Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193674 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Rozalinda
"Perekonomian Siak didominasi oleh sektor pertambangan minyak dan gas bumi (migas), namun seletor tersebut tidak dapat diandalkan terus-rnenerus untuk menopang perekonomian, selain sifatnya yang tidak terbarukan juga penyerapan tenaga kerja yang relatif rendah, sehingga sektor ini tidak bisa diandalkan di masa depan. Penyerapan tenaga kerja yang rendah dan nilai tambah yang besar mencerminkan kemakmuran bagi penerirnanya, tidak demikian yang texjadi di sektor pertanian. Sebagian besar tenaga kerja di Siak bekerja pada sektor pertanian, padahal sumbangan nilai tambah sektor tersebut tcrmasuk rendah. Berarti ada indikasi ketimpangan pendapatan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran sektor agroindustri dalam perekonomian Kabupaten Siak dan dampak kebijakan pembangunan ekonomi berbasis agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kesempatan kerja. Agroindustri sebagai subsistem pertanian mempunyai potensi sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi karena memiliki peluang pasar yang lebih Iuas dan nilai tambah yang lebih besar. Kebijakan pcmbangunan ekonomi yang dimaksud dalam pcnelitian ini adalah kebijakan peningkatan pengeluaran pemerintah, investasi dan ekspor di sektor agroindustri. Analisis menggunakan Tabel Input-Output Kabupaten Siak Tahun 2006 dan pengembangannya, yaitu Model Miyazawa.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sektor agroindustri merupakan sektor unggulan di Kabupaten Siak dan mempunyai peran yang lebih besar dalam meningkatkan output perekonomian, kesempatan kerja dan pendapatan rumah tangga, terutama pendapatan rumah tangga golongan rendah, dibanding sektor lainnya dan memberikan dampak positif dalam memperbaiki distribusi pendapatan.
Selanjutnya kombinasi kebijakan peningkatan investasi dan ekspor agroindustri memberikan dampak yang lcbih besar dibandingkan kombinasi kebijakan peningkatan investasi dan peningkatan pengeluaran pemerintah. Kcbijakan ekonomi di sektor agroindustri makanan berdampak lebih besar memperbaiki distribusi pendapatan dibanding agroindustri non makanan. Dan kcbijakan ekonomi di sektor agroindustri berdarnpak lebih baik bagi pemerataan distribusi pendapatan dibanding kebijakan yang ditujukan pada industri kertas, dan barang dari kertas, industri kimia, karet, plastik dan barang turtmannya serta industri pengolahan lainnya.
Berdasarkan pada hasil penclitian, untuk meningkatkan perekonornian Kabupaten Siak, meningkatkan kesempatan kerja dan rnernperbaiki distribusi pendapatan, maka kebijakan ekonomi perlu Iebih difokuskan pada pengembangan agroindustri prioritas (agroindustri makanau) melalui kombinasi kebijakan peningkatan investasi dan ekspor
Siak's economical system are dominated by oil and natural gas mining sector, in spite of those roles couldn?t keep trusted to support the economical system, beside characteristic is unrenewable and low of_ labor absorbtion as well. A few labor and huge value added to reflection of wealth for labor, on the contrary in agriculture sector. Sial
The research is for analysis agroindustry roles in the regency of Siak and the impact of policy economic development in agroindustry sector toward income distribution and employment opportunity. Agroindustry as agricultural subsystem has potentials to support economic growth. The policy of economical development within these research are increase the government expenditure, investment and export in agroindustry sector. The analysis was using table data input output Siak in 2006 and the progress model is Miyazawa.
The results show that agroindustry sector is leading sector in Siak and a play greater role in increasing economic output, employment opportunity and household income, primely the lower household income and these things will give many positive impact on the improvement of income distribution. Further, combined of increase investment and export policies have greater impact than investment and the govemrnent expenditure. Policies in the food aroindustry have greater impact on the improvement of income distribution than the non food agrvoindustry. The economic policy in agroindustry get priority (oil and fat industry and pulp industry) become the most effective policy to increase economical output, employment opportunities and household income. Investment and export policy in agroindustry sector has better impact as well as on the income distribution than that on paper and paper derivated goods industry, chemical, rubber and plastic industry and other manufacturing industry.
According of research then the economic policy needs to be focused to progress agroindustry of priority (food agroindustry) through the policy of increase investment and export.
Key words: agroindustry, input output tables, Miyazawa?s models, income distribution, employment opportunities.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T-pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Wibisono
"This paper examines the income distributional impact of the 1997?s economic crisis that hit Indonesia using Social Accounting Matrix data for 1995 and 1998. Relying on a comparison of the distribution before and after crisis, the study suggest three main findings based on multiplier analysis. First, poor households have been harder hit by crisis than rich households. Second, there are indication that crisis making income transfer likely to occurs from consumer to producer. Third, it is hard to eliminate disparity in income distribution relying only on market mechanism. From impact analysis we obtain the result for policy recomendation. Agriculture price support policy tend to biased to rural rich households, while export promotion policy biased to urban rich households. Direct income transfers to poor household and income redistribution policy seems to be the best policy for improving the distribution of income after crisis."
2003
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dendi Romadhon
"Perkembangan ekonomi dan teknologi menuntut ketersediaan tenaga kerja yang
mempunyai keahlian yang memadai. Data Produk Domestik Bruto (PDB) serta Sakemas
tahun 2003 dan 2006 dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa setiap
kenaikan l persen pertumbuhan ekonomi membutuhkan pekerja berpendidikan Sl ke atas
sebesar 2,3 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi pertumbuhan ekonomi
akan semakin banyak ketersediaan tenaga kerja berpendidikan Sl ke atas. Karena untuk
menghasilkan pekerja berpendidikan tinggi memerlukan pembiayaan yang cukup besar, maka subsidi pendidikan menjadi suatu hal yang tidak dapat guna mendukuug
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan teknologi di masa akan datang.
Pemerintah Indonesia telah lama mencanangkan subsidi pendidikan guna menyiapkan
sumber daya manusia yang handal. Perubahan sasaran subsidi pendidikan terus berlangsung
sesuai dengan proses berjalannya waktu. Indonesia pernah mencanangkan wajib belajar 6
tahun, kemudian bergeser menjadi wajib belajar 9 tahun, bahkan saat ini masyarakat sudah
menuntut supaya dana pendidikan mencapai 20 persen dari APBN/APBD. Dibeberapa daerah
kaya, 20 persen anggaran untuk pendidikan telah terealisasi.
Social Accounting Matrix (SAM) Indonesia tahun 2006 digunakan untuk
mentransformasi pembahan alokasi anggaran subsidi pendidikan yang diluncurkan oleh
pemerintah, guna meningkatkan pendapatan rumah tangga yang pada akhirnya akan
mendorong rumah tangga mengalokasikan dananya untuk biaya pendidikan tinggi.
Sedangkan alur subsidi pendidikan dirunut dengan menggunakan Structural Path Analysis
(SPA).
Analisis dampak dari tabel SAM tahun 2006 menunjukkan bahwa setiap pertumbuhan
ekonomi naik sebesar 1 persen akan menyediakan kesempatan kerja berpendidikan Sl ke atas
sebanyak 24| ribu ekivalen tenaga kerja (EIK). Apabila dilihat pertumbuhannya, maka setiap
1 persen pertumbuhan ekonomi akan meminta pekerja berpendidikan S1 ke atas sebesar 4,l2
persen.
Apabila golongan rumah tangga secara desil berdasarkan jumlah
penduduk, maka 10 persen rumah tangga golongan paling bawah hanya menikmati pendapatan
rumah tangga secara keseluruhan sebesar Rp 35,1 triliun. Untuk 10 persen golongan rumah
tangga paling kaya menikmati pendapatan rumah tangga sebesar Rp 1.075,2 triliun. Ini
menunjukkan bahwa gap pendapatan antara rumah tangga 10 persen termiskin dengan rumah
tangga 10 persen terkaya sebesar 1 banding 31. Hasil simulasi subsidi pendidikan menunjukkan bahwa apabila subsidi pendidikan
diberikan secara merata ke seluruh rumah tangga, melalui fasilitas pendidikan, maka
pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan meningkat sebesar l4 persen. Jika subsidi
pendidikan hanya diberikan untuk rumah tangga golongan bawah, maka pengeluaran rumah
tangga untuk pendidikan meningkat sebesar 13 persen"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T33990
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Edison Hulu
"ABSTRAK
Tujuan studi ini adalah menganalisis dampak kebijakan ekonomi makro terhadap inflasi dan distribusi pendapatan di Indonesia dengan menggunakan model komputasi keseimbangan umum sebagai alat analisis. Laju inflasi diukur dan perbedaan indeks harga umum dalam dua periode yang berbeda. Sedangkan distribusi pendapatan diukur dari rasio antara pendapatan rumah tangga berpenghasilan rendah dan pendapatan rumahtangga berpenghasilan tinggi. Dalam studi ini dilakukan analisis dampak perubahan dari tujuh buah instrumen kebijakan ekonomi makro, yaitu tarif, suku bunga deposito, rasio cadangan wajib, penawaran uang, pajak tak langsung, pajak penghasilan rumahtangga, dan upah. Model dalam studi ini memiliki beberapa ciri, antara lain: mempunyai konsistensi sektoral; mengandung persamaan tingkah laku; memberlakukan variabel harga secara endogen; mampu menjelaskan proses alokasi kegiatan ekonomi menurut institusi; mencakup beberapa keseimbangan parsial yang dikenal dalam model ekonomi makro, seperti: keseimbangan pasar barang, pasar tenagakerja, pasar uang, dan keseimbangan perdagangan luar negeri, sehingga berbagai kebijakan ekonomi makro pemerintah, seperti: kebijakan fiskal, moneter, dan upah dimungkinkan dianalisis dalam model; dan asumsi-asumsi yang digunakan dalam model memungkinkan harga untuk bervariasi secara babas. Model ini adalah hasil modifikasi dari studi Feltenstein (1984), Werin (1990), dan Lewis (1994). Untuk kasus Indonesia, studi ini cukup relevan dilihat dan beberapa aspek, antara lain, untuk menganalisis kebijaksanaan: (a) yang ditujukan untuk menekan laju inflasi; dengan rendahnya laju inflasi dalam negeri maka daya saing barang ekspor nonmigas di pasar dunia cenderung semakin meningkat; (b) yang berorientasi pada peningkatan perturnbuhan ekonomi; (c) penghapusan atau pengurangan tarif terhadap komoditi impor menurut sektoral yang pada umumnya ditujukan untuk mendorong agar industri-industri dalam negeri lebih kompetitif, melalui studi ini dapat diketahui manfaatnya dilihat dari aspek lain, khususnya terhadap inflasi dan distribusi pendapatan; (d) yang relevan memperbaiki kinerja pemerataan yang sedang digalakkan pemerintah saat ini; (e) pemberdayaan fungsi pajak untuk tidak hanya sebagai sumber penerimaan pernerintah semata tetapi untuk tujuan penstabilan dan perbaikan kinerja distribusi pendapatan; (f) pemberdayaan instrumen kebijakan moneter dalam menunjang peningkatan efisiensi kegiatan sektor keuangan; dan (g) yang mendukung penentuan harga yang diarahkan semakin besar kepada mekanisme pasar. Dari hasil studi ini dapat diperoleh beberapa kesimpulan:
1.Beberapa kebijakan yang dianalisis dalam studi ini selain dapat menekan laju inflasi juga dapat memperbaiki distribusi pendapatan. Kebijakan-kebijakan tersebut, yaitu: penurunan tarif, pengurangan pajak tak langsung, dan progresifitas pajak penghasilan.
2.Kebijakan kedua adalah yang memberikan dampak menekan laju inflasi dan yang berdampak negatif terhadap distribusi pendapatan. Kebijakan-kebijakan tersebut, yaitu: peningkatan suku bunga dan rasio cadangan wajib.
3.Sedangkan kebijakan lainnya memberikan dampak bervariasi terhadap inflasi dan distribusi pendapatan. Kebijakan-kebijakan tersebut, yaitu: a) peningkatan penawaran uang dapat memacu inflasi dan berdampak negatif terhadap distribusi pendapatan; b) peningkatan upah secara serentak pada semua status tenaga kerja dapat meningkatkan laju inflasi tetapi tanpa perbaikan terhadap distribusi pendapatan; c) peningkatan upah yang terfokus pada tenaga kerja kasar tidak berpengaruh pada laju inflasi tetapi berdarnpak positif terhadap perbaikan distribusi pendapatan; dan (d) menghapus pajak penghasilan pada semua kelompok rumahtangga tidak memberi dampak pada laju inflasi dan distribusi pendapatan.
Dalam menghubungkan berbagai hasil studi di atas dengan upaya dalarn perumusan kebijaksanaan perlu diperhatikan beberapa keterbatasan studi, antara lain: (i) fenomena ekonorni saat ini (tahun 1997) sangat jauh berbeda dengan fenomena ekonomi pada tahun 1993 yang digunakan sebagai basis data dalam model, khususnya dengan adanya krisis moneter yang melanda beberapa negara termasuk Indonesia; (ii) konstruksi model masih sangat sederhana dan masih belum menjangkau faktor-faktor non-ekonomi yang seyogianya dipertimbangkan dalam merumuskan kebijaksanaan ekonomi; (iii) karena data tidak tersedia, maka beberapa parameter dalam model diestimasi menggunakan metode non-survey, yang dapat mempengaruhi akurasi hasil studi; (iv) cakupan kegiatan ekonomi dalam model masih terbatas pada sektor formal, dan belum mencakup sektor informal; serta (v) hasil kalkukasi model masih mengandung bias sebesar 2% dibandingkan dengan data aktual.
Dari hasil studi ini dapat ditarik beberapa saran kebijakan ekononu, antara lain:
(1) Upaya untuk menurunkan tarif secara umum mungkin perlu didorong lebih cepat dari jadual yang telah ditetapkan pemerintah. Hal ini didulcung oleh hasil studi yang menunjukkan bahwa penurunan tarif dapat menekan laju inflasi dan pada saat bersamaan memperbaiki distribusi pendapatan;
(2) Studi ini menunjukkan bahwa ada kebijakan-kebijakan ekonomi makro yang tujuannya, antara lain, untuk mengendalikan laju inflasi, tetapi ternyata berdarnpak negatif terhadap distribusi pendapatan, seperti peningkatan suku bunga dan rasio cadangan wajib. Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan yang lebih hati-hati pada kebijaksanaan-kebijaksanaan tersebut agar tidak memberi kesan bahwa kebijakan-kebijakan ekonorni makro kita mengabaikan pemerataan.
(3) Kebijakan upah menunjukkan bahwa harus ada pembedaan perlakuan terhadap berbagai status tenagakerja, dan tidak dilakukan secara umum. Hal ini dapat menjadi masukan dalam penetapan gaji buruh untuk lebih memperhatikan pada status tenagakerja. Masukan ini didukung oleh hasil studi ini yang secara khusus menunjukkan bahwa peningkatan upah yang terfokus kepada tenagakerja kasar juga dapat memperbaiki distribusi pendapatan tanpa mempengaruhi inflasi.
(4) Dalam reformasi sistim perpajakan lebih lanjut mungkin perlu dipertimbangkan untuk mengurangi pajak tak langsung dan peningkatan progresifitas perpajakan. Karena studi ini menunjukkan bahwa hal-hal tersebut tidak hanya memperbaiki distribusi pendapatan tetapi dapat menekan laju inflasi.
Sekalipun model dalam studi ini teiah memenuhi syarat yang dipandang relevan untuk analisis inflasi dan distribusi pendapatan, tetapi tidak berarti bahwa tanpa kelemahan. Kelemahan-kelehaman tersebut yang dapat dijadikan bahan pernikiran mengenai studi sejenis di masa depan, antara lain, yaitu: (a) studi Mahi (1996) menunjukkan bahwa dalam model komputasi keseimbangan umum, variabel penawaran tenagakerja dapat diperlakukan sebagai variabel endogen, sehingga interaksi penawaran tenagakerja dapat tertangkap dalam model, ini tidak dilakukan dalam model ini; (b) dalam studi ini analisis portfolio harta uang rumahtangga masih terbatas pada dua bentuk, yaitu dalam tabungan deposito dan dalam uang tunai. Dalam situasi saat ini, pilihan portfolio rumahtangga cukup banyak, seperti: asuransi, saham, reksa dana, obligasi pemerintah, obligasi luar negeri, valuta asing, dan berbagai surat berharga lainnya. Jika unsur-unsur tersebut tercakup dalam model, maka dalam struktur model perlu disisipkan pasar bursa, pasar valuta asing dan pasar surat-surat berharga, baik yang diterbitkan di dalam negeri maupun di luar negeri. Integrasi pasar bursa, valas, asuransi, dan berbagai pasar surat berharga lainnya dalam model, dapat dijadikan sebagai salah satu topik studi lanjutan; Dan (c) model komputasi keseimbangan umum dalam studi ini adalah model statis. Jika struktur model disusun menjadi model dinamis dengan memperlakukan waktu sebagai salah satu variabel, maka penggunannya untuk analisis kebijakan ekonomi akan lebih baik lagi."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1997
D94
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoni Hartono
"Studi ini hendak menganalisa dampak dan kebijakan harga energi Indonesia terhadap perekonomian kota Jakarta; khususnya terhadap pendapatan rumah tangga miskin. Studi ini juga berusaha memformulasikan kebijakan regional yang penting bagi Jakarta untuk menurunkan dampak negative dan kebijakan energi nasional ini terhadap pendapatan rumah tangga miskin. Untuk mencapai tujuan ini, dibangun sebuah model CGE (computable general equilibrium) regional. Model ini merupakan model CGE pertama di Indonesia yang dikembangkan untuk sebuah kota."
2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Coto
"Penulisan tesis ini memiliki tujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kesenjangan pendapatan rumah tangga pada setiap propinsi di Indonesia seperti pertumbuhan ekonomi, kontribusi output sektor industri, upah minimum regional, dan tingkat pendidikan pekerja. Selain itu akan dibandingkan pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi, kontribusi output sektor industri, dan upah minimum regional terhadap kesenjangan pendapatan rumah tangga sebelum dan setelah tahun 1997.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data time series tahun 1993, 1996, dan tahun 1999 dengan data cross section 26 propinsi di Indonesia tidak termasuk Timor-Timur. Variabel-variabel yang digunakan dalam mempengaruhi kesenjangan pendapatan adalah pertumbuhan ekonomi, persentase output sektor industri pengolahan, upah minimum regional propinsi, dan tingkat pendidikan pekerja. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah modifikasi dari model yang digunakan oleh Lyndon (2001) untuk menangkap pengaruh variabel bebas pada periode setelah tahun krisis moneter 1997. Metode estimasi yang digunakan adalah fixed effect yang memungkinkan adanya perbedaan tingkat kesenjangan pendapatan rumah tangga pada setiap propinsi di Indonesia.
Hasil estimasi menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi mempengaruhi persentase pendapatan 40% kelompok rumah tangga berpenghasilan terendah secara positif dan signifikan. Sebaliknya persentase output sektor industri pengolahan, upah minimum regional dan tingkat pendidikan pekerja mempengaruhi persentase pendapatan 40% kelompok pendapatan rumah tangga berpenghasilan terendah secara negatif dan signifikan. Krisis ekonomi telah membawa dampak pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesenjangan distribusi pendapatan semakin memburuk. Sebaliknya, pengaruh persentase output sektor industri pengolahan dan upah minimum regional memperbaiki kesenjangan distribusi pendapatan. Selain itu, hasil estimasi menunjukkan bahwa apabila variabel bebas tidak mengalami perubahan, propinsi Papua memiliki kesenjangan distribusi pendapatan yang paling tinggi yaitu sebesar 20,04% yang artinya 40% kelompok rumah tangga berpenghasilan terendah hanya menguasai 20,04% dari seluruh pendapatan rumah tangga propinsi tersebut. Propinsi yang memiliki kesenjangan distribusi pendapatan yang terendah adalah propinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) yaitu sebesar 29.04% yang artinya 40% kelompok rumah tangga berpenghasilan terendah menguasai 29.04% dari seluruh pendapatan rumah tangga propinsi tersebut."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2006
T 17082
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Koes Martini S.W.
"Dalam kondisi perekonomian yang belum pulih dari krisis pada tahun 1997, serta situasi politik yang masih tak menentu, Pemerintah mengambil langkah kebijakan yang kurang populer di masyarakat yaitu menaikkan harga jual BBM rata-rata 12% dalam bulan Oktober 2000. Kebijakan ini bertujuan untuk mengurangi beban subsidi BBM dalam APBN tahun 2000, yang semula dianggarkan sebesar Rp. 22,5 trilyun (diperkirakan akan membengkak menjadi Rp. 43,5 trilyun), jumlah ini sangat besar bila dihubungkan dengan defisit anggaran tahun 1999/2000 sebesar Rp. 44,1 trilyun. Dengan kenaikan harga BBM tersebut diperhitungkan dapat menurunkan subsidi BBM sebesar Rp. 800 milyar, dan selanjutnya penghematan subsidi ini dikembalikan ke masyarakat sebagai kompensasi. Di sini Pemerintah menghadapi situasi yang dilematis, di satu sisi subsidi BBM harus diupayakan dihapus karena sangat membebani keuangan negara (APBN), di lain pihak keadaan sosial ekonomi masyarakat masih dalam keadaan yang memprihatinkan, sehingga sebagian masyarakat cenderung bereaksi menolak kebijakan tersebut.
Kondisi yang diuraikan tersebut di atas melatarbelakangi penelitian ini, yang dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga BBM dan kompensasi tersebut terhadap distribusi pendapatan rumah tangga masyarakat, dengan menggunakan peralatan analisa Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) tahun 1999. Untuk keperluan ini SNSE tahun 1999 perlu dimodifikasi dengan memunculkan Pengilangan Minyak Bumi sebagai sub sektor tersendiri, tidak lagi tergabung dalam sub sektor pertambangan lainnya.
Dari SNSE yang telah dimodifikasi tersebut kemudian dapat diketahui angka-angka pengganda, yang menggambarkan dampak dari kebijakan tersebut terhadap distribusi pendapatan rumah tangga, dalam bentuk dampak global/keseluruhan, transfer, open loop maupun close loop.
Hasil analisis menunjukkan beberapa hal berikut :
1. Dilihat dari segi kebijakan, penurunan subsidi BBM selama ini hanya ditempuh melalui intervensi terhadap harga BBM, sedangkan variabel lain yang cukup dominan dalam menentukan besarnya subsidi BBM, yaitu volume konsumsi BBM dan biaya pengadaan BBM belum pernah dijadikan alternatif pemecahan.
2. Angka-angka pengganda pada kenaikan harga BBM menunjukkan bahwa:
- Secara keseluruhan kenaikan harga BBM tersebut menurunkan pendapatan rumah tangga sebesar Rp. 20.839,33 milyar (2,65%), dengan dampak terbesar diatami oleh rumah tangga Golongan Atas dan Golongan Rendah di perkotaan, yaitu dua kelompok rumah tangga yang mendominasi penggunaan BBM sebanyak 43,69% dari konsumsi BBM nasional, dengan meliputi penduduk sebanyak 23,50% dari penduduk Indonesia.
- Secara transfer, kenaikan harga BBM belum menimbulkan dampak pada sektor-sektor pendapatan. Secara open loop, kenaikan harga BBM menurunkan pendapatan rumah tangga pada sektor neraca institusi sebesar 0,74%, dengan dampak terbesar dialami oleh rumah tangga Golongan Atas dan Golongan Rendah di perkotaan.
- Secara close loop kenaikan harga BBM menurunkan pendapatan sektorsektor pada neraca produksi sebesar 1,91%, dengan dampak terbesar dialami oleh rumah tangga Golongan Atas dan Golongan Rendah di perkotaan.
3. Angka Pengganda pada kompensasi sebesar Rp. 800 milyar. Secara keseluruhan, kompensasi Pemerintah tersebut menaikkan seluruh pendapatan rumah tangga sebesar Rp. 1.624,90 milyar atau 0,21% dari pendapatan rumah tangga semula. Kenaikan pendapatan ini terdiri dari kenaikan secara transfer sebesar Rp. 0,95 milyar (0%), secara open loop Rp. 375, 28 milyar (0,05%) dan secara close loop sebesar Rp. 1.048,67 milyar atau 0,13% dari pendapatan semula.
4. Dari penurunan pendapatan dan kenaikan pendapatan pada butir 2 dan 3 tersebut di atas diperoleh dampak netto berupa penurunan pendapatan rumah tangga sebesar Rp. 19.214,43 milyar atau 2,44% dari total pendapatan semula.
5. Kenaikan harga BBM dan pemberian kompensasi dari Pemerintah ternyata membawa dampak perbaikan pada kesenjangan pendapatan rumah tangga. Kalau sebelumnya, perbandingan rata-rata pendapatan perkapita dari masingmasing golongan rumah tangga yang terendah dengan tertinggi adalah 1:5,766, maka dengan adanya kebijakan tersebut perbandingan ini menjadi I:5,442. Dari data ini terlihat bahwa penurunan subsidi memperbaiki kesenjangan pendapatan rumah tangga, sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa subsidi BBM sebaiknya dihapuskan dan BBM diperjualbelikan dengan harga pasar.
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa secara prinsip subsidi BBM perlu dihapuskan karena memperbaiki kesenjangan distribusi pendapatan rumah tangga. Namun mengingat rumah tangga masyarakat kita masih menghadapi permasalahan perekonomian, yang diindikasikan oleh tabungan masyarakat yang negatif di tahun 1999, maka pada kelompok rumah tangga masyarakat tertentu, yakni yang kurang mampu, masih perlu diberikan subsidi BBM secara langsung. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut guna menentukan target subsidi dimaksud beserta mekanisme pemberian subsidi yang seefektif mungkin."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T4691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djoni Hartono
"Studi ini dilatar belakangi oleh krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Krisis tersebut telah mengakibatkan terpuruknya kinerja perekonomian Indonesia, dimana laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1998 terkontraksi 13,68% dan pendapatan per kapita yang menurun tajam hingga di bawah 500 US dollar. Berkaitan dengan krisis tersebut, salah satu permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia adalah semakin tingginya subsidi energi, khususnya bahan bakar minyak dan Iistrik yang pada akhirnya membawa pemerintah Indonesia harus mengambil pilihan sulit yaitu dengan mengeluarkan kebijakan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik (TDL). Disamping memberikan dampak pada perekonomian nasional, krisis ini juga berdampak pada perekonomian wilayah di Indonesia yang salah satu diantaranya adalah DKI Jakarta, dimana krisis tersebut mengakibatkan terpuruknya kinerja perekonomian DKI Jakarta, bahkan dampak krisisnya Iebih parah dibandingkan dampak di tingkat nasional.
Tujuan studi ini adalah menganalisis dampak kebijakan harga energi terhadap kinerja perekonomian DKI Jakarta dengan menggunakan model komputasi keseimbangan umum sebagai alat analisis. Studi ini membahas: (1) dampak kebijakan harga energi terhadap kinerja perekonomian DKI Jakarta, terutama dampaknya terhadap distribusi pendapatan; (2) kebijakan ekonomi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta; dan (3) kebijakan ekonomi apa yang harus ditempuh pemerintah DKI Jakarta untuk mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat peningkatan harga energi terutama terhadap kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Dengan pembahasan tersebut akan memberikan gambaran mengenai kelompok masyarakat mana yang harus menanggung beban terbesar dari peningkatan harga tersebut sehingga dapat dirumuskan kebijakan ekonomi yang tepat bagi kinerja perekonomian DKI Jakarta.
Dengan membangun model komputasi keseimbangan umum yang tepat dengan berdasarkan pada Social Accounting Matrix (SAM) perekonomian DKI Jakarta, akan dianalisis dampak kebijakan harga energi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), pendapatan rumah tangga, pendapatan faktor produksi, output dan nilai tambah sektoral, harga dan jumlah komoditi, konsumsi rumah tangga dan pemerintah serta perilaku tabungan dari rumah tangga dan pemerintah. Model ini merupakan hasil modifikasi dan pengembangan yang lebih jauh dari model Resosudarmo dan Azdan (2000) yang membahas permasalahan mengenai dampak kebijakan sumber daya air terhadap distribusi pendapatan di DKI Jakarta.
Berdasarkan hasil analisis, dapat dikemukakan bahwa kebijakan menaikkan harga 138MBBG dan TDL telah membuat beberapa sektor perlu mendapat perhatian serius, khususnya dampak negatif terhadap output dan nilai tambah sektoral terutama sekali terhadap industri makanan, minuman dan tembakau, industri tekstil, kulit, kayu dan barang dari kayu dan sektor listrik, gas dan air minum yang pada gilirannya mengurangi pendapatan faktor produksi tenaga kerja khususnya tenaga kerja informal yang pada akhirnya pendapatan dari kelompok rumah tangga sangat miskin dan rumah tangga miskin menerima dampak negatif relatif besar apabila dibandingkan dengan kelompok lainnya, sehingga distribusi pendapatan menjadi lebih tidak merata. Disamping itu semua, tentunya kelompok rumah tangga sangat miskin dan rumah tangga miskin juga menerima dampak negatif terhadap pola konsumsi dan tabungannya yang pada akhirnya beban kedua kelompok rumah tangga ini dirasakan semakin berat.
Disamping itu pula dapat dikemukakan juga beberapa butir kebijakan yang dapat diterapkan, yaitu: (1) Mendorong kembali berkembangnya sektor-sektor yang bersifat padat modal, seperti Industri Makanan, Minuman dan Tembakau; Industri Tekstil, Kulit, Kayu dan Barang dari Kayu; dan Sektor Listrik, Gas dan Air Minum. Secara khusus perlu dilakukan usaha untuk mengembangkan usaha kecil dan menengah di Industri Makanan, Minuman dan Tembakau dan Industri Tekstil, Kulit, Kayu dan Barang dari Kayu, sehingga diharapkan akan meningkatkan kembali pendapatan kelompok rumah tangga sangat miskin dan rumah tangga miskin; (2) Memperbaiki infrastruktur perekonomian. Hal tersebut dimaksudkan untuk mendorong keberhasilan kebijakan di atas, sehingga upaya pemulihan dan perbaikan infrastruktur ekonomi di DKI Jakarta sangat diperlukan, terutama infrastruktur transportasi yang menjadi penunjang kegiatan perekonomian sebagian besar penduduk DKI Jakarta; dan (3) Peningkatan pendapatan kelompok rumah tangga sangat miskin dan rumah tangga miskin melalui program subsidi langsung. Program subsidi langsung dapat dilakukan melalui Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau melalui upaya peningkatan sektor pendidikan, sektor kesehatan dan sektor lainnya sehingga dapat dirasakan langsung oleh masyarakat berpenghasilan rendah tersebut_
Sekalipun model dalam studi ini telah memenuhi validitas hasil komputasi model, tetapi tidak berarti tanpa kelemahan dan beberapa catatan penting. Kelernahan clan catatan mengenai model tersebut dapat dijadikan bahan pemikiran mengenai studi sejenis di masa depan, yaitu: (1) model ini memiliki keterbatasan yaitu jumlah sektor yang digunakan dalam model ini terlalu sedikit sehingga tidak memberikan arah yang jelas sektor mana yang secara lebih terperinci memberikan dampak positif ataupun dampak negatif dengan adanya peningkatan harga energi; (2) kelemahan selanjutnya adalah mengenai data yang digunakan, dimana data-data pembentuk Tabel SAM adalah data-data perekonomian DKI Jakarta tahun 1993, namun demikian tabel tersebut adalah tabel terakhir yang tersedia dan dibangun berdasarkan hasil penelitian dimana penulis terlibat di dalamnya; (3) model ini masih mengasumsikan bahwa tidak adanya pengaruh perekonomian lain terhadap perekonomian DKI Jakarta, yang selayaknya analisis terhadap suatu wilayah juga memperhatikan aspek keterkaitan antar daerah; (4) namun demikian model komputasi keseimbangan umum (mode] RCGE) DKI Jakarta dalam studi ini adalah model yang relatif baru atau bahkan pertama kali dikembangkan di Indonesia sehingga diharapkan memberikan kontribusi positif terhadap pengembangan model sejenis untuk analisis dampak ekonomi lainnya; dan (5) model ini sudah cukup baik dalam memberikan pemahaman baru terhadap dampak perekonomian nasional terhadap perekonomian wilayah walaupun masih terbatas hanya dengan satu wilayah."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T20219
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Anggraeni
"Sebagai kota metropolitan, ketergantungan Jakarta akan sektor transportasi sangat besar. Transportasi publik sejak lama telah dilihat sebagai masalah perkotaan yang strategis, seperti yang terlihat mayoritas penduduk Jakarta sangat tergantung pada angkutan publik. Untuk itu. menyediakam pelayanan transportasi publik yang murah dan dapat menjadi tanggung jawab yang sangat penting bagi pemerintah DKI Jakarta.
Transportasi publik di Jakarta adalah sektor yang tergantung pada bahan bakar fosil sebagai sumber energinya. yang berarti bahwa peningkatan pada harga bahan bakar (BBM) akan menyebabkan peningkaian pada tariff angkutan Mulai 1 Maret 2005, pemerintah telah mengumumkan peningkatan harga BBM sebesar 30l-40%. dan sebagai akibatnya, pemilik transportasi publik menuntut peningkatan dalam tarif angkutan. Ini merupakan sebab mengapa pemerintah meningkatkan tariff sebesar 8-!9% yang dinyatakan dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 412 tahun 2005.
Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisa dampak dari kebijakan tariff angkutan publik terhadap perekonumian Jakarta, khususnya terhadap pendapatan rumah tangga. Studi ini berusaha memformulasikan kebijakan regional yang penting baigi Jakarta mengurangi dampak negatif dari kebijakan energl nasional terhadap pendapatan rumah tangga miskin. Untuk ini dibangun model regional computable general equilibrium ' (regional CGE). Model CCE dibangun berdasarkan model yang telah dikembangkan sebelumnya dengan menggunakan data yang telah di updated."
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 2006
JEPI-VI-2-Jan2006-93
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>