Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105998 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anik Widajati
"Tujuan
Untuk mengetahui peran resistensi mikroba pada infeksi saluran kemih komplikata yang sembuh setelah diobati dengan siprofloksa sin atau levofloksasin.
Cara kerja
Pada 152 sampel urin dari penderita infeksi saluran kemih komplikata diidentifikasi mikroba dan resistensinya terhadap fluorokuionolon (siprofloksasin atau Ievofloksasin) dan dibandingkan dengan tingkat keberhasilan terapinya secara klinis.
Lokasi
Bagian Urologi dan Nefrologi RSCM Bagian Nefrologi Rumah Sakit Islam Jakarta Departemen Mikrobiologi FKUI.
Sampel penelitian
Penderita infeksi saluran kemih komplikata dari Bagian Urologi dan Nefrologi RSCM dan Bagian Nefrologi Rumah Sakit Islam Jakarta sejak bulan Juni 2003 sampai bulan September 2004.
Pengobatan
Seratus lima puluh dua penderita ISK komplikata yang mikrobanya positif dibagi 2 secara acak, 76 penderita diberi terapi siprofloksasin, dan 76 diberi terapi levofloksasin.
Hasil Penelitian
Tujuh puluh enam pasien yang mendapat pengobatan dengan levofloksasin disebut kelompok levofloksasin dan 76 pasien yang diberi pengobatan dengan siprofloksasin disebut kelompok siprofloksasin. Rata-rata umur pasien pada kelompok siprofloksasin adalah 41,1 tahun dan pada kelompok levofloksasin adalah 45,3 tahun. Perbandingan pria dan wanita adalah satu banding tiga. Jervis mikroba utama yang diternukan pada penelitian ini adalah 33% Emil dan 20% Klebsiella sp, (66% didominasi oleh Klebsiella pneumonia) dan Staphylococus sejumlah 13%.Angka kesembuhan klinis yang didapat pada kelompok siprofloksasin dan levofloksasin adalah sama yaitu sebesar 77,6% , dengan angka perbaikan masing-masing 13,2% dan 19,7% serta angka kegagalan klinis masing-masing 9,2% dan 2,6%. Tetapi secara statistik kedua nilai tersebut tidak berbeda bennakna. Nilai eradikasi mikroba dari kelompok siprofloksasin 88,2% dan pada kelompok levofloksasin eradikasi sebesar 86,8%. Angka resistensi untuk siprofloksasin berkisar antara 20%-30% sedangkan untuk levofloksa sin berkisar antara 8%-15%. Pada pasien yang sembuh secara klinis dari kelompok siprofloksasin 19,2% kumannya resisters terhadap pengobatannya. Pada kolompok levofloksasin yang sembuh klinis tetapi mikrobanya resisten sebanyak 14,8%. Dari populasi yang mikrobanya resisten terhadap siprofloksasin terjadi kesembuhan klinis 83,3%, sedangkan pada populasi yang mikrobanya resisten terhadap levofloksasin terjadi kesembuhan klinis 88,9%.
Analisis Data
Pada kedua kolompok di ataa dilakukan uji atatistik untuk data nominal xi (2x2) jika tidak ada nilai ekspektasi <5 atau Fisher (2x2) bila ada nilai ekspektasi <5a dan untuk data ordinal digunakan uji 1t oimogorov-Smirnov.
Kesimpulan
Penderita ISK komplikata yang diobati dengan fluorokuinolon (siprofloksasin atau levofloksasin) yang dan secara klinis dinyatakan sembuh temyata 18,6% dan 13,8% bakteri penyebabnya resisten pada pengobatannya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18150
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Billy, Matthew
"Infeksi Saluran Kemih (ISK) disebabkan oleh mikroorganisme dengan atau tanpa gejala berupa sakit saat berkemih, urgensi, dan peningkatan frekuensi berkemih. Pada ISK tanpa gejala, diagnosis ditegakkan melalui kultur urin dengan jumlah koloni mikroorganisme 105 colony forming unit (cfu)/mL. ISK terutama disebabkan oleh bakteri, sehingga terapi awal yang diberikan secara empirik untuk ISK adalah antibiotik. Ampisilin dulu pernah digunakan sebagai terapi empirik untuk ISK, tetapi tidak lagi digunakan karena angka resistensinya yang tinggi. Secara teoritis, resistensi tersebut dibawa oleh plasmid dan akan hilang dalam populasi bakteri apabila tidak pernah digunakan. Penelitian ini bertujuan melihat apakah ampisilin berpotensi menjadi sensitif kembali dengan pola resistensi yang relatif sama dibandingkan dengan siprofloksasin sebagai pembanding untuk menghambat pertumbuhan bakteri penyebab ISK secara in vitro. Studi ini menggunakan metode potong lintang dengan pengambilan sampel urin di puskesmas-puskesmas di Jakarta yang diuji pola resistensi terhadap kedua antibiotik. Hasil penelitian menunjukkan angka resistensi bakteri penyebab ISK terhadap antibiotik ampisilin dan siprofloksasin secara berurutan adalah 89,5% dan 10,5% dan perbedaan tersebut tersebut bermakna melalui uji Chi-square dengan nilai p < 0,001. Dengan tingginya angka resistensi bakteri penyebab ISK terhadap ampisilin, maka ampisilin belum dapat digunakan kembali sebagai terapi ISK terutama untuk penyebab ISK oleh bakteri Gram negatif. Untuk bakteri Gram positif, ampisilin masih mungkin untuk dipakai kembali sebagai pengobatan ISK, tetapi masih perlu diteliti lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih besar.

Urinary tract infection (UTI) is caused by microorganism with or without clinical symptoms such as dysuria, urgency, and increase frequency of urination. For asymptomatic UTI, diagnosis was supported by urine culture marked by more than 105 colony forming unit (cfu)/mL. UTI is mainly caused by bacteria; therefore, initial empirical therapy of UTI is using antibiotic. Once, ampcillin has been used as empirical therapy for UTI; however, it is no longer used as empirical therapy because of its high number of resistance. Theoretically, the resistance is carried by plasmid which will be lost in bacteria population if it has never been used. The objective of this study is to find whether ampicillin has potency to be sensitive again with the same resistance pattern as ciprofloxacin as reference for inhibiting growth of bacteria causing UTI. Method of this study is cross-sectional study with urine samples collection at Puskesmas in Jakarta which were tested its resistance pattern to both of antibiotics. Result of this study showed that resistance number of bacteria causing UTI to ampicillin and ciprofloxacin and are 89,5% and 10,5% respectively and this difference is significant based on Chi-square test with a p value of < 0,001. Ampicillin’s resistance is high so that ampicillin still can not be used again as therapy of UTI particularly against Gram negative bacteria. For Gram-positive bacteria, ampicillin is still likely to be reused as a treatment for UTI, but still need to be investigated further with a larger number of samples."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Andini Putri
"Latar belakang: PPAB (Pedoman Penggunaan Antibiotik) merupakan panduan pemberian antibiotik empiris yang dibuat sesuai pola kuman dan resistensi antibiotik setempat. Pemberian antibiotik yang rasional untuk infeksi saluran kemih (ISK) mendukung proses kesembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah resistensi antibiotik.
Tujuan: Mengetahui apakah terapi yang direkomendasikan PPAB memberikan kesembuhan yang tinggi, mengevaluasi penggunaan antibiotik dengan alur Gyssens, dan mengetahui faktor risiko yang memengaruhi kesembuhan ISK.
Metode: Penelitian deskriptif dengan desain potong lintang yang dilakukan secara retrospektif pada pasien anak dengan ISK yang dirawat di RSCM.
Hasil: Sebanyak 196 subyek memiliki karakteristik sebagian besar berusia balita (32%), berstatus gizi malnutrisi (53%), memiliki komorbiditas (77%), menderita ISK simpleks (80%), berupa ISK simtomatik (88%), dan memiliki proporsi yang seimbang antara jenis kelamin lelaki dan perempuan. Antibiotik yang paling sering diberikan adalah sefotaksim, seftazidim, dan seftriakson. Alur Gyssens menunjukkan antibiotik diberikan rasional pada 53% pasien. Etiologi bakteri tersering adalah Escherichia coli, Enterococcus faecalis, dan Klebsiella pneumonia. Kesembuhan ISK berhubungan dengan pemberian antibiotik sesuai rekomendasi PPAB dibandingkan dengan pasien yang diberikan antibiotik lain (88% vs 74%, p = 0,05). Faktor risiko yang terbukti memengaruhi kesembuhan ISK adalah jenis kelamin laki-laki (p=0,04, adjusted OR 2,1 (IK 95% 1,03-4,30)) dan kondisi pasien tanpa komorbiditas (p<0,01, adjusted OR 5,7 (IK 95% 1,64-20,05)).
Kesimpulan: Terapi yang direkomendasikan PPAB memberikan angka kesembuhan yang lebih tinggi dibanding terapi antibiotik lain, evaluasi Gyssens menunjukkan pemberian antibiotik rasional hanya diberikan pada 53% pasien, dan faktor yang meningkatkan peluang kesembuhan ISK yaitu jenis kelamin lelaki dan kondisi tanpa komorbiditas

Background: Standard treatment guideline used to guide empirical antibiotic use based on local microorganism patterns and antibiotic susceptibility. Rational use of antibiotic for urinary tract infection (UTI) promotes disease recovery, prevents complications, and prevent antibiotic resistance.
Objectives: To know whether patients treated with standard treatment guidelines gives better recovery rates, to evaluate rational use of antibiotic using Gyssens flowchart, and to know factors related to disease recovery.
Method: Descriptive study with cross-sectional design that conducted retrospectively on UTI pediatric patients hospitalized in RSCM.
Results: This study included 196 children, mostly toddlers (32%), malnourished (53%), having comorbidities (77%), uncomplicated UTI (80%), symptomatic UTI (88%), and has a balanced proportion between sexes. The antibiotics mostly prescribed were cefotaxime, ceftazidime, and ceftriaxone. Gyssens plot showed antibiotics were administered rationally in 53% of patients. The most common bacterial etiology is Escherichia coli, Enterococcus faecalis, and Klebsiella pneumonia. UTI recovery was significantly associated with antibiotics according to guideline recommendations compared with other antibiotics (88% vs 74%, p = 0.05). Risk factors associated with UTI recovery were male gender (p=0.04, adjusted OR 2.1 (95% CI 1.03-4.30)) and condition without comorbidities (p<0.01, adjusted OR 5.7 (95% CI 1.64-20.05)).
Conclusion: Patients treated according to standard treatment guidelines had better recovery rates, Gyssens flowchart showed antibiotic were rationally used in 53% patients, and factors that proved to increase recovery rates were male gender and conditions without comorbidities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Taralan
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas penggunaan sefuroksim aksetil pada anak dengan ISK, baik dengan dosis konvensional maupun dengan dosis tunggal. Kelompok A (konvensional) diberi dosis 15 mg./kg. Bb./hari secara oral selama tujuh hari berturut-turut. Kelompok B (dosis tunggal) diberi pengobatan 15 mg./kg./bb./ hari juga secara oral, diberikan sekaligus, hanya satu kali pemberian.
Dari 54 kasus yang dapat dievaluasi, secara keseluruhan kesembuhan klinis terjadi pada 26 dari 39 kasus ISK simtomatik (66,6%); piuria menghilang pada 23 dari 30 penderita (76%),sedang eradikasi kuman hanya didapatkan pada 43% kasus (23 dari 54 kasus). Dari 27 penderita yang termasuk kelompok pengobatan konvensional, kesembuhan klinis didapatkan pada 59,2% kasus, piuria menghilang pada 55,5% kasus sedang eradikasi kuman hanya mencapai 40,7%. Pada kelompok terapi dosis tunggal (27 kasus) kesembuhan klinis didapatkan sebesar 59% dari kasus yang semula termasuk ISK simtomatik. Piuria menghilang pada 13 dari 22 {59%) kasus, sedang eradikasi kuman hanya mencapai 44,5%.
Pada sub kelompok ISK simpleks (38 kasus), diperoleh hasil sebagai berikut: Kesembuhan klinis, piuria yang menghilang dan eradikasi kuman secara berturut-turut sebesar 64,7%, 58,8% dan 64,7% dengan terapi konvensional, sedangkan dengan pengobatan dosis tunggal diperoleh angka sebesar 52,4% baik kesembuhan klinis, hilangnya piuria maupun eradikasi kuman. Terapi konvensional sedikit lebih baik dibandingkan dengan terapi dosis tunggal, meskipun secara statistik perbedaan tersebut tidak bermakna.
Pada sub kelompok ISK kompleks (16 kasus), belum dapat diambil kesimpulan yang berarti karena jumlah kasusnya terlalu kecil. Dengan pengobatan konvensional diperoleh kesembuhan klinis, piuria menghilang dan eradikasi kuman secara berturut-turut didapatkan pada 5, 3 dan 4 kasus dari 10 penderita, sedangkan dengan terapi dosis tunggal kesembuhan klinis, piuria menghilang serta eradikasi kuman didapatkan masing- masing pada 2 dari 6 kasus.
Sebagai kesimpulan, pada subkelompok ISK simpleks hasil pengobatan dengan terapi konvensional sedikit lebih baik dibandingkan dengan pengobatan dosis tunggal, sedangkan pada subkelompok ISK kompleks efektifitas pengobatan tampaknya lebih rendah bila dibandingkan dengan kelompok ISK simpleks meskipun belum dapat ditarik kesimpulan yang pasti karena jumlah kasus yang belum mencukupi.

ABSTRACT
Treatment Of Urinary Tract Infection In Children With Cefuroxime AxetilThe aim of this study is to evaluate the efficacy of oral cefuroxime axetil 15 mg./kg. bw. either given conventionally for seven days or as a single -one - shot dose. Fifty-four cases were feasible for evaluation. Clinical recovery was achieved in 26 out of 39 symptomatic patient (66,6%%), pyuria disappeared in 23 out of 30 cases (76%). Bacterial eradication was found in 23 out of 54 cases {43%).
Twenty-seven cases were treated conventionally. Clinical recovery was achieved in 59,2% of the cases, pyuria disappeared in 55,5% , but eradication rate was only 40,7% of the cases. Similar result was also obtained from the group of single-dose treatment. Clinical recovery was achieved in 59% of the cases, pyuria disappeared in 59% and eradication rate was only 44,5%.
From this report we conclude that clinical recovery was fair but this drug was not so effective in eradicating urinary tract infection, either in conventional or in single dose treatment.
Conventional treatment in simplex UTI revealed that clinical cure rate was 64,7%, pyuria disappeared in 58,8% and the eradication of pathogens were found in 64,7%, while in those patient who treated with single dose regimen, the clinical cure rate, disappearance rate of pyuria and pathogen eradication activity were 52,4% consecutively.
Conventional treatment in complex UTI showed that the clinical cure, disappearance of pyuria and the eradication of pathogens were found in five, three and four cases respectively, while in the group of single dose therapy the clinical cure, disappearance of pyuria and the eradication on microorganism were only found in two out of six cases (30%) respectively.
In simple UTI, there was a tendency of better result obtained in the group of conventional treatment in compare with the group of single dose regimen.
In complicated UTI, cure rate was lower than in simple UTI, especially in those cases who treated with single dose regimen although the final conclusion cannot be drawn yet due to the inadequacy of the sample size.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Sihombing, Rosida
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57276
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kanya Ayu Paramastri
"ABSTRAK
Latar belakang : Infeksi saluran kemih ISK berulang adalah ISK yang timbul kembali pasca pengobatan, dengan kejadian 40-50 dari ISK pertama. Kekerapan berulangnya ISK meningkatkan komplikasi gagal ginjal kronik. Salah satu faktor penyebab adalah kolonisasi bakteri patogen feses dari saluran cerna di daerah periuretra. Bakteri saluran cerna terdiri dari 3 kelompok, bakteri patogen, komensal dan bakteri menguntungkan. Penelitian membuktikan disbiosis antara bakteri patogen dan menguntungkan berkaitan dengan kejadian penyakit sistemik, namun belum ada penelitian tentang pengaruh hal tersebut pada ISK berulang.Tujuan : Mengetahui kondisi disbiosis yaitu perbedaan proporsi Escherichia coli dan Bifidobacterium sp. saluran cerna pada anak ISK berulang.Metode : Penelitian uji potong lintang pada anak ISK berulang usia 6 bulan sampai dengan
ABSTRACT
Background Recurrent urinary tract infection UTIr is repeated UTI post antibiotic treatment, with recurrency is 40 50 from the first infection. Recurrency of UTI increases possibility of chronic renal failure as complication. One of the causal factors is colonization of faecal pathogens from gastrointestinal tract in periurethra. Gastrointestinal tract bacteria is divided into 3 groups pathogens, comensal, and beneficial bacteria. Studies proved that imbalance of condition or dysbiosis between pathogens and beneficial bacteria lead to systemic diseases, but there were no studies in UTIr.Objective To know about dysbiosis condition based on proportion differences between gastrointestinal Escherichia coli and Bifidobacterium sp. in UTIr.Methods A cross sectional studies with children with UTIr, aged 6 months old until 18 years old, in Pediatric Departement Cipto Mangunkusumo Hospital as a subject. Healty child which had been matched by sex and age was choosen as a control group. Faecal samples from both groups underwent DNA extractions, using real time PCR method, to look for Escherichia coli and Bifidobacterium sp. amount and proportions.Results There was a total of 25 subjects, 8 32 were classifed as simplex UTI and 17 68 were complex UTI, also 25 healthy children as control. The total amount of Escherichia coli in UTIr compared to control was 1.099.271 vs 453.181 p 0,240. The total amount of Bifidobacterium sp. in UTIr compared to control was 1.091.647 vs 359.336 p 0,148. Escherechia coli proportion in UTIr compared to control was 10,97 vs 4,74 p 0,014 that shown a significant different, while Bifidobacterium sp. 6,54 vs 9,33 p 0,594. In UTIr group, proportion differences beetwen Escherichia coli and Bifidobacterium sp. was 10,97 vs 6,54 p 0,819, while in control group 4,74 vs 9,33 p 0,021 which showed that Bifidobacterium sp. has a significant different. The total amount of Escherichia coli in simplex compared to complex UTIr was 996.004 vs 1.099.271 p 0,798, while amount of Bifidobacterium sp. 835.921 vs 1.196.991 p 0,711. Logarithm of Escherichia coli proportion in simplex and complex UTIr was 5,50 SB 1,45 vs 5,92 SB 0,71 p 0,333, while Bifidobacterium sp. 5,85 SB 0,75 vs 6,04 SB 5,50 p 0,562 showed no significant differences.Conclusions Escherchia coli proportion was higher in UTIr children and Bifidobacterium sp. proportion was higher in healthy children. The proportion of both bacteria was equal in simplex and complex UTIr."
[Jakarta, ]: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58719
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Insan Kharis
"Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi yang cukup sering terjadi, terutama pada pasien-pasien anak dan geriatri, wanita, serta pasien-pasien rawat inap di rumah sakit. Walaupun ISK seringkali dapat diterapi dengan antibiotik, diketahui terdapat masalah resistensi kuman ISK yang cukup tinggi terhadap antibiotik ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol di Indonesia serta di negara-negara berkembang lainnya. Dalam penelitian ini, dilakukan uji disc-diffusion untuk mengidentifikasi efek antibakterial ekstrak etanol 70% daun Delonix regia terhadap pertumbuhan dua spesies bakteri Gram-negatif yang paling sering menyebabkan ISK, Escherichia coli dan Proteus mirabilis. Daun Delonix regia yang telah dikeringkan diekstrak dengan pelarut etanol 70%. Kemudian, ekstrak diencerkan empat kali dalam brain-heart infusion, menghasilkan ekstrak cair dengan kandungan 64 mg/mL, 32 mg/mL, 16 mg/mL, dan 8 mg/mL dan diteteskan ke atas disc kosong. Selanjutnya, zona hambat yang terbentuk pada biakan-biakan Escherichia coli dan Proteus mirabilis dihitung dengan jangka sorong. Dilakukan pengulangan sebanyak tiga kali. Tidak terbentuk zona hambat di sekitar disc yang mengandung ekstrak daun Delonix regia. Dua faktor utama yang kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian adalah jenis pelarut dan konsentrasi ekstrak yang digunakan. Selain itu, target molekular zat aktif yang diekspresikan oleh kedua spesies bakteri coba serta jenis produk Delonix regia yang digunakan mungkin turut berpengaruh pada hasil penelitian.

Urinary tract infections (UTIs) are common infections among children, geriatrics, women of all ages, and hospital inpatients. While UTIs can be successfully treated with antibiotics, it is currently known that there are high levels of antibiotic resistance to ampicillin, co-trimoxazole, and chloramphenicol among UTI pathogens in Indonesia and other developing countries. In this study, antimicrobial susceptibility testing using disc-diffusion method was performed to identify the antibacterial activity of 70% ethanolic extract of Delonix regia leaf against two common UTI pathogens, Escherichia coli and Proteus mirabilis. Dry Delonix regia leaves were extracted in 70% ethanolic solvent. It was then diluted four times in brain-heart infusion, giving four solutions with extract concentrations of 64 mg/mL, 32 mg/mL, 16 mg/mL, and 8 mg/mL. Afterward, the zones of inhibition formed on agar plates with Escherichia coli and Proteus mirabilis colonies were measured using vernier scale. This method was repeated three times. No evident zone of inhibition was formed around discs containing Delonix regia extract of all concentrations. Two main factors probably affecting the results of this study are extract solvent and concentrations used. Other factors, such as molecular targets expressed by both species of bacteria and products of Delonix regia likely play minor roles."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurazizah Putri
"Pemantauan terapi obat (PTO) merupakan salah satu tugas apoteker dalam bidang farmasi klinik yang dilaksanakan di rumah sakit. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal termasuk pasien yang diprioritaskan untuk dipantau. Pasien dengan penyakit ginjal lebih cenderung mengalami masalah terkait obat, antara lain duplikasi, dosis terlalu tinggi, regimen dosis terlalu sering, pengaturan jadwal pemberian obat kurang sesuai, dan gagal/tidak diberikannya obat. Oleh karena itu, dilakukan kegiatan PTO terhadap pasien chronic kidney disease (CKD) sebagai pembelajaran mengenai tugas apoteker dalam bidang farmasi klinik. PTO dilakukan secara prospektif selama 7 hari terhadap kasus pasien atas nama Tn. S yang telah ditugaskan oleh apoteker lahan unit rawat inap di RSPAD Gatot Soebroto. Tahapan PTO terdiri atas pengumpulan data pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi penyelesaian masalah, dan tindak lanjut. Masalah terkait obat yang ditemukan dalam kasus Tn. S, yaitu dosis tidak disesuaikan untuk kondisi CKD pasien dan adanya pengaturan interval pemberian obat yang tidak sesuai instruksi pengobatan. Rekomendasi intervensi yang diberikan adalah menyesuaikan dosis sesuai fungsi ginjal pasien dan mengingatkan tenaga kesehatan yang memberikan obat terkait instruksi pengobatan yang tepat. Intervensi kedua telah diimplementasikan.
Therapeutic drug monitoring (TDM) is a clinical practice performed by a pharmacist in a hospital. Patients with kidney disorders are prioritized to be monitored. These patients tend to experience drug-related problems, such as duplication, drug dose too high, dosage regiment too frequent, incorrect timing, and drug not taken at all. Therefore, TDM was practiced on chronic kidney disease (CKD) patients as a learning process in clinical pharmacy. TDM was done prospectively for 7 days on a Mr. S which had been assigned by the pharmacist-in-charge of the related inpatient ward in RSPAD Gatot Soebroto. The steps in TDM are data collection, problem identification, problem-solving recommendation, and feedback. The identified drug-related problem in Mr. S’s case was that the dosage hadn’t been adjusted according to his CKD condition and the interval between drug administration times did not match the previously given instructions. The recommended intervention was to adjust the dosage according to patient’s kidney function and to remind the health professional who was in-charge of drug administration regarding the correct instructions. The second intervention was implemented."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Azwar Djauhari
"ABSTRAK
lnfeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat selama seseorang berada di rumah sakit. Infeksi nosokomial tidak hanya menyerang yang dirawat tetapi juga penderita yang berobat dan setiap orang yang berada di rumah sakit. Dengan persyaratan pada waktu masuk rumah sakit penderita belum terinfeksi dan tidak berada dalam masa inkubasi penyakit tersebut.
Selain meyebabkan morbiditas dan mortalitas, infeksi nosokomial akan menambah beban tenaga dan biaya baik bagi rumah sakit maupun penderita dan keluarganya.
Ada empat macam infeksi nosokomial yang menonjol yaitu infeksi luka operasi (ILO), infeksi saluran kemih (ISK), infeksi saluran napas (ISN) dan bakteriemia.
Dari keempat macam infeksi nosokomial itu, 42% adalah infeksi nosokomial saluran kemih (INSK) dengan angka infeksi 2,39 per 100 kunjungan dan 47 - 75 persen infeksi nosokomial saluran kemih terjadi akibat tindakan urologik terutama sekali kateterisasi kandung kemih.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya infeksi nosokomial saluran kemih pada penderita yang memakai kateter kandung kemih di unit rawat inap RSUP Dr Sardjito Yogyakarta."
1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvin Bramantyo
"Infeksi saluran kemih dan batu ginjal merupakan masalah kesehatan dengan prevalensi dan insidensi yang tinggi di dunia. Pasien batu ginjal dapat mengalami penurunan fungsi ginjal yang dapat berujung pada Chronic Kidney Disease (CKD). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara infeksi saluran kemih dengan fungsi ginjal pada pasien batu ginjal.
Desain penelitian ini adalah potong lintang, melibatkan 5463 pasien batu ginjal yang menjalani perawatan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSUPNCM) pada tahun 2000-2013. Pengambilan data dilakukan pada 1140 pasien yang mempunyai data leukosit urin dan kreatinin serum. Sampel didapatkan dengan metode total population sampling. Pengambilan data dilakukan dengan mempelajari rekam medis pasien.
Hasil penelitian menunjukkan rasio subjek lakilaki: perempuan sebesar 7:3, prevalensi infeksi saluran kemih pada pasien batu ginjal sebesar 27.3%, prevalensi fungsi ginjal buruk pada pasien batu ginjal sebesar 37.4%, dan nilai kemaknaan p<0.0001 pada hubungan antara infeksi saluran kemih dengan fungsi ginjal pada pasien batu ginjal.
Terdapat hubungan yang bermakna antara infeksi saluran kemih dengan fungsi ginjal pada pasien batu ginjal. Diperlukan penatalaksanaan serta pencegahan infeksi saluran kemih pada pasien batu ginjal untuk mencegah perburukan fungsi ginjal.

Urinary tract infections and kidney stones are among the high prevalence health problems in the world. Kidney stone patients may have reduced kidney function that can lead to Chronic Kidney Disease (CKD). This study investigates possible relations between urinary tract infection with renal function in kidney stone patient.
This cross-sectional study was carried out on 5463 patients undergoing treatment for calculous disease in Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital (RSUPNCM) between 2000 and 2013. Data were collected from 1140 patients whose urine leukocytes and serum creatinine data were recorded. Samples were obtained using total population sampling method. Data were collected from patient's medical record. Patient characteristics were well matched generally.
The male to female ratio of subjects were 7:3 with a mean age of 46. Among subjects, 27.3% had urinary tract infections while 37.4% had poor kidney function. There was a significance value of p<0.0001 on the relationship between urinary tract infection and renal function in kidney stone patients.
In conclusion, there is a significant association between urinary tract infections and renal function in kidney stone patients. Management and prevention of urinary tract infections are necessary in kidney stone patients to prevent deterioration of renal function.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>