Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 162406 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Danang Kuncara Sakti
"BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Proses degradasi sumberdaya hutan dalam dua dekade ini telah menimbulkan dampak yang cukup luas, yang menyentuh aspek lingkungan, ekonomi, kelembagaan, dan juga sosial-politik. Kerusakan telah terjadi di semua kawasan hutan sebagai akibat dari lemahnya penegakan hukum, pembukaan hutan untuk keperluan pembangunan lain (pertambangan, dan industri), perambahan, kebakaran hutan, lemahnya kesadaran dan perhatian terhadap kelestarian ekosistem DAS, serta kurangnya upaya reboisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pengguna hutan lainnya.
Berdasarkan hasil analisis data RePPProt dan data Inventarisasi Hutan Nasional (NFI) tahun 1985-1997 diperoleh angka deforestasi sebesar 22,46 juta ha atau laju deforestasi nasional per tahun sebesar 1.8 juta ha/tahun. Deforestasi terbesar terjadi di Propinsi Sumatera Selatan seluas 2,3 juta ha atau sebesar 65 % dari luas hutannya pada tahun 1985. Kemudian secara berturut-turut di Propinsi Kalimantan Selatan, Lampung dan Jambi. Namun demikian deforestasi terluas terjadi di Pulau Kalimantan seluas 10,3 juta ha, yaitu di Propinsi Kaltim 4,4 juta ha, Propinsi Kalteng 3,1 juta ha, Propinsi Kalbar 2,0 juta ha dan Propinsi Kalsel seluas 0,8 juta ha. Kontribusi sektor kehutanan dan perubahan lahan terutama disebabkan oleh tingginya laju kerusakan hutan di Indonesia.
Laju kerusakan hutan di Indonesia sesudah masa reformasi justru lebih cepat dibandingkan dengan sebelumnya. Parahnya kondisi hutan Indonesia diperlihatkan oleh hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 yang menunjukkan bahwa terdapat hutan dan lahan rusak lebih dari 101,73 juta ha, seluas 59,62 juta ha diantaranya berada dalam kawasan hutan yakni di dalam hutan lindung (10,52 juta ha), hutan konservasi (4,69 juta ha) dan hutan produksi (44,42 juta ha). Laju kerusakan hutan pada periode 1997-2000 meningkat cepat menjadi 3,8 juta ha/tahun. Laju kerusakan tersebut diperkirakan semakin tidak terkendali pada periode tahun 2000-2003 karena aktifitas penebangan liar, penyelundupan kayu dan konversi kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain yang semakin merajalela, pemberian ijin pemanfatan kayu hutan/IPKH oleh pemerintah daerah yang tidak terkontrol (Badan Planologi Kehutanan, 2003). Pada saat ini, dengan kondisi hutan yang sangat menyedihkan serta lembaga-lembaga kehutanan yang tidak memiliki kekuatan apa-apa dalam mengerem laju kerusakan ini, apapun akan dilakukan dalam upaya menyelamatkan pohon-pohon terakhir yang tersisa di hutan Indonesia.
Meskipun melalui perundingan yang panjang akhirnya pemerintah Indonesia telah meratifikasi Protokol Kyoto, tepatnya pada hutan Juli 2004. Dengan meratifikasi Protokol Kyoto tersebut maka Indonesia akan memiliki komitmen terhadap negara-negara lain yang lebih dahulu meratifikasi perjanjian tersebut. Ratifikasi Protokol Kyoto merupakan sebuah kesepakatan internasional yang menunjukkan upaya yang sangat serius dalam menghadapi peruhahan iklim. Secara hukum Protokol Kyoto mewajibkan seluruh negara Annex I untuk secara bersama-sama menurunkan emisi gas rumah kaca rata-rata sebesar 5,2% dari tingkat emisi tahun 1990 pada periode tahun 2008-2.012. Indonesia akan mendapatkan keuntungan melalui mekanisme Clean Development Mechanism -CDM yang terdapat pada perjanjian tersebut.
Clean Development Mechanism (CDM) di kehutanan ini lahir dari tuntutan terhadap fungsi dan peran hutan tropis yang tersisa dianggap sebagai "paru-paru dunia", maka negara-negara pemilik hutan ini harus diberikan kompensasi untuk sumbangannya dalam menyediakan paru-paru dunia tersebut. CDM juga dapat dilihat sebagai bentuk kompensasi dari negara maju kepada negara berkembang, sehingga CDM merupakan peluang memperoleh dana luar negeri untuk mendukung program-program prioritas, penciptaan lapangan kerja dengan adanya investasi baru. Adapun manfaat tidak langsung yang dapat dipetik Indonesia dapat berupa technology transfer, capacity building, peningkatan kualitas Iingkungan, serta peningkatan daya saing.
Bentuk lain dari komitmen antara negara-negara pengikut Protokol Kyoto ini adalah jual-beli emisi itu dalam bentuk sertifikat, yaitu jumlah emisi para pelaku perdagangan akan diverifikasi oleh sebuah badan internasional atau badan lain yang diakreditasi oleh badan tersebut namun sampai saat ini belum terbentuk. Reduksi Emisi bersertifikat (RES) atau Certified Emission Reduction (CER) inilah yang diperjualbelikan dalam sebuah pasar internasional. RES itu dinyatakan dalam ton karbon yang direduksi. Jumlah reduksi metan dan GRK lain juga dinyatakan dalam ton karbon. Jadi harus dikonversi menjadi ton karbon. Sekarang perdagangan ini sudah berjalan melalui yang disebut implementasi patungan (joint Implementation). Harga karbon masih sangat bervariasi, yaitu antara US$10 sampai US$30 per ton karbon.
Indonesia bisa mendapatkan sedikitnya US$ 500 juta dari nilai reduksi karbon yang dijual melaui mekanisme CDM. Nilal keseluruhan di atas berasal pengelolaan hutan lestari sebesar US$ 50 juta dan US$ 350 juta berasal dari sektor energi. Dengan keikutsertaan ini maka konsekuensi sektor kehutanan terhadap penebangan liar menjadi sangat penting. Keberadaan luasan hutan sebagai jaminan pasokan karbon perlu terus terjaga. Secara tidak langsung sektor kehutanan mencegah terjadi kehilangan devisa akibat penebangan liar tersebut sebesar 30 triliun rupiah (Agus P Sari, Pelangi Indonesia).
Untuk melihat dampak ekonomi dari mekanisme CDM khususnya di sektor kehutanan digunakan SAM (Social Accounting Matrix) atau di Indonesia sering disebut SNSE (Sistem Neraca Sosial Ekonomi). Dengan menggunanakan SNSE ini dapat diketahui perubahan perekonomian nasional akibat adanya suatu kegiatan perekonomian pada salah satu sektor tertentu. Perubahan tersebut dapat berdampak pada sektor-sektor yang terdapat dalam SNSE, yaitu faktor produksi, institusi dan sektor produksi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15301
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrul Yunardy
"Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi terus berulangnya kejadian kebakaran hutan di Indonesia yang hampir terjadi setiap tahun. Padahal sumberdaya hutan memiliki keterkaitaan yang erat dengan kinerja, perekonomian, kualitas ekologi, dan ketergantungan sosial. Untuk itu perlu diketahui dampak sesungguhnya kebakaran hutan agar perencanaan dan pengambilan kebijakan didalam pengendalian kebakaran hutan yang terarah, fokus dan tepat pada permasalahan.
Dengan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM), keterkaitan antar sektor ekonomi dapat dijelaskan dampak melalui aliran uang yang terjadi. Oleh karena itu, dampak kebakaran hutan terhadap distribusi pendapatan rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah yang menjadi tujuan penelitian ini dapat diketahui.
Berdasarkan hasil analisis pengganda neraca, diketahui bahwa untuk setiap hektar kebakaran hutan akan menurunkan output produksi Rp. 128.61 juta dan menurunkan pendapatan faktor produksi (factorial income) sebesar Rp. 62.94 juta per hektar kebakaran. Penurunan output dan pendapatan faktor produksi akibat kebakaran hutan ternyata berdampak menurunkan pendapatan institusi rumah tangga (households income) sebesar Rp. 45.48 juta, perusahaan (private income) sebesar Rp. 20.42 juta, dan pemerintah (government income) sebesar Rp. 11.54 juta untuk setiap hektar kejadian. Dengan demikian, rumah tangga adalah komponen institusi yang paling merasakan dampak kebakaran hutan yang tercermin dari besarnya penurunan pendapatan. Secara keseluruhan, kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh kebakaran hutan terhadap penurunan pendapatan faktor produksi, institusi, dan sektor produksi (output) adalah sebesar Rp. 269.00 juta tiap hektar kejadian kebakaran.
Rata-rata penurunan pendapatan yang diderita oleh setiap orang akibat kebakaran hutan pada tahun 2000 adalah Rp. 3,868 per kapita.. Pada tahun 2001 penurunan pendapatan yang diderita menjadi Rp. 18,105 per kapita. Sedangkan di tahun 2002, pengurangan pendapatan sebesar Rp. 44,186 per kapita. Dengan demikian terjadi peningkatan kerugian pendapatan per kapita selama periode tahun 2000-2002 akibat kebakaran hutan.
Dari hasil analisis jalur struktural, teridentifikasi bahwa jalur-jalur utama yang dilalui dampak kebakaran hutan adalah sektor perkebunan dan sektor-sektor yang berbasiskan pertanian dan pedesaan.
Mengingat besarnya kerugian ekonomi yang diderita sebagai dampak dari kebakaran hutan, maka jumlah dan penyediaan anggaran yang terkait dengan upaya pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan haruslah jelas dan memiliki dasar. Hasil penelitian ini yang menunjukkan total kerugian kebakaran hutan sebesar Rp. 269.00 juta tiap hektarnya, dapat dijadikan landasan untuk pengalokasian anggaran baik oleh pemerintah maupun swasta pemegang hak konsesi. Disamping itu, nilai kerugian ini, dapat pula dijadikan acuan didalam penentuan ganti rugi terhadap pelaku pembakaran hutan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15303
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Eko Jaya, 2004
634.902 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bisai, Charley Michael
"Papua merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki sumber daya alam yang sangat melimpah seperti pertambangan emas, tembaga, minyak bumi, potensi kelautan, dan hutan. Namun demikian, kondisi kehidupan masyarakat dan perekonomian Papua masih sangat jauh dan kondisi yang diharapkan. Struktur perekonomian Papua selama ini masih didominasi oleh sektor pertanian dan sektor pertambangan, dimana keduanya tidak saling menunjang untuk memperkuat basis perekonomian Papua. Proses transformasi yang diharapkan bergeser dari sektor primer ke sektor sekunder (sektor industri) maupun sektor tersier (sektor jasa) belum nampak, akibatnya Papua hingga kini masuk dalam kategori wilayah non-industri (non industries region) karena kontribusi sektor industrinya masih kecil. Dengan demikian, perekonomian Papua hingga saat ini masih bertumpu pada sektor primer yang mengandalkan resource based activities yaitu pertambangan, kehutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan.
Tujuan peneiitian secara umum adalah menganalisis seberapa besar peranan pembangunan sektor kehutanan terhadap perekonomian Propinsi Papua. Secara spesifik tujuan penulisan tesis ini yaitu untuk mengetahui, (1) berapa besar peran sektor kehutanan terhadap struktur perekonomian Papua; (2) dampak pembangunan sektor kehutanan dalam keterkaitannya dengan output; (3) dampak pembangunan sektor kehutanan dari penciptaan nilai tambah (produksi domestik regional bruto), dan; (4) dampak pembangunan sektor kehutanan terhadap pendapatan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut maka digunakan pendekatan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Dengan menggunakan model ini dapat digunakan untuk menjelaskan : (1) kinerja pembangunan ekonomi suatu negara seperti distribusi Produk Domestik Bruto (PDB) atau PDRB untuk tingkat region atau propinsi, konsumsi, tabungan dan sebagainya; (2) distribusi pendapatan faktorial, yaitu distribusi pendapatan yang dirinci menurut faktor-faktor produksi diantaranya, seperti tenaga kerja dan modal; (c) distribusi pendapatan rumah tangga yang dirinci menurut berbagai golongan rumah tangga; (4) pola pengeloaran rumah tangga (household expenditure pattern); dan (5) distribusi tenaga kerja menurut sektor atau lapangan usaha dimana mereka bekerja, termasuk distribusi pendapatan tenaga kerja yang mereka peroleh sebagai kompensasi atas keterlibatannya dalam proses produksi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengaruh sektor kehutanan cukup berdampak terhadap struktur perekonomian daerah yang meliputi kontribusinya terhadap PDRB, irnpor, dan penyerapan tenaga kerja serta kurang berdampak pada kegiatan ekspor dan pajak di Papua. Berdasarkan nilai multiplier, terlihat bahwa sektor kehutanan memberikan efek multiplier yang relatif besar terhadap penciptaan produk domestik, kenaikan pendapatan faktor-faktor produksi, peningkatan produksi sektor-sektor lainnya serta peningkatan pendapatan masyarakat atau rumah tangga di Papua. Dalam penelitian ini ditemukan pula beberapa masalah seperti ketimpangan pendapatan antara rumah tangga desa dan rumah tangga kota, dan terjadinya illegal logging. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah daerah melalui instansi terkait telah mendirikan wadah koperasi peran serta masyarakat di desa. Wadah ini diharapkan dapat mengakomodir kepentingan rumah tangga di desa dan menjembatani hubungan kerjasama antara masyarakat desa, pemerintah dan pengusaha hutan dalam rangka pengelolaan hutan yang memberikan manfaat kepada semua pihak. Selain itu, penyertaan kepemilikan modal bagi masyarakat pedesaan dalam pengelolaan hutan merupakan salah satu cara untuk dapat mengurangi kesenjangan pendapatan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T17204
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Doni Sri Putra
"Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui besarnya multiplier sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional, mengetahui perubahan nilai tambah pada faktor produksi, pendapatan rumah tangga (institusi) dan sektor produksi dengan adanya injeksi pada sektor kehutanan melalui Hutan tanaman rakyat serta mengidentifikasikan seluruh jaringan yang berisi jalur yang menghubungkan pengaruh sektor kehutanan pada sektor lainnya dalam suatu sistem sosial ekonomi. Penelitian ini menggunakan analisis pengganda Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Tahun 2005.
Berdasarkan analisis pengganda neraca, sektor kehutanan akan berdampak terhadap perekonomian nasional. Dari 54 sektor yang terdapat dalam Tabel SNSE, terdapat lima sektor yang memiliki angka pengganda neraca terbesar yang disebabkan oleh meningkatnya sektor kehutanan di bidang kayu adalah sektor kehutanan hasil hutan kayu itu sendiri, sektor perdagangan, sektor bukan tenaga kerja (modal), sektor Konstruksi, dan sektor perusahaan.
Berdasarkan hasil analisis simulasi dampak, maka simulasi dampak (injeksi HTR pada sektor kehutanan kayu) memiliki nilai tambah terhadap perekonomian nasional. Terhadap blok faktor produksi persentasi peningkatan nilai tambah rumah tangga lebih tinggi dari faktor produksi bukan tenaga kerja (modal), dengan demikian maka kegiatan HTR di sektor kehutanan mampu menyerap tenaga kerja (pro job). Terhadap blok institusi Persentase pertambahan pada institusi rumah tangga lebih besar dari pada persentase pertambahan pada perusahaan dan pemerintah, rumah tangga yang mengalami peningkatan nilai tambah tertinggi adalah rumah tangga pertanian di pedesaan yang sebagian besar merupakan rumah tangga miskin (pro poor).
Terhadap blok sektor produksi secara agregat simulasi dampak mampu meningkatkan nilai tambah sektor produksi dengan demikian maka kegiatan HTR di sektor kehutanan mampu meninkatkan output di sektor produksi nasional sehingga akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) atau dengan kata lain merupakan program pro growth. Berdasarkan analisa jalur maka blok faktor produksi memiliki pengaruh global terbesar dari kegiatan hutan tanaman rakyat pada sektor kehutanan dibandingkan dengan blok institusi maupun blok sektor produksi.

This study aims to Knowing the magnitude multiplier forestry sector to the national economy, knowing the change in value added in production factors, household income (institutions) and the production sector with the injection in the forestry sector through the Forest people plant and to identify the entire network that contains a path that connects the influence forestry sector on other sectors in an economic social system. This study uses a multiplier analysis of Social Accounting Mattrix(SAM) in 2005.
Based on the balance sheet multiplier analysis, the forestry sector will have an impact on the national economy. Of the 54 sectors listed in Table SAM, there are five sectors that have the greatest multiplier balance caused by increasing the forestry sector in the field of wood is wood forest products forestry sector itself, the trade sector, the sector is not labor (capital), Construction sector, and corporate sector.
Based on the results of simulation analysis of the impact, the simulation of the impact (HTR injection on wood forestry sector) have added value to the national economy. On The percentage of input blocks increase domestic value added is higher than the factors of production rather than labor (capital), so the HTR activities in the forestry sector can absorb labor (pro job). On The percentage of institutional blockadded in domestic institutions is greater than the percentage increase in the company and the government, households that experienced the highest increase in value-added agricultural households in rural areas most of which are poor households (pro poor).
On the block in the aggregate production sector capable of simulating the impact of increasing the value-added production sectors so the HTR activities in the forestry sector is able increase output in the national production sector that will increase the gross domestic product (GDP) or in other words is a pro growth program. Based on the analysis of the block of input lines have the greatest global impact of forest plantation activities of the people in the forestry sector compared with blocks of institutional and block the production sector. other sectors before getting to the sector which is influenced.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2010
T31370
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Putria
"Seiring dengan membaiknya kinerja perbankan yang dltunjukkan Oleh aset, dana plhak ketiga dan kredit yang meningkat. Peningkatan ini disertai dengan menurunnya rasio non performing loan. Dengan demiklan, fungsi intermediasi perbankan juga membaik, salah satunya pemberian kredit. Tetapi jumlah kredit modal kerja dan kredit konsumsi leblh besar daripada kredit investasi. Hal ini menandakan perbankan belum optimal dalam pembiayaan jangka panjang. Tujuan penelitian inl adalah: (1} mengetahul keterkaitan dan dampak pengganda sektor perbankan terhadap perekonomian dan (2) mengetahui dampak penyaluran dan multiplier kredit terhadap perekonomian dan tenaga kerja. Anallsis input output diterapkan dalam penelitian. Jumlah sektor yang digunakan adalah 66 sektor pada Tabel Input; Output tahun 2003 dan 2OO6.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1)nilai keterkaitan ke depan sektor perbankan lebih besar darlpada nilai keterkaitan ke belakang. Hal ini menunjukkan bahwa output sektor perbankan merupakan input yang siap digunakan dan sektor perbankan peka terhadap perubahan permintaan akhir sektor-sektor lain tetapi perubahan permintaan akhir sektor perbankan tidak banyak dampaknya terhadap sektor-sektor lain. Peningkatan angka pengganda output dan pendapatan menunjukkan bahwa sektor perbankan mampu mendaptakan peningkatan output dan pendapatan lebih tingg! terhadap sektor-sektor ekonomi lainnya untuk memenuhi permintaan akhirnya. Sektor perbankan juga mampu mendapatkan kesempatan kerja yang cukup tinggi dan (2) kredit lnvestasi dapat memberikan dampak peningkatan output, pendapatan dan tenaga kerja yang lebih tinggi dan kredit lnvestasi memiliki multipilier output, pendapatan dan tenaga kerja leblh tinggi dlbandingkan dengan kredit konsumsi dan kredit modal kerja.
Perbankan disarankan untuk memprioritaskan pelayanan jasa keuangannya kepada sektor-sektor yang memiliki nilai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang besar, sehingga dapat mendorong peningkatan output, pendapatan dan tenaga kerja: untuk meningkatkan output, perbankan disarankan menetapkan besaran suku bunga yang optimal baik suku bunga pinjaman dan suku bunga kredit. Perbankan disarankan untuk menyalurkan kreditnya lebih banyak dalam bentuk kredit lnvestasi karena kredit ini memlliki dampak dan multiplirer yang lebih besar dalam perekonomlan."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T31987
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Indrawan Ali Rifai
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak pembangunan sektor pertanian tanaman pangan dalam meningkatkan PDB dan output, dan dalmam memperbaiki distribusi pendapatan. Analisis menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Untuk menghitung dampak tersebut penulis menggunakan pengganda SNSE, pengganda dekomposisi, Analisis Jalur Struktural, dan koefisien Gini. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa sektor pertanian tanaman pangan memiliki kontribusi terhadap penciptaan nilai tambah dan peningkatan pendapatan rumah tangga paling tinggi dibandingkan dennen sektor lainnya. Kemudian, peranan pengeluaran pemerintah di sektor pertanian tanaman pangan terlihat mampu meningkatkan PDB dan output bruto seria dapat memperbaiki distribusi pendapatan. Secara umum kebijakan peningkatan produksi tanaman pangan merupakan kebijakan yang mampu meningkatkan PDB dan pendapatan sektor pertanian tanaman pangan paling baik dibanding kebijakan lainnya
The objective of the research is to analyze the impact of food crops sector development toward the improvement of National GDP and Output, and the improvement of income distribution. The Analysis uses Social Accounting Matrix (SAM) model. In order to accomplish the objective of this research, four tools are
used i.e.: accounting multiplier, decomposition multiplier, structural path analysis (SPA), and gini coefficient. The result shows that food crops sector has contributed toward the improvement of National GDP and Output, and the improvement of income distribution. Moreover, government expenditure in food
crops sector is able to improve National GDP and Output, and to improve income distribution. Generally, increasing production in food crops is the most effective policy to improve National GDP and to improve output in food crops sector.
"
Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safianty Anwar
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak dari pemberian stimulus fiskal tahun 2009 terhadap perekonomian Indonesia khususnya terhadap sektor produksi, faktor produksi dan pendapatan rumah tangga serta menganalisis dan mengidentifikasi jenis stimulus fiskal yang paling baik dalam meningkatkan angka pertumbuhan nasional. Data yang digunakan untuk melakukan analisis adalah Sistim Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Nasional tahun 2008.
Skenario kebijakan yang dilakukan terdiri dari 4 simulasi yakni simulasi dengan menggunakan data stimulus fiskal tahun 2009 sebagai injeksi (shock) terhadap matriks angka pengganda neraca (Ma), simulasi dengan menggunakan alokasi pengalihan insentif pajak ke sektor produksi sesuai proporsi pada stimulus fiskal 2009, simulasi dengan alokasi seluruh nilai stimulus fiskal ke angka pengganda sektor produksi sesuai proporsinya dan simulasi alokasi stimulus ke insentif pajak sesuai proporsi pada stimulus fiskal 2009.
Hasil analisis menunjukkan bahwa stimulus fiskal 2009 memberikan dampak yang positif bagi penerimaan sektor produksi/output, nilai tambah tenaga kerja dan pendapatan rumah tangga. Namun berdasarkan simulasi yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa walaupun memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia, pemberian stimulus fiskal 2009 tidak efektif dalam meningkatkan angka pertumbuhan nasional. Dengan profil perekonomian Indonesia berdasarkan SNSE Nasional 2008, pemberian stimulus fiskal dengan memprioritaskan alokasi stimulus fiskal ke belanja pemerintah dengan proporsi angka pengganda pada sektor produksi menghasilkan hasil yang paling baik dalam tujuan untuk meningkatkan angka pertumbuhan nasional.

This study aims to analyze the impact of fiscal stimulus to the economy of Indonesia in 2009 specifically for the production sectors, factors of production and household income as well as analyze and identify the type of fiscal stimulus is best in enhancing the national growth rate. The data used to perform system analysis is the Social Accounting Matrix (SAM) of the National in 2008.
Policy scenarios that consisted of four simulations with the simulation using the data of fiscal stimulus in 2009 as an injection (shock) on the balance sheet matrix multiplier (Ma), simulated by using tax incentives to transfer the allocation of production sectors in proportion to the stimulus of fiscal 2009, the simulation with allocation throughout the fiscal stimulus to the production sector multiplier corresponding simulated proportions and stimulus allocations in proportion to the tax incentives on the 2009 fiscal stimulus.
The analysis showed that the 2009 fiscal stimulus provide a positive impact on the production sector revenue / output, value-added employment and household income. However, based on simulations performed can be concluded that although a positive impact on the economy of Indonesia, the provision of the 2009 fiscal stimulus is not effective in enhancing the national growth rate. With Indonesia's economic profile based on the 2008 National SNSE, providing fiscal stimulus to prioritize the allocation of fiscal stimulus to the proportion of government spending multiplier on the production sector produces the best results in order to enhance national growth rate.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2012
T32762
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syafrin Azuari
"Penelitian ini dilatarbelakangi semakin berkembangnya Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Indonesia baik dalam hal indikator-indikator TIK maupun dalam hal pengeluarannya. Namun dalam perkembangannya muncul permasalahan adanya kesenjangan infrastruktur sarana komunikasi antara desa dan kota. Berangkat dari itu penulis mencoba menganalisis pengaruh pengeluaran TIK pemerintah pusat untuk melihat dampak penggandanya dan keterkaitannya dengan sektor ekonomi lain. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Melalui analisis angka pengganda SNSE akan diketahui dampak pada sektor-sektor lainnya apabila dilakukan injeksi pengeluaran TIK. Data yang digunakan menggunakan tabel SNSE tahun 2005 yang disusun BPS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya injeksi pengeluran TIK pada sektor komunikasi akan berdampak terbesar pada faktor produksi modal, institusi perusahaan dan tenaga kerja di kota. Hal ini sesuai dengan kondisi TIK di Indonesia yang masih dalam tahap pembangunan infrastrukturnya yang tentunya membutuhkan lebih banyak modal, dan sesuai dengan deregulasi telekomunikasi, maka dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi sektor swasta atau perusahaan mendapatkan peranan yang sangat besar. Walaupun dampak pengeluaran TIK lebih berpengaruh pada faktor produksi namun tidak dipungkiri pengaruhnya terhadap tenaga kerja.
Tenaga kerja yang paling mendapatkan pengaruh adalah tenaga kerja di kota. Sedangkan dampaknya terhadap institusi selain berdampak besar pada institusi perusahaan, dampak pengeluran TIK juga berpengaruh pada institusi rumah tangga tangga pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer militer, profesional, teknisi, guru, pekerja tata usaha dan penjualan golongan atas perkotaan. Dari kegiatan produksi, dampak yang paling besar dirasakan oleh sektor komunikasi itu sendiri, diikuti oleh industri kertas, percetakan alat angkutan dan barang dari logam.

This research based development of Information and Communication Technology (ICT) in Indonesia, both in terms of ICT indicators and in terms of spending. However, problems arise in the development of communications infrastructure gap between rural and urban areas. Departing from the author tries to analyze the influence of central government ICT spending to see penggandanya impact and its relationship to other economic sectors. The approach taken in this research is to use a Social Accounting Matrix (SAM). Through the SAM multiplier analysis will look at the impact on other sectors if the injection of ICT spending. Data used for the SAM using the table in 2005 prepared by BPS.
The results showed that injection of ICT spending in the communication sector will have the biggest impact on production factors capital, institutions, companies and workers in the city. This is in accordance with the conditions of ICT in Indonesia is still in the stage of infrastructure development which will need more capital, and in accordance with the deregulation of telecommunications, telecommunications infrastructure development in the private sector or the company gets a very big role. Although the impact of ICT spending more influence on the factors of production but does not deny the impact on employment.
Employment is the most get the influence of labor in the city. While the impact on other institutions have a major impact on corporate institutions, the impact of ICT spending also affects the domestic institutions of the free class entrepreneur ladder, entrepreneurs rather than agriculture, military managers, professionals, technicians, teachers, clerical workers and sales of urban elites. From production activities, the biggest impact felt by the communication sector itself, followed by the paper industry, printing equipment and goods transportation."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2010
T28065
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>