Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92798 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yopi Adriansyah
"Latar belakang dari penulisan tesis ini bahwa Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengenal adanya peradilan in absentia atau persidangan tanpa kehadiran terdakwa (acara pemeriksaan biasa) sejak dibukanya persidangan pertama oleh majelis hakim melainkan KUHAP menganut asas kehadiran terdakwa yang dihadapkan di muka persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum. Seorang terdakwa yang dihadapkan ke sidang pengadilan harus dalam keadaan bebas dan merdeka artinya tidak dalam keadaan terbelenggu baik jasmani maupun rohaninya. Narnun tidak demikian halnya dalam peradilan tindak pidana korupsi yang sejak awal persidangan dapat saja dilakukan oleh majelis hakim tanpa kehadiran terdakwa dengan alasan yang tidak sah sepeti tidak berada pada alamat atau tempat tinggal yang ada atau tidak dapat diketahui dimana keberadaannya lagi atau melarikan diri. Hal ini sesuai dengan Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nornor 31 Tahun 1999 menyebutkan: dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. Namun kenyataannya bahwa undang-undang tersebut tidak mengatur ketidakhadiran terdakwa di persidangan dengan alasan yang sah atau dapat dipertanggungjawabkan serta dibenarkan oleh hukum seperti terdakwa diketahui alamatnya namun tidak dapat dihadirkan di persidangan dengan alasan sakit. Jadi secara normative berbeda prinsip yang dianut KUHAP dengan Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut teori pembuktian yang berdasarkan undang-undang secara negatif (negatif wettelijke bewijst theories). Pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbleen grondsIag) yaitu peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang.
Berdasarkan teori ini dan dihubungkan dengan judul tulisan ini maka timbul pertanyaan bagaimanakah hakim mendapatkan keyakinan memutus seseorang bersalah atau tidak tanpa kehadiran tcrdakwa di persidangan (in absentia)?
Pokok bahasan dalam penulisan tesis ini akan membahas Peradilan In Absentia Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Terdakwa Tindak Pidana Korupsi dengan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah penerapan hukum acara dalam pemeriksaan peradilan pidana in absentia terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi, bagaimanakah peranan hakim dalam proses pemeriksaan peradilan pidana in absentia, bagaimanakah hambatan yang dihadapi dalam pemeriksaan peradilan pidana in absentia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16406
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endro Riski Erlazuardi
"ABSTRAK
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di daerah sangatlah diperlukan. Hanya saja
Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang mengamanahkan sementara ini di ibu kota propinsi serta keberadaan
hakim ad hoc dalam sistem peradilan pidana di dalam Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi yang kemudian menurut penulis menimbulkan beberapa permasalahan.
Metode Penelitian yang digunakan adalah normatif-empiris yang bersifat
deskriptif. Penelitian ini didasarkan pada telaah terhadap data sekunder yang akan
dipadu dengan hasil penelitian empirik yang berupa data primer. Hasil dari
penelitian ini didapatkan beberapa permasalahan yang muncul sehubungan
dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yaitu : 1) besarnya biaya yang dikeluarkan dan
sulitnya proses penanganan perkara tindak pidana korupsi; 2) sulitnya merekrut
hakim ad hoc yang memiliki pengetahuan dan kemampuan di bidang hukum
khususnya pemberantasan tindak pidana korupsi serta kurang terbukanya sistem
rekrutmen hakim karier yang tidak melibatkan peran serta masyarakat dalam
proses rekrutmen.

Abstract
The Court of Corruption is very needed. Act number 46 of 2009 ordered
establishment of The Court of Corruption, which meanwhile in the capital of the
province, as well as the presence of a judge ad hoc in the criminal justice system
which according to the author raises some problems. The research method used is
the normative-empirical. This research is based on a study of secondary data will
be combined with the empirical research results in the form of primary data. The
result of this research acquired some of the issues that appears with the enactment
of Act number 46 of 2009 which are : 1) the magnitude of the cost and difficulty
of the case handling process of the criminal acts of corruption; 2 ) the difficulty to
recruiting judge ad hoc who has knowledge and ability in the law of especially
corruption eradication, and less fair system recruitment careers judge not
involving public participation in the process of recruitment"
2012
T30271
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Gutami
"Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah ditegaskan mengenai tujuan necara kita sebagai berikut :
"Untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilen sosial".
Disamping itu dalam penjelasan Undang-undang Dasar'45 ditetapkan pula mengenai sistem pemerintahan negara kita berdasarkan atas hukum dan tidak berdasarkan kekuasaan belaka. Penjelasan ini menunjukkan bahwa Indonesia menjujung tinggi supremasi hukum yang bertujuan mewujudksn kesejahteraan umum agar teruujud masyarakat adil dan makmur.
Masyarakat sejahtera yang adil dan makmur ingin diwujudkan oleh pendiri negara kita dangan cara antara lain melalui jalur hukum. Hukum dipakai sebagai sarana untuk pengaturan masyarakat agar tujuan negara kita tercapai.
Pembentukan hukum itu sendiri merupakan suatu proses yang tidak singkat dan memerlukan pemikiran yang luas serta mendalam, disamping itu membutuhkan biaya yang mahal.
Hukum dalam tulisan ini yang dimaksud adalah peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang sah. Dengan demikian maka peraturan tertulis yang oleh penguasa pusat yang sah dapet disebut dengan Undang-undang dan peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa daerah yang sah disebut dengan Perda (Peraturan Daerah).
Pengingat proses pembentukan baik Undang-undang mau pun Perda yang tidak singkat, memerlukan pemikiran yang luas serta mendalam, disamping membutuhkan biaya yang mahal tersebut maka merupakan dorongan bagi setiap pembentuk Undang-undang maupun Perda agar mempunyai informasi yang luas mengenai masyarakat serta peraturan itu sendiri.
Karena pada dasarnya setiap peraturan itu bekerjanya di dalam masyarakat melalui orang dan bukan bekerja dalam ruang yang hampa udara, sedangkan masyarakat atau kelompok orang merupakan subjek nilai dan mempunyai kepentingan-kepentingan yang menyangkut baik pribadi, kelompok maupun.golongannya.
Oleh karena itu apabila penguasa negara kita baik yang di Pusat maupun di Daerah telah sepakat bahwa dengan pembentukan Undang-Undang maupun Perda merupakan suatu usaha yang sadar agar masyarakat dapat dipengaruhi bergerak kearah yang dikehendakinya maka penting sebagai patokan untuk diperhatikan mengenai empat prinsip yang dikemukakan oleh Sudarto yaitu :
1. Pembentuk Undang-undang harus mempunyai pengetahuan yang cukup tentang senyatanya.
2. Pembentuk Undang-Undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam, masyarakat yang berhubungan dengan keadaan itu, dengan cara-cara yang dilakukan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal ini tepat diperhitungkan dan agar dapat dihormati.
3. Pembentuk Undang-undang harus mengetahui hipotesa yang menjadi dasar Undang-undang yang bersangkutan dengan perkataan lain mempunyai pengetahuan tentang hubungan kausal antara sarana (Undang-undang dan misalnya sanksi yang ada didalamnya) dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai.
4. Pembetuk Undang-undang menguji hipotesis ini dengan perkataan lain melakukan penelitian tentang effek dari Undang-undang itu termasuk effek sampingan yang tidak diharapkannya.
Keempat prisip tersebut diatas yang harus mendapat perhatian bagi pembentuk Undang-undang baik yang di Pusat maupun di Daerah, mengingat Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang dengan masyarakat yang benar-benar polyvalent artinya bahwa masyarakat Indonesia berlaku sistem nilai yang berbeda untuk seluruh penduduk di negara ini.
Begitu pula dengan keadaan geoorafi Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau menyababkan sifat kebhinekaan atau sifat heterogen sehingga menyulitkan pembentuk Undang-undang kerena pada dasarnya sifat Undang-undang itu umum dan harus dapat berlaku sama terhadap semua warga negara akan tetapi dengan adanya perbedaan sistem nilai tersebut menyebabkan persepsi terhadap suatu Undang-undang kemungkinan tidak sama, sehingga pembentuk Undang-undang harus dapat menghindari adanya deskrepensi (ketidaksesuaian) antara pandangan yang diwujudkan denoan kata-kata dalam Undang-undang serta pandangan yang hidup dalam mesyerakat. Keadaan ini harus disadari dan diperhitungkan sebelum Undang-undang terwujud.
Adanya sifat heterogen dan perbedaan sistem nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut maka gaya bahasa yang digunakan oleh pembentuk Undang-undang baik di Pusat maupun di Daerah hendaknya mendapat perhatian khusus seperti yang dikemukakan oleh Sudarto sebaoai berikut :
1) Gaya bahasanya singkat dan sederhana, kalimat muluk-muluk hanyalah membingungkan belaka.
2) Istilah-istilah yang digtnakan sedapatnya harus absolut dan tidak relatif, sehingga memberi sedikit kemungkinan untuk perbedaan pandangan.
3) Undang-undang harus membatasi diri pada hal-hal yang nyata dan menghindarkan kiasan-kiasan dan hal - hal hipotetis.
4) Undang-undang tidak boleh.jlimet, sebab ia diperuntukkan orang-orang yang daya tangkapnya biasa, ia harus bisa dipahami oleh orang pada umumnya.
5) la tidak boleh mengaburkan masalah pokoknya denoan adanya pengecualian, pembatasan, atau perubahan kecuali apabila hal memang benar-benar diperlukan.
6) la tidak boleh terlalu banyak memberi alasan, adalah berbahaya untuk memberi alasan-alasan yang..."
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T1959
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Syskia Dannia
"Dalam kasus tindak pidana korupsi yang diajukan ke pengadilan, dakwaannya kerapkali menyangkut penyertaan (deelneming) khususnya mengenai turut serta melakukan (medeplegen). Adanya perbedaan pendapat tentang konsep pengertian dan makna ajaran turut serta melakukan (medeplegen) yang tidak dijelaskan pengertiannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, telah menimbulkan perbedaan penafsiran oleh pakar, jaksa, hakim dan advokat dalam penerapannya, sehingga mengakibatkan putusan hakim berbeda-beda dalam kasus yang sama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memperoleh gambaran tentang persyaratan yang harus dipenuhi untuk adanya turut serta melakukan (medepl.egen) dalam suatu tindak pidana serta tentang dapat tidaknya seseorang yang tidak memiliki kedudukan atau kualitas tertentu sebagai pelaku peserta.Dalam beberapa kasus terlihat bahwa Majelis hakim memutuskan tidak sesuai dengan konsep dan pengertian ajaran turut serta (niedeplegen) karena bagaimana mungkin seorang pelaku peserta terbukti melakukan perbuatan turut serta melakukan perbuatan korupsi dengan orang yang telah dilepas dari segala tuntutan hukum. Oleh karena itu nyatalah di sini bahwa semua pelaku peserta melakukan (medeplegers) harus diadili sekaligus agar tidak terjadi putusan yang saling bertentangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
T16598
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Hartanti
Jakarta: Sinar Grafika, 2007
345.023 EVI t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Ketentuan dan implementasi yang efektif tentang pengembalian atau perampasan aset hasil korupsi memiliki makna ganda bagi pemberantasan kejahatan korupsi di Indonesia, yaitu: Pertama, implementasi yang efektif ketentuan tentang pengembalian atau perampasan aset tersebut akan membantu negara dalam upaya menagnggulangi dampak buruk kejahatan korupsi. Kedua, adanya legislasi yang memuat klausul tentang pengembalian atau perampasan aset hasil kejahatan korupsi merupakan pesan jelas bagi para pelaku korupsi, bahwa tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil kejahatan korupsi, baik kekayaan Indonesia yang dilarikan ke luar negeri maupun harta kekayaan luar negeri yang ada di Indonesia."
JLI 7:4 (2010)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Samuel Paruhum
"

Skripsi ini menyajikan hasil penelitian atau kajian mengenai  Pengembalian Aset (Asset Recovery) dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi Kasus Perkara Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/PID.SUS/2018 dan No. 2486 K/PID.SUS/2017). Masalah yang dijadikan obyek penelitian dalam skripsi ini berkaitan dengan dua masalah pokok, yakni: pertama, bagaimana prinsip-prinsip terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia; dan kedua, bagaimana penerapan  peraturan terkait dengan pengembalian aset yang ada di dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017. Penelitian ini berbentuk yuridis-normatif, dengan tipe deskriptif-analitis. Simpulan yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa ketentuan pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi hanya sebatas penyitaan, perampasan, pidana uang pengganti, dan gugatan perdata, dan belum dapat menjangkau aset-aset hasil tindak tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri. Pengaturan di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi lebih menaruh fokus perhatian pada upaya memenjarakan pelaku daripada upaya pengembalian aset. Selain itu, Upaya pengembalian aset dalam perkara tindak pidana korupsi pada Putusan Mahkamah Agung No. 1318 K/Pid.Sus/2018 dan No. 2486 K/Pid.Sus/2017 dinilai belum berhasil, yang ditandai dengan minimnya aset hasil tindak pidana korupsi yang berhasil dikembalikan kepada negara untuk pemulihan kerugian keuangan negara. Berdasarkan penelitian ini, perlu dilakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga mengedepankan upaya pengembalian aset dan mengadopsi prinsip-prinsip pengembalian aset sebagaimana diatur dalam UNCAC 2003. Selain itu, diperlukan adanya unifikasi terhadap ketentuan mengenai pengembalian aset yang tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan sehingga mempermudah upaya pengembalian aset.

 


This thesis presents the results of research or studies on Asset Recovery in Corruption Cases (Case Study of Corruption Case in Supreme Court Decision No. 1318 K/PID.SUS/2018 and No. 2486 K/PID.SUS/2017). The problem which is the object of research in this thesis is related to two main problems, namely: first, how the principles are related to asset recovery in the legislation concerning the eradication of corruption in Indonesia; and second, how the application of regulations related to asset recovery contained in the legislation concerning the eradication of corruption in corruption cases in the Supreme Court Decisions No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017. This research is in the form of juridical-normative, with descriptive-analytical type. The conclusions obtained from this study are that the provisions for returning assets regulated in the legislation concerning eradicating criminal acts of corruption are limited to confiscation, forfeiture, criminal replacement money, and civil lawsuits, and have not been able to reach assets resulting from criminal acts of corruption stationed abroad. Regulations in the Law on Combating Corruption have focused more attention on efforts to imprison perpetrators rather than efforts to recover assets. In addition, efforts to recover assets in corruption cases in the Supreme Court Decree No. 1318 K/Pid.Sus/2018 and No. 2486 K/Pid.Sus/2017 is considered unsuccessful, which is marked by the lack of assets recovered resulting from criminal acts of corruption that were successfully returned to the state for recovery of state financial losses. Based on this research, it is necessary to update the Law on the Eradication of Corruption so it puts forward efforts to recover assets and adopt the principles of asset recovery as regulated in UNCAC 2003. In addition, there is a need for unification of the provisions regarding asset recovery scattered in several regulations legislation to facilitate efforts to recover assets.

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trypu Vevianto
"Tindak pidana pada awalnya merupakan tindakan yang merugikan keuangan negara. dalam perkembangannya kondisi yang diciptakan akibat tindak pidana korupsi adalah membahayakan keamanan negara, dan akhirnya tindak pidana korupsi menimbulkan bahaya keamanan asimetrik atau non-tradisional yaitu bahaya terhadap keamanan umat manusia, karena dampak negatifnya telah menambah ke dunia pendidikan, kesehatan, penyediaan sandang pangan, keagamaan dan fingsi fungsi pelayanan sosial lainnya.

Criminal acts were initially acts that were detrimental to state finances. in its development the conditions created due to criminal acts of corruption are endangering the security of the state, and ultimately corruption acts pose asymmetric or non-traditional security hazards, namely the danger to the security of mankind, because the negative effects have added to the world of education, health, food and religious clothing, religious and function of other social service functions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T29370
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rachman Uddin
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>