Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184004 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sahala, Sumijati
"Hukum adat yang beraneka ragam banyaknya masih berlaku pada suku bangsa di Indonesia, dan masing-masing mengacu pada sistem kekerabatan yang dianut. Sistem kekerabatan patrilineal seperti pada suku Batak dan Bali, tidak memasukkan anak perempuan sebagai ahli waris dan tidak termasuk penerus keturunan. Pelaksanaan hukum waris yang termasuk bidang hukum keluarga menurut hukum adat Batak khususnya Batak Toba di Jakarta, masih menggunakan hukum adat Batak. Sejak tahun 1961. MA mengeluarkan putusan yaitu Yurisprudensi No.179/K/ST/1961 tentang warisan adat di tanah Batak Karo yang memperhitungkan anak perempuan sebagai ahli waris dan mendapatkan bagian yang sama dengan anak laki-laki terhadap harta kekayaan bapaknya (orang tuanya). Dari Yurisprudensi tersebut terlihat bahwa secara yuridis anak perempuan adalah ahli waris, hak waris anak laki-laki dan anak perempuan tidak dibedakan, namun kenyataannya dalam masyarakat Batak Toba anak perempuan bukan ahli waris apalagi mempunyai hak untuk mendapatkan harta warisan bapaknya (orang tuanya).
Permasalahan utama yang dihadapi adalah apakah warga masyarakat adat Batak masih berpegang pada hak waris dalam hukum adat Batak sehingga menjadi kendala bagi penerapan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Dalam mengamati kehidupan warga masyarakat Batak Toba di Jakarta, digunakan teori jender, antropologi hukum dikaitkan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Jender manurut Saparinah Sadli merupakan sejumlah karakteristik psikologis ditentukan secara sosial dengan adanya seks lain, dasar hubungan jender itulah diasumsikan dengan adanya perbedaan analisis. Dalam menganalisis peran laki-laki. dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari dalam kenyataannya bekerja, yang rumusan hukum tidak hanya hukum yang tertulis saja tetapi juga aturan yang tidak tertulis, Menurut rumusan von Benda Beckmann hukum merupakan konsepsi kognitif dan normatif termasuk didalamnya prinsip, adat dan norma-norms lainnya.
Bekerjanya hukum dalam kehidupan warga masyarakat Batak juga. dapat dilihat apakah hukum adat itu masih hidup dan diterapkan. Moore dalam penelitiannya terhadap orang Chagga di Tanzania, Afrika. rnengemukakan bahwa betapa pentingnya hukum untuk mengadakan perubahan sosial (Sally Folk Moore ; 1993: 1-18). Hukum yang dimaksud adalah hukum tanah yang merupakan undang-undang dan dapat diterapkan untuk menggantikan pedoman-pedoman yang berlaku tentang kepemilikan tanah, menjadi diawasi melalui sistem kepemilikan yang diambil alih seluruhnya oleh negara. Penelitian Moore ini mirip dengan penelitian tentang hukum waris pada suku bangsa Batak. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif dan bersifat kualitatif Kami menggabungkan beberapa teknik penelitian, yaitu dalam mengumpulkan informasi diterapkan metode telaah kepustakaan dan beberapa dokumen yang berbentuk keputusan dan tulisan. Untuk melengkapi data tersebut kami juga mengikuti kegiatan adat dalam kehidupan sehari-hari antara warga masyarakat Batak di Jakarta dengan pengamatan terlibat (participation-observation), disamping data yang didapat dari lima orang ketua adat sebagai informan. Data juga didapat dari kuesioner yang disebarkan kepada 40 orang wanita dari marga Simandjuntak dan Pasaribu dan untuk lebih memahami serta menghayati pengalaman wanita dalam masalah warisan, diadakan wawancara secara mendalam (depth-interview) terhadap sepuluh orang ibu yang diambil secara snow-ball.
Hasil penelitian dapat disimpulkan sbb ; walaupun secara normatif anak perempuan tidak termasuk dalam kelompok ahli waris, namun dalam perkembangannya, keluarga yang berasal dari warga masyarakat Batak Toba yang bertempat tinggal di Jakarta sudah memasukkan anak perempuan mereka sebagai ahli waris, sedangkan bagian yang diterima anak perempuan sangat bervariasi, yaitu bagian anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan, bagian anak perempuan tergantung dari saudara laki-lakinya atau bagian anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Hal yang utama dapat dilihat pada bidang pendidikan, dimana anak laki-laki dan perempuan mendapat prioritas utama dengan tidak ada perbedaan. Satu hal yang ditemui dalam penelitian ini adalah bahwa pengertian perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan pada warga masyarakat Batak Toba di Jakarta tidak pada hal yang negatif saja, lebih jauh perbedaan peran tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan dan keamanan (emotional security) bagi anak perempuan mereka, baik yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Grace Berliana
"Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa saat pintu terbuka bagi perempuan untuk memasuki semua sektor publik, saat itu pula perempuan merasakan ketidakadilan jender dalam sistem dan struktur organisasi serta lingkungan kerja sektor publik terutama sektor publik yang maskulin. Demikian pula pada penelitian yang menganalisis perempuan yang bekerja di bidang konstruksi. Penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan mengalami hambatan-hambatan yang mempengaruhi mereka dalam memilih bidang ilmu serta bekerja di bidang konstruksi.
Memiliki bidang keahlian tertentu terutama untuk menunjang kerja dan karir dapat dimulai saat seseorang memasuki bidang ilmu yang akan ditekuni di Perguruan Tinggi. Ketertarikan terhadap konstruksi bangunan dan profesi konstruksi yang dinamis mendasari keinginan sebagian perempuan dalam penelitian ini untuk memilih Fakultas Teknik jurusan Sipil sebagai kelanjutan dari pendidikan mereka. Namun, pada dasamya perempuan sulit untuk menentukan sendiri masa depannya. Dalam menentukan pilihannya suka atau tidak suka, perempuan selalu dipengaruhi lingkungannya. Lebih tidak menyenangkan, bila budaya yang bias jender mempengaruhi lingkungan tempat perempuan tinggal. Perempuan yang pilihannya tidak disenangi lingkungannya lebih merasakan hambatan-hambatan budaya tersebut dibandingkan dengan perempuan yang pilihannya didukung lingkungannya.
Dalam dunia kerja konstruksi, perempuan mengalami ketidakadilan jender yang menghambat kerja mereka. Dalam sistem kerja, dan struktur organisasi bidang konstruksi yang dipengaruhi budaya rekayasa memberi dampak pada ketidakadilan jender melalui kebijakan-kebijakan perusahaan. Pertama, ketidakadilan dalam penempatan kerja; ke-dua ketidakadilan dalam peningkatan karir; ke-tiga ketidakadilan dalam kesempatan memimpin proyek. Tentu saja ketidakadilan jender tersebut sangat terkait satu sama lain."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T917
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saeful Bahri
"Penelitian ini berbentuk studi fenomenologis yang bersifat kualitatif dengan tipe penelitian deskriptif-analitik terhadap peran Fatayat Nahdatul Ulama dalam membangun kesadaran perempuan atas budaya yang mengungkung mereka.
Al-Qur'an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung misi pokok Al-Qur?an, yaitu terciptanya hubungan yang harmonis yang didasari oleh rasa kasih sayang (mawadah wa rahmah) di lingkungan keluarga, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri. Ini semua bisa terwujud manakala ada pola keseimbangan dan keserasian antara keduanya.
Kualitas individu laki-laki dan perempuan di mata Tuhan tidak ada perbedaan. Aural dan prestasi keduanya sama-sama diakui Tuhan, keduanya sama-sama berpotensi untuk memperoleh kehidupan duniawi yang layak, dan keduanya mempunyai potensi untuk mendapat kebahagiaan ukhrawi.
Bagi Fatayat NU kesetaraan gender harus dipahami sebagai upaya untuk menghormati dan menghargai perempuan sebagai manusia yang mempunyai hak dan kebebasan. Fatayat juga tidak menginginkan perempuan menjadi "makhluk super" yang bias melakukan aktifitas domestik dan publik dalam waktu yang bersamaan. Sebaliknya laki-laki pun seperti itu. Yang mereka inginkan antara laki-laki dan perempuan saling memahami posisi masing-masing, perempuan harus memiliki daya tawar (bargaining power.)
Telah lama disadari bahwa salah satu faktor yang membentuk dan menghambat kesetaraan gender adalah pemahaman agama. Oleh karena itu salah satu proyek penting dari gerakan penyadaran ini adalah penilaian dan penafsiran kembali, bahkan pada tingkat tertentu melakukan dekontruksi, terhadap tafsir-tafsir yang selama ini mempunyai tendensi tidak adil terhadap perempuan
Salah satu yang sulit adalah ketika ide dan gagasan-gagasan itu terbentur pada budaya patriarkis yang telah mengakar kuat. Jika patriarkis telah berwujud budaya, maka nilai-nilai yang dibawanya pun telah merasuk ke berbagai sendi dan struktur kehidupan dan dimensi agama menjadi bagian tidak terpisahkan. Maka pertarungan wacana dan.nilai-nilai beradu dalam dua wilayah yakni kebudayaan dan agama.

This study learn about fenomenologic of qualitative through the analysis-descriptive experiment type, which explain about role of Fatayat NU in built women awareness into hegemonic culture.
Al-Qur'an admit there was distinction between man and women, but the distinction not means discrimination which can more beneficial to the other. Reverse, the distinction intend to carry of Al-Qur'an fundamental mission, that is tangible restore harmonious relations based on love and affection (mawaddah wa rahmalr) in the circle of the family, as source real ideal .community in a country. However, this situation could be happen which is invent equilibrium and compatible relationship both of them.
In the God sight, quality of individual man and woman indifferent. Charity and achievement both them equally admitted to the God. They also potentially to have a proper worldly life, happiness for according to Fatayat NU, equal of gender should be minded as serious efforts to show mutual respect and appreciate woman as human which have the right and freedom. Moreover, Fatayat want unexpected woman to become "superior creatures" who can do domestic and public activity in the same time. In spite of man. Fatayat want that man and woman understanding respective their position. And of course, woman should have bargaining power.
In fact, for a long time consciused that one of the factor that can form even blocked gender equally is comprehension of religion. Consequently, an important project of action of awareness is reevaluation and reinterpretation instead on certain level to make decontruction concerning to the exegesis all this time have unfair tendension toward woman.
A complicated situation come while ideal and so many cencept collide with partriarch culture structure which became deeply rooted in society. When the partriarch has been formed, it'll takes appraisal then possessed to many structure and principal life and the dimension of religion unseparated. Simply, struggle of discourse and appraise fight in emancipation spot. There are happen in two area such as culture and religion.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T13225
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Busman D.S.
"BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Manusia merasa puas ketika memperoleh pembenaran atas peminggiran jenis kelamin tertentu. Namun, pada saat yang hampir bersamaan muncul kecemasan dan kekecewaan dalam hidup. Manusia belajar bahwa begitu banyak perbuatan jahat yang ada di dunia, tidak ada gunanya menambah daftar kejahatan yang mereka lakukan sendiri atas dasar dengki dari prasangka terhadap satu sama lainnya. Karena itu buatlah hidup bernilai untuk setiap individu. "... makes life valuable to the individual human being." Kurang lebih demikian ungkapan John Stuart Mill (1988, h. 108-109) yang sarat muatan filosofis tentang pandangannya mengenai keberadaan manusia jika dikaitkan dengan manusia lain. Pandangannya ini menyiratkan suatu kegalauan bahwa tidak semestinya terjadi diskriminasi antara satu jenis kelamin dengan jenis kelamin tertentu.
Argumen supremasi atas perempuan boleh dikata berlaku di berbagai belahan dunia ini, yaitu keyakinan bahwa kaum laki-laki lebih superior dari kaum perempuan. Kondisi itu lambat laun menjadi alasan klasik atas penindasan hak-hak perempuan. Berbagai upaya ditempuh untuk keluar dari masalah itu, baik oleh kalangan feminis maupun pemerhati masalah-masalah perempuan lainnya. Upaya yang dilakukan bukanlah untuk menyamai laki-laki dalam anti biologis, psikologis, dan sosiologis, melainkan untuk memungkinkan perempuan bertindak atas pilihan bebas dan sadar sebagaimana dimiliki kaum laki-laki. Bahwa perempuan tersebut kemudian memilih peran tradisionalnya atau malah peran baru bukanlah menjadi persoalan. Yang penting ialah bahwa perempuan mempunyai kekerasan untuk menentukan pilihan dan putusannya sendiri.
Pengalaman saat melahirkan, memberikan kehidupan bagi makhluk-makhluk kecil yang amat mereka sayangi, dan ketakutan akan kekerasan menurut Arivia (1996, h. 3) barangkali merupakan pengalaman yang betul-betul dirasakan perempuan secara universal. Pengalaman ini berlangsung dalam sejarah perkembangan budaya dan pemikiran manusia. Diskriminasi dalam bentuk kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan bukanlah hal yang baru. Berabad-abad lamanya perempuan telah terbiasa diperlakukan kasar, tidak berguna, dan inferior oleh keluarganya, masyarakat, sekelilingnya, kekasih maupun suaminya.
Celakanya, para ilmuwan atau filsuf sekalipun banyak berteori membenarkan alasan mereka mengapa perempuan harus ditindas. Aristoteles misalnya yang mengatakan bahwa perempuan itu setengah manusia, dikategorikan sebagai anak-anak, belum dewasa sehingga tidak mungkin menjadi pemimpin. Demikian halnya Sigmund Freud yang mengatakan bahwa perempuan secara psikologis tidak matang, karena mempunyai kecemburuan terhadap penis (penis envy), dan masih banyak lagi ilmuwan yang berusaha lewat teori-teori baru sebisa mereka menyepelekan perempuan. Jadi secara historis memang perempuan telah diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua.
Gagasan John Stuart Mill (selanjutnya disingkat Mill) sebagai filsuf sekaligus feminis laki-laki tentang keberadaan perempuan khususnya mengenai persamaan hak bagi perempuan dan laki-laki merupakan sesuatu yang menarik untuk diteliti. Pada gagasan tersebut kita akan melihat bahwa dasar pemikiran feminisme liberal yang dianut Mill adalah semua manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi sehingga mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya.
Penulisan tentang filsuf terkenal seperti John Stuart Mill sebagai laki-laki pertama yang menuangkan karya besarnya tentang teori-teori feminis yang secara umum diperhitungkan sebagai teori besar dalam tradisi politik Barat terasa masih kurang. Umumnya hanya melihat dari aspek kepentingan sosial dan politik bagi kaum laki-laki, padahal Mill dan karyanya memainkan peran penting dalam memajukan persamaan hak perempuan di Inggris pada abad ke-19. The Subjection of Women, sebagai bentuk penuangan gagasan Mill dianggap sebagai salah satu karya terbesarnya. Dalam karyanya ini terwakili argumen-argumen Mill yang ada pada karya sebelumya seperti On Liberty, Utilitarianism, Considerations on Representative Government, dan teori-teori sosial-politik lainnya.
Menuliskan gagasan tentang persamaan hak bagi perempuan dan laki-laki tergolong berat, karena tidak semudah menuangkan gagasan tentang politik. Mill mengungkapkan bahwa bagaimana perempuan direndahkan dan didiskriminasikan telah lama mengganggu pikirannya tetapi baru sekarang ia mempunyai perasaan kuat?."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T14592
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasnini Hasra
"Karya sastra feminis selalu mengangkat permasalahan kaum wanita dalam konteks budaya patriarki. Pada umumnya digambarkan hubungan antara kaum wanita dan laki-laki dalam masyarakat sangat tidak setara, karena posisi kaum wanita lebih termarjinalkan. Ketimpangan jender ini serinimenimbulkan konflik yang tidak bisa tidak harus disikapi dengan memandang posisi kedua belah pihak.
Permasalahan itu pula yang diangkat dalam kedua novel Tony Morrison berjudul Sala dan Tar Baby, yang memfokuskan pada masalah ketimpangan jender di kalangan masyarakat kulit hitam. Pengarang menggambarkan bahwa posisi laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat kulit hitam yang patriarki memiliki hubungan yang tidak setara, dan salah satu penyebabnya adalah konstruksi sosial masyarakat yang turut meligitimasi nilai-nilai dan budaya patriarki tersebut.
Penulis juga menggambarkan bagaimana tokoh wanita menyikapi ketimpangan tersebut melalui dua aspek yang berbeda, yakni penerimaan dan penolakan. Pada akhirnya terlihat bahwa kedua sikap tersebut menimbulkan implikasi yang juga berbeda terhadap para tokoh wanita di kedua novel, sehingga posisi yang termarjinalkan dan permasalahan akibat ketimpangan jender tersebut bisa diperbaiki.
Secara keseluruhan, penulis menyiratkan beberapa aspek yang harus dilakukan kaum wanita agar bisa mengatasi permasalahan tersebut dan tidak terlalu terinternaiisasi oleh konsep-konsep patriarki, diantaranya melalui faktor pendidikan, dan upaya peningkatan kemampuan dan wawasan."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T10860
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arsy Salsabila
"Penelitian ini membahas terjadinya diskriminasi terhadap perempuan yang terdapat dalam sebuah film Arab Saudi, berjudul ‘Al Murasyahah al Mitsaliyah’ yang rilis pada tahun 2019. Film yang disutradarai oleh Haifaa Al-Mansour dibintangi oleh Mila Alzahrani sebagai tokoh utama. Film ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam karena menggambarkan keadaan diskriminasi terhadap perempuan yang mana terjadinya pembatasan kebebasan berekspresi bagi perempuan di Arab Saudi, dengan membawa pesan yang mengkritik. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain deskriptif. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan pesan dibalik terjadinya diskriminasi terhadap perempuan yang dianggap kontroversial yang diperoleh di dalam adegan-adegan film tersebut. Untuk menjelaskan makna dan pesan yang disampaikan, film Al Murasyahah al Mitsaliyah ini menggunakan analisis teori semiotika Roland Barthes dan teori kebebasan bereskpresi di ruang sosial milik Bonaventure Rutinwa. Hasil dari penelitian ini adalah terdapatnya diskriminasi terhadap perempuan dalam kebebasan berekspresi di ruang publik, seperti adanya stereotip merendahkan terhadap perempuan di ruang sosial dan serta terdapatnya pembatasan ruang gerak bagi kaum perempuan.

This research discusses the occurrence of discrimination against women contained in a Saudi Arabian film, entitled ‘Al Murasyahah Al Mitsaliyah’ which was released in 2019. The film, directed by Haifaa al-Mansour starring Mila Alzahrani as the main character of the film, is very interesting to study further. in because it describes the situation of discrimination against women in which there are restrictions on freedom of expression for women in Saudi Arabia, by carrying messages that criticize. This research is a qualitative research with a descriptive design. The purpose of this study is to explain the message behind the occurrence of discrimination against women which is considered controversial which is obtained in film scenes. To explain the meaning and message conveyed, Al Murasyahah al Mitsaliyah uses an analysis of Roland Barthes' semiotic theory and Bonaventure Rutinwa's theory of freedom of expression in social space. The results of this study are that there is discrimination against women in the freedom of expression in the public space, such as stereotypes that demean women in the social space and restrictions on women's movement."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Kholifah
"Faktanya, kebutuhan pasar pasti meningkat dari tahun ke tahun, begitu pula dengan peluang dan risiko yang menyertainya. Seperti perusahaan yang melakukan ekspansi global dan menjadi perusahaan multinasional untuk memperluas pasarnya untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin, mereka akan dihadapkan pada kompleksitas manajemen yang mungkin berbeda secara signifikan antara negara asal mereka dan negara tujuan akibat perbedaan budaya dan sistem regulasi. Salah satu kompleksitas manajemen dalam menangani sumber daya manusia secara global adalah mengenai kompensasi. India yang menyandang predikat sebagai negara dengan populasi ekspatriat terbesar di dunia juga menduduki peringkat keenam dengan populasi ekspatriat perempuan di antara beberapa negara Asia. Terkenal dengan biaya tenaga kerja yang rendah bagi penduduk lokalnya, sayangnya India juga terkenal dengan disparitas kesenjangan upah gender yang sangat besar yang terjadi karena budaya patriarkinya. Diperkirakan 67 persen perempuan lokal di India ditemukan mendapat upah lebih rendah dari pria dikarenakan adanya diskriminasi gender. Lingkungan kerja yang tidak nyaman tidak dapat disangkal akan terjadi antara perempuan ekspatriat dan perempuan lokal karena upah ekspatriat yang mungkin lebih tinggi daripada penduduk lokal sehingga menyebabkan kepuasan kerja yang rendah, kinerja yang buruk, dan berakhir dengan tingginya turnover rate. Dengan biaya tenaga kerja yang rendah di India dan seksisme di tempat kerja yang memperburuk disparitas upah antara perempuan ekspatriat dan penduduk lokal, lingkungan kerja yang beragam dan inklusif serta pencarian pendekatan kompensasi yang sesuai diperlukan bagi perusahaan multinasional di India dan begitu pula dukungan dari keterlibatan pemerintah India dalam mengatasi diskriminasi gender di tempat kerja.

In a point of fact, market needs inevitably increase throughout the years and so do the opportunities and the risks that follow. In the same way as companies going global and becoming a multinational enterprise to enhance their market size for they gain as much profit as possible, they are posed to the management complexities that might differ significantly between their home country and the host countries due to the difference of culture and system regulations. One of the management complexities in dealing with human resources globally is regarding compensation. India and its title as the world’s largest expatriate population also ranked in the sixth place with its female expatriate population among several Asian countries. Famous for its low labour costs for its locals, unfortunately, India is also famous for its huge disparity of the gender pay gap that occurs due to its well-known patriarchal culture. An estimation of 67 percent of local females in India found to get a lower wage compared to male due to gender discrimination. An uncomfortable work environment will undeniably occur between the female expatriates and locals as the expats wages might be higher than the locals for it leads to a low job satisfaction, poor performance, and subsequently results in high turnover rate. With India’s low labour cost and sexism in the workplace worsening the wage disparity between female expatriates and locals, a diverse and inclusive work environment along with seeking for an appropriate compensation approach are needed for MNEs in India and so do the support from India's government involvement in addressing gender discrimination in the workplace."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Madina Rizqia
"Ketimpangan antar jenis kelamin di pasar tenaga kerja Indonesia masih terjadi. Hal ini memicu pekerja perempuan untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi agar dapat bersaing dengan pekerja laki laki, sehingga pekerja perempuan mengalami job-education mismatch karena memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari yang dibutuhkan oleh pekerjaannya. Baik studi mengenai job-education mismatch maupun studi mengenai selisih antara upah pekerja laki-laki dan pekerja perempuan sudah banyak berkembang, namun belum banyak studi yang melihat hubungan antara keduanya.
Penelitian ini diharapkan mampu menemukan bagaimana job-education mismatch mempengaruhi selisih upah antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan di Indonesia. Data yang digunakan adalah data SAKERNAS Agustus 2016. Status mismatch ditentukan dengan job-evaluation method menggunakan standar ISCO 2008 dan ISCED 1997.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan, pekerja yang mengalami overqualified menerima wage penalty, pekerja yang mengalami underqualified menerima wage premium, dan mismatch pada pekerja perempuan memperburuk wage gap antara pekerja laki-laki dan perempuan.

Gender disparity still exists in Indonesias labor market. Discrimination between female and male workers then triggers female workers to achieve a higher education to be able to compete with male workers. That leads female workers to have a mismatch between their job and education, because they are overqualified for their jobs. Even though both studies about job education mismatch and females wage gap are already done by so many researchers, but less discuss about the relationship between them.
This research aims to find out how job education mismatch affects gender wage gap in Indonesia. This research used SAKERNAS August 2016 data. The mismatch status is obtained with job evaluation method using ISCO 2008 and ISCED 1997 standards.
The result of the research shows that overall, overqualified workers receive wage penalty, underqualified workers receive wage premium, and mismatch worsens the wage gap between male and female workers.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adelisa Putri Agustina
"Diskriminasi gender yang dialami oleh tokoh perempuan muncul akibat perbedaan bidang sosial ekonomi. Perbedaan status sosial di antara masyarakat yang tergolong kelas atas serta kelas bawah inilah menjadi penyebab utama terjadinya ketidakadilan pada perempuan. Hal tersebut terlihat pada tulisan dalam novel berjudul Jerum karya Oka Rusmini. Kajian  ini ditujukan untuk menjelaskan berbagai bentuk dari diskriminasi pada tokoh perempuan serta berbagai bentuk perlawanan tokoh perempuan dalam novel Jerum karya Oka Rusmini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan sosiologi sastra karena mengangkat permasalahan kondisi sosial masyarakat. Hasil penelitian memperlihatkan tiga bentuk diskriminasi gender, yaitu subordinasi, stereotip, dan kekerasan. Selain itu, ada juga berbagai perlawanan yang ditunjukkan oleh tokoh-tokoh perempuan akibat budaya patriarki. Bentuk-bentuk perlawanan itu terdiri atas menjadi perempuan mandiri, menjadi perempuan kuat, menjadi perempuan pintar, serta melalui tindakan seksual perempuan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan, budaya patriarki secara tidak langsung merugikan pihak perempuan. Atas dasar itulah mereka melakukan perlawanan.

Gender discrimination experienced by female characters arises due to differences in the socio-economic field. The difference in social status between people who belong to the upper class and the lower class is the main cause of injustice to women. This can be seen in the writing in the novel Jerum by Oka Rusmini. This study aims to explain the various forms of discrimination against female characters and the various forms of resistance of female characters in Oka Rusmini's Jerum novel. This study uses a qualitative method with a literary sociology approach because it raises the issue of the social conditions of society. The results of the study show three forms of gender discrimination, namely subordination, stereotypes, and violence. In addition, there are also various resistances shown by female figures due to patriarchal culture. These forms of resistance consist of being an independent woman, being a strong woman, being a smart woman, and through women's sexual acts. Based on the results of this study, it can be concluded that patriarchal culture indirectly harms women. It was on this basis that they fought back."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sulistyowati Irianto
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008
364.15 SUL r
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>