Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184160 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alfan Avias
"Sejak negara Israel berdiri pada tahun 1948, bangsa Palestina hidup dalam penjajahan dan penindasan. Karena terns mengalami penindasan, maka rakyat Palestina pun bangkit melawan. Mereka kemudian mendirikan organisasi-organisasi perlawanan guna melawan penjajahan yang di lakukan oleh Israel. Perlawanan tersebut pada awalnya dilandasi oleh semangat kebangsaan (Nasionalisme) dan paham-paham seperti sosialis-marxis, yang sekuler. Tahun 1960-an tercatat munculnya organisasi-organisasi seperti Arab Nationalist Movement (ANM) yang di pimpin oleh George Habbash, dan Palestine Liberation Organization (PLO) pads tahun 1964 yang dipimpin oleh Ahmad Syuqairi.
Dengan meredupnya popularitas PLO sebagai sebuah organisasi terbesar di Palestina, muncullah Hamas sebagai rival utama PLO. Hamas kemudian kian popular di mata rakyat Palestina. Masa depan bangsa Palestina yang tidak menentu, pemerintahan PLO yang korup, membuat rakyat palestina kemudian bersimpati dengan apa yang diperjuangkan oleh Mamas. Maka puncak dari itu semua adalah sebuah hal yang tidak di duga-duga khususnya oleh dunia Internasional,-dimana ketika itu Hamas memenangkan secara mutlak pemilu yang diadakan secara demokratis pads tanggal 25 Januari tahun 2006, dimana llamas mengalahkan Fatah secara telak.
Kemenangan Hamas ini kemudian direspon dengan negatif terutama oleh Israel, Amerika Serikat (AS), Inggris dan Uni Eropa (UE). Hal ini disebabkan Hamas selama ini telah di bed citra yang buruk sebagai sebuah organisasi teroris. Ditolakya perjanjian Oslo 1993 (Declaration of Principles) oleh Hamas, dilakukannya berbagai aksi born jihad yang inenewaskan banyak warga Israel oleh Hamas, menyebabkan Israel dengan keras menolak dan menentang kemenangan pemilu llamas walaupun terbukti demokratis. Bagi Israel, Hamas adalah teroris, garis keras, fundamentalis, ekstrim, dan radikal. Karenanya, Hamas hares dihancurkan. Disamping itu Hamas juga mempunyai agenda untuk mernusnahkan Israel. Hamas juga tidak mau mengakui Israel sebagai sebuah negara.
Oleh karena pets konflik yang kian merumit, maka pasca kemenangan gerakan Hamas pada pemilu tahun 2006, perdamaian di Palestina menjadi semakin jauh dad harapan. Bukan di sebabkan oleh Mamas yang keras kepala tidak mau berdarnai, tapi karena Israel juga tidak pemah mau berubah. Seandainya PLO yang memenangkan pemilu pada saat itupun perdamaian hakiki belum tentu akan terwujud. Hamas siap berdamai dan meletakkan senjata, asalkan keadilan ditegakkan. Perdamaian yang halaki adalah apabila penyelesaian atas konflik yang berlarut-larut itu dapat diiakukan secara adil dan komprehensif, sehingga dapat di terima oleh semua pihak. Bukan sebalikaya, hanya menguntungkan satu pihak saja.

Since the state of Israel was created in 1948, the Palestinians have been living under colonization and oppression. This condition makes them rise and fight against the colonizers and oppressors. They, then founded organizations in opposition to the Israel. The opposition was in the beginning based on the spirit of nationalism and other isms like socialism, marxism; the secularism. In 1960s rose the opposing organizations like the Arab Nationalist Movement (ANM) led by George Habbash, and in 1964 the Palestine Liberation Organization (PLO) led by Ahmad Syuqairi.
By the weakening popularity of the PLO as the biggest organization in the Palestine, rose Hamas as the first competitor against the PLO. Hamas gains more and more popularity from the Palestinians. The uncertainty of the Palestinian future, corruption in the government of PLO, turn the Palestinians to the Hamas. As the result of their support for the Hamas was the unpredictable event when llamas became the absolute winner against al-Fatah in the general election held democratically on January 25, 2006. This Hamas big victory was internationally unpredicted.
The Hamas victory, how ever, was responded negatively mostly by the Israel, the U.S.A., the British, and the United Europe (UE). To them the Hamas is no other than a bad organization; as a terrorist organization. The Hanias's rejection upon the Oslo Agreement 1993 (The Declaration Of Principles), the suicide bombings that killed many Israelis, cause the Israel reject strongly the victory of the llamas in the election, though democratically held. For the Israel, the llamas is terrorist, extreme loyalist, fundamentalist, and radicalist Therefore it must be crushed-up. On the other hand the llamas also has the agenda to terminate the Israel. The Hamas, similary never acknowledge the Israel as a state.
In the post general election 2006 in which the llamas got its absolute victory peace will fall short of expectations due to aggravating conflicts. It is not only because of the stubborn llamas who are not willing to negociate but also the Israel who will never change their position. Even if the PLO had won the general election 2006 the real peace might not be achieved. The Hamas are ready to negociate and to cease fire on condition that justice is in store. The real peace will be achieved if the peace making process is held comprehensively and justily and be agreed by all parties.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006
T17716
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Maradona
"Skripsi ini membahas tentang dinamika politik yang terjadi di Timur Tengah dan Palestina, dimulai ketika lahirnya HAMAS hingga kemenangan HAMAS pada Pemilu Legislatif di Palestina pada tahun 2006. Pasca berdirinya Negara Israel muncul organisasi-organisasi pergerakan yang menentang berdirinya Negara tersebut. Dialog-dialog yang diadakan antara Pemerintah Otoritas Palestina dengan Israel yang tidak menemui titik terang meyebabkan lahirlah HAMAS. HAMAS kemudian bermetamorfosis menjadi Partai Politik dengan mengikuti Pemilu pada tahun 2006. Kemenangan HAMAS pada pemilu tersebut menyebabkan terjadinya dinamika politik baru di Palestina, baik di dalam maupun luar negeri Palestina.

This script talking about study on politic dynamics in Middle East and Palestine, start from HAMAS was born until victory of HAMAS in egislative Elections in Palestine 2006. After the exist of Israel appear organization movement which denied the existing of that country. The authority government of Palestine and Israel made the dialogue but there is no dealing between them which caused the appearance of HAMAS. Soon HAMAS become a politics party and join as a participant in General Election 2006. The victory of HAMAS on the election caused new politics dynamics in Palestine in inside or outside the country."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S13396
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Maryam Jamilah
"ABSTRAK
Tesis ini bertujuan untuk mengeksplorasi proses perdamaian Israel-Palestina dari perspektif feminis multikultural dengan menfokuskan pembahasan pada partisipasi perempuan Israel. Pandangan feminisme secara umum berasumsi bahwa perempuan dinilai lebih damai dibanding dengan laki-laki, serta kesetaraan gender secara alami mendukung kebijakan yang mengarah kepada perdamaian. Meskipun demikian Israel yang memiliki tingkat kesetaraan gender tertinggi di kawasan Timur Tengah dengan level 72 berdasarkan Global gender gap index 2016 masih menghadapi konfrontasi militer dengan Palestina hingga saat ini. Kontradiksi antara asumsi feminis dan fakta-fakta yang terjadi di Israel dianalisis dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif analisis dari Miles dan Huberman dan menggunakan teori perdamaian feminisme Brock Utne. Tesis ini menemukan bahwa terdapat tiga hambatan dalam partisipasi perempuan Israel sebagai peace maker pencipta perdamaian , yang pertama diskriminasi perempuan dalam politik dan dalam gerakan perdamaian yang disebabkan oleh dominasi patriarki dalam masyarakat Israel yang militer sentrik, yang kedua diskriminasi terhadap perempuan Mizrahi yang disebabkan oleh dominasi perempuan Ashkenazi dan yang terakhir hambatan dari nilai tradisional Yahudi yang menghambat aktivitas perempuan dalam ruang publik. Kata kunci: Perempuan Israel, proses perdamaian, Israel-Palestine, feminis multikultural.

ABSTRACT
This thesis is conducted to explore Israel Palestine peace process from multicultural feminism perspective by enlightening Israeli women participation. Feminism generally assumes that women are inherently more peaceful than men and gender equality will naturally support policy that lead to peace. Nevertheless Israel whose highest level of gender equality in Middle East Region with level 72 based on global gender gap index 2016 , still face military confrontation with Palestine until recent day. The contradiction between feminist assumption and facts that occurred in Israel is analyzed by using qualitative method and descriptive analysis approach of Miles and Huberman and using Brock Utne rsquo s feminist peace theory . This thesis finds that there are three obstructions in Israel women participation as peace keeper, first is women discrimination in politic and peace activism caused by domination of patriarchy in military centric society, second is Mizrahi women discrimination caused by Ashkenazi women domination and the last obstruction comes from Jewish traditional value that constrain women activity in public realm.Keywords Israeli women participation, peace process, Israel Palestine, multicultural feminism."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masyrofah
"Konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina merupakan bagian dari sejarah yang dimiliki Timur Tengah. Di antara konflik-konflik yang terjadi, konflik Israel-Palestina merupakan konflik terlama dan belum sepenuhnya terselesaikan, Terobosan sangat signifikan yang dilakukan Israel dan PLO dalam konteks proses perdamaian di Timur Tengah ketika mereka mengadakan Kesepakatan Oslo I (13 September 1993) dan Kesepakatan Oslo II (28 September 1995). Namun, proses perundingan itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, baik dalam proses awal perjanjian maupun sampai pada tahap implementasi hasil kesepakatan.
Melihat fakta ini, PLO di bawah kepemimpinan Yasser Arafat bersama pejabat-pejabat senior PLO berupaya melakukan proses diplomasi dengan pihak Isarel, yang akhirnya menghasilkan Kesepakatan Oslo I dan II. Peran PLO dalam Kesepakatan tersebut, tidak terlepas dan tujuan PLO yang fungsinya berubah dari pembebasan Palestina menjadi pembangunan sebuah negara yang berdampingan dengan Israel. Alat-alat untuk mencapai tujuan tersebut telah berubah dari perjuangan militer menjadi diplomasi aktif. Berdasarkan uraian tersebut, penulis mengajukan pertanyaan riset yaitu Bagaimana peranan PLO melalui jalur diplomasi aktif dalam Perjanjian Oslo I dan II ?
Untuk menjawab pertanyaan riset di atas, penulis menggunakan metodologi penelitian kualitatif yaitu metode studi kasus untuk memaparkan upaya-upaya PLO dalam proses perundingan tersebut serta faktor-faktor dan kendala-kendala yang mempengaruhi jalannya proses perundingan damai di Oslo. Yaitu dengan menganalisa upaya PLO dalam perundingan damai dengan Israel, serta sikap Israel terhadap proses perundingan tersebut. Kemudian proses awal perundingan hingga tercapainya Kesepakatan Oslo I dan II. Pada penyelesaian konflik Israel-Palestina ini, PLO menggunakan instrumen politik luar negeri berupa diplomasi aktif melalui mekanisme negosiasi. Terakhir, penulis menggambarkan peranan PLO sebagai aktor perunding yang terlibat aktif pada Perjanjian Oslo I dan II.
Berdasarkan sistematika penulisan yang telah diuraikan secara singkat di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa peran PLO dalam perjanjian Oslo I dan II dilandaskan pada tujuan untuk mengakhiri konflik Israel-Palestina melalui meja perundingan serta mendirikan Negara Palestina Merdeka.

The conflict between Israel and Palestine is part of the history of the Middle East. Among the many conflicts that have occurred in the Middle East, the Israeli-Palestine conflict is the longest conflict, which has not completely been solved. The significant breakthrough in the context of the peace process in the Middle East, however, are made by Israel and PLO in Oslo Agreement I (September 13, 1993) and Oslo Agreement II (September 28, 1995). However, the agreement process did not run smoothly as had been expected, both in the initial process of the agreement and in the stage of its implementation.
From the beginning, PLO under the leadership of Yasser Arafat along with his senior officials had launched diplomatic initiatives with Israel, which led to Oslo Agreement I, and U. The role the PLO played in the Agreement was closely related to the PLO goals whose functions had changed from Palestine liberation to the development of a state in co-existence with Israel. The tools to achieve that goal have been changed from military struggle to active diplomacy. From what has been described above, the writer put forth the research question, i.e. what is the role of PLO through active diplomacy-in Oslo Agreement I and II?
To answer the above research question, the writer has adopted qualitative methodology, i.e. case study method to make clear the efforts of the PLO in the agreement process as well as the factors and constraints which had influences on the peace process in Oslo. This is done by analyzing PLO efforts in the peace process with Israel, the Israeli attitude toward the peace process and then the initial process of the agreement up to the achievement of Oslo Agreement I and IL In the resolution of Israeli-Palestine conflict, the PLO has adopted a foreign policy instrument in the form of active diplomacy through negotiation. In the last part, the writer has described the role of the PLO as an active actor in Oslo Agreement I and II.
Based on the above description, the writer has come to the conclusion that the role of the PLO in Oslo Agreement I and II was based on the goal to end the Israeli- Palestine conflict by means of negotiation and to establish an Independent Palestine State.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15260
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Saud P. Krisnawan
"Hamas yang merupakan singkatan dari Harakah al-Mugawwamah al-Islamiyah adalah suatu kelompok perlawanan terhadap pendudukan Israel di tanah PaIestina. Dalam melakukan perlawanannya tersebut, kelompok yang muncul dan berkembang di Jalur Gaza (Gaza Strip) sejak 1988 ini selalu menggunakan cara kekerasan dan aksi terornya.
Sebagaimana diketahui Israel telah melakukan aneksasi terhadap tanah bangsa Palestina dan untuk itu mereka juga melakukan aktivitas teror terhadap warga Palestina. Sehubungan dengan hal tersebut Harnas merasa perlu untuk melakukan perjuangan dengan cara kekerasan dan aktivitas terornya yang merupakan suatu bentuk pembalasan terhadap apa yang dilakukan oleh tentara Israel terhadap warga sipil Palestina.
Kelompok Hamas memainkan peranan penting dalam proses perdamaian PaIestina - Israel. Hal ini terutama disebabkan setiap kali Hamas melakukan serangan terhadap warga Israel, kejadian tersebut langsung menjadi pembenaran {justifikasi} bagi Pemerintah Israel untuk tidak mematuhi hasil perjanjian damai yang telah disepakatinya bersama PLO. Selanjutnya Hamas mempunyai kebijakan untuk terus mengadakan perlawanan dengan cara kekerasan disebabkan oleh karena pihaknya tidak pernah diikutkan dalam proses perundingan damai, sehingga Hamas tidak pernah merasa terikat dengan hasil kesepakatan damai yang telah dicapai oleh PLO dan Israel.
Dalam menyikapi permasalahan Palestina - Israel, kedua belah pihak dengan mediator utama Amerika Serikat telah berulang kali mengupayakan perundingan damai. Sehubungan dengan hal tersebut, periodisasi 1993 - 1998, dalam thesis ini, merupakan analisis sejak dicapainya Kesepakatan Oslo I hingga Kesepakatan Wye Plantation.
Penelitian ini bersifat eksplanatif research yang didukung oleh berbagai sumber data primer, sekunder, dan penelitian kepustakaan (library research). Pembahasan mengindikasikan bahwa selama periode 1993 - 1998, kelompok Hamas telah memainkan peran yang signifikan dalam proses perdamaian antara Palestina - Israel.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T3485
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Ajeng Rizqi Rahmanillah
"Skripsi ini membahas pengaruh pemerintahan konservatif Likud di Israel terhadap konflik yang terjadi antara Israel-Palestina dalam kurun waktu tahun 1996 sampai tahun 2003. Kerangka teori yang akan digunakan sebagai analizing tools dalam skripsi ini adalah teori konflik, konsep konservatif, dan teori zionisme. Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Konservatif Likud di Israel memegang teguh prinsip zionisme yaitu menciptakan Eretz Yisrael atau Tanah Israel di Palestina. Untuk mewujudkan citacitanya tersebut, Pemerintahan konservatif Likud membangun pemukiman Yahudi di wilayah pendudukan. Selain itu, Pemerintahan Likud tidak mau berkompromi masalah Jerusalem. Bagi Likud, Yerusalem merupakan ibu kota Israel yang tidak terbagi. Konservatisme Likud telah membawa pengaruh terhadap proses perdamaian Israel-Palestina. Pemerintahan Likud mengubah landasan perdamaian land for peace menjadi land for security. Perubahan landasan ini telah meminimalisasikan jalur perundingan sebagai upaya perdamaian sehingga tidak tercapai sebuah kesepakatan antara Israel dan Palestina. Selain itu, landasan land for security telah meningkatkan tingkat eskalasi konflik dengan penggunaan instrumen kekerasan dan bom bunuh diri dalam konflik Israel-Palestina.

The focus of this graduation project is the impact of the Likud conservative government in Israel against the conflict betwen Israel and Palestine that accured in the 1996 to 2003. Theoretical framework that would be used as analizing tools this research are theory of conflict, conservative concepts, and theory of Zionism. The Research is a qualitative with descriptive analyzing. The conservative Likud in Israel took for granted the Zionism that is to establish Eretz Yisrael or the Land of Israel in Palestine. To reveal thus goal, Likud goverment built the Jewish settlements in the occupied territories even. In addition, the Likud Government would not compromise for the Jerusalem status. For Likud, Yerusalem is such not undivided and absolutly belong to Israel. Likud conservatism has brought theinfluence of the Israel-Palestinian peace process. Likud Government has changed the base line of peace process from "Land for Peace" into "Land for Security". This alteration has minimized the negotiation path as a way to create peace. Hence the agreement is unreachable. In addition to Land for Security has increased theconflict escalation within coercion instrument."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S13193
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Noorayni Rahmawati
"ABSTRAK
Tesis ini meneliti mengenai keberhasilan upaya Pemerintah Palestina meraih
status Negara Pengamat non anggota di PBB yang menandakan meningkatnya
dukungan internasional pada kemerdekaan Palestina dan kegagalan diplomasi
Israel dan Amerika. Presiden Palestina telah menyatakan bahwa upaya Palestina
untuk meraih keanggotaan di PBB sangat perlu dilakukan untuk menangani
kebuntuan negosiasi dengan Israel. Dukungan internasional meningkat dengan
adanya perubahan arah politik Negara Barat khususnya Negara Eropa yang mulai
mendukung dan mengakui Negara Palestina. Komunitas Internasional mendukung
terwujudnya Negara Palestina yang hidup berdampingan dalam damai dengan
Israel. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif studi kasus dengan
pendekatan deskriptif ? analitik dan ditulis dengan data yang diperoleh dari
dokumentasi, arsip (buku, artikel atau jurnal, dan situs ? situs website resmi) dan
hasil wawancara dengan Duta Besar Palestina. Konsep kebijakan luar Negeri dan
diplomasi digunakan untuk menjelaskan langkah Palestina di PBB dan teori
perdamaian Hans Morgenthau digunakan untuk menganalisa dampak serta tujuan
upaya Palestina di PBB. Hasil penelitian adalah Upaya Palestina di PBB
menghasilkan dampak positif bagi status Internasional Palestina, namun juga
menimbulkan dampak negatif pada proses perdamaiannya dengan Israel. Respon
penolakan Israel atas status baru Palestina menyebabkan konflik kembali
meningkat. Akan tetapi penulis berargumen dengan menekankan bahwasannya
upaya Palestina sangatlah penting dilakukan untuk mencapai kesetaraan dengan
Israel.

ABSTRACT
This thesis examines the success of the Palestinian Government's efforts to
achieve non-member observer state status at the United Nations which signifies
the increasing international support to the independence of Palestine and also
signifies the failure of Israeli and American diplomacy. President Mahmoud
Abbas has declared that the Palestinian effort to achieve membership in the
United Nations was needed to deal with deadlocks in negotiations with
Israel. International support increased with the change of political direction of the
West, especially the European countries which began to support and recognize the
State of Palestine. The international community supports the establishment of a
Palestinian State coexisting in peace with Israel. This study uses qualitative case
study with descriptive - analytical approach and written with data obtained from
the documentation, archives (books, articles or journals, and official website) and
the results of interviews with Palestinian Ambassador. The concept of the State's
foreign policy and diplomacy are used to describe the Palestinian gambit in UN
and also peace theory of Hans Morgenthau is used to analyze the impact and
purpose of the Palestinian efforts at the UN. The results showed that the
Palestinian effort in UN resulted in a positive impact for International status of
Palestine, but also have a negative impact on the peace process with
Israel. Israel's refusal on the new status of the Palestinian cause increasing
conflict. The authors argue by emphasizing that Palestinian efforts is essential to
achieve equality with Israel"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widi Megantoro
"Tesis ini membahas tentang Peran Bawaslu dan Dinamika Hubungan
Kelembagaannya Dalam Proses Pengawasan Pemilu Pasca Reformasi di
Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, pendekatan
dengan menggunakan teori Kedaulatan Rakyat, teori Lembaga Negara, dan teori
Partisipasi. Serta penggunaan konsep-konsep tentang pemilihan umum,
pengawasan pemilu, dan masyarakat. Untuk memperoleh kesimpulan dari tujuan
penelitian hal-hal yang disampaikan adalah meliputi sejarah pengawasan pemilu
di Indonesia, kedudukan dan kewenangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
pasca reformasi, mekanisme penyelesaian sengketa, dan dinamika hubungan
kelembagaan Bawaslu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh hasil bahwa peran Bawaslu dalam
pengawasan pemilu pasca reformasi menunjukkan hasil yang cukup baik, meski
masih terdapat banyak kekurangan. Kedudukan Bawaslu diperkuat dari yang
semula lembaga adhoc menjadi tetap dan mandiri. Kewenangannya pun ditambah
sebagai penyelesai sengketa pemilu. Dalam praktiknya terjadi dinamika hubungan
kelembagaan Bawaslu, KPU, selaku penyelenggara pemilu dan DKPP sebagai
lembaga yang menegakkan kode etik penyelenggara pemilu. Dinamika hubungan
kelembagaan tersebut mengakibatkan terhambatnya tahapan pemilu dan terjadi
ketidakpastian hukum sebagai akibat putusan DKPP yang menyentuh ranah
tahapan pemilu yang bukan menjadi kewenangannya

ABSTRACT
This Thesis will discuss the Role of BAWASLU and the Dynamic Instituional
Relationship of BAWASLU in the General Election (PEMILU) Monitoring
Process Post- Reform in Indonesia. This paper uses a normative juridical
research method, as well as the Popular Sovereignty theory, State Institutions
theory and Participation theory as approach. Last but not least, concepts related
to General Election, General Election Monitoring and the society is also included
in the research. In order to draw a conclusion from the research objectives, the
points that will be addressed includes the history of General Election Monitoring
in Indonesia, the Position and Authority of BAWASLU Post – Reformasi era, the
General Election Commition (KPU) and the Election Organizers Ethics Council
(DKPP).
Based on the results, the role of BAWASLU in monitoring general election during
post-reform era shows decent results, nothing that improvements are still needed.
The position of BAWASLU is reaffirmed with its transition from and adhoc
institution into and independent and permanent institution. BAWASLU was also
granted authority to settle disputes related to the general election. However, in its
practice, tensions and dynamic institutional relationships among BAWASLU,
KPU and DKPP arises. The dynamic institutional relationship has hindered the
general election process and causes uncertainty due to DKPP’S authority to pass
out a decision outside its original authority and functions."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>