Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 155840 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Betariani Prawitasari Ediboedi
"Masa remaja awal (early adolescence) menandai permulaan masa remaja, mencakup berbagai transisi dari ketidak matangan atau immaturity menuju kematangan atau maturity (Amett & Taber, Graber & Brooks-Gunn, Hoffman dalam Steinberg, 2002). Usia ini dipandang saat yang tepat untuk memberikan intervensi atau pengarahan (Carnegie Council on Adolescent Development, Hamburg dalam Crockett & Crouter, 1995).
Prestasi menjadi pokok permasalahan di usia remaja awal (Steinberg, 2002). Namun transisi ke usia remaja membawa permasalahan. Ditemukan bahwa motivasi intrinsik untuk tugas-tugas akademik umumnya mengalami penurunan, demikian pula keseluruhan prestasi (urdan & Klein, 1998).
Ada perbedaan nyata antara remaja yang tidak dapat mempergunakan potensinya dengan remaja yang berprestasi tinggi. Hasil penelitian mengindikasi faktor yang sangat berperan di usia remaja dan berdampak positif pada kehidupan di usia dewasa (Clausen, Clausen &. Jones, dalam Shanahan, 2000; Clausen dalam Reynolds, Boyd, Burge, Harris, Robbins, 2004). Faktor tersebut adalah planful competence, yaitu kemampuan seseorang (remaja) untuk dapat memegang kendali atas perjalanan hidupnya, dengan memiliki tujuan yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau bidang pekerjaan, serta melakukan langkah-langkah untuk mewujudkannya.
Penelitian ini ingin mendapatkan gambaran planful competence pada remaja awal berprestasi di sekolah yang diduga memiliki planful comperence, serta peranan lingkungan sosialnya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Wawancara digunakan sebagai alat memperoleh data, dilengkapi instrumen Rotter?s locus of control yang dianalisa secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan remaja yang memiliki planful competence dapat menjalani hidupnya secara lebih terarah karena memiliki tujuan dan minat yang lebih jelas. Mereka mempergunakan waktu lebih efisien dan efektif, untuk meiakukan usaha meningkatkan kemampuannya sejalan dengan arah minat dan cita-citanya. Karena umumnya remaja tersebut memiliki cita-cita yang berkaitan dengan bidang akademik, maka dengan sendirinya planfulness mereka mendukung usaha yang dilakukan di sekolah serta prestasi akademik yang dicapainya.
Peranan mikrosistem dan significant others sangat besar mendukung perkembangan planful competence. Orang tua dan guru dapat menjadi motivator sekaligus model untuk berprestasi dan bersikap planfull. Berbeda dengan peranan teman sebaya, yang justru menurunkan motivasi dan semangat berprestasi di sekolah.
Untuk penelitian mendatang perlu memperhatikan tipe sekolah dan jalinan rapport dengan subjek. Penelitian longitudinal bisa dilakukan. Penelitian dengan subjek orang-orang sukses juga dapat memberi masukan berharga mengenai keadaan nyata di Indonesia. Penelitian selanjutnya dapat menghubungkan planful competence dengan hal lain seperti strategi belajar, dan sebagainya.
Masukan untuk orang tua dan pendidik mengenai pentingnya menjadi model bagi remaja dan pentingnya mengembangkan sense of efficacy. Penting untuk memberi masukan mengenai berbagai bidang ilmu dan karir kepada remaja guna membentuk planfulness-nya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T17940
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariana Dewi
"Jumlah kasus penggunaan NAPZA di Indonesia sebanyak 20.301 orang, dimana 70% pemakai tersebut dikalangan remaja. Lingkungan ikut berkontribusi terhadap perilaku penggunaan NAPZA. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui gambaran perilaku remaja terhadap NAPZA di Sekolah yang berlokasi dekat dengan terminal. Penelitian ini dilakukan di SMU Terpadu Terminal Depok dengan jumlah responden sebanyak 98 Orang. Metode yang digunakan deskriptif sederhana dengan instrumen penelitian berbentuk kuesioner, Domain perilaku yang diteliti menunjukan hasil bahwa tingkat pengetahuan responden yang tinggi sebanyak 79 orang (80.61%), berpengetahuan sedang 19 orang (19.39%) dan tidak ada yang berpengetahuan rendah. Domain sikap menunjukan hasil bahwa responden yang bersikap baik terhadap NAPZA sebanyak 51 orang (52.04%) dan bersikap kurang baik 47 orang (47.96%). Untuk domain tindakan menunjukan hasil bahwa responden yang berperilaku adaptif sebanyak 56 orang (57.14%) dan yang berperilaku maladaptif sebanyak 42 orang (42.86%). Peneliti merekomendasikan pada penelitian selanjutnya untuk lebih baik menggunakan metode penelitian korelasi untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku terhadap NAPZA."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2008
TA5662
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Dwi Ariyanti
"ABSTRAK
Masa perpindahan dari SD ke SMP umumnya berkaitan dengan perubahan pada
lingkungan sekolah, aktifitas akademis, dan aktifitas sosial, perubahan-perubahan
tersebut dihadapi oleh siswa remaja awal bersamaan dengan perubahan yang
berasal dari dalam dirinya karena masa pubertas. Bagi kebanyakan siswa remaja
awal kondisi tersebut bisa menjadi pemicu munculnya stress (stressor). Dalam
menghadapi stress setiap siswa memiliki perbedaan karena disebabkan oleh
kemampuan coping yang dimilikinya dan dukungan sosial yang diterimanya.
Penelitian dilakukan pada partisipan sebanyak 106 orang yang berasal dari SMP N
2 Depok, dan memiliki karakteristik anak laki-laki maupun anak perempuan yang
sedang menjalani semester pertama sekolah. Seluruh partisipan diukur mengenai
pengalaman stress menggunakan Perceived Stress Scale (Cohen, Kamarck, &
Mermelstein, 1983), pengalaman stressor menggunakan lembar checklist,
penggunaan strategi coping menggunakan Cope Scale (Carver, Scheier, &
Weintraub, 1989), dan dukungan sosial menggunakan Social Support
Questionnaire for Children (Gordondise, 2011). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa semua partisipan mengalami stress namun pada tingkat yang berbeda-beda,
situasi khawatir dengan hasil raport jelek merupakan salah satu situasi yang
banyak dialami siswa sekaligus dianggap sebagai stressor, strategi coping terpusat
emosi sering digunakan oleh paling banyak partisipan, dan dukungan sosial yang
sangat sesuai ialah dari orang tua baik dalam bentuk instrumental maupun
emotional. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu seluruh pihak
yang terlibat dalam tumbuh kembang siswa remaja awal untuk bisa lebih
memahami pengalaman stress, stressor, strategi coping, serta dukungan sosial
pada siswa remaja awal di SMP.

ABSTRACT
The transition from elementary school to junior high school is generally
associated with changes in the school environment, academic activities, and social
activities, the changes faced by students in conjunction with the change that
comes from within him or her because of the onset of puberty. For most students
these conditions could trigger the emergence of stress (stressors). In the face of
stress every student has a different because their own capability of coping and
social support their received. Participants totaled 106 people from SMP N 2
Depok, and has the characteristics of boys and girls who are undergoing the first
semester of school. All participants were measured on experience of stress using
the Perceived Stress Scale (Cohen, Kamarck, & Mermelstein, 1983), the
experience of stressor using a checklist sheet, the use of coping strategies using
the Cope Scale (Carver, Scheier, & Weintraub, 1989), and social support using
Social Support Questionnaire for Children (Gordondise, 2011). The results
showed that all participants experienced stress but on a different level, the
situation concerned with the results of bad report cards is one of the situations
experienced by most students at once regarded as a stressor, coping strategies
centered emotions often used by most participants, and social support particularly
appropriate is from parents in the form of instrumental and emotional. From the
results of this research can help all parties involved in the development of early
adolescent students to better understand the experience of stress, stressors, coping
strategies, and social support on early adolescent students in junior high school."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S54496
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tusi Sasono
2001
S2923
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Kurniadami
"Menurut Berkowitz (1993) Perilaku agresif mengacu pada pemakaian kekerasan yang dapat melanggar hak-hak seseorang dan tindakan yang menyakitkan hati. Berdasarkan pemikiran di atas. Berkowitz membagi agresi menjadi dua haggian yaitu agresi instrumental (agresi untuk mencapai tujuan, misalnya mendapatkan kembali objek, hak atau kekuasaan) dan agresi permusuhan yaitu agresi untuk melampiaskan kebencian dengan melukai, menvakiti atau merusak. Perilaku agresif diangaap berbahaya karena dapat menjadi sumber dari timbulnya berbagai kekerasan dari kejahatan di masyarakat.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada perilaku agresif, ditemukan bahwa perkembangan perilaku agresif terjadi sejak masa hayi, dilanjutkan dengan pada masa pra-sekolah. masa usia sekolah_ remaja hingga dewasa. Namun demikian. ditemukan bahwa ada masa kritis dimana perilaku agresif dapat menjadi scbuah kecenderungan yang dapat bertahan sampai masa dewasa. Masa tersebut adalah masa usia sekolah dan remaja ma]. Pada masa usia sekolah, perilaku agresif dapat menjadi sumber kenakalan kronis dan kejahatan pada remaja. Bahkan penelitian dari Leonard Eron menunjukkan bahwa dengan melihat anak pada waktu berusia 8 tahun, maka dapat diketahui seberapa agresif seseorang pada saat dewasa.
Pada saat remaja, perilaku agresif yang belum dapat diatasi. akan semakin iebih berbahaya, karcna dapat melanggar hokum dan rnenjurus pada perkelahian dan tindakan kekerasan. Lebih khusus lagi pada saat remaja awal, dimana terjadi konflik ororitas dan hubungan dengan teman sebaya mengoat. maka bentuk-bentuk perilaku agresif seseorang lebih nyata. Untuk itu usaha untuk menciptakan anak usia sekolah dan remaja awal yang dapat mengendalikan diri sangat penting dilakukan. Penelitian menunjukkan bahwa remaja awal yang dapat mcngendalikan diri, hangat, bertanggung jawab dan bekerja sama akan cenderung bersikap sama hingga 30 tahun kemudian.
Bandura (1973) menyebutkan bahwa perilaku agresif pada usia 8-12 tahun adalah agresi tidak jelas yaitu perilaku mengganggu, berbohong atau merusak benda sedangkan pada usia 12-14 tahun adalah agresi yang bersifat jelas atau berupa tindakan kekerasan seperti berkelahi atau menyerang bahkan mernaksakan perilaku seks pada seseorang. Dengan demikian untuk mernahami pcnyebab perilaku agresif sangat penting untuk mem fokuskan pada pengalaman dan keterlibatan anak dalarn kekerasan pada masa usia sekolah dan remaja awal.
Perilaku agresif ini dipengaruhi oleh banyak hal Sears et. al., (1994) melihat bahwa mekanisme utama yang menentukan perilaku agresif manusia yaitu proses belajar di masa lalu. penguatan dan imitasi. Ketiga hal ini sangat mcnarik untuk diteliti berkaitan dengan besarnya dampak perilaku agresif pada anak usia sekolah dan remaja awal.
Pcnelitian mengenai perilaku agresif telah banyak dilakukan di negara Barat baik dari segi biologic_ psikologis maupun sosial. Bandura melalui Social learning theory menvehutkan bahwa kondisi lingkungan dan sosial dapat 'mengajarkan' individu menjadi agresif. Hal ini diakibatkan seseorang, mempelajari tingkah laku baru melalui imitasi pada orang lain yang dianggap penting. proses belajar mclalui pengamatan dan pengalaman langsung dan dipertahankan melalui faktor penguat (reward dan hukuman).
Pepler & Slab- (1994) mengatakan bahwa untuk memahami perilaku agresif dan hagaimana mengurangin. a. perk] dipelajari teori belajar sosial atau teori-teori lain yang berpijak pada per uhalusn dan proses perkembangan. Hal ini disebabkan karena teori belajar sosial dan sejenisnya dapat nlengurangi atau mencegah perkembangan perilaku agresif- karena pergerakan dan pencegahan agresi tergantung pada budava dan proses belajar (Weiss et al., dalarn Westen. 1996).
Pada penelitian ini. Suhyek diambil melalui Peer- nomination Leman sekelas, yang diadaplasi dari The Factorial Structure of Aggression and Prosocial Children's Self Report Scale yaitu kuesioner Peer Nomination for Aggression Behavior (PNAB) dari Caprara. Barbararrelli dan Pastorelly (1994). Dari delapan kelas yang tcrpilih (4 kelas anak usia sekolah dan 4 kelas remaja awal yang berada di pusat kola Bogor yang diperkirakan perilaku agresinya tinggi). akhirnya terpilih 8 anak yang dianggap berperilaku paling agresif. Kedekapan anak ini diwawancara berdasarkan pedoman wawancara yang telah disiapkan.
Mengingat subvek yang terhatas hasil penelitian ini tidak dapat hcrlaku umum. Namun dari penelitian ini diperoleh basil bahwa perilaku agresif pada anak usia sekolah disebabkan oleh kurangnya waktu anak bersama orangtua. jenis kepribadian orangtua yang bersifat mengabaikan atau tidak ingin diganggu atau anak disosialisasikan dengan perilaku agresif dan mendapat pembolehan untuk melakukannya. Sedangkan pada remaja awal perilaku agresif disebabkan oleh kurang hangatnya hubungan dengan orangtua. hukuman yang terlalu berlebihan, pembiasaan hukuman pada waktu kecil, terlalu dimanjakan dan juga diabaikan selain remaja awal sudah mulai mencari figur lain selain orangtua dan melakukan imitasi misalnya pada (man, guru, atau bahkan pada pemain sepak bola dunia.
Selain itu, jika anak terbiasa menjadi korban dari periiaku agresif orangtuanya (dipukul, di(endang dst., atau dihina, diancam dst.). inaka anak juga melakukan hal tersebut kepada lingkungannya. Terbiasa melihat perilaku agresif atau saksi kekcrasan dalam perkawinan juga dapat menyebabkan anak berperilaku agresif. Pada penelitian ini juga ditemukan baliwa tidak selamanya anak memahami kemarahan dan hukuman orangtua. Pada beberapa anak, ia merasa diperlakukan tidak adil karena menyadari kesalahan dan hukuman tidak sebanding. Orangtua sendiri cenderung memberi reward pada perilaku agresif anak bcrdasarkan pemikiran untuk membalas. Pada imitasi. ibu menjadi tokoh yang paling dekat dengan anak. namun perilaku agresif tidak selalu ditiru dari ibu, melaknkan dari ayah, kakek, kakak. Atau teman.
Ketika anak usia sekolah mengalami kekecewaan. semua anak mengatakan akan mengatakan (mengadu) pada ibu meskipun ternyata ibunya tidak dapat menerima pengaduan, entah karena sibuk, tidak mau diganggu atau tidak memahami kebutuhan anak seperti ini. Narnun. pada remaja awal, kekecewaan sudah diatasi sendiri entah dengan marah atau membalas. Bahkan dalam mengekspresikan kemarahan. jika anak usia sekolah rnengaku bentukthya tidak berbeda dengan orangtuanya (seperti yang diajarkan), maka pada remaja. mungkin karena perkembangan sosial mereka. mercka melakukan peningkatan perilaku agresif,
namun disertai dengan alasan sebagai 'iseng'. 'ngasal' atau 'bercanda'.
Saran yang diajukan bagi penclitian yang sama di masa mendatang adalah memperbesar jumlah subyck. sehingga variasi-variasi dari aspek yang berperan dalam pembentukan perilaku agresif dapat tergali dengan baik. Selain itu penelitian juga dapat diarahkan pada scluruh segi perilaku agresif baik verbal. fisik, gesture, perilaku agresif yang dialihkan dan lain-lain, yang dapat dilakukan secara longitudinal. sehingga anak usia sekolah yang menjadi sampel dapat diikuti perkembangannva sampai dewasa yang pada akhirnva dapat menghasilkan seam kesimpulan yang didapat lebih komprehensif. Membuat rancangan program bentuk-hentuk interaksi orang tua-anak, sehingga anak dapat tumhuh dan berkembang secara optimal."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T18108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianca C.Y. Mardikoesno
"Remaja sebagai individu yang sedang berada pada masa transisi menuju ke dewasa, dituntut untuk membentuk ?sense of identity' dan melihat dirinya berbeda dan terpisah dari individu lain. Pencapaian identitas diri pada masa ini penting untuk keberhasilan remaja dalam menjalankan perannya di tahap berikutnya, yaitu tahap isolation vs intimacy (Erikson, 1968). Namun keadaan krisis biasanya mengiringi proses pembentukan identitas diri remaja, dan bila tidak dapat terselesaikan akan menyebabkan remaja terus berada pada kebingungan identitas dan tidak dapat menjalankan perannya sebagai individu yang utuh.
Pembentukan identitas diri terjadi melalui pencapaian physical self sexual self vocational self social self dan phylosophic self (Erikson, 1963). Sejalan dengan kompleksnya tugas perkembangan yang harus dihadapi oleh remaja, keadaan ekonomi dan pendidikan yang rendah dapat menjadi faktor yang menyulitkan remaja dalam membentuk identitas dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Marcia (1989) yang menyatakan bahwa keterbatasan ekonomi dan pendidikan menyulitkan remaja dalam mencapai identitas pada domain vocational. Pernyataan ini dikuatkan pandangan Erikson, yang mementingkan faktor pendidikan dan pekerjaan sebagai pembentuk identitas utama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana gambaran diri remaja miskin yang putus sekolah tercapai dengan melihat pencapaian identitas diri melalui penghayatan dan pemahaman remaja akan dirinya pada 5 domain. Oleh karena itu teknik yang digunakan dalam pelaksaan penelitian adalah metode studi kasus melalui wawancara mendalam. Sample yang digunakan dalam penelitian adalah remaja akhir dengan batasan usia antara 18-20 tahun. Alasan penggunaan batasan usia ini karena pada masa remaja akhir diasumsikan sudah dapat berpikir abstrak dalam mengintegrasikan seluruh pengalamannya dan membentuk identitas dirinya.
Dari 4 orang subyek yang diwawancara, peneliti memperoleh hasil bahwa pencapaian identitas diri pada remaja miskin yang putus sekolah memiliki kecenderungan yang besar berada pada status diffusion, namun masih ada kemungkinan remaja berada pada status foreclosure. Fenomena ini terjadi karena subyek terbatas dalam dua faktor penting dalam 5 domain pencapaian identitas diri.
Melihat hasil yang diperoleh dari penelitian ini, peneliti berpendapat penerimaan diri pada remaja miskin yang putus sekolah cukup baik, dan mereka cukup realistis dalam menentukan tujuan hidupnya. Ketidakberhasilan remaja miskin dalam mencapai salah satu domain identitas diri lebih disebabkan keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan dan minimnya keterampilan pekerjaan sehingga sulit bagi remaja miskin mendapat pilihan-pilihan. Hal lain yang cukup menarik dari penelitian ini adalah ditemukannya persamaan pada semua sample penelitian dalam memilih bidang pekerjaannya.
Penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan melihat perbedaan identitas diri antara remaja miskin laki-laki dengan remaja miskin perempuan, dan mengapa remaja miskin cenderung memilih bidang pekerjaan yang sama."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2018
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggita Elistyowati Pramandani
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kepuasan hidup remaja yang bersekolah di sekolah formal dan remaja jalanan yang bersekolah di sekolah non formal. Life satisfaction merupakan konstruk yang penting dalam penelitian positive psychology karena hubungannya sangat dekat dengan kebahagiaan sepanjang penelitiannya termasuk dalam lingkup positive personal, tingkah laku, psikologis dan social outcomes (Zumbo, 2011). Suldo dan Huebner (2005) mengkonseptualisasikan life satisfaction sebagai sebuah pemikiran atau kognisi, penilaian global individu yang dilakukan ketika mempertimbangkan kepuasan mereka terhadap kehidupannya secara keseluruhan atau dalam domai-domain tertentu seperti keluarga, lingkungan, teman dan diri sendiri. Peningkatan pemahaman life satisfaction pada remaja sangat penting karena dapat digunakan untuk mengembangkan karakteristik individu seperti social adjustment, kesehatan mental dan prestasi sekolah, selain itu life satisfaction juga berkaitan erat dengan lingkup akademis, sosial, dan kesehatan fisik (Hudkins & Shafer, 2011). Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tipe penelitian deskriptif komparatif. Pengukuran kepuasan hidup dilakukan dengan menggunakan Multidimensional Student Life Satisfaction Scale (MSLSS) yang dikembangkan oleh Huebner di tahun 2001 dengan mengukur 5 dimensi, yaitu dimensi keluarga, dimensi teman, dimensi sekolah, dimensi lingkungan dan dimensi diri sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan tingkat kepuasan hidup antara kedua kelompok remaja ini pada dimensi-dimensi tertentu. Remaja di sekolah formal memiliki kepuasan hidup pada dimensi keluarga, lingkungan dan diri sendiri yang lebih tinggi dibandingkan remaja jalanan di sekolah non formal. Sedangkan pada dimensi teman dan sekolah kedua kelompok ini tidak memiliki perbedaan. Hasil penelitian ini perlu ditindak lanjuti dengan memperbanyak jumlah partisipan penelitian agar perbedaan pria dan wanita dapat diteliti. Selain itu, menggunakan teknik wawancara mendalam termasuk mewawancarai orang tua akan bermanfaat untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana remaja, baik yang bersekolah di sekolah formal maupun remaja jalanan di sekolah non formal memaknai hidup mereka."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S57653
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Irene
"Dyslexia merupakan kesulitan belajar khusus daiam membaca. Kegiatan membaca merupakan kegiatan yang penting untuk dikuasai, agar dapat berprestasi di sekolah. Namun kegiatan ini juga merupakan suatu proses yang kompleks, meialui tahap-tahap tertentu. Gangguan pada tabap terlentu akan dapat membuat seorang anak mengalami kesulitan dalam membaca. Gangguan ini dapat terjadi pada kemampuan persepsi visual, auditori-linguistik, maupun kombinasi dari keduanya. Gangguan persepsi visual merupakan gangguan tabap awal yang dapat segera dideteksi. Salah satu alatukur untuk mengukur kemampuan ini adalah Tes Bender Gestalt. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan perkembangan persepsi visual seorang anak, yang tclab didiagnosa Dyslexia, yang terukur oleh Tes Bender Gestalt Berdasarkan babwa setelahbersekolah di sekolab khusus, anak akan mendapat berbagai remedial dan terapi untuk mengatasi kesulitannya, antara lain kesulitan persepsi visual, maka diasumsikan setelah bersekolah di SD Khusus akan terjadi peningkatan kemampuan persepsi visual. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya Skor tota) Tes Bender. Ternyata dari 3 subyek yang diteliti, hanya I subyek yang memperlihatkan peningkatan kemampuan persepsi visual, sedangkan 2 lainnya masih memperlihatkan kesulitan yang sama dengan hasil tes mereka l-1 % rabun yang lampau."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T37960
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erin Mutiara Naland
"ABSTRAK
Penelitian-penelitian terdahulu menyatakan bahwa anak laki-laki lebih agresif daripada anak perempuan (Harris dalam Baron, 2000; Buss dalam Bjorkqvis, 1994). Penelitian-penelitian terbaru mengatakan bahwa anak perempuan dapat sama agresivitasnya dengan anak laki-laki, hanya saja dalam bentuk yang berbeda (Donelson, 1999). Hal ini menggelitik rasa ingin tahu peneliti tentang bentuk-bentuk agresivitas yang dipakai remaja putri untuk menyakiti remaja putri lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran bentuk-bentuk perilaku agresivitas yang digunakan remaja putri untuk menyakiti remaja putri lain, gambaran detil kejadian agresivitas yang dialami oleh remaja putri, respon emosional, sosial dan perilaku korban dan pemicu agresivitas. Menurut berbagai literatur anak perempuan cenderung memakai agresivitas tidak langsung (indirect) dan biasanya lebih sulit diamati (covert) (Baron, 2000; Olweus, 2003; Krahe, 2001; Sullivan, 2000; Simmons, 2000). Peran sosial anak perempuan yaitu tidak agresif menyebabkan anak perempuan menyembunyikan agresivitas mereka ke dalam bentuk yang lebih sulit diamati dan tidak langsung (Simmons, 2002). Sifat persahabatan anak perempuan yang kecil, eksklusif dan intim juga meningkatkan kesempatan untuk agresivitas tidak langsung. Penelitian dilakukan di sebuah sekolah khusus putri dengan menggunakan siswi-siswi kelas satu sebagai subjek. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan “sisi dalam” realitas dari sudut pandang korban. Metode utama yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah Focus Group Discussion (FGD). FGD adalah kelompok diskusi yang mengeksplorasi sekelompok isu-isu spesifik dan merupakan metode yang ideal untuk menggali opini, pengalaman dan pendapat subjek (Barbour & Kitzinger. 1999) Melalui penelitian ini didapatkan hasil-hasil sebagai berikut; remaja putri di sekolah Z menggunakan berbagai bentuk agresivitas untuk menyakiti remaja putri lain. Secara garis besar agresivitas tidak langsung digunakan di dalam satu angkatan, secara khusus di dalam persahabatan atau hubungan dengan teman satu clique. Agresivitas langsung berupa serangan verbal cenderung dipakai oleh kakak kelas untuk menyakiti adik kelas. Agresivitas kakak kelas kepada adik kelas merupakan isu kuat di sekolah Z. Senioritas dan “gencet-gencetan” telah menjadi tradisi dari tahun ke tahun dan oleh karena itu agresivitas kakak kelas kepada adik kelas seperti mendapat pembenaran. Kakak kelas biasanya mengontrol adik kelas dengan memberikan “norma-norma” dan menekan siapa saja yang tidak mematuhinya atau adik kelas yang menonjol dan memiliki kecenderungan populer. Kakak kelas menggencet adik kelas dengan serangan verbal seperti menyindir atau memarahi adik kelas secara berkelompok. Adik kelas merasa takut, tertekan, kesal dan stres menghadapi agresivitas kakak kelas akan tetapi tidak berdaya melawan akan tetapi tidak ingin “gencetgencetan” ini dihapuskan. Saran untuk penelitian berikutnya adalah meneliti agresivitas kakak kelas kepada adik kelas dari sisi agresor atau membuat penelitian kuantitatif mengenai sikap adik kelas terhadap agresivitas kakak kelas. Saran praktis untuk sekolah Z dan sekolah-sekolah dengan kondisi kurang lebih sama dengan sekolah Z adalah dengan mengadakan pembinaan untuk mengubah paradigma mengenai gencet-gencetan dan agresivitas remaja putri, mengurangi otoritas atau kewenangan kakak kelas dan meningkatkan fokus akademis agar “gencet-gencetan” dapat menurun."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rumapea, Sondang P.
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penalaran moral dan belief lingkungan hidup pada anak usia sekolah dan remaja awal. Peneiitian ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa kondisi lingkungan hidup di Indonesia saat ini semakin mengalami degradasi. Penyebab utama dari kerusakan lingkungan hidup adalah perilaku manusia. Oleh sebab itu perlu dilakukan intervensi terhadap perilaku manusia yang bersifat destruktif terhadap lingkungan hidup. lntervensi ini perlu dilakukan sejak dini, yaitu sejak usia anak dan remaja. Ophuls (dalam Gardner & Stern, 1995) menyatakan hahwa salah satu cara untuk melakukan intervensi pada perilaku anak dan remaja berkaitan dengan lingkungan hidup adalah dengan melalui pendekatan moral dan pendidikan yang mengubah belief tentang lingkungan hidup. Hal ini membuat peneliti tertarik untuk me!akukan penelitian pada area penalaran moral dan belief yang termasuk dalam ranah kognitif. Selain itu, peneliti tertarik pula untuk melihat apakah terdapat perbedaan antara penalaran moral dan belief pada anak dan remaja yang hidup dalam dua konteks lingkungan yang kondisinya berbeda. Penelitian dilakukan pada anak usia sekolah dan remaja di P. Pramuka dan Kelapa di Kepulauan Seribu. Metode pengambilan data adalah dengan menggunakan cerita adaptasi dari dilema moral Kohlberg dan wawancara terstruktur. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisa chi-square. Berdasarkan perhitungan statistik, diperoleh hasil bahwa terdapat perbedaan yang bermakna dalam penalaran moral lingkungan hidup pada anak usia sekolah dan remaja awal. Namun demikian, tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam belief maupun penalaran moral antara subyek yang hidup dalam dua konteks lingkungan yang berbeda. Dari hasil penelitian Nampak bahwa sebagian beasr subyek anak dan remaja mempunyai belief antroposentris yang mengacu pada pandangan bahwa manusia berada diatas alam."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T33664
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>