Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213108 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Santoso
"Industri batik sudah berkembang lama di Indonesia dan merupakan salah satu lapangan kerja bagi sejumlah tenaga kerja di kota maupun di desa. Pada dasarnya perindustrian mengakibatkan dua dampak, yaitu dampak positif yang berupa timbulnya mata pencaharian dan lapangan kerja serta pengembangan wilayah, dampak negatif berupa pencemaran lingkungan kerja yang dapat menimbulkan penyakit akibat kerja.
Industri batik adalah salah satu industri yang sudah berkembang lama di Surakarta dan di Pekalongan bahkan menjadikan Kota Surakarta dan Pekalongan terkenal dengan Kota Batik. Industri ini mempunyai kaitan dengan kebudayaan Jawa. Oleh karena itu keberadaan industri batik harus tetap dilestarikan, bahkan perlu dilakukan upaya peningkatan.
Tenaga kerja di industri batik adalah tenaga kerja khusus, harus mempunyai keterampilan tersendiri. Tidak semua orang mau bekerja sebagai tukang cap di industri batik. Meskipun gaji (upah) yang diterima rendah, pekerja di industri batik tetap menekuni pekerjaannya. Perpindahan pekerjaan (turn work over) di industri batik sangat rendah. Mengingat anqka perpindahan pekerjaan yang rendah, perlu dilakukan upaya peningkatan keterampilan kepada tenaga kerja, disamping upaya perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.
Industri batik menggunakan beberapa bahan yaitu parafin, gondorukem (colophony, rosin), damar, microwax dan lemak hewan. Bahan-bahan tersebut diproses menjadi satu disebut "malam batik". Untuk membuat motif batik pada kain, malam batik dipanaskan sehingga keluar asap malam batik yang mengandung polutan dan menimbulkan pencemaran lingkungan kerja. Polutan tersebut terdiri dari gas-gas dan partikel. Satu hasil analisa kualitatif menun-jukkan bahwa asap malam batik mengandung NO,, CO, CO,, CH,, C,H,, H,S (Budiono, 1984; Santoso, 1986).
Polutan yang terdapat di lingkungan kerja jika dihirup tenaga kerja diduga dapat menimbulkan gangguan faal paru dan jika proses ini berjalan lama mungkin menimbulkan penyakit akibat kerja (Morgan & Seaton, 1975; Lams, Chan-Yeung 1987). Polutan ini diperkirakan menimbulkan kerusakan akut atau kronis pada saluran pernapasan dan jaringan paru, kerusakan ini tergantung pada konsentrasi polutan, lama terpapar dan kerentanan tubuh (Purdom, 1980; Smith, 1988).
Pemeriksaan lingkungan kerja dan kesehatan tenaga kerja merupakan upaya penting dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat serta peningkatan derajat kesehatan tenaga kerja. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1993
D297
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakhrur Razi
"Ruang lingkup dan cara penelitian:
Sejak awal tahun 1800-an mulai diketahui hubungan antara pajanan debu batubara dengan risiko terkena penyakit paru pada pekerja tambang. Penyakit paru yang timbul akibat pajanan debu batubara dalam jangka waktu lama antara lain pneumokoniosis penambang batubara (PPB), bronkitis kronis dan asma kerja. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara gangguan paru dan pajanan debu batubara pada pekerja tambang bagian penggalian Bucket Wheel Escavator (BWE) System di PT "X". Disain penelitian historical cohort digunakan untuk mengetahui insidens pneumokoniosis. Untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor pada pekerja, lingkungan kerja dan debu batubara dengan terjadinya gangguan faal paru digunakan metode cross sectional. Populasi penelitian adalah 170 pekerja di bagian penggalian BWE system. Pengambilan sampel dilakukan secara total population, dan diperoleh jumlah sampei yang memenuhi kriteria inklusi 166 orang.
Hasil dan kesimpulan:
Insidens pneumokoniosis pada pekerja tambang bagian penggalian BWE system di PT "X" sejak tahun 1992 sampai 2002 adalah 6 orang (3,6%) dari 166 pekerja. Prevalensi bronkitis kronik pada tahun 2003 adalah 7,23%, sedangkan prevalensi kelainan faal paru obstruksi dan restriksi adalah C.% dan 7,8%. Karakteristik sosiodemografi pekerja tidak berhubungan dengan terjadinya gangguan kesehatan paru. Insidens pneumokoniosis berhubungan dengan area kerja terbuka/tertutup dan masa kerja. Kebiasaan merokok berlubungan dengan terjadinya batuk kronik dan sesak napas.

Scope and method:
Exposure to coal dust has long been associated with the risk of respiratory/lung diseases. Chronic exposure has been reported to lead to higher incidence/prevalence of pneumoconiosis, chronic bronchitis and asthma. This study was done to investigate the effect or exposure to coal dust on lung of mining workers in BWE system department of PT "X". A historical cohort study was done to get data on incidence of pneumoconiosis. To learn about the association of work environment, coal dust exposure and other factors, a cross sectional design was used. The sample for this study used total population who met the inclusion criteria . A total sample 166 people were studied.
Result and conclusion:
The incidence rate of pneumoconiosis in this study is 6 workers (3,6%) from 166 workers. The prevalence of chronic bronchitis in 2003 was 7,23%, while the prevalence of respiratory function impairment, obstruction and restriction, was 6,0% and 7,8%. This study indicated that there was no relationship between sociodemographic characteristics and the lung/respiratory diseases. There were significant association of pneumoconiosis with opened/closed area and the period of work. This study also found a relationship between smoking habits and the prevalence of chronic cough and breathlessness.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Ismiati
"Penelitian dilakukan pada tenaga kerja yang terpajan debu hasil pembakaran sampah di bagian boiler pabrik sepatu olah raga. Pajanan debu dapat menimbulkan gejala pengawasan berupa batuk kronik, dahak kronik, sesak nafas, serta gejala bronkitis kronik yang dapat memberikan gambaran penurunan fungsi paru obstruksi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mencegah terjadinya gangguan fungsi paru pada tenaga kerja di bagian boiler, dengan cara meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku dalam menggunakan alat pelindung diri (APD) saluran nafas.
Disain penelitian menggunakan cara studi operasional yang dilakukan terhadap seluruh populasi tenaga kerja di bagian boiler (12 orang), selama 1 bulan. Cara pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner, pemeriksaan fisik, pemeriksaan fungsi ventilasi paru, serta pemeriksaan foto toraks. Selanjutnya dilakukan intervensi berupa penyuluhan serta monitoring dan pengawasan penggunaan APD saluran nafas.
Hasil dari penelitian ini didapatkan keluhan batuk kronik 25 %, dahak kronik 33,3 %, sesak nafas 16,7 %, bronkitis kronik 25 %, serta gangguan fungsi paru obstruksi 25 %. Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok umur, lama kerja, perilaku merokok dan perilaku menggunakan APD saluran naf as terhadap terjadinya bronkitis kronik maupun obstruksi (p>0,05). Risiko terjadi obstruksi 2,5 kali lebih besar pada tenaga kerja yang telah bekerja lebih dari. 5 tahun (OR=2,5).
Risiko terjadi obstruksi 1,6 kali lebih besar pada tenaga kerja yang tidak menggunakan APD saluran nafas (OR=1,6). Intervensi yang dilakukan menunjukkan keberhasilan yang sangat bermakna yaitu terdapat peningkatan pengetahuan tentang APD saluran nafas sebesar 58,4 % (0,001"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Widyawati
"Telah dilakukan penelitian peran n-acetlylcsteine (NAC) dosis tinggi jangka pendek pada perubahan klinis dan kadar protein C-reaktif (CRP) penderita penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain completely randomized experiment. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran n-acetylcysteine dosis tinggi jangka pendek terhadap perubahan kiinis dan nilai CRP penderita PPOK eksaserbasi akut.
Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua penderita PPOK eksaserbasi akut tanpa disertai gagal jantung, penyakit hepar, batu ginjal dan gagal ginjal, kanker paru, infeksi di Iuar saluran pernapasan, diabetes melitus dan pemakai kortikosteroid oral. Semua penderita dinilai skala klinis dan CRP sebelum dan 5 hari setelah periakuan. Penilaian skala klinis berupa kesulitan mengeluarkan dahak dan auskultasi paw. Pemeriksaan nilai CRP menggunakan metode kuantitatif high sensity CRP.
Subyek penelitian berjumlah 42 orang, secara random dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol, NAG 600 mg dan NAC 1200 mg, masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Semua subyek penelitian mendapatkan terapi standar berupa aminofilin drip, cefotaxim 1 gram 1 12 jam IV, metilprednisoion 62,5 mg 1 8 jam IV, nebulizer ipratropium bromida 4x20 µg/hari dan fenoterol 4x200 µg/hari. Penelitian diikuti selama 5 hari dan tiap hari dinilai skala klinis. Data yang diperoleh dianalisis uji beda dengan ANOVA dan uji korelasi dengan uji pearson, dikatakan bermakna bila p < 0,05.
Hasil penelitian didapatkan perbedaan penurunan skala klinis antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 1,21 (p=0,001), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg 3,71 (p=0,000), dan kelompok NAC 600 mg dengan NAC 1200 mg 2,50 (p=000). Perbedaan penurunan rata-rata kadar CRP antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 16,93 (p=0,266), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg -14,97 (p=0,39). Lama perawatan di rumah sakit kelompok kontrol adalah 6-14 hari, rata-rata 7 hari (SD 2,287), kelompok NAC 600 6-12 hari, rata-rata 6,71 hari (SD 1,637) dan kelompok NAC 1200 6-10 hari, rata-rata 6,50 hari (SD 1,160). Uji korelasi antara kadar CRP dengan hitung leukosit didapatkan korelasi sedang dan bermakna. (r=0,402; p=0,08), dan korelasi antara kadar CRP dan hitung jenis neutrofil adalah korelasi sedang dan bermakna. (r-0,423; p=0,05). Hasil penelitian di atas menunjukkan perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibandingan tanpa pemberian NAC. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding tanpa pemberian NAC. Perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim.
Kesimpulan penelitian adalah pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dapat memberikan perbaikan klinis pada penderita PPOK eksaserbasi akut, tetapi tidak terdapat perubahan nilai CRP yang bermakna.

Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is an obstructive airway disorder characterized by slowly progressive and irreversible or only partially reversible. Oxidative stress is increased in patients with COPD, particularly during exacerbations and reactive oxygen species contribute to its path physiology. These suggest that antioxidants may be use in the treatment of COPD. Other studies have shown that nacetylcysteine (NAC) has antioxidant and antiinflamatory properties. In vitro, NAC inhibit neutrophil chemotaxis, interleukin (1L)-8 secretion and other pro-inflammatory mediators such as the transcription nuclear factor (NF)-izB, which is directly correlated with the production of the systemic inflammatory marker C-reactive protein (CRP).
The aim of this study was to evaluate the role of high dose-short course n-acetylcysteine in clinical improvement and C - reactive protein's patients with exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Forty two patients exacerbations of COPD participated in this study. The subjects were randomly assigned, divided by three treatment groups: placebo (n=14), NAC 600 mg/day (n=14) and NAC 1200 mg/day (n=14). Concomintant use of inhaled B2-agonist and anticholinergics, aminophylline drip, cefotaxim 1g/12h, methylprednisolon 62,5mg/8h were permitted during the study, while the use of antitussive and mucolitic were prohibited. Clinical symptoms were scored on 2-point scales, difficulty of expectoration and auscultation breath sound. CRP level are determined by high sensitivity C-reactive protein (HS-CRP). All measurements would be taken in baseline and were repeated after 5 days.
The results of this study showed that clinical outcomes were improved significantly in patients treated with NAC compared to placebo and clinical outcome of patients treated with NAC 1200 mg/day were more frequently significant than treated with NAC 600 mg/day. There was no significantly reduction in CRP level.
The conclusion was treatment with high dose short course NAC improving clinical outcomes in patients exacerbations of COPD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18029
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadi Iwan Guntoro
"Pembedahan di daerah toraks dan abdomen sering menimbulkan komplikasi pascabedah terutama mempengaruhi sistem pernapasan yang mempunyai risiko besar terjadi penyulit pascabedah. Kemajuan teknologi dalam bidang kedokteran yang meliputi kemajuan teknik pembedahan, obat-obatan dan cara anestesi memungkinkan untuk melakukan tindakan bedah pada kasus-kasus dengan kelainan kardiopulmoner yang sebelumnya tidak dapat dioperasi sehingga konsekuensinya angka morbiditi dan mortaliti pascabedah dapat meningkat.
Untuk mengurangi kekerapan komplikasi pare pascabedah dan menurunkan morbiditi dan morta.liti serta masa penyembuhan yang lebih cepat maka diperlukan persiapan prabedah yang baik. Persiapan prabedah ini diperlukan untuk dapat :
1. Mengidentif kasi faktor risiko yang berhubungan dengan penderita dan operasinya.
2. Memisahkan penderita termasuk dalam kelompok risiko rendah atau tinggi.
Pilihan jenis pembedahan misalnya segmentektomi, lobektomi, pneumonektomi dan lain-lain didasarkan pada ukuran lesi, letak lesi, faal pant dan penyakit yang mendasari tetapi penentuan terakhir dilakukan pada saat pembedahan.
Pemeriksaan faal paru selain berguna untuk pemeriksaan penunjang diagnostik penyakit part juga untuk menilai perkembangan perjalanan penyakit paru tertentu, efek pemberian pengobatan, deteksi dini penyakit paru tertentu, menilai prognosis penyakit dan mengetahui toleransi operasi. Pemeriksaan ini dapat memperoleh prediksi faal pant penderita pascabedah paru serta risiko selama dan sesudah pembedahan sehingga dapat diambil tindakan penanggulangan menjelang pembedahan. Salah sate cara untuk mengetahui faal part adalah pemeriksaan dengan menggunakan spirometri. Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan faal paru sederhana yang paling sering dilakukan karena murah, praktis dan mudah digunakan tetapi cukup memberi informasi yang diperlukan.
Sampai saat ini belum ditemukan penelitian untuk mendeteksi pengaruh berbagai faktor risiko yang hares diperhatikan sebelum dilakukan bedah toraks terhadap faal paru penderita setelah pelaksanaan bedah toraks. Peneliti ingin melihat apakah faktor-faktor risiko tersebut mempengaruhi faal paru penderita pascabedah toraks. Penelitian serupa belum pernah dilaksanakan."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Raharja Santosa
"[ABSTRAK
Praktik Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Kekhususan Respirasi di RSUP Persahabatan Jakarta bertujuan untuk mengaplikasikan peranners spesialis da1am mengelola pasien dengan gangguan sistem respirasi melalui pendekatan Model Adaptasi Roy (MAR). Seorang ners spesialis memiliki target memberikan asuhan keperawatan sebanyak 30 pasien sebagai resume dan 1 pasien sebagai laporan kelolaan utama pada pasien kanker paro. Peran ners spesialis juga menerapkan tindakan keperawatan berbasis bukti ilmiah (evidence based musing practice) dengan memberikan latihan progressive muscle relaclation (PMR) dalam mengontrol breathlessness pada pasien kanker peru, Selain itu ners spesialis sebagai pembaharu melakukan inovasi Water Seal Drainoge (WSD) Pionir 1 botol, etas dasar aspek estetika, quality and safety guna meningkatkan kualitas pelayanan keperawatan dan rumah sakit. Hasil praktik menunjukkan bahwa MAR. Efektif digunakan pada pasien dengan gangguan sistem respirasi dan PMR memiliki kecenderungan mengon1ro1 breathlessness pada pasien kanker pam dan kegiatan inovasi mendapat respon positif dari pibak rumah sakit untuk menjadi agenda penelitian bersama.

ABSTRACT
Surgical Nursing Residency Practice in Respiratory Speciality aims to apply of nurse specialist in caring and supervising respiratory disorders patients through Roy Adaptation Model (RAM) approach at Persahabatan Hospital Jakarta. A nurse specialist has a target to give nursing care to thirty patients as resume and one lung cancer case as primary patient. The other role of nurse specialist is implementing evidence based nursing practice by providing Progressive Muscle Relactation (PMR) exercise in terms of controlling breathlessness especially to lung cancer patient. Furthermore, the other role of nurse specialist is to be an innovator and a change agent on Water Seal Drainage (WSD) Pioneer program based on aesthetic, quality, and safety aspect in order to improve nursing and hospital services. The result shows that RAM is effective to respiratory disorders patients and PMR tends to control breathlessness of lung cancerpatients. Conclusion, this innovative activity gels a positive response from the hospital to be a joint researchagenda., Surgical Nursing Residency Practice in Respiratory Speciality aims to apply of nurse specialist in caring and supervising respiratory disorders patients through Roy Adaptation Model (RAM) approach at Persahabatan Hospital Jakarta. A nurse specialist has a target to give nursing care to thirty patients as resume and one lung cancer case as primary patient. The other role of nurse specialist is implementing evidence based nursing practice by providing Progressive Muscle Relactation (PMR) exercise in terms of controlling breathlessness especially to lung cancer patient. Furthermore, the other role of nurse specialist is to be an innovator and a change agent on Water Seal Drainage (WSD) Pioneer program based on aesthetic, quality, and safety aspect in order to improve nursing and hospital services. The result shows that RAM is effective to respiratory disorders patients and PMR tends to control breathlessness of lung cancerpatients. Conclusion, this innovative activity gels a positive response from the hospital to be a joint researchagenda.]"
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ulinta Bangun
"Salah satu dampak negatif perkembangan pembangunan khususnya industri adalah pencemaran lingkungan kerja. Debu adalah salah satu pajanan akibat proses industrialisasi yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan khususnya paru dan akan dapat mengakibatkan turunnya kualitas dan produktivitas kerja . Perusahaan P.T. A di Bandung Jawa Barat adalah salah satu usaha penambangan batuan untuk konstruksi bangunan yang diketahui mempunyai tingkat pajanan debu yang tinggi dan berpotensi menimbulkan gangguan paru.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi kesehatan paru pekerja perusahaan tersebut dengan menilai gambaran radiologi X ray paru berdasarkan klasifikasi standar internasional ILO.
Penelitian ini bersifat analitik deskriptif dengan pendekatan cross sectional yang dilakukan pada 51 pekerja yang bekerja di dua unit bagian penambangan dan tiga unit bagian penggilingan.
Dari hasil penelitian, diketahui kadar debu lingkungan kerja kerja ke lima unit tersebut berkisar antara 2.09347 mg/m3 - 22.4887 mg/m3. Sedangkan Batas yang ditetapkan adalah 10 mg/m3, Prevalensi rate Pneumokoniosis adalah 9.8 % atau 5 orang dari 51 pekerja. Masa-kerja z 10 tahun berhubungan dengan timbulnya Pneumokoniosis di mana kemungkinannya 12 kali dibandingkan dengan masa kerja < 10 tahun. Demikian juga riwayat pekerjaan, bila pernah bekerja pada usaha sejenis berkemungkinan 22 kali untuk timbulnya Pneumokoniosis dibandingkan dengan riwayat tidak pernah bekerja pada usaha sejenis. Bagian penambangan dan bagian penggilingan mempunyai risiko yang sama untuk timbulnya Pneumokoniosis. Dari 51 pekerja , 95.1 % diketahui memakai APD yang buruk. Tidak didapat hubungan pemakaian APD, jenis kelamin dengan Pneumokoniosis. Usia pekerja, jarak tempat tinggal ke perusahaan juga tidak ada hubungan walaupun dapat dijadikan sebagai kandidat model.
Dapat disimpulkan bahwa masa kerja dan pernah bekerja pada usaha sejenis mempunyai hubungan untuk timbulnya Pneumokoniosis.
Dengan melihat hasil penelitian tersebut disarankan, adanya pemeriksaan khusus paru pra kerja dan berkala maupun khusus melalui pemeriksaan X ray paru ataupun Spirometer. Demikian juga pemeriksaan jenis batu/debu untuk mengetahui kadar silika bebas. Sebagai saran tambahan agar dilakukan rotasi pekerja untuk menghindarkan pajanan yang tinggi dan lama.
Daftar bacaan = 40 ( 1979 - 1997)

Epidemiological Analysis of Pneumoconiosis Based on Chest X-Ray Radiograph Standard Classification of International Labour Organization (ILO) Among Workers of Stone Mine in `A' Corporated in Bandung West JavaOne of negative impact of industrial development is pollution in occupational environment. Dust is one of exposures as an industrialization process which can cause health disorder especially lung and also decrease work quality and productivity. "A" Corporated, located in Bandung West Java is one of business in stone mine for building construction known high level of dust exposure and potential to cause lung disorder.
The objective of this research is to find the condition of lung health of company workers by examine radiology description of Chest X ray based on standard ILO classification.
Research methodology is descriptive analytic conducted by cross sectional approach which is carried out among 51 workers in two mining unit in section and three unit mill section.
Result found that, dust concentration in occupational environment in five unit section range between 2.09347 mglm3 - 22.4887 mg/m3. Where as limit value determined is 10 mglm3. Pneumoconiosis prevalency rate is 9.8 % or 5 (five) of 51 workers.The length of work ? 10 years has relationship with Pneumoconiosis where ats possibility is 12 times compared to length of work < 10 years. Also the history of work, if the workers have worked in same business, the possibility to get Pneumoconiosis is 22 times compared to the workers with to history that they never worked in the same business. Both mining and mill unit section have same risk of Pneumoconiosis. Result found that from 51 workers, 95.1 % of them wear poor APD. There is no relationship between APD usage, sex and Pneumoconiosis. And there is no relationship between workers age, distance from residence to the company and Pneumoconiosis , ever though they are possible to be a model candidate.
Resift concluded that the variable of length of work and had worked in the same business have relationship with Pneumoconiosis.
Based on this condition, we may able to suggested company should be lung examine before work and periodically by using X ray or Spirometer. The kind of stone and dust also should be examine to find out the content of free silicate and also rotation of workers should be conducted periodically.
References : 40 (1979 - 1997)
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1998
T 1086
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indrawati Sugianto
"Tujuan. Banyak pabrik di Indonesia yang mempunyai pajanan silika tinggi seperti pabrik keramik dan pabrik semen, namun belum ada penelitian mengenai penyakit gangguan restriktif pada pekerja akibat pajanan silika. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui prevalensi penyakit gangguan paru restriktif pada pekerja laki laki.
Metode. Desain penelitian ini adalah cross sectional ,data diambil dari data sekunder bagian batching plant, furnace, cutting line, dan administrasi yang dilakukan pemeriksaan tahun 2003.. Hasil. Dari 449 data, didapatkan prevalensi gangguan pare restriktif pada pekerja PT. X tahun 2003 adalah 48,8%. Hubungan antara gangguan paru restriktif dengan pajanan silika bermakna (p= 0,024). Masa kerja Para pekerja sebagian besar adalah kurang dan 10 tahun (90,6%). Tidak ada hubungan bermakna antara gangguan paru restriktif dengan penggunaan APD, pajanan organofosfat dan merokok.
Kesimpulan. Prevalensi gangguan paru restriktif akibat pajanan debu silika terbukti pada pekerja PT. X. sebesar 48,8% pada tahun 2003.

Prevalence Restrictive Lung Disorders Manufacturing Man Workers in PT. X at Cikarang.Objective of study. Many factories in Indonesia have a high exposure of silica such as cement and ceramic factories, which could cause restrictive pulmonary disease. Until now, no evidence has proved that the restrictive pulmonary disease raised among many workers, was caused by exposure of silica. Objective of study is to find out the prevalence of the restrictive pulmonary disease for man's worker, focusing on the exposure of silica.
Method. The design of this study is cross sectional. Subject of the study was secondary data chosen from the employees. The subject were selected from the hatching plant department, the furnace department, the cutting line and the administrative department, which was the high exposure environment and mild exposure. The employees was examined in 2003.
Result. Of total 449 data, the prevalence of restrictive pulmonary disease is 48.8%. Most of the employees have the duration of work less than 10 years. Correlation between restrictive pulmonary disease and silica exposure was significant (p = 0,024). Correlation between restrictive pulmonary disease and other related factors such as: use of personal protective equipment, organophosphate exposure, and smoking is also not significant.
Conclusion. Prevalence of the restrictive pulmonary disease 48.8% in PT.X. on 2003.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T 13634
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelina Patricia Chandra
"Kanker paru-paru menduduki posisi ketiga jenis kanker tertinggi di Indonesia. Nyeri kanker adalah salah satu gejala paling umum yang terjadi pada pasien kanker. Pemberian opioid sebagai pereda nyeri memiliki banyak efek samping yang dapat bersifat fatal seiring meningkatnya dosis opioid. Oleh sebab itu, alternatif yang dapat dilakukan adalah mengombinasikan adjuvan pada terapi opioid. Gabapentin adalah antikonvulsan yang sering dipakai sebagai adjuvan terapi opioid. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian gabapentin sebagai adjuvan opioid terhadap dosis opioid dan intensitas nyeri kanker pada pasien kanker paru-paru. Jumlah sampel yang diperoleh untuk kelompok terapi opioid adalah 43 pasien dan jumlah sampel yang diperoleh untuk kelompok opioid dengan gabapentin adalah 34 pasien. Tidak menemukan adanya perbedaan dosis opioid dan intensitas nyeri yang signifikan antara kelompok pasien yang menerima opioid saja dan yang menerima opioid dengan gabapentin. Mayoritas pasien (44,15%) dari keseluruhan pasien mengalami bebas nyeri pada akhir terapi. 79,06% pasien yang diterapi dengan opioid dan 88,24% pasien pada kelompok opioid dengan gabapentin mengalami penurunan intensitas nyeri > 50% pada akhir terapi. Peran gabapentin dalam menurunkan dosis opioid dan menurunkan intensitas nyeri pasien kanker paru-paru masih perlu diteliti lebih lanjut.

Lung cancer is the third most prevalent cancer in Indonesia. Cancer pain is one of the most common symptoms experienced by cancer patients. Opioids as treatment of cancer pain has numerous adverse effects which may be fatal along with the increase of its doses. Therefore, combining opioids with its adjuvant serves as an alternative to minimize its negative effects. This study aims to determine the effects of gabapentin as opioid adjuvant on opioid dose and pain intensity in lung cancer patients. The sample size obtained for the opioid group is 43 patients and 34 for the opioid with gabapentin group. No significant difference of opioid dose and pain intensity between patients who received opioid and patients who received opioid with gabapentin. The majority of patients (44,15%) of all included patients are pain-free at the end of their therapy. 79,06% of patients with opioid therapy and 88,24% patients with opioid and gabapentin have a > 50% decrease of pain intensity at the end of their therapy. The role of gabapentin in decreasing opioid dose and pain intensity in lung cancer patients need to be studied further."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Novariani
"[ABSTRAK
Latar belakang: Kasus baru dan kematian kanker paru semakin meningkat. Rokok tembakau sangat berperan tetapi hanya 15% yang menderita kanker paru. Oleh karena itu faktor genetik diduga berperan pada kanker paru. Penelitian-penelitian kohort selama ini menunjukan hubungan bermakna risiko kanker paru dengan riwayat kanker di keluarga.
Tujuan: Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan proporsi subjek kanker paru dengan riwayat kanker pada keluarga.
Metode: Penelitian ini adalah studi observasi deskriptif potong lintang dengan subjek kanker paru yang berobat jalan maupun inap di RSUP Persahabatan Jakarta 1 Januari 2013 sampai 31 Mei 2015.
Hasil: Subjek penelitian 380 dengan komposisi laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan (72,9% banding 27,1%) dengan median 56 tahun dan nilai minimum dan maksimum 20-86 (66) tahun. Sebanyak 65.3% subjek adalah perokok. Dari total subjek yang merokok, 33,2% termasuk perokok dengan Indeks Brickman (IB) sedang. Jenis sel kanker terbanyak adalah masuk kelompok Kanker Paru Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) yaitu adenokarsinoma 73,4%. Sebagian besar subjek terdiagnosis pada stage lanjut baik pada kelompok KPKBSK maupun Kanker Paru Karsinoma Sel Kecil (KPKSK). Proporsi subjek dengan riwayat kanker keluarga sebesar 8,2% dengan subjek laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan (5,8% dibandingkan 2,4%). Nilai minimum-maksimum usia 35-72 tahun, median 55 tahun. Subjek yang merokok hanya ditemukan pada laki-laki sebanyak 71% dan jenis kanker terbanyak adenokarsinoma 71%. Hubungan keluarga 1 orang lebih banyak ditemukan dibandingkan lebih 1 orang (64,4% banding 35,6%) dengan dominasi ayah (25,8%). Jenis kanker keluarga paling banyak bukan kanker paru dibandingkan kanker paru (85,4% banding 14,6%).
Kesimpulan: Proporsi subjek kanker paru dengan riwayat kanker pada keluarga adalah 8,2%. Subjek dengan 1 anggota keluarga yang memiliki kanker paling banyak 64,4% dengan dominasi ayah 25,8%. Jenis kanker paru dengan riwayat kanker keluarga terbanyak adenokarsinoma 71%. Jenis kanker keluarga lebih banyak adalah bukan kanker paru 85,4%.

ABSTRACT
Background: The new cases and mortality of lung cancer are increasing. Smoking tobacco have a role play but only 15% smokers are suffering from lung cancer. Therefore, genetic factors thought to play a role in lung cancer. Many studies show a significant association with the risk of lung cancer in the family history of cancer.
Objective: To determine the proportion of lung cancer?s subjects with a cancer history in the family.
Methods: Using cross-sectional a descriptive observational study with the outpatient and inpatient lung cancer?s subject at Persahabatan Hospital, Jakarta started from January 1st, 2013 until April 30th, 2015.
Results: The total subject of the study are 380 with the composition of men higher than women (72.9% vs 27.1 %) with a median is 56 and a minimum-maximum age is 20-86 (66). From those subjects, 65.3% are smokers with the most moderate IB is 33.2%. The most type cancer cells in group of Non Small Cell Lung Cancer Carcinoma (NSCLCC) is adenocarcinoma (73.4%). Most subjects diagnosed at an advanced stage either in groups of NSCLCC or Small Cell Lung Cancer Carcinoma (SCLCC). The subject?s proportion with the family cancer history is 8.2% in which male subjects are larger than females (5.8% vs 2.4%). A minimum-maximum age is 35-72 (37) and median 55. Smoker is only found in male 71% and the most type cancer cells is adenocarcinoma 71%. Family relation of the subjects found that 1 person is much more found than more 1 person (64.4% vs 35.6%) with dominated by father (25,8%). The type of cancer in the family is non lung cancer higher than lung cancer (85,4% vs 14,6%).
Conclusions: The proportion of subjects with lung cancer in their family cancer is 8.2%. The most type family relation of the subjects is 1 person 64,4% with dominated by father 25,8%. The most type lung cancer cells which have family history cancer is adenocarcinoma 71%. The most type of cancer in the family is non lung cancer 64.4%.;Background: The new cases and mortality of lung cancer are increasing. Smoking tobacco have a role play but only 15% smokers are suffering from lung cancer. Therefore, genetic factors thought to play a role in lung cancer. Many studies show a significant association with the risk of lung cancer in the family history of cancer.
Objective: To determine the proportion of lung cancer?s subjects with a cancer history in the family.
Methods: Using cross-sectional a descriptive observational study with the outpatient and inpatient lung cancer?s subject at Persahabatan Hospital, Jakarta started from January 1st, 2013 until April 30th, 2015.
Results: The total subject of the study are 380 with the composition of men higher than women (72.9% vs 27.1 %) with a median is 56 and a minimum-maximum age is 20-86 (66). From those subjects, 65.3% are smokers with the most moderate IB is 33.2%. The most type cancer cells in group of Non Small Cell Lung Cancer Carcinoma (NSCLCC) is adenocarcinoma (73.4%). Most subjects diagnosed at an advanced stage either in groups of NSCLCC or Small Cell Lung Cancer Carcinoma (SCLCC). The subject?s proportion with the family cancer history is 8.2% in which male subjects are larger than females (5.8% vs 2.4%). A minimum-maximum age is 35-72 (37) and median 55. Smoker is only found in male 71% and the most type cancer cells is adenocarcinoma 71%. Family relation of the subjects found that 1 person is much more found than more 1 person (64.4% vs 35.6%) with dominated by father (25,8%). The type of cancer in the family is non lung cancer higher than lung cancer (85,4% vs 14,6%).
Conclusions: The proportion of subjects with lung cancer in their family cancer is 8.2%. The most type family relation of the subjects is 1 person 64,4% with dominated by father 25,8%. The most type lung cancer cells which have family history cancer is adenocarcinoma 71%. The most type of cancer in the family is non lung cancer 64.4%., Background: The new cases and mortality of lung cancer are increasing. Smoking tobacco have a role play but only 15% smokers are suffering from lung cancer. Therefore, genetic factors thought to play a role in lung cancer. Many studies show a significant association with the risk of lung cancer in the family history of cancer.
Objective: To determine the proportion of lung cancer’s subjects with a cancer history in the family.
Methods: Using cross-sectional a descriptive observational study with the outpatient and inpatient lung cancer’s subject at Persahabatan Hospital, Jakarta started from January 1st, 2013 until April 30th, 2015.
Results: The total subject of the study are 380 with the composition of men higher than women (72.9% vs 27.1 %) with a median is 56 and a minimum-maximum age is 20-86 (66). From those subjects, 65.3% are smokers with the most moderate IB is 33.2%. The most type cancer cells in group of Non Small Cell Lung Cancer Carcinoma (NSCLCC) is adenocarcinoma (73.4%). Most subjects diagnosed at an advanced stage either in groups of NSCLCC or Small Cell Lung Cancer Carcinoma (SCLCC). The subject’s proportion with the family cancer history is 8.2% in which male subjects are larger than females (5.8% vs 2.4%). A minimum-maximum age is 35-72 (37) and median 55. Smoker is only found in male 71% and the most type cancer cells is adenocarcinoma 71%. Family relation of the subjects found that 1 person is much more found than more 1 person (64.4% vs 35.6%) with dominated by father (25,8%). The type of cancer in the family is non lung cancer higher than lung cancer (85,4% vs 14,6%).
Conclusions: The proportion of subjects with lung cancer in their family cancer is 8.2%. The most type family relation of the subjects is 1 person 64,4% with dominated by father 25,8%. The most type lung cancer cells which have family history cancer is adenocarcinoma 71%. The most type of cancer in the family is non lung cancer 64.4%.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>