Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128343 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budiman Wahidy
"ABSTRAK
Sistem Pengembangan Karier Hakim Peradilan Umum, dimulai semenjak dari pengadaan, meliputi penyusunan formasi, pengumuman, penerimaan lamaran dan seleksi calon, sampai ke pengembangan karier, meliputi pendidikan dan pelatihan, kesejahteraan, dan penilaian pekerjaan.
Permasalahan yang dihadapi dalam Sistem Pengembangan Karier Hakim Peradilan Umum antara lain belum ada koordinasi yang efektif antara Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi, administrasi dan keuangan dengan Mahkamah Agung sebagai pembina yudisial Hakim Peradilan Umum, belum adanya persamaan persepsi mengenai konsep jaminan kebebasan Hakim. Mahkamah Agung sebagai pembina karier Hakim Peradilan Umum, kurang berperan dalam pengusulan pengangkatan serta pemberhentian Hakim Agung, Hakim Tinggi, dan Hakim Negeri. Sistem penggajian Hakim diatur pola Peraturan Gaji Pegawal Negeri Sipil, padahal tugas, fungsi dan tanggungjawab Hakim sangat berbeda dengan Pegawai Negeri biasa. Begitupula promosi dan mutasi Hakim Peradilan Umum disamakan dengan Pegawai Negeri lainnya, yang terpusat di Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung, belum didelegasikan ke Kantor Wilayah Departemen Kehakiman dan Pengadilan Tinggi.
Untuk menganalisis masalah ini digunakan konsep dari Eric Myjer (1992) tentang pengembangan karier khusus Hakim, meliputi seleksi, pendidikan persiapan, pengangkatan, jaminan hukum untuk kebebasan Hakim, dan sistem penggajian, yang dikomparasikan dengan konsep-konsep James L. Gibson (1922), dan Edwin B.F1ippo (12982) serta konsep-konsep dari penulis lain mengenai karier, baik secara umum maupun khusus Hakim.
Dalam penelitian eksploratif ini, analisis berdasarkan teori dilengkapi dengan masukan dari informan hingga di peroleh temuan-temuan penelitian, seperti adanya ketergantungan Mahkamah Agung dan organisasi Peradilan Umum lain kepada Pemerintah, menyebabkan peranan Pemerintah lebih besar dari pada Mahkamah Agung. Wewenang promosi dan mutasi Hakim Negeri dapat didelegasikan ke Kantor Wilayah serta Pengadilan Tinggi, untuk mempercepat pengembangan karier.
Tujuan akhir Sistem Pengembangan Karier Hakim adalah terwujudnya kebebasan Hakim, adanya jaminan karier dan kesejahteraan Hakim Peradilan Umum, demi makin kokoh mandirinya Mahkamah Agung sebagai Lembaga Peradilan Tertinggi Negara di Indonesia, sebagaimana diamanatkan UUD 1945.
"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reny R. Masu
"Sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub-sub sistem kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan merupakan satu jaringan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Jaringan ini terdiri atas unsur-unsur yang memiliki interaksi, interkoneksi dan interdependensi. Namun, setiap subsistem hanya dapat berfroses jika digerakkan oleh komponen-komponen dalam subsistem tersebut. Salah satu komponen subsistem yang memiliki kedudukan sentral adalah pengadilan yang bert.ugas mengadakan pemeriksaan perkara pidana dan juga mengadakan pengawasan dan pengamatan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan. Peran dan tanggung jawab sebagai hakim wasmat merupakan kelanjutan dari putusan yang telah dijatuhkannya dalam persidangan. Dalam hal ini, hakim wasmat mengikuti putusannya sampai mengetahui bahwa pidana yang telah dikenakan kepada napi dapat bermanfaat dan apakah pelaksanaan pembinaan terhadap napi didasarkan kepada hak-hak asasi napi, yang ditujukan demi tercapainya tujuan sistem peradilan pidana umumnya dan khususnya agar napi tidak melakukan kejahatan lagi. Hal lain yang tampak dalam pengaturan mengenai hakim wasmat adalah bahwa hakim wasmat merupakan penghubung antara subsistem pengadilan dan subsistem pemasyarakatan. Jika tidak ada hakim wasmat, LP tidak termasuk atau terlepas dari proses peradilan pidana berdasarkan hukum acara pidana di Indonesia. Dikatakan demikian karena satusatunya bab yang mengatur keberadaan LP di dalam proses peradilan pidana di Indonesia adalah Bab XX Pasal 277-283 KUHAP di bawah titel pengawasan dan pengamatan terhadap putusan pengadilan. Selain pengawasan kepada petugas LP, juga pengawasan ditujukan kepada jaksa sebagai eksekutor untuk mengetahui apakah jaksa telah melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana mestinya. Dengan memperhatikan peran dan tanggung jawab serta tujuan yang ingin dicapai melalui hakim wasmat seperti di atas, maka tampak bahwa keberadaan hakim wasmat sangatlah penting dan mulia sehingga tidak dapat dikesampangkan begitu saja. Tujuan tersebut dapat dicapai jika hakim pengawas dan pengamat dapat berperan secara efektif. Berdasarkan metode wawancara dan observasi penulis memperoleh data bahwa pada kenyataannya, hakim wasmat belum melaksanakan perannya secara efektif dalam hal ini ia terbentur dengan pemahaman bahwa kehadirannya mengintervensi LP dan kenyataan bahwa LP secara langsung maupun melalui UU No. 12 tahun 1995, tidak menghendaki campur tangan hakim wasmat dalam masalah-masalah teknis pelaksanaan pembinaan napi termasuk dalam hal ini mengadakan kontrol maupun koreksi terhadap lembaga pemasyarakatan. Adapun masalah lain yang dihadapi oleh hakim wasmat adalah belum adanya peraturan pelaksanaan dalam melaksanakan peranannya, kurangnya fasilitas dan terbatasnya tenaga hakim wasmat serta tidak adanya dana operasional dalam melaksanakan tugasnya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rakha Naufal Saputra
"Hakim merupakan profesi yang berperan penting dalam proses peradilan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam Pasal 1 angka 8 menerangkan bahwa “Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili”. Tugas hakim adalah melaksanakan kekuasaan kehakiman yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan suatu perkara. Dalam membuat putusan, hakim dapat mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan hukuman. Permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana hakim menilai unsur kesopanan sebagai alasan peringan dalam memutus perkara pidana dan apakah alasan tersebut masih relevan dipertahankan. Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti meneliti dengan menggunakan metode yuridis empiris, dimana penelitian yuridis empiris merupakan penelitian hukum mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum normatif secara in action pada setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat. Pada penelitian ini melakukan survey dengan membagikan kuesioner melalui google form yang disebarluaskan kepada para hakim. Peneliti akan meneliti mengenai pertimbangan hakim dalam menentukan kesopanan pada terdakwa dan hal apa yang dijadikan dasar oleh hakim bahwa terdakwa berperilaku sopan dalam persidangan.

Judges are professions that play an important role in the judicial process. Law Number 8 of 1981 concerning Criminal Procedure or the Criminal Procedure Code (KUHAP) in Article 1 point 8 explains that "Judges are state judicial officials authorized by law to adjudicate". The judge's duty is to exercise judicial power, namely examining, deciding and resolving a case. In making a decision, the judge can consider matters that aggravate and mitigate the sentence. The problem to be discussed is how judges assess the element of modesty as a reason for mitigation in deciding criminal cases and whether this reason is still relevant to be maintained. To answer these problems, the researcher uses an empirical juridical method, where empirical juridical research is legal research on the enactment or implementation of normative legal provisions in action on certain legal events that occur in society. In this study, a survey was conducted by distributing questionnaires through a google form distributed to judges. The researcher will examine the judge's consideration in determining the politeness of the defendant and what is used as a basis by the judge that the defendant behaves politely in court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadillah Sabri
"Dalam proses peradilan pidana ada satu lembaga Hakim Was-mat yang aktif sesudah putusan dijatuhkan, untuk mengendalikan pelaksanaan putusan Pengadilan yang dieksekusi Jaksa dan pelaksanaannya dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena dalam pelaksanaan putusan itu dapat terjadi tertindasnya hak-hak terpidana atau narapidana, yaitu karena tindakan petugas dan yang timbul dalam Lembaga Pemasyarakatan yang bersifat menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Hakim Wasmat (diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1970, Bab XX Pasal 277 s/d 283 KUHAP mengenai Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan, dan Surat Edaran Mahkamah Agung R.I. No. 7 Tahun 1985 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tugas Hakim Pengawas dan Pengamat), tugasnya adalah mengontrol pelaksanaan putusan Pengadilan (pidana penjara dan kurungan) semenjak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap sampai selesai pelaksanaannya, dengan wewenangnya mengoreksi secara langsung aparat yang melalaikan atau menyimpang dari putusan yang telah dijatuhkan. Tujuan pengawasan dan pengamatan adalah untuk melindungi hak-hak terpidana atau narapidana. Penelitian yang dilakukan dengan metode wawancara dan observasi memperlihatkan bahwa Hakim Wasmat masih terbatas dalam melaksanakan kontrol, disebabkan terbatasnya hak-hak narapidana yang menjadi obyek kontrolnya, dalam pelaksanaannya tidak mau menyinggung aparat yang mengeksekusi dan petugas pemasyarakatan, dan adanya hambatan yang ditemuinya dalam praktek yaitu dari faktor hukum, petugas, fasilitas, dan aparat pelaksana putusan Pengadilan. Kontrol yang dilaksanakan tidak dibarengi dengan koreksi atau teguran secara langsung, tetapi hanya memberikan saran yang dimasukkan dalam Kartu Data Perilaku Narapidana dan laporannya kepada Ketua Pengadilan Negeri. Hakim Wasmat ini, dapat dikatakan tidak efektif dalam memberikan perlindungan atas hak-hak terpidana atau narapidana."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Al Amin Syayidin Ali Mustopa
"Sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi di Indonesia berdasarkan UUD 1945 dan UU No. 24 Tahun 2003 secara implisit melibatkan dua bentuk pengawasan, yaitu pengawasan internal oleh Majelis Kehormatan dan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Sistem pengawasan tersebut akhirnya berubah setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006. Pasca putusan a quo, sistem pengawasan hakim konstitusi di Indonesia mengalami perubahan substansial terkait bentuk pengawasannya yang meniadakan pengawasan eksternal. Sistem pengawasan internal yang ada pun sering mengalami perubahan sesuai dengan rezim undang-undang dan peraturan pelaksana yang berlaku. Perubahan terkait sistem pengawasan internal yang ada merupakan reaksi guna mengoptimalkan penegakan sistem pengawasan terkait dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim konstitusi. Dengan demikian, mekanisme penegakan atas pelanggaran etik hakim konstitusi juga memiliki peran yang tidak kalah penting dalam sistem pengawasan hakim konstitusi yang ada saat ini. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan sistem pengawasan hakim konstitusi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan memberikan analisis dari pelaksanaan sistem pengawasan yang diterapkan terhadap hakim konstitusi di Indonesia selama berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan metode kualitatif melalui studi perundang-undangan, studi kasus, dan studi perbandingan. Berdasarkan analisis yang dilakukan maka diperoleh kesimpulan bahwa sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi yang diterapkan di Indonesia adalah sistem pengawasan internal yang ditegakkan oleh Dewan Etik dan Majelis Kehormatan sebagaimana diatur dalam undang-undang dan peraturan mahkamah konstitusi. Kemudian, terkait pelaksanaan dari sistem pengawasan internal tersebut maka penegakan atas pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim konstitusi dapat dibagi menjadi tiga periode dengan lembaga pengawas dan mekanisme penegakan sesuai peraturan mahkamah konstitusi yang berlaku. Meskipun demikian, terkait dengan sistem pengawasan hakim konstitusi dan penegakannya masih dapat dioptimalkan mengingat kurang efektif dan tidak kuatnya lembaga pengawas dari sisi kelembagaan maupun kewenangan.

The supervision system for constitutional judges in Indonesia is based on the 1945 Constitution and Law No. 24/2003 implicitly involves two forms of supervision, namely internal supervision by the Honorary Council and external supervision by the Judicial Commission. The monitoring system finally changed after the Constitutional Court Decision Number 005/PUU-IV/2006. After the decision ruling, the supervision system for constitutional judges in Indonesia underwent a substantial change in the form of supervision that eliminated external supervision. The existing internal control system often changes in accordance with the current statutory regime and implementing regulations. Changes related to the existing internal supervision system are a reaction in order to optimize the enforcement of the supervisory system related to suspected ethical violations committed by constitutional judges. Thus, the enforcement mechanism for ethical violations of constitutional judges also has an equally important role in the current constitutional justice supervision system. Therefore, this study aims to explain the supervision system of constitutional judges in accordance with the prevailing laws and regulations in Indonesia and provide an analysis of the implementation of the supervision system applied to constitutional judges in Indonesia during the establishment of the Constitutional Court. This research is a normative juridical research using qualitative methods through statutory studies, case studies, and comparative studies. Based on the analysis conducted, it is concluded that the supervisory system for constitutional judges applied in Indonesia is an internal control system enforced by the Ethics Council and the Honorary Council as regulated in the laws and regulations of the constitutional court. Then, regarding the implementation of the internal control system, the enforcement of ethical violations committed by constitutional judges can be divided into three periods with the supervisory agency and the enforcement mechanism in accordance with the applicable constitutional court regulations. However, in relation to the supervision system for constitutional judges and its enforcement, it can still be optimized considering the ineffective and insufficient strength of the supervisory agency from the institutional and authority sides."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Deni Firman Nur Hakim
"Studi sosiologis terhadap fenomena penegakan hukum meniscayakan penelaahannya pada faktor perilaku manusia, hal yang membedakannya dengan studi-studi yuridis-normatif. Pilihan inilah yang berupaya dikembangkan dalam mengkaji topik penegakan hukum di lembaga peradilan ini, khususnya dalam perkara korupsi. Berdasarkan studi yang dilakukan, tingginya persentasi putusan hakim yang menguntungkan terdakwa kasus korupsi bila diverifikasikan pada asal-usul sosial, pendidikan profesional, dan pergaulannya, ditemukan potensi sikap hakim yang mendukungnya untuk lebih empatik terhadap kelompok orang terpandang. Selain itu, hakim juga memiliki kecenderungan bersikap legalistis dalam menilai suatu perkara. Ketika situasi kepribadian ini dihadapkan dengan perkara korupsi yang mendudukkan orang-orang dari lapisan terpandang secara sosial-ekonomi bahkan politik sebagai terdakwa, menghasilkan suatu corak putusan yang cenderung menguntungkan posisi terdakwa tadi, yakni pembebasan dan pemidanaan tanpa perintah penahanan. Pembebasan mencerminkan sikap legalistis hakim dalam menilai suatu perkara. Salah satu alasan yang sering diungkapkan dalam konteks ini adalah fakta-fakta di persidangan belum cukup membuktikan terdakwa bersalah. Dengan demikian, terdakwa pun dibebaskan demi hukum. Sedangkan pemidanaan tanpa perintah penahanan mencerminkan sikap empatik hakim yang dikokohkan dengan sikap legalistiknya. Empatik, karena hakim dinilai cenderung tidak melihat dimensi lain si terpidana yang secara sosiologis adalah orang yang kuat, baik secara sosial, ekonomi, bahkan politik. Dari sisi ini, terpidana berpotensi besar untuk melepaskan diri dari jerat hukum dengan memanfatkan kekuatan-kekuatan yang ada pada dirinya tersebut. Dalam beberapa kasus korupsi yang ditangani pengadilan terdapat terpidana yang melarikan diri ke luar negeri meski sudah dilakukan pencekalan terhadapnya. Legalistik, karena pemidanaan dengan perintah penahanan memang tidak ada aturan yang secara imperatif mengharuskan pencantumannya dalam diktum putusan. Dengan pola putusan hakim yang cenderung menguntungkan posisi terdakwa korupsi tersebut ditambah lagi dengan kesan sebaliknya bila suatu kasus melibatkan terdakwa yang berasal dari "wong cilik", bisa berdampak pada kelamnya citra penegakan hukum di pengadilan di mata masyarakat luas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T12078
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ko, Siok Hie
Surabaya: Universitas Airlangga, 1961
342.05 KOS t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Martiman Prodjohamidjojo
Jakarta: Samplex, 1984
347.01 MAR k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1990
S21678
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>