Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 82568 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dwi Sumarmi Pramudjo
"Latar Belakang Penelitian
Glomerulonefritis akut telah dikenal sejak laporan Bright pada tahun 1827, namun gambaran klinis penyakit ini secara lengkap baru diketahui pada dua puluh tahun terakhir. Dilatasi jantung pada GNA dilaporkan oleh Goodhart pada tahun 1879, sejak itu timbul perhatian terhadap manifestasi kardiovaskular pada GNA (Ash dkk., 1944).
Komplikasi kardiovaskular sering ditemukan secara klinis pada pasien GNA pada anak (Rudolph, 1978). Keadaan ini kadang-kadang merupakan manifestasi yang paling mencolok dan merupakan penyebab kematian (Gore dan Saphir, 1948; Rudolph, 1978).
Rudolph (1978) mengemukakan patofisiologi penyakit ginjal yang mempengaruhi sistem kardiovaskular yaitu retensi air dan natrium, hipertensi arterisistemik, anemia, gangguan ekskresi elektrolit, dan uremia. Pada seorang pasien sering ditemukan lebih dari satu gangguan ini.
Gagal jantung kongestif dapat terjadi pada GNA, namun pada umumnya bukan disebabkan oleh kegagalan miokard, melainkan oleh beban hemodinamik yang berlebihan (De Fasio dkk., 1959; Fleisher dkk., 1966; Rudolph, 1978; Oesman, 1986). Kegagalan miokard dapat terjadi sekunder akibat hipertensi dan gangguan elektrolit yang berat yang mungkin juga diperberat oleh anemia. Pada sebagian besar pasien GNA, apa yang disebut gagal jantung merupakan akibat bendungan vena yang terjadi lebih banyak disebabkan oleh retensi air dan garam daripada oleh tidak adekuatnya penampilan miokard (Rudolph, 1978).
Beberapa penulis telah melakukan penelitian tentang manifestasi kardiovaskular pada GNA, tetapi hanya menyoroti salah satu aspek saja, misalnya Eisenberg (1955) meneliti volume darah pada GNA, Holzel dan Fawcitt (1960) serta Kirkpatrick dan Fleisher (1964) menulis tentang gambaran foto toraks pasien GNA, Ash dkk. (1944) dan Basir Palu dkk. (1986) meneliti tentang perubahan elektrokardiografi, sedangkan Vardi dkk. (1979) dan Tan (1981) melakukan penelitian ekokardiografi pada pasien GNA.
Permasalahan
Komplikasi kardiovaskular pada GNA disebabkan oleh kelainan hemodinamik. Sampai seberapa jauh keterlibatan miokard pada GNA, dan apakah pemberian obat inotropik positif masih diperlukan pada pengobatan gagal jantung kongestif pada GNA ?
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T58513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gan Wee Leng
"Managing primary or even secondary glomerulonephritis remains a challenge to many nephrologists. In primary focal segmental glomerulosclerosis (FSGS) with heavy proteinuria, renin aldosterone system blockade and high dose of oral prednisolone is the mainstay of treatment. Other immunosuppressive medications like Cyclophosphamide, Cyclosporine A and Mycophenolate Mofetil (MMF) are warranted if a complete remission is not achieved. We illustrate a case of 21 year old gentleman with primary FSGS that was difficult to achieve remission despite on high dose steroid and oral Cyclophosphamide. He was also not responsive to a combination of MMF and Cyclosporine A (CSA) and even throughout the therapy he developed significant steroid and CSA toxicity. He presented to our center with severe nephrotic syndrome and acute kidney injury requiring acute haemodialysis. Despite re-challenged him again on high dose prednisolone, total of 2.4g of intravenous Cyclophosphamide, and MMF, he failed to achieve remission. He was subsequently given intravenous Rituximab 500mg/weekly for 4 doses and able to attained remission for 1 year. He relapsed again and a second course of Rituximab 500mg/weekly for 6 doses were given to attain remission. This case demonstrates the difficulty in managing refractory steroid dependent FSGS and we found that Rituximab is proven beneficial in this case to induce remission.

Mengelola glomerulonefritis primer atau bahkan sekunder tetap menjadi tantangan bagi banyak nefrologis. Pada glomerulosklerosis fokal segmental primer (FSGS) dengan proteinuria berat, blokade sistem renin aldosterone dan prednisolon oral dosis tinggi merupakan andalan pengobatan. Obat imunosupresif lainnya seperti Cyclophosphamide, Cyclosporine A dan Mycophenolate Mofetil (MMF) dibenarkan jika remisi lengkap tidak tercapai. Penulis mengilustrasikan kasus pria berusia 21 tahun dengan FSGS primer yang sulit mencapai remisi meskipun menggunakan steroid dosis tinggi dan Cyclophosphamide oral. Pasien juga tidak responsif terhadap kombinasi MMF dan Cyclosporine A (CSA) dan bahkan selama terapi ia mengembangkan steroid dan toksisitas CSA yang signifikan. Pasien dirujuk dengan sindrom nefrotik berat dan cedera ginjal akut yang membutuhkan hemodialisis akut. Meskipun diberikan kembali prednisolon dosis tinggi, total 2,4g Cyclophosphamide intravena, dan MMF, namun gagal mencapai remisi. Kemudian diberikan Rituximab intravena 500mg/minggu untuk 4 dosis dan mampu mencapai remisi selama 1 tahun. Pasien mengalami kekambuhan dan pemberian kedua Rituximab 500mg/mingguan 6 dosis untuk mencapai remisi. Kasus ini menunjukkan kesulitan dalam mengelola FSGS steroid refrakter dan kami menemukan bahwa Rituximab terbukti bermanfaat dalam hal ini untuk menginduksi remisi"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:3 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Alfa Agustina
"Hematuria merupakan kondisi yang paling sering dijumpai pada kelainan ginjal atau saluran kemih. Hematuria didefinisikan sebagai adanya > 2 eritrosit/LPB atau > 12/?l pada pemeriksaan sedimen urin. Bagi klinisi, sangat penting mengetahui asal perdarahan tersebut karena berhubungan dengan prognosis dan tatalaksana pasien. Membran filtrasi glomerular bersifat selektif. Albumin merupakan komponen protein terbanyak di plasma, bermuatan negatif, tidak dapat melewati membran filtrasi glomerular karena adanya muatan negatif pada endotel glomerular. Pada kerusakan glomerular dapat terjadi gangguan muatan listrik endotel dan kerusakan struktur membran filtrasi sehingga menyebabkan proteinuria dan hematuria. Eritrosit juga berbentuk iregular akibat kerusakan dinding yang dikenal sebagai eritrosit dismorfik. Penelitian ini ingin melihat sensitifitas dan spesifisitas pemeriksaan urinalisis otomatis Sysmex UN-3000 dengan metode flow cytometry yang dapat menentukan morfologi eritrosit urin serta titik potong rasio albumin protein yang dapat membedakan asal hematuria. Desain penelitian ini adalah potong lintang dengan 44 subjek hematuria glomerular dan 43 subjek dengan hematuria non glomerular. Dengan menggunakan mesin Sysmex UN-3000 didapatkan sensitivitas 93,2 , spesifisitas 90,6 , nilai duga positif sebesar 91,1 , dan nilai duga negatif sebesar 92,87 untuk membedakan asal hematuria. Titik potong untuk rasio albumin kreatinin untuk membedakan asal hematuria adalah 310,39 mg/ gram kreatinin dengan sensitivitas 84,1 dan spesifisitas 83,7 . Titik potong untuk rasio protein kreatinin untuk membedakan asal hematuria adalah 723 mg/ gram kreatinin dengan sensitivitas 77,3 dan spesifisitas 76,7 . Titik potong rasio albumin protein untuk membedakan asal hematuria adalah 0,525 dengan sensitifitas 93,2 dan spesifisitas 74,4 . Pemeriksaan morfologi urin urin dengan metode flow cytometry dan pemeriksaan kadar rasio albumin protein urin mendapatkan hasil yang baik dan dapat membantu klinisi untuk membedakan sumber hematuria tersebut.

Haematuria is the most common condition in renal or urinary tract disorders. Haematuria is defined as 2 erythrocytes LPB or 12 l on urine sediment examination. For the clinician, it is important to know the origin of the bleeding because is related to the prognosis and management of the patient. The glomerular filtration membrane is selective. Albumin is the most abudant protein component in the plasma, negatively charged, unable to pass through the glomerular filtration membrane due to a negative charge on glomerular endothelium. In case of glomerular damage, disruption of endothelial electrical charges occurs and causing damage structure membrane of the glomerular filtration causing proteinuria and hematuria. Erythrocyte morphology also becomes irregular and known as dysmorphic erythrocytes. This study want to find the sensitivity and specificity of automatic urinalysis examination Sysmex UN 3000 with flow cytometry method that can determine the morphology of erythrocytes and the cut off point of albumin protein ratio which can differentiate the source of hematuria. The design of this study was cross sectional with 43 subjects of non glomerular hematuria and 44 subjects with glomerular hematuria. The sensitivity of erythrocyte morphology was 93,2 , specificity 90,6 , positive predictive value 91,1 , and negative predictive value 92,87 . The cut off point for albumin creatinine ratio was 334,4 mg g creatinine with 84,1 sensitivity and 83,7 specificity. The cutoff point for the protein creatinine ratio was 723 mg g of creatinine with 77,3 sensitivity and 76,7 specificity. The cut off point of the albumin protein ratio was 0,525 with 93,2 sensitivity and 74,4 specificity. Examination of erythrocyte morphology in urine with Flow Cytometry method and examination of albumin protein ratio have good results and can help clinicians to distinguish the source of hematuria.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
M. Badar
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 1984
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rozanah
"ABSTRAK
Infeksi saluran nafas akut (ISNA), baik yang disebabkan oleh virus maupun bakteri seperti 'common cold', faringitis trakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia dan bronkopneumonia masih merupakan masalah yang penting di berbagai negara oleh karena prevalensinya yang masih sangat tinggi.
'Committee on Child Health Services' di London tahun 1978 melaporkan bahwa 50% penyakit anak balita ialah infeksi saluran nafas dengan kematian sebanyak 2000/tahun dan 21.1% di antaranya perawatan di rumah sakit dengan kematian sekitar 34.7%. (Martin dkk.,1978).
Dalam beberapa tahun belakangan ini perhatian terhadap ISNA semakin meningkat setelah penyakit diare akut berhasil dikontrol. Walaupun sebagian besar infeksi adalah infeksi saluran nafas bagian atas (ISNA-A), namun infeksi saluran nafas bagian bawah (ISNA-B) cukup memberi masalah bagi seorang dokter (Denny dan Clyde,1988).
Di negara sedang berkembang, 20-25% kematian anak balita disebabkan oleh ISNA. Jenis ISNA yang merupakan penyebab kematian terbesar adalah pneumonia (WHO,1981) ; dan pneumonia merupakan salah satu komplikasi dari bronkitis.
Bronkitis sebenarnya telah dikenal sejak tahun 1808, pertama kali dikemukakan oleh Badham (dikutip oleh Holland, 1982) . Walaupun pengetahuan mengenai paru-paru dan penyakit saluran nafas makin meningkat, namun sampai sekarang istilah bronkitis masih sering dipergunakan terhadap semua penyakit dengan gejala batuk (Turner,1983).
Dahulu bronchitis kurang mendapat perhatian, terbukti hanya
ditemukan 3 artikel mengenai bronkitis antara tahun 1935 - 1959. Setelah diadakan simposium mengenai bronkitis oleh para ahli di
Britania Raya dan Irlandia pada tahun 1951, minat para ahli terhadap bronkitis semakin meningkat (Fletcher,1959). Bronkitis akut jarang dibicarakan secara khusus ; para ahli umumnya membicarakannya sebagai salah satu sindrom klinis ISNA bawah yang terdiri dari `croup', trakeobronkitis, bronkiolitis dan pneumonia (Landau,1979 ; Denny dan Clyde,1986).
Bronkitis akut sebenarnya adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai saluran nafas besar termasuk bronkus besar dan bronkus sedang dan biasanya disertai trakeitis (Edwards,1966 ; Williams dan Phelan,1975). Penyakit ini dapat timbul karena infeksi menurun dari saluran nafas atas atau infeksi primer pada percabangan trakeobronkial. Infeksi dapat disebabkan oleh virus maupun bakteri. Di negara maju hampir 90% infeksi saluran nafas atas maupun bawah disebabkan olaeh infeksi virus sedangkan di negara berkembang infeksi bakteri memegang peranan yang lebih besar (Williams dan Phelan, 1975 ; Denny dan Clyde, 1985). Di Indonesia saat ini belum pernah ada laporan mengenai faktor etiologi pada bronkitis akut ini.
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinambela, Fransisca Nelly
"Glomeruloefritis akut post streptokokal (GNAPS) merupakan bentuk penyakit ginjal pasca infeksi yang cukup sering terjadi pada masa kanak-kanak. Di negara berkembang, seperti Indonesia, insiden GNAPS masih banyak ditemui, terutama pada masyarakat dengan sosio ekonomi rendah. Anak yang menderita GNAPS pada umumnya akan mengalami berbagai gejala yang menyebabkan anak menjalani hospitalisasi. Hospitalisasi dapat memberikan dampak negatif pada anak, yakni munculnya kecemasan. Karya ilmiah ini bertujuan untuk memberi gambaran asuhan keperawatan yang telah diberikan pada anak dengan GNAPS di RSUP Fatmawati dan mengidentifikasi pengaruh tindakan keperawatan aktivitas terapi seni untuk mengatasi kecemasan anak yang mengalami hospitalisasi. Hasil yang diperoleh setelah pemberian aktivitas menggambar dan mewarnai sebagai terapi seni pada anak yaitu terdapat penurunan frekuensi denyut jantung yang menunjukkan penurunan kecemasan anak secara fisiologis.

Acute Glomerulonephritis Post Streptococcus is a kind of renal disease post infection which is often happened in children. In developed country, like Indonesia, incident of AGNPS mostly seen in citizen with low economic. Usually, children with AGNPS will show some symptomps that will make them ... hospitalization. Hospitalization can produce negative effects in children, such as anxiety. This scientific paper is aimed to give description about nursing care for children with AGNPS in RSUP Fatmawati and identify the effect of art therapy to minimize anxiety during hospitalization. The result shows that art therapy with drawing and colouring activity can reduce arterial pulse, one of anxieties physiological responses."
Depok: Fakultas Ilmu KeperawatanUniversitas ndonesia, 2014
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Fajri Gustya
"Pendahuluan: Gastroenteritis atau diare merupakan penyebab utama mortalitas anak di bawah usia 5 tahun dengan mortalitas lebih tinggi pada gizi buruk. Namun, protokol WHO sebagai pedoman tata laksana justru menunjukkan dampak yang buruk pada pasien anak gizi buruk. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara status gizi dengan profil hemodinamik setelah terapi cairan pada gastroenteritis akut.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan data sekunder dari RSCM dan RS Pasar Rebo sejak Februari hingga Oktober 2020 meliputi pasien anak di bawah 5 tahun gastroenteritis akut dengan terapi cairan intravena. Pengukuran profil hemodinamik menggunakan USCOM pada sebelum dan sesudah terapi. Analisis data melalui SPSS versi 20 dengan uji t berpasangan dan uji t independen.
Hasil: Nilai DO2 sebelum (318 ± 122,860 vs 169,4 ± 57,315 mL/min, p=0,021) dan sesudah (287 ± 66,338 vs 180,9 ± 30,284 mL/min, p=0,005) terapi cairan intravena pada pasien dengan status gizi buruk lebih rendah. Nilai CO juga berbeda secara bermakna sebelum terapi cairan (2,2 ± 0,63770 vs 1,4 ± 0,45222 L/min, p=0,041). Namun, tidak terdapat perbedaan bermakna pada perubahan profil hemodinamik kedua kelompok status gizi.
Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna pada profil hemodinamik antara status gizi baik/kurang dengan gizi buruk. Protokol terapi cairan WHO tidak berdampak buruk pada gizi buruk. Namun, penelitian ini memiliki jumlah sampel yang sedikit.

Background: Acute gastroenteritis or diarrhea is one of the main causes of death in children under 5 years, with higher mortality in children with severe malnutrition. However, WHO protocol of intravenous therapy had been associated with worse outcome in severe malnutrition. This study aims to explain the association between nutritional status and hemodynamic profile after intravenous fluid therapy in acute gastroenteritis.
Methods: This study is a cross-sectional study from secondary data in RSCM and RS Pasar Rebo from February to October 2020 and included children under 5 years suffered from acute gastroenteritis with intravenous fluid therapy. Hemodynamic profile is measured using USCOM before and after intravenous fluid therapy. Data were analyzed using SPSS ver 20 with paired t-test and independent t-test.
Results: Patients with severe malnutrition has lower DO2 before (318 ± 122,860 vs 169,4 ± 57,315 mL/min, p=0,021) and after (287 ± 66,338 vs 180,9 ± 30,284 mL/min, p=0,005) intravenous fluid therapy. The value of CO is also lower in severe malnutrition before intravenous fluid therapy (2,2 ± 0,63770 vs 1,4 ± 0,45222 L/min, p=0,041). However, our study did not find significant change in hemodynamic profile in both groups.
Conclusion: There is no association between nutritional status and hemodynamic profile after rehydration therapy in pediatric gastroenteritis. WHO protocol of intravenous fluid therapy did not harm pediatric patients with severe malnutrition. However, our study included very small number of patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Al Munar Munir
"ABSTRAK
Angka kejadian anemia defisiensi besi yang tinggi di Indonesia.
Soetejo dan Samsudin (1976) yang melakukan penelitian terhadap
penderita yang berobat jalan di Poliklinik Anak RSCM/FKUI, menemukan prevalensi anemia pada bayi dengan gizi baik sebesar 76,3% gizi kurang sebesar
79,4% dan gizi buruk sebesar 100 %. Pada golongan usia prasekolah,
prevalensi anemia pada gizi baik sebesar 68,9%, gizi kurang sebesar
76,8% dan gizi buruk sebesar 90,0%. Untuk golongan usia sekolah,
prevalensi sebesar 46,6% pada gizi baik dan 57,5 % pada gizi kurang.
Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi beberapa perubahan-perubahan
elektrokardiografi, radiologis, fonokardiografi dan ekokardiografi serta
mencari hubungan keempat hasil pemeriksaan pada anak-anak yang men-
derita anemia defisiensi besi.

"
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Ayuningtyas
"ABSTRAK
Latar belakang : Prevalens terjadinya malnutrisi bervariasi pada berbagai siklus kemoterapi LLA. Penelitian di Malaysia mendapatkan anak LLA pasca-kemoterapi fase induksi cenderung mengalami obesitas atau status gizi lebih. Penyebab malnutrisi pada anak LLA dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perubahan status gizi selama kemoterapi dapat memengaruhi luaran kemoterapi.
Tujuan: mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi perbaikan status gizi anak LLA setelah kemoterapi fase konsolidasi, serta pengaruhnya terhadap luaran kemoterapi, sehingga dapat dipakai sebagai masukan untuk upaya mengatasi malnutrisi pada anak LLA.
Metode : Penelitian ini dengan uji retrospektif, di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, selama tahun 2016-2018. Total sampling pada pasien leukemia limfoblastik akut yang terdiagnosis, dan menjalani kemoterapi di RSCM hingga fase konsolidasi.
Hasil : Seratus empat puluh satu subyek pasien anak LLA diikutsertakan dalam penelitian ini. Terdapat 69,5% subyek mengalami perbaikan status gizi, dan 30,5% mengalami perburukan status gizi, dengan 60% perburukan ke arah overnutrition pasca-kemoterapi fase konsolidasi. Faktor risiko independen terhadap terjadinya perbaikan status gizi pasca-kemoterapi fase konsolidasi ialah tidak timbulnya efek samping kemoterapi (RR 1,36, 95% IK 1,02 - 1,81). Jenis makanan dan cara pemberian makan tidak memengaruhi perubahan status gizi anak LLA pasca-fase konsolidasi. Terdapat hubungan antara perbaikan status gizi anak LLA pasca-fase konsolidasi dengan kejadian remisi (RR 1,24, 95% IK 1,03 - 1,5).
Simpulan : Status gizi pasca-kemoterapi fase konsolidasi mengalami perbaikan dibandingkan sebelum kemoterapi, sedangkan yang mengalami perburukan status gizi cenderung mengalami overnutrition. Perbaikan status gizi anak LLA pasca-kemoterapi fase konsolidasi dipengaruhi oleh tidak timbulnya efek samping kemoterapi. Terdapat hubungan antara perbaikan status gizi anak LLA pasca-kemoterapi fase konsolidasi dengan kejadian remisi.

ABSTRACT
Background: Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the most common malignancy in childhood. The prevalence of malnutrition varies in phase of ALL chemotherapy. Study in Malaysia showed ALL children after induction phase of chemotherapy tended to be obese or overweight. The causes of malnutrition in ALL children can be influenced by various factors. Changes in nutritional status during chemotherapy can affect the outcome of chemotherapy.
Aim: To investigate factors that influence nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase, as well as the effect on the outcomes of chemotherapy, so it can be used as an input to overcome malnutrition in ALL children.
Method: A retrospective design was performed in Cipto Mangunkusumo Hospital from 2016 until 2018. Total sampling in patients with acute lymphoblastic leukemia who was diagnosed and started chemotherapy at Cipto Mangunkusumo Hospital until the consolidation phase.
Result: A total of 141 subjects were included in this study. After consolidation phase, 69.5% of subjects experienced nutritional status improvements, and 30.5% worsened, of which 60% become over nutrition post-consolidation phase. Independent risk factor for the improvement of nutritional status after consolidation phase was the absence of chemotherapy side effects (RR 1.36, 95% CI 1.02 - 1.81). There were no association between type of food and route of feeding with nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase. There was association between improvement in nutritional status of ALL children after consolidation phase with the incidence of remission (RR 1.24, 95% CI 1.03 - 1.5).
Conclusion: Nutritional status at post-consolidation phase has improved compared to pre- chemotherapy, while those who worsening nutritional status tend to overnutrition. The absence of chemotherapy side effects affects nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase. There is a relationship between nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase with the incidence of remission."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harmon Mawardi
"ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang penelitian
Hasil penanganan terhadap penderita dengan sindrom gangguan pernapasan (SGP) dan asfiksia neonatorum sampai saat ini masih belum memadai. Menurut catatan medik di Bagian IAA FKUI-RSCM selama periode Pebruari 1984 sampai Agustus 1987 tercatat sebanyak 265 kasus SGP (± 65 kasus pertahun), yang dirawat di bangsal Infeksi Bayi dan Unit Perawatan Intensif (ICU) neonatus. Angka kematian tercatat sebanyak 70,6% di antara jumlah kasus SGP tersebut. Kematian akibat SGP sebesar 56,86% merupakan jumlah terbesar di antara seluruh penyebab kematian neonatus di SubBagian Perinatologi IRA RSCM (Boedjang dkk., 1981). Sedangkan Karjadi dkk. (1986) di RSUD Dr. Soetomo Surabaya mendapatkan angka kematian akibat SGP sebesar 92% pada tahun 1984, dan 59% tahun 1985.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa angka kejadian SGP pada neonatus masih tinggi, dengan angka kematian yang tinggi pula (di atas 50%).
Dahulu para ahli kurang memberi perhatian pada anoksia perinatal yang disebabkan oleh SGP atau asfiksia sebagai penyebab timbulnya gangguan fungsi ginjal (Dauber dkk., 1976). Beberapa kematian neonatus dengan SGP ternyata menderita gangguan fungsi ginjal, sehingga diperkirakan ada hubungan antara SGP dan asfiksia dengan fungsi ginjal.
Frekuensi terjadinya asfiksia neonatorum berkisar antara 10-20% (Buku Kuliah IRA, 1985), dengan angka kematian sebesar 56% (Hendarto, 1974 dikutip Kadri, 1982). Sebanyak 78% kasus SGP di ICU berusia di bawah 1 tahun, dan 60% di antaranya terdiri dari neonatus (Rezeki, 1981).
Selanjutnya Perlman dan Tack (1988) pada penelitiannya secara prospektif terhadap 120 kasus asfiksia pada neonatus cukup bulan (NCB) dan neonatus kurang bulan (NKB) mendapatkan adanya hubungan antara oliguria dan terjadinya kelainan neurologik atau kematian.
Stapleton dkk. (1987) melaporkan bahwa di ICU terdapat 8% GGA , dan sebanyak 9 di antara 15 kasus GGA pada neonatus mempunyai riwayat asfiksia perinatal.
Angka kematian GGA pada neonatus berkisar antara 14-73%.
SGP dapat menurunkan laju filtrasi glomerulus (LFG), dan GGA sering terjadi setelah mengalami asfiksia berat (Dauber dkk., 1976). Autopsi pada satu kasus penyakit membran hialin ditemukan kongesti vaskular dalam ginjal (Laporan Kasus IRA, 1988). Gangguan fungsi ginjal pada asfiksia berat pada umumnya reversibel apabila pemberian oksigen, keseimbangan cairan dan elektrolit terpenuhi secara adekuat (Olavarria dkk., 1987). Sebaliknya GGA intrinsic dapat terjadi apabila iskemia berlangsung lama (Brenner dan Rector, 1986). Di Indonesia saat ini belum ada laporan penelitian tentang pengaruh SGP dan asfiksia neonatorun terhadap fungsi ginjal?
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>