penulisan catatan peristiwa hukum, sejarah sosial-politik di Bali pada abad ke--19, dan fungsi naskah bagi masyarakat. Naskah Surat-surat Tanah ini ditulis di lontar, berbahasa dan beraksara Bali. Tidak diketahui siapa penyalinnya. Hampir pada setiap naskah terdapat catatan penanggalan. Nampaknya, catatan penanggalan ini bukan penanggalan yang berkaitan dengan penyalinan atau penulisan naskah, tetapi penanggalan dari berlangsungnya peristiwa hukum tersebut.
Bahasa Bali yang digunakan termasuk bahasa Bali Kuno. Berdasarkan klasifikasi bahasa Bali, maka bahasa yang digunakan dalam teks naskah Surat-surat tanah ini adalah Basa Alus Hider.
Naskah Surat-surat Tanah tidak lagi disimpan oleh masyarakat Bali, karena bukan termasuk naskah yang berisi teks-teks ajaran moral. Naskah Surat Tanah dimusnahkan dengan cara dibakar atas perintah pemerintah Jepang."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1994
LP 1994 13
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Aris Munandar
"Upaya pengembangan daerah pinggiran kota Jakarta dalam bentuk dekonsentrasi planologis, merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk dengan segala aktivitasnya yang menandai perkembangan kota Jakarta. Proses ini ternyata menyebabkan terjadinya perubahan sosial-ekonomi yang sangat mendasar di daerah pinggiran kota.
Upaya pengembangan tersebut, di satu sisi memang telah mampu mengalihkan konsentrasi penduduk khususnya arus migrasi, dan pusat kota ke pinggiran kota (Bogor, Tangerang, dan Bekasi). Namun di sisi lain, perubahan arah kecenderungan pertumbuhan penduduk tersebut merubah lingkungan pinggiran kota sebagai suatu sistem komunitas yang terdiri dari lingkungan alam (natural environment), lingkungan ekonomi (economic environment) dan lingkungan kultural (cultural environment).
Perubahan pola pemilikan dan tata guna lahan tidak dapat dielakkan mengikuti proses perkembangan kota di Desa Bojonggede. Pola pemilikan lahan yang turun temurun dari generasi ke generasi di kalangan penduduk asli (warisan), tidak dapat dipertahankan lagi harus berpindah tangan (dijual) kepada para pendatang yang semakin memadati daerah ini. Perubahan pola pemilikan tersebut juga diikuti oleh perubahan tata guna lahan dari pertanian kepada non pertanian terutama untuk perumahan.
Perubahan pola pemilikan dan tata guna lahan tersebut, pada akhirnya juga diikuti oleh perubahan dalam struktur okupasi dan nilai sosial budaya di kalangan penduduk asli. Sektor pertanian sebagai basis ekonomi penduduk asli semakin tersisih dan digantikan oleh sektor ekonomi non-pertanian terutama perdagangan dan jasa. Perubahan struktur okupasi ini juga disertai dengan perubahan status penduduk dalam mata pencaharian, karena penguasaan atas tanah pertanian yang merupakan simbol status, tidak lagi dimiliki oleh mereka. Berkembangnya pola hidup konsumtif dan berubahnya orientasi penduduk dalam hubungan sosial, dan pola gemeinschaft kepada pola gesellschaft menandai proses perubahan sosial di Desa Bojonggede yang tengah mengalami perubahan status dari pedesaan menjadi perkotaan.
Penelitian ini membuktikan bahwa proses pengkotaan suatu wilayah, tidak hanya merubah wilayah tersebut secara fisik, tetapi juga berpengaruh terhadap perkembangan atau perubahan sosial-ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Atau dengan kata lain, dekonsentrasi planologis tidak hanya merubah lingkungan fisik daerah pinggiran kota, melainkan implikasi dan mata rantai selanjutnya adalah munculnya perubahan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang bersangkutan."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaherunaja
"Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan termasuk di dalamnya pulau-pulau kecil merupakan alternatif yang tepat bagi pembangunan nasional selanjutnya, dan dapat menjadi salah satu tumpuan harapan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dimasa mendatang. Agar tidak mengulangi berbagai kekeliruan/kesalahan yang telah/pernah terjadi dalam pemanfaatan ruang di pulau-pulau besar yang kurang mengindahkan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, maka dalam pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara terpadu dan bijaksana.
Pulau-pulau kecil yang secara fisik memiliki sumberdaya alam daratan (terestrial) sangat terbatas, tetapi sebaliknya memiliki sumberdaya kelautan yang melimpah, merupakan aset yang strategis untuk dikembangkan dengan basis kegiatan ekonomi pada pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan (environmental services) kelautan. Dalam perkembangan selanjutnya akibat dari pertambahan jumlah penduduk, perluasan permukiman dan kegiatan industri, pariwisata dan transportasi laut, maka pulau-pulau kecil merupakan potensi yang perlu dikembangkan secara hati-hati. Pendekatan secara terpadu antara potensi darat, pantai dan laut serta aktivitas yang sesuai mutlak diperlukan untuk menghindarkan kerusakan lingkungan akibat mendapat tekanan berat karena eksploitasi sumberdaya alam yang tidak memperhatikan aspek pelestarian lingkungan. Atas dasar itu, maka pendekatan secara ekonami-ekologi dalam pembangunan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan mutlak diperlukan.
Oleh karena itu, sangat penting kiranya adanya suatu perencanaan ruang wilayah pesisir dan pulau kecil yang baik dan benar, yaitu suatu perencanaan ruang yang program-programnya dapat diimplementasikan, dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masalah pokok dalam perencanaan tata ruang terletak pada metode penyusunan rencana tata ruang yang kemudian dapat berlanjut pada pemanfaatan dan pengendalian tata ruang itu sendiri.
Penyimpangan pemanfaatan ruang dari rencana tata ruang disebabkan oleh ketidaksesuaian dengan harapan pengguna lahan (stakeholders). Pemanfaatan ruang oleh berbagai pengguna lahan (stakeholders) yang berbeda kepentingan, dapat menyebabkan terjadinya konflik pemanfaatan ruang.
Salah satu pulau kecil yang mempunyai potensi kelautan yang cukup besar adalah Pulau Legundi yang terletak di Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Secara geografis pulau tersebut terletak di Teluk Lampung yang mempunyai potensi perikanan dan pertanian yang cukup besar. Oleh karena itu pada akhir tahun 2001, Direktorat Tata Ruang Laut Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Direktorat Jenderal Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan telah melakukan studi tentang Pengelolaan Kawasan Lingkungan Pesisir untuk Pelestarian Lingkungan Gugus Pulau Legundi. Sebagai kelanjutan dari studi tersebut dan agar dalam pengembangan Pulau Legundi yang berkelanjutan pada masa yang akan datang dapat tercapai, untuk itu perlu suatu analisis kebijakan yang dapat memberikan masukan (input) sebagai dasar/bahan pertimbangan bagi para pengambil keputusan dalam pemanfaatan ruang dan penetapan kawasan yang optimal dan proposional bagi berbagai pengguna lahan (stakeholders) yang berkepentingan dengan tidak mengesampingkan pentingnya pelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup.
Penelitian ini bertujuan untuk : a. Mengetahui persepsi para pelaku kepentingan berkaitan dengan penentuan prioritas penggunaan ruang/kegiatan; b. Mengevaluasi kesesuaian lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah Pulau Legundi dan kemungkinan dampaknya terhadap lingkungan hidup; c. Menentukan prioritas penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang wilayah Pulau Legundi; dan d. Memberikan rekomendasi sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan dalam penentuan kebijakan.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif berupa studi kebijakan dengan pendekatan studi kasus dengan menggunakan pendekatan metode kuantitatif dan metode kualitatif. Untuk mengetahui persepsi/tingkat kepentingan dari para pelaku kepentingan (stakeholders) dalam penentuan prioritas kegiatan didekati dengan metode Proses Analisis Hirarkhi (PHA). Analisis spasial untuk mengevaluasi kesesuaian lahan didekati dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan aplikasi Arc-info dan Arc-View. Sedangkan untuk mengidentifikasi dampak lingkungan hidup yang telah dan akan terjadi didekati dengan melakukan kajian lingkungan. Selanjutnya dengan memanfaatkan hasil ketiga analisis tersebut dilakukan analisis kebijakan untuk menetapkan rekomendasi zonasi pemanfaatan ruang Pulau Legundi.
Pelaku yang mempunyai peranan penting dalam penentuan prioritas kegiatan yang akan dikembangkan di Pulau Legundi secara hirakhi adalah Pemerintah Daerah, masyarakat, Swasta dan LSM. Prioritas kegiatan yang dipilih para pelaku dalam Pengembangan Pulau Legundi secara hirarkhi perkebunan, perikanan, konservasi, permukiman, industri dan wisata.
Hasil analisis spasial menunjukkan bahwa kesesuaian lahan bagi penggunaan/pemanfaatan ruang yang memenuhi kriteria sangat sesuai hanya untuk kegiatan konservasi dan perkebunan. Ruang yang sangat sesuai untuk konservasi seluas 492,599 Ha, dan sangat sesuai untuk lahan perkebunan seluas 846,756 Ha. Sedangkan kesesuaian lahan untuk kegiatan lainnya yaitu permukiman, industri dan tambak hanya sampai kriteria sesuai.
Hasil overlay antara peta kesesuaian lahan kriteria sangat sesuai dengan peta kesesuaian lahan kriteria sesuai menunjukkan bahwa hanya kegiatan perkebunan dan konservasi saja yang sangat sesuai dalam memanfaatkan ruang Pulau Legundi. Pemanfaatan ruang Pulau Legundi untuk kegiatan pertanian/perkebunan, perikanan, permukiman dan industri diperkirakan telah dan akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan berupa pencemaran air laut, gangguan terhadap biota perairan, pengaruh terhadap kegiatan perikanan, kerusakan fisik habitat meliputi kerusakan ekosistem mangrove dan kerusakan ekosistem terumbu karang, konflik sosial serta gangguan terhadap kesehatan masyarakat.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa zonasi pemanfaatan ruang Pulau Legundi yang optimal mengalokasikan ruang daratan untuk kawasan konservasi seluas 761,207 Ha (42,32 %) dan kawasan budidaya seluas 1037,693 Ha yang terdiri dari zona perkebunan/pertanian seluas 968,704 Ha (53,85 %) serta zona permukiman dan Industri seluas 68,916 Ha (3,83 %). Sedangkan pemanfaatan ruang perairan Pulau Legundi dialokasikan untuk zona budidaya mutiara seluas 207 Ha yang terletak di Selat Siuncal, zona konservasi laut pada ekosistem terumbu karang di perairan sebelah utara seluas 1.616 Ha, zona perikanan tangkap di sekitar ekosistem terumbu karang, zona perikanan budidaya di sekitar pantai utara Pulau Legundi maksimal sejauh 100 m dari garis pantai.

Policy Analysis of Small Island Space Utilization (Case Study in Legundi Island Region, South Lampung Regency, Lampung Province)The utilization of coastal area and ocean resources including Small Island is the right alternative for the following national development and it can be one of the centers of hopes to fulfill the society necessity in the future. In order not to repeat some mistakes ever occurred in space utilization of large islands by less paying attention to the conservation function and balance of living environment, utilization of natural resources in the coastal area and small islands should be done wisely and integrated.
The small islands, which physically have very restricted natural land resources (terrestrial), but on the other hand very abundant marine resources are strategic assets to be developed with basic economic activity on the utilization of natural resources and the marine environmental services. Due to increasing number of population, extension of settlement and industrial activities, tourism and sea transportation, small islands need to be developed carefully. An integrated approach of land, ocean and beach potential as well as appropriate activities are absolutely needed to avoid environmental damage caused by heavy pressure due to natural resources exploitation which do not pay attention to the environmental conservation aspects. Based on these, the economic - ecological approach in sustainable development of small islands is absolutely needed.
Therefore, it is very important to have a good spatial planning of coastal area and small islands that is a space planning with programs that can be implemented and accepted by stakeholders and able to improve the society's welfare. The main problem in space planning is the utilization and the restraint of the space itself. The divergence of the land use from space planning is caused by unsuitability with the stakeholders hopes. The spatial utilization by some stakeholders which have different interests can cause land use conflict.
One of the small islands that have a quite large ocean potential is Legundi Island located in South Lampung Regency, Lampung Province. The island is geographically located in Lampung Bay which has a vast fisheries and farming potential. Therefore, at the end of 2001 the Directorate of Coastal Spatial Planning, and Small Islands of the Directorate General of Coastal Areas and Small Islands of The Department of Marine Affairs and Fisheries have conducted a study on the management of the coastal areas for the environmental conservation of Legundi Islands group. As a follow-up study and in order to develop Legundi Island sustainable in the future, it therefore needs a policy analysis to provide input for the decision makers to determine space for optimal and proportional area for some stakeholders with taking into account the importance of the conservation and balance functions of living environment.
These research objectives are the following:
1. To know the perception of the stakeholders subjects of interest (government, entrepreneur, society and non government organization) related to the determining priorities of exploitation the area/activities.
2. To evaluate the suitability of the area in Legundi island land use and the possibility of the impacts on living environment.
3. To determine the priority of the spatial arrangement in Legundi island space utilization.
4. To provide recommendation to the government for a consideration in taking decision of the policy formulation.
The research uses a descriptive study in the form of policy analysis with an approach of using quantitative and qualitative method. These methods of analysis comprises the following steps (1) To know the perception or level of the importance from stakeholders in determining the priority activities approached by hierarchy analysis procces method is applied; (2) To know land suitability by using software of geographical information system (GIS) with Arc-info and Arc-view is applied; (3) To assess the impact on living environment is approached by environmental analysis. Next, by using the above mentioned three analysis results, policy analysis is conducted to determine the zoning recommendation of Legundi island space utilization.
The agents who have important role in determining priority activities to be developed in Legundi Island are hierarchically the local government, society, interpreneur and the non government organization. The priority activities selected by the agents in developing Legundi Island hierarchically are plantation, fisheries, conservation, settlement, industrial and tourism.
The result of spatial analysis shows that the suitability of land in land use which fulfill the criteria of "very suitable? is only for conservation and plantation activities. The most suitable space for conservation is 492.599 Ha, for plantation 846.756 Ha. While the suitable space for other activities are settlement, industry and fishpond.
The overlay result between ?very suitable and suitable" map category shows that only plantation and conservation are very suitable to be exploited at the Legundi Island.
The Legundi Island land use for farming/plantation, fisheries, settlement and industry is estimated to have an important impact to the environment, such as, sea water pollution, disturbance of the aquatic animal, the influence to the fisheries activities, the physical damage of habitat covering mangrove ecosystem, coral reef damage, social conflict and the disturbance of the society's health.
This research concludes that the space utilization Zone of Legundi Island optimally allocates 761.207 Ha (42.32%) for land space conservation, and 1.037.693 Ha for cultivation area. For cultivation area are designated 968.704 Ha (53.85%) for plantation /farming zone and 68.916 Ha (3.83%) for settlement and industrial zone. While the aquatic space utilization of Legundi island the amount of 207 Ha is allocated for pearl cultivation which is located in Siuncal Strait, 1.616 Ha for the marine conservation zone on the coral reef ecosystem in the northern waters. The fisheries catch zone in coral reef ecosystem, cultivated fisheries zone is in northern beach of Legundi island is designated 100 m maximum from the shoreline.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11040
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Sigit Yudantoro
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2004
T39628
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Kristina Yeimo
"ABSTRAK
Sungai-sungai di Papua pada umumnya dipengaruhi oleh kondisi
fisik,sehingga sering terlihat keruh secara alami, karena tersuspensi oleh lumpur
tanah dan material lainnya, sehingga kualitas air secara fisik dari warna dan
tingkat kekeruhannya dapat dikatakan berkualitas buruk. Hal ini diperparah lagi
dengan adanya aktivitas manusia yang mengubah penutup tanah di daerah aliran
sungai (DAS). Penelitian ini dilakukan di DAS Sentani Papua, yang fokus
penelitiannya di Sub DAS Jembatan II, Flafouw dan Belo. Tujuan penelitian
untuk mengetahui pengaruh perubahan penggunaan tanah terhadap kualitas air
pada tahun 2005-2013 serta megetahui prakiraan kualitas air pada priode waktu
2025. Metode yang digunakan adalah analisis spasial dan temporal berbasis
sistem informasi geografi (SIG) dengan dasar citra Landsat 7 ETM sebagai basis
perolehan data sekunder tentang penggunaan tanah. Survey untuk mengambil
sampel air pada muara setiap Sub DAS yang dikaji, kemudian sampel air
dianalisis dilaboratorium guna memperoleh informasi tentang kualitas air, yang
baku mutunya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001,
selanjutnya dilakukan penentuan status mutu air dengan metode STORET sesuai
dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial deskriptif
kuantitatif dan analisis sistem dinamik. Hasil penelitian menunjukan parameter
kualitas air yang melewati baku mutu di ketiga Sub DAS adalah Total Suspended
Soild (TSS) dan Posfat (PO₄), sedangkan Nitrat (NO₃) tidak melewati baku mutu
yang ditetapkan berdasarkan kelas I. Status mutu air menunjukan Sub DAS
Jembatan II, Flafouw, dan Belo telah tercemar dengan kondisi cemar rigan.
Penggunaan tanah yang menyumbang beban pencemaran Total Suspended Soild
(TSS) dan Posfat (PO₄) paling besar adalah permukiman, kebun/ perkebunan,
tanah terbuka, dan semak belukar. Berdasarkan hasil simulasi model kualitas air
menunjukan adanya kecenderugan parameter Total Suspended Soild (TSS), Posfat
(PO₄) di ketiga Sub DAS akan terus meningkat mulai dari awal simulasi sampai
akhir simulasi (2005-2025) yang nilainya melewati baku mutu. Sedangkan Nitrat
(NO₃) akan terus meningkat tetapi tidakmelewati baku mutu.

ABSTRACT
The rivers in Papua in general is influenced by the physical condition, so
often seen naturally turbid because of suspended mud soil and other materials, so
that the physical water quality of the color and turbidity levels can be said to be of
poor quality. This is reinforced by the presence of human activity that alters land
cover in the watershed (DAS). This research was conducted in the watershed
Sentani Papua, the focus of his research in Sub-watershed JembatanII, Flafouw
and Belo. The purpose of the study to determine the effect of land use change on
water quality in the years 2005-2013 and forecasts know water quality in the
period of time in 2025. Methods used are based on the analysis of spatial and
temporal geographic information systems (GIS) on the basis of Landsat 7 ETM
imagery as a base acquisition secondary data on land use. Survey to take water
samples at the mouth of each sub-watershed were assessed, then the water
samples were analyzed at the lab in order to obtain information about water
quality, the quality standard based on Government Regulation No. 82 of 2001,
then performed the determination of water quality status with STORET method in
accordance with the Decree of the Minister state of the Environment No. 115 of
2003. analysis used in this research is descriptive quantitative analysis of spatial
and dynamical systems analysis. The results showed the water quality parameters
that pass the quality standard in three sub-watersheds are TSS and PO ₄, whereas
NO ₃ does not pass quality standards established by class I. Status of water quality
showed sub watershed Bridge II, Flafouw, and Belo have been contaminated with
the condition blackened Rigan . Land use accounts for TSS pollution load and PO
₄ most of it is residential, farm / plantation, open land, and shrubs. Based on the
simulation results showed the presence of the water quality model parameters
kecenderugan TSS, PO ₄ in the third sub-watershed will continue to increase from
the beginning of the simulation until the end of the simulation (2005-2025) whose
value is passed quality standards. While NO ₃ will continue to increase but did not
pass pass qualitystandards."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
T42056
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>