Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 132381 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bondan Kanumoyoso
"Thesis titled "The Strengthen of State Economic Role: Nationalization of the Dutch Enterprises in Indonesia, 1957-1959". The parliamentary democracy period ended by the falling of Ali Sastroamidjojo 2?? cabinet?s governance on March 14th 1957 and the economic crisis that coming together. Meanwhile, the relation between Indonesia and Dutch has getting worse in the transition period through the guidance democratic system. The main barrier in the relation was the conflict of Irian Barat. Two important things ensued by the end of November 1957. United Nation Organization had failed to ratify a resolution of which suggesting Dutch to confer a solution for Irian Barat conflict on November 29th 1957. While, in November 30th 1957, assassination attempt for the President Soekarno known as Cikini Tragedy occurred. The explosion of anti-Dutch radicalism has been triggered by the failure of the resolution of the Irian Barat conflict in the United Nation Organization. On December 3? 1957 the labor union of the Indonesian Communist Party (PKI) and Indonesian National Party (PNI) started to take over Dutch trade and enterprises. This movement noticed the beginning of the nationalization of Dutch enterprises in Indonesia that was supported by government. The deportation of 46.000 Dutch citizens in Indonesia on December 5"? obviously reflected the government support. It is definitely necessary to comprehend that nationalization in this term stand for; all the Dutch property was converted into state property. A take over of Dutch properties to other enterprises instead of the state (to Indonesian private enterprises)' was excluded the connotation of nationalization. It was merely described as nationalized. Nationalization has caused the fundamental changes in the Indonesian economic structure. During the nationalization 90% plantation output ownership has transformed into state corporations. As well as the 60% foreign trade and around 246 factories, mining enterprises, banks, shipping, and varieties service industries. The nationalization itself has ended the domination of Dutch capital in Indonesian economic.

Jatuhnya pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo yang ke II pada tanggal 14 maret 1957 dan krisis ekonomi yang menyertainya merupakan akhir dari periode demokrasi parlementer. Sementara itu dalam masa transisi menuju sistem demokrasi terpimpin, hubungan antara Indonesia dengan Belanda juga terus memburuk. Hambatan utama dalam hubungan tersebut ialah masalah Irian Barat. Pada akhir bulan November 1957 terjadi dua kejadian penting. Pada tanggal 29 November Perserikatan Bangsa-Bangsa (PEB) gagal mengesahkan suatu resolusi yang menghimbau agar Belanda merundingkan suatu penyelesaian mengenai masalah Irian Barat. Sedangkan pada tanggal 30 November terjadi usaha pembunuhan terhadap Presiden Sukarno dalam peristiwa Cikini. Gagalnya resolusi masalah Irian Barat di PBB mengakibatkan terjadinya ledakan radikalisme anti Belanda. Pada tanggal 3 Desember, serikat-serikat buruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) mulai mengambil alih perusahaan-perusahaan dan kantor-kantor dagang Belanda. Gerakan tersebut menandai nasionalisasi perusahaan- perusahaan Belanda yang didukung oleh pemerintah Indonesia. Dukungan pemerintah terlihat jelas pada tanggal 5 Desember dengan keluarnya perintah pengusiran oleh Departemen Kehakiman terhadap 46.000 warga negara Belanda yang ada di Indonesia. Perlu ditegaskan bahwa nasionalisasi dalam hal ini berarti; segala aset milik Belanda dijadikan milik negara. Pemindahan ke tangan nasional bukan negara (ke tangan pihak swasta Indonesia) tidak termasuk dalam pengertian nasionalisasi. Pengertian untuk pemindahan ke tangan nasional bukan negara selayaknya disebut dengan menasionalkan saja. Nasionalisasi menyebabkan terjadinya perubahan fundamental dalam struktur perekonomian Indonesia. Selama terjadinya nasionalisasi kepemilikan 90% produksi perkebunan beralih ke tangan pemerintah. Demikian juga dengan 60% nilai perdagangan luar' negeri dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank-bank, perkapalan dan sektor jasa. Dengan demikian nasionalisasi mengakhiri dominasi modal Belanda dalam ekonomi Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
T3521
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emil Radhiansyah
"Bolivia merupakan sebuah negara di Amerika Tengah. Secara geography negara ini berada di dataran tinggi Amerika Latin. Walaupun tidak memiliki akses ke daerah pantai, Bolivia merupakan salah satu penghasil minyak bumi dan gas alam terbesar setelah Venezuela di Amerika Latin. Penduduk Mayoritas Bolivia adalah suku indian Aymara dan Quecha dan juga keturunan campuran antara indian dan kulit putih (Spanyol). Sebagai sebuah negara berkembang, Bolivia memiliki ketergantungan terhadap bantuan finansial dari lembaga-lembaga keuangan internasional dan masuknya investor asing. Namun kebijakan kontroversial dikeluarkan oleh Presiden terpilih pada Desember 2005, Evo Morales. Kebijakan yang dianggap tidak memihak atas jaminan kepemilikan dan keamanan berinvestasi terhadap investor asing, mendapat kecaman dan tanggapan negatif dari banyak pihak.
Kebijakan nasionalisasi yang dikeluarkan oleh Evo Morales pada 1 Mei 2006, yang bertepatan dengan hari Buruh Internasional tersebut, dianggap sebagai sebuah ancaman terhadap kebebasan berinvestasi di Bolivia, dan merugikan sekitar 20 perusahaan yang bergerak dalam penglolaan dan eksplorasi migas. Kebijakan ini dikeluarkan bukan karena keinginan Evo Morales, tetapi merujuk kepada terjadinya Gerakan Sosial yang telah terjadi di Bolivia pada periode waktu tahun 2000 sampai dengan 2005. Pemerintahan Bolivia terdahulu yang menerapkan kebijakan ekonomi dan politik neoliberal, telah menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial dan kemiskinan dalam masyarakat Bolivia. Sebagaimana yang disebutkan oleh Amy Chua dalam bukunya World On Fire, bahwa dominasi minoritas atas mayoritas penduduk pribumi menyebabkan munculnya konflik. Dikaitkan dengan globalisasi dengan paradigma neoliberal, dimana peranan negara dalam pasar harus dikurangi. IMF dan Bank Dunia merupakan lembaga keuangan internasional yang menerapkan kebijakan mengenai Liberalisasi Perdagangan, Deregulasi, serta Privatisasi yang merupakan pilar-pilar dalam perekonomian neoliberal.
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Bolivia mengikuti saran-saran dari IMF serta Amerika Serikat, memang memiliki dampak terhadap pertumbuhan perekonomian Boilivia, namun pertumbuhan tersebut hanya dirasakan oleh sekelompok kecil saja. Akibat dari privatisasi yaitu terjadinya efisiensi biaya perusahaan yang menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja, terutama pada Badan Usaha Milik Negara yang telah diswastanisasikan kepada investor asing. Sehingga dalam pembagian keuntungan Bolivia hanya menerima tidak lebih dari 20 persen saja. Kebijakan penghapusan pertanian koka, sebagai bagian dari kepentingan Amerika Serikat mengurangi peredaran kokain yang masuk ke wilayahnya, memaksa pemerintah Bolivia melakukan kebijakan penghapusan lahan pertanian koka, yang disertai dengan tindakan kekerasan oleh aparat keamanan Bolivia. Rakyat yang merasa ditindas terutama penduduk pribumi, melakukan perlawanan dengan melakukan aksi-aksi demonstrasi menuntut perubahan dalam pemerintahan. aksi massa yang dikenal dengan Gerakan Sosial tersebut ternyata mampu menekan pemerintahan Bolivia, yang terbukti dengan terjadinya beberapa kali perubahan dalam kepersidenan. Gerakan Sosial yang terjadi di Bolivia merupakan Gerakan Sosial Baru.
Dinamakan Baru dikarenakan unsur-unsur gerakan tersebut tidak hanya datang dari kelas pekerja, tapi dari berbagai kalangan. Tuntutan yang diajukan bukan berdasarkan atas hubungan antara pemilik modal dan pekerja, walaupun tuntutan masih bersifat adanya perubahan dalam kebijakan ekonomi namun Gerakan Sosial yang terjadi di Amerika Latin umumnya dan khususnya Bolivia adalah kembalinya peranan negara didalam pengaturan pasar. Oleh karenanya tuntutan untuk melakukan nasionalisasi di Bolivia bukan sebuah gerakan yang menolak paradigma neoliberal tetapi lebih kepada pembagian yang adil hasil-hasil antara investor dan Bolivia. Kemunculan Evo Morales sebagai Presiden mambawa warna baru dalam regional Amerika Latin. Bersama dengan Hugo Chavez, Fidel Castro, dan beberapa negara Amerika Latin lainnya menumbuhkan sebuah kekuatan regional baru. Kekuatan yang dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh Amerika Serikat di kawasan ini, melalui pembentukan Bank Selatan yang dimaksudkan menggantikan peranan IMF dan Bank Dunia, tentunya dengan perumusan strategi yang lebih dapat diterima oleh kondisi negara-negara Amerika Latin. Pembentukan kerjasama ekonomi negara-negara Amerika Selatan yang mengedepankan kepada semangat pembangunan daripada eksploitasi.

Bolivia is place in the middle of American Region. Geography of the state is place at the highland of Latin America. Though the country does not have any access to the sea, it produces one of the biggest oil and gas after Venezuela in Latin America. The majority is indigenous people of Indian Aymara and Quecha and also mixed blood Indian and the white (the Spanish). As one of developing country in the region, it dependable on financial help from International Financial Institutions and foreign investor. But a controversial policy was came from the elected President, Evo Morales. the policy did not have any guarantee on the right of ownership and investment security for foreign investor, it also condemned by and had a negative impact from many side.
The nationalization policy by Evo Morales on 1st of May 2006 that came to effect at Workers Day, was consider as a threat for the freedom in investing climate in Bolivia, and also suffer to a lose for 20 company which move on the execution and explorations in energy mining. The demand of the policy that came in effect was came from the social movement in Bolivia between year 2000 until 2005. Political and neoliberal Economic policy that was came from the former government of Bolivia, had caused social suspicious and poverty inside the Bolivian. As Amy Chua said in her book World on Fire, the minority domination above majority of the indigenous people has cause a conflict. With the globalization impact with neoliberal paradigm and as the state intervention to the market must be reduce. The International Monetary Foundation organization (IMF) and The World Bank, as an international monetary institutions, give policy in liberalizing trade, deregulations and Privatizations which is as foundations to the neoliberal economy.
The implemented policy by former government of Bolivia, was followed the suggestion that suggested from IMF and The United States of America, and had an impact on economic development in Bolivia, that only effected small group of Bolivian society. Theeffect in privatization was in company efficiency that caused jobs lost especially in state enterprises. The privatization of state enterprises to private business in large scale had caused in profit share, which that the Bolivian Government share less than 20 percent of the profit. The coca eradication policy, which was one of the United States pressure policy toward Hugo Banzer government to reduce cocaine that circulating in the street of United States, had an impact in eradicated the coca land farm followed by the force act by the Bolivian special drug police and the army.
The cocaleros (coca?s farmer), indigenous people, students, Workers Union, Teachers Union and many organization and mass reacted to the implemented of the policies and demanded change in government policy and also in the body of government it self. The improve of mass movement known as the Social Movement was the pressure to the Government and change in the government body, as the step down of five president in Bolivia. The Bolivian Social Movement also known as the part of New Social Movement. New because the factor of the movement was not only came from workers class, also from other class, such as students, woman?s, professionals, indigenous people and many other.
The demand of this movement not only based on relations between workers and the capital class, although the demand still in the changing in economy policy. The Social Movement in America Latin in general and especially in Bolivia is the demand on state intervention in the market that can protect public goods to reach by the people. In the case of nationalizations in Bolivia, the movement not only a movement against the neoliberal paradigm but as a demand in fair economy sharing. The rise of Evo Morales as President brought new colors in Latin American region. With Hugo Chavez of Venezuela and Fidel Castro of Cuba and other Latin America State, the region is growing a new power. It was directing against United States influences in the region, with the forming of Southern Bank of South America region is also directing against and replacing the IMF and World Bank influences, off course with new accepted strategic approachement by the Latin American Nations. The forming of economy cooperation in Southern America bring a spirit of development than exploitation."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T22907
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yaris Riyaldi
"Periode tahun 1950an sektor ekonomi Indonesia masih di dominasi perusahaan- perusahaan milik Belanda. Perkembangan hubungan diplomasi Indonesia Belanda yang memburuk di akhir tahun 1950-an menyebabkan nasionalisasi terjadi secara massif di seluruh wilayah Indonesia. PLTA Ubrug yang terletak di Sukabumi telah dibangun sejak tahun 1918 dan di nasionalisasi setelah dikeluarkannya Undang- Undang Nomor 86 Tahun 1958 dan Peraturan Pemerintah no 18 tahun 1958. Penelitian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan apa yang menjadi latarbelakang nasionalisasi PLTA, bagaimana proses nasionalisasi yang dilakukan, dan pengaruh apa yang terjadi setelah proses nasionalisasi PLTA Ubrug selesai. Metode yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan metode historis dengan mencari dan mengumpulkan sumber-sumber baik itu primer atau sekunder yang berhubungan dengan topik penelitian. Sumber-sumber yang digunakan adalah surat-surat dan keputusan Pemerintah mengenai nasionalisasi, wawancara dengan pemimpin PLTA Ubrug dimasa kini, dan berbagai sumber sekunder lainnya yang berasal dari kepustakaan. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa semasa awal pembangunan PLTA Ubrug pemanfaatannya banyak disalurkan ke berbagai sektor, kemudian dimasa pendudukan Jepang keberadaan PLTA Ubrug tidak terlalu tereksploitasi dan baru kembali tersentuh setelah orang-orang Belanda kembali, karena adanya desakan dari SBLGI dan suatu perwujudan dari kedaulatan politik, maka PLTA Ubrug Sukabumi di nasionalisasi pada tahun 1958 yang kemudian memberikan pengaruh terhadap keberlangsungan daerah Sukabumi.

During the 1950s, the Indonesian economic sector was still dominated by Dutch- owned companies. The development of diplomatic relations between Indonesia and the Netherlands which deteriorated in the late 1950s led to massive nationalization throughout Indonesia. The Ubrug hydropower plant located in Sukabumi has been built since 1918 and was nationalized after the issuance of Law Number 86 of 1958 and Government Regulation No. 18 of 1958. This research was conducted to answer questions about what was the background of the nationalization of PLTA, how was the nationalization process carried out, and what effect will happen after the Ubrug hydropower nationalization process is complete. The method used in this study uses historical methods by finding and collecting sources, either primary or secondary, related to the research topic. The sources used are letters and Government decrees regarding nationalization, interviews with current Ubrug hydropower leaders, and various other secondary sources from the literature. From the research results, it can be seen that during the early development of the Ubrug hydropower plant, its use was distributed to various sectors, then during the Japanese occupation, the Ubrug hydropower plant was not too exploited and only came back after the Dutch returned, due to pressure from SBLGI and a manifestation of political sovereignty. , then PLTA Ubrug Sukabumi was nationalized in 1958 which then had an influence on the sustainability of the Sukabumi area."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
R. Achmad Sunjayadi
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Rushdy Hoesein
"ABSTRAK
Disertasi ini merupakan karya tulis hasil penelitian Sejarah Diplomasi mahasiswa S3 Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Masalah yang menjadi materi penelitian adalah peristiwa perundingan Indonesia-Belanda pada tahun 1946-1947. Delegasi Belanda terdiri dari Prof.Ir.W.Sehermerhorn, F.de Boer dan M.TM.van Poll. Delegasi Indonesia terdiri dari Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Mr Mohamad Roem, Mr Soesanto Tirto Prodjo dan dr A.K.Gani. Perundingan ini khususnya yang berlangsung di Linggajati Kuningan Jawa Barat., yang kemudian berhasil menemukan dokumen persetujuan yang diparaf pada 15 November 1946 dan ditanda tangani pada 25 Maret 1947 amatlah penting.
Karena merupakan tonggak awal persetujuan dalam rangka proses dekolonisasi di Indonesia. Jalannya perundingan tidaklah mulus karena perbedaan sudut pandang Indonesia dan Belanda soal Negara Indonesia Serikat dan rencana kerja sama Indonesia-Belanda pasca dekolonisasi, khususnya yang menyangkut UNI Indonesia-Belanda serta perwakilan RI di luar negeri pada periode masa peralihan. Meskipun pihak Inggris yang bertindak sebagai penengah telah berusaha sejauh mungkin agar perundingan sukses, kedua delegasi yang berunding, mengalami hambatan pada beberapa pasal-pasal tertentu. Akhirnya atas campur tangan, kebijakan dan keputusan yang diambil Soekarno-Hatta lah perundingan bisa selesai. Oleh karena itu penelitian ini dimaksudkan untuk membuktikan hal tersebut dengan berbagai alasannya.

ABSTRACT
This dissertation is a documentation of research about diplomacy history by a doctoral degree student in history study program, in the Faculty of Cultural Sciences, University of Indonesia. The main issue of the research was th event of an agreement between Indonesia and Netherland in Indonesia which happened in the 1946-1947. Indonesian delegation consisted of Premier Sutan Sjahrir, Mr Mohamad Roem, Mr Soesanto Tirtoprodjo and dr A.K.Ga.ni. And Dutch delegation consisted of Prof.Ir W.Schermerhorn, F.de Boer and M.TM.van Poll. This negotiation especially the one at Linggajati Kuningan West Java, which was succeed, produced an agreement document which initialed at November 15?h 1946 and signed at March 2501 1947.
This event is very important because it was the beginning of an agreement in the process of the decolonization in Indonesia. That negotiation was not running so smooth because there was different points of view between Indonesia and Netherlands about the Issue of United Indonesian Republic and about the cooperation plan between Indonesia and Netherland after the decolonization, especially about the UNI Indonesia-Netherland and about the Indonesia Republic international representative, at the transition periode. Althouyn the British as a mediator already try to help to make it a success, both of delegacies found obstacles at some sections of the agreement document. Finally Soekarno-Hatta made an important role in helping them out by making good decisions and policy. This research was intended to prove the importance of that role and to find the evidence about that theory.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
D985
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2023
297.6 DIA
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Bondan Kanumoyoso
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001
330.959 8 BON n
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Ita Syamtasiyah Ahyat
Bojonggede : Akademia , 2000
959.8 ITA p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Duijs, J.E.W.
Jakarta: Gunung Agung, 1985
959.8 DUI m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Siswantari
"Penelitian ini membahas tentang birokrasi pemerintahan Hindia Belanda pada tingkat wijkmeester untuk periode abad XIX; yang dikenal oleh masyarakat Betawi (dengan sebutan Bekmeester atau Bek. Kedudukan Wijkmeesters/bek dalam birokrasi pemerintahan menduduki posisi yang paling bawah, yang mempunyai tugas untuk menarik pajak, menjaga keamanan dan ketertiban serta- kebersihan wilayahnya. Dalam posisi demikian Wijkmeesters/bek berperan sebagai perantara yang menjembatani antara pemerintah dengan masyarakat. Seluruh kebijakan pemerintah harus diterjemahkan oleh pejabat ini agar dapat diterima dengan baik oleh masyarakatnya. Dalam hal wewenang wijkmeesters boleh dikatakan tidak berhak memutuskan suatu kebijakan dari persoalan yang ada di masyarakatnya, setiap persoalan yang ada harus dilaporkan pada pejabat yang berada diatasnya yaitu Ajudan dan Komandan. Mereka inilah yang menentukan keputusan yang harus dilaksanakan oleh Wijkmeesters.
Jabatan wijkmeesters/bek meskipun tidak mendapatkan gaji melainkan hanya mendapatkan 8% dari pajak yang dapat ditarik dari masyarakatnya, cukup banyak diminati oleh masyarakat di Batavia, terbukti dari banyaknya surat lamaran yang diajukan untuk diangkat menjadi wijkmeester oleh pemerintah Hindia Belanda- Posisi jabatan wijkmeester di masyarakat cukup dihormati. umumnya para wijkmeester merupakan orang yang mampu/kaya, hal itu tercermin dari gaya hidup dan rumah tinggalnya. Dalam menjalankan perannya sebagai wijkmeester ada tindakan-tindakan yang menyimpang yang membuat wijkmeester tersebut dilepaskan dui jabatannya. Penyimpangan itu biasanya karena rnengelapkan uang pajaka yang diterimanya, dui tidak mampu mengatur ronda atau menjaga keamanan wilayahnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>