Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184917 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abdul Hakim Garuda Nusantara
"Since the end of World War II. international tow of human rights have a rapid and significant improvement so that Us become the primary source of law wte» state, international organization, and individual faces the human rights problems in all over the world. Efforts from the world community to improve the system of human rights protection achieve its culmination point when the UN diplomatic conference agreed the Rome Statute about International Criminal Court. Indonesia does not ratify that convention because Indonesia already has the law of human rights that is in the Law Number 26 Year 2000, This regulation applied to several cases of human rights violation in Indonesia such as Abilio Jose Osorio Soares case. Soedjarwo case, and G. M. Timbul Sitaen, In those cases, the definition of "a systematic and widespread attack" becomes the main discussion. The Rome Statute applies the principle of "non-retroactive" while the Indonesian human rights law applies the principle of "retroactive "."
2004
JHII-1-4-Juli2004-755
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretha Quina
"Skripsi ini membahas pokok permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah pengakuan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam hukum internasional?; (2) Bagaimanakah tanggung jawab yang dibebankan terhadap perusahaan transnasional terkait permasalahan lingkungan hidup dalam hukum internasional?; dan (3) Bagaimana pertanggungjawaban perusahaan transnasional terhadap pelanggaran hak atas lingkungan hidup telah diterapkan terutama dalam perkara-perkara gugatan masyarakat terhadap perusahaan transnasional?
Secara garis besar, analisis didasarkan pada studi literatur mengenai perkembangan doktrin dan pengaturan hak atas lingkungan hidup, dengan meninjau perjanjian internasional baik yang bersifat global maupun regional, instrumen soft law, dan hukum kebiasaan internasional; serta tinjauan pertanggungjawaban yang dibebankan oleh instrumen-instrumen hukum internasional terhadap perusahaan transnasional dalam hal pemenuhan hak atas lingkungan hidup. Selanjutnya dianalisis mengenai keberlakuan hak atas lingkungan hidup sebagai hukum internasional terhadap perusahaan transnasional, serta pertanggungjawaban yang dapat dibebankan terhadapnya.
Dalam analisis, dibahas mengenai tiga kasus pelanggaran hak atas lingkungan hidup oleh perusahaan transnasional, yaitu Aguinda v. Texaco, Lubbe v. Cape PLC, dan Beanal v. Freeport McMoran. Dalam analisis, dapat terlihat bahwa dalam perkara-perkara tersebut: (1) Hukum internasional tidak diterapkan secara langsung; (2) Terhentinya perkara dalam proses yurisdiksi; (3) Adanya irisan ranah hukum publik dan privat dalam substansi dan formil perkara; (4) Pelanggaran hak atas lingkungan hidup diterjemahkan dalam pelanggaran hak-hak asasi secara umum; dan (5) Adanya irisan antara akuntabilitas dan liabilitas perusahaan transnasional. Selain itu, terdapat kecenderungan bahwa pengaturan tanggung jawab lingkungan hidup terhadap perusahaan transnasional ini akan menjadi hukum internasional di masa depan.
Secara ringkas, simpulan yang didapat menjawab secara positif adanya pengakuan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia dalam hukum internasional, namun pengaturan pertanggungjawabannya terhadap perusahaan transnasional masih mendasarkan pada instrumen yang bersifat sukarela tanpa menyinggung liabilitas, sehingga masyarakat yang dirugikan masih kesulitan untuk mendapatkan ganti kerugian atas hak-hak asasinya yang dilanggar karena perusakan lingkungan oleh perusahaan transnasional.

This undergraduate thesis tries to answer following questions: (1) How does right to environment recognized as a part of human rights in international law?; (2) How does liability imposed upon transnational corporation related to environmental harms in international law; (3) How does transnational corporations' liability has been enforced in claims by injured civilians towards transnational corporations?
Generally, the analysis is based on literature study concerning development of doctrine and regulation on right to environment, considering global and regional treaties and soft law instruments, also customary international law; and examination of liability imposed by international legal instruments on transnational corporations in regards of fulfillment of right to environment.
Further, Writer analyses enforceability of right to environment as international law towards transnational corporations, and liability imposed upon them. In analysis, three cases on environmental violations by transnational corporations have been examined, which are Aguinda v. Texaco, Lubbe v. Cape PLC, and Beanal v. Freeport McMoran. It is concluded that in such cases: (1) International law is not imposed directly; (2) Dismissal on jurisdictional process; (3) The intersection of public and private legal area in the substance and process of the cases; (4) Violation of right to environment is translated into violations of general human rights; (5) The intersection of transnational corporations' accountability and liability. Further, there is a tendency that regulation of environmental liability to transnational corporations will be international law in the future.
In brief, the conclusion answers in positive the recognition of right to environment as a part of human rights in international law, yet still bases transnational corporation accountability on the voluntary instruments silent on liability provisions, causing the injured community troubled in demanding compensation for their violated right to environment related to environmental harms by transnational corporations.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S43168
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
A. Masyhur Effendi
Bandung: Alumni, 1980
341.48 MAS t
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Asyifa Mastura
"

Penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu bagi masyarakat Aceh begitu penting untuk segera dirumuskan dan dilaksanakan. Kepentingan tersebut tidak hanya untuk menjawab hak korban yang mengalami pelanggaran HAM berat ataupun mengadili pelakunya, namun penting untuk menata kembali masa depan masyarakat Aceh. Penelitian ini disusun sebagai penelitian normatif, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, sejarah dan perbandingan.  Dengan melihat perspektif sejarah, pengetahuan atau teori yang sudah ada mengenai pelaksanaan kebijakan Penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di Provinsi Aceh, hingga saat ini tidak ada kemajuan apapun dalam penaganan kasus pelanggaran HAM di Aceh. Dianulirnya Undang-Undang KKR Tahun 2004 dan penundaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, membuat Qanun No. 17 Tahun 2013 tentang KKR Aceh tidak jelas keberadaanya. Keberadaan KKR Aceh, hendaknya menjadi solusi dari kekerasan yang panjang sekaligus jalan hukum demi menegakkan keadilan, dimana setiap permasalahan yang dihadapi harus dicarikan solusi bijak, bukan malah menunda-nunda untuk diselesaikan. Presiden sebagai Kepala Negara seharusnya memberikan akan kejelasan terhadap batas waktu Penuntasan pelanggaran Hak Asasi Manusia pada masa lalu agar terciptanya kepastian hukum bagi para korban pelanggaran HAM berat itu.

 

 


The resolution of past gross human rights violations for the Acehnese people is so important to be formulated and implemented immediately. The importance is not only to answer the rights of victims who experience gross human rights violations or try the perpetrators, but it is important to reorganize the future of the Acehnese people. It is a normative study, using a legal, conceptual, historical, and comparison approach. By looking at the existing historical, knowledge or theoretical perspectives on the implementation of the policy of resolving cases of the gross human rights violations in Aceh Province, until now there has been no progress in handling cases of human rights violations in Aceh. The annulment of the 2004 The Truth and Reconciliation Commission (KKR) Law and the postponement of the establishment of the Truth and Reconciliation Commission make the existence of Qanun (Islamic Bylaw) No. 17 of 2013 concerning KKR Aceh is not clear. The existence of the Aceh KKR should be a solution to long violence as well as a legal way to uphold justice, where every problem faced must be found a wise solution rather than delaying it to be resolved. The President as Head of State should provide clarity on the deadline for completing violations of human rights in the past in order to create legal certainty for victims of gross violations.

"
2019
T52676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Realizing a basic human right's court is not as easy writing or speaking, but it needs a concrete policy that is the commitment of a country to implement basic human rights in the social and political life as the realization of respect to the humanity of human beings. Indonesia is one of the countries which has clear commitment toward the protection of basic human rights as stated in the Preambule of The 1945 Constitution. Such as a commitment has been followed up by a concrete policy in the form of AdHoc Basic Human Right;s Court by the enactment of No. 26/2000 Law which was enacted in May 2002. Considering that Indonesia has not yet ratified the Statuta of International Criminal Court it is hoped that Human Right's Court in Indonesia would be able and willing to bring various cases of heavy violations toward basic human right's occuring in Indonesia nowadays to trial independently and impartialy. In other words The Basic Human Right's Court in Indonesia could convince the world that Indonesian Government is willing and able to settle heavy violations toward Basic Human Rights that so far have occured in Indonesia based on the standard of International Law."
2004
340 JEPX 24:1 (2004)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Chandra Anggiat L.
"Pelanggaran HAM Berat Timor Timur yang terjadi dalam kurun waktu Januari-September 1999 pada saat pra dan pasca jajak pendapat menurut KPP HAM TIMTIM, berdasarkan fakta dokumen, keterangan dan kesaksian, dari berbagai pihak, pelanggaran tersebut tak hanya merupakan tindakan yang dapat digolongkan sebagai pelanggaran berat Hak Asasi Manusia atau gross violation of human rights yang menjadi tanggung jawab negara (states responsibilities), namun dapat dipastikan, seluruh pelanggaran berat HAM tersebut dapat digolongkan sebagai universal jurisdiction. Yaitu mencakup pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran dan pemindahan paksa serta lain-lain tindakan tidak manusiawi, terhadap penduduk sipil, ini adalah pelanggaran berat atas hak hidup (the rights to life), hak atas intregrasi jasmani (the rights to personal integrity), hak akan kebebasan (the rights to liberty), hak akan kebebasan bergerak dan bermukim (the rights of movement and to residence), serta hak milik (the rights to property).
Pemerintah atas desakan internasional akhirnya mengadakan persidangan terhadap pelaku melalui Pengadilan HAM Ad Hoc TIMTIM di Jakarta. Seperti yang sudah diperkirakan bahwa akan terjadi kekecewaan dalam vonis pengadilan tersebut. Hal ini sudah terlihat dari kerancuan definisi-definisi mengenai pelaku pelanggar HAM, tindakan pidana dan tanggung jawab komando dalam pasal-pasal di UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM serta ketidakmampuan para penegak hukum dalam membuktikan dakwaan yang dimaksudkan. Dunia Internasional kecewa terhadap vonis yang telah dikeluarkan dan melalui Komisi Ahli PBB direkomendasikan agar dilakukan pengadilan ulang atau dilakukan pengadilan tribunal. Untuk itu Indonesia harus menyikapi secara serius hal-hal tersebut dan sesegera mungkin mengubah cara pandang pespektif HAM sesuai dengan Hukum Internasional dan melaksanakan perbaikan-perbaikan terhadap perundangundangannya sehingga tidak terulang kembali pelanggaran HAM yang serupa. Dan hendaknya di kawasan Asia Tenggara di bentuk Pengadilan HAM agar HAM dapat ditegakkan, karena pada hakekatnya Penegakan HAM adalah tugas negara dan jika negara gagal melakukannya maka negara yang harus diadili sebagai bentuk tanggung jawab di dunia internasional melalui pengadilan yang tidak dibentuk oleh negara yang bersangkutan tapi merupakan pengadilan yang sesuai dengan standar internasional."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T16509
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fazari Zul Hasmi Kanggas
"

Negara Indonesia melindungi dan menjamin hak asasi manusia setiap warga negaranya sebagaimana yang telah tertulis pada Pasal 28A sampai dengan 28I UUD 1945. Dengan adanya jaminan dari negara atas hak-hak tersebut, bukan berarti negara telah membuka pintu seluas-luasnya kepada warganya untuk melakukan segala macam perbuatan tanpa batas, sebagaimana yang ada pada Pasal 28J UUD 1945. Lesbian Gay Bisexual and Transgender merupakan sebuah penyimpangan dalam perilaku seksual.Beberapa kelompok di negara-negara eropa membungkus bentuk penyimpangan tersebut dengan sebuah “bungkus” yang bernama hak asasi manusia guna justifikasi terhadap prilaku homoseksual dan legalisasi perkawinan sejenis. Dalam penelitian ini mempunyai dua rumusan masalah yaitu; I) Bagaimana pandangan Hak asasi manusia di Indonesia terhadap perkawinan sesama jenis dan perbuatan homoseksual? II) Bagaimana norma hukum yang berlaku di Indonesia dalam menyikapi fenomena perkawinan sejenis dan perbuatan homoseksual kaum  LGBT dengan mempertimbangkan Hak Asasi Manusia? Penelitian ini merupakan penelitan normatif dengan sumber data sekunder. Menggunakan teknik pengumpulan data dengan studi pustaka dan wawancara. Sedangkan analisis data mengunakan analisis kualitatif sehingga bentuk penelitian ini merupakan penelitian evaluatif. Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan konsep, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan sejarah. Pada akhirnya penelitan ini menyimpulkan I) berdasarkan cara pandang theosentris perkawinan sejenis dan prilaku homoseksual bukan merupakan hak asasi manusia, sedangkan berdasarkan cara pandang antroposentris, sebaliknya. II) Indonesia adalah negara yang menganut teori hukum alam irasional dengan pandangan theorisentris, sehingga prilaku homoseksual dan perkawinan sejenis sejatinya telah bertentangan dengan Pancasila dan norma hukum yang berlaku. Penelitian ini menyarankan agar Pemerintah Indonesia merumuskan adanya norma hukum yang melarang prilaku homoseksual dan perkawinan sejenis.


The Indonesian state protects and guarantees the human rights of every citizen. Protection of these rights is written in Articles 28A through 28I of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. With the guarantee from the state of the rights possessed by each citizen, it does not mean that the state has opened the widest possible door for its citizens to do all kinds of actions according to their own personal desires without clear boundaries. In Article 28J of the 1945 Constitution, according to Article 28J paragraph (2) of the 1945 Constitution Lesbian Bisexual and Transgender Gay is a deviation in sexual behavior. Some groups in European countries wrap the form of deviation with a "wrapper" called human rights for justification of homosexual behavior and the legalization of similar marriage. In this study there are two formulation of the problem, namely; I) What is the view of human rights in Indonesia towards same-sex marriage and homosexual behavior of LGBT people? II) What are the legal norms in force in addressing the phenomenon of similar marriages and homosexual behavior of LGBT people by considering human rights? This research is normative research with secondary data sources consisting of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. Using data collection techniques with literature studies and interviews. While the data analysis uses qualitative analysis so that the form of this research is evaluative research. The approach taken is the conceptual approach, legislative approach and historical approach. The purpose of this study is I) The purpose of writing this paper is to explain more about the human rights perspective in Indonesia in addressing homosexual behavior of LGBT people and same-sex marriage. II) to explain the legal norms in Indonesia in responding to homosexual behavior of LGBT people and same-sex marriage based on consideration of the concept of human rights in Indonesia In the end, this research concludes I) that based on irrational natural law theory with theorocentric views will see homosexual and marital behavior of a kind not part of human rights, but based on rational natural law theory with an anthropocentric view will see this as part of human rights. II) Indonesia is a country that adheres to irrational natural law theory with a theoretic view, so that homosexual and marital behaviors of a kind have actually contradicted Pancasila, Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights Suggestions from this study suggest that the Indonesian Government formulate legal norms that prohibit similar homosexual and marital behavior.

"
2019
T54415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting, Longgena
"Environmental issue become more popular since the Stockholm Conference about the human environment and Rio de Janeiro Summit (Earth Summit), that bring brings so many changes in environmental matters. Human rights that has the important role in international law, is also related to the environmental issue. As an Indonesian Environmental NGO, WALHI tries to protect the human rights related to environment. This article tries to discuss the relation between the environmental rights with human rights and why WALHI has concern on it."
2005
JHII-2-2-Jan2005-311
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>