Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 52587 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Sulistyowati
"Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan oleh Perum Perhutani akhir tahun 2000, diketahui bahwa 350 ribu hektar hutan di Sawa rusak. Hutan yang rusak di Jawa Tengah tercatat 100 ribu hektar, termasuk Kabupaten Wonosobo. Kerusakan terluas terjadi di wilayah Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Wonosobo. BKPH Wonosobo adalah salah satu bagian dari Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Kedu Utara, Perhutani Unit I Jawa Tengah. Kerusakan hutan yang terjadi di BKPH Wonosobo tidak hanya terjadi di kawasan hutan produksi namun terjadi pula di kawasan hutan lindung. Penduduk membuka kawasan hutan lindung tersebut untuk pertanian.Penjelasan Pasal 50 ayat (3) hunaf b Undang-undang No. 41 Tahun .1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, disebut merambah. Merambah kawasan hutan merupakan salah satu larangan bagi setiap orang. Data dari BKPH Wonosobo memperlihatkan bahwa luas kawasan hutan lindung yang dirambah untuk pertanian sampai dengan Pebruari 2004 adalah seluas 1.948,10 hektar atau 50,59% dari total luas baku seluas 3.850,90 hektar. Distribusinya meliputi Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Dieng, Sigedang, dan Anggrung Gondok. RPH yang mengalami perambahan terluas adalah Dieng. Pertanyaan penelitian: (1) Faktor-faktor apakah yang melatarbelakangi terjadinya perambahan di kawasan hutan lindung? (2) Dampak ekologi apa yang ditimbulkan dari perambahan di kawasan hutan lindung? (3) Bagaimana upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya perambahan di kawasan hutan lindung?
Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis: (1) Faktorfaktor yang melatarbelakangi terjadinya perambahan di kawasan hutan lindung, (2) Dampak ekologi yang ditimbulkan dan perambahan di kawasan hutan lindung, dan (3) Upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya perambahan di kawasan hutan lindung. Hipotesis penelitian : (1) Perambahan hutan lindung dilatarbelakangi oleli faktor-faktor: (a) Masyarakat tidak mengetahui keberadaan kawasan hutan lindung, (b) Masyarakat tidak mengetahui adanya aturan-aturan yang berlaku dalam kawasan hutan lindung, (c) Masyarakat mengetahui keberadaan dan aturan-aturan yang berlaku dalam kawasan hutan lindung, tetapi terdesak oleh kebutuhan ekonomi. (2) Dampak ekologi perambahan di kawasan hutan lindung adalah terjadinya banjir, berkurangnya air tanah, erosi, dan longsor. (3) Apabila upaya penanggulangan dan pencegahan perambahan dilakukan melalui penegakan hukum yang konsekuen, terjalinnya kerjasama yang sinergis dan simuttan antara pihak terkait, dan adanya partisipasi masyarakat, maka perambahan dapat ditanggulangi dan dicegah. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif Penelitian dilakukan di RPH Dieng yang terletak di Dataran Tinggi Dieng, meliputi petak 8, 10, 11, dan 12. Data primer dan sekunder dikumpulkan dengan metode wawancara mendalam dan dokumenter.
Hasil analisis memperlihatkan sebesar 98% responden mengetahui keberadaan kawasan hutan lindung. Responden sebesar 98% menyatakan bahwa merambah hutan lindung adalah perbuatan yang dilarang. Pemanfaatan hutan pada hutan lindung diselenggarakan melalui pemberian izin, disetujui oleh responden sebesar 88%. Responden sebesar 98,3% menyatakan bahwa merambah hutan lindung bermanfaat untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi. Sebesar 70% responden menyatakan longsor dan erosi sebagai dampak yang dirasakan. Dampak lain yang dirasakan responden adalah banjir (23,4%) , dan berkurangnya air tanah (3,3%). Upaya penanggulangan dan pencegahan yang telah dilakukan adalah reboisasi, penyuluhan dan penegakan hukum.
Kesimpulan penelitian adalah:
1. Faktor-kaktor yang melatarbelakangi terjadinya perambahan hutan lindung adalah: a) Masyarakat belum memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup, b) Masyarakat belum memiliki kesadaran hukum, c) Adanya keinginan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.
2. Dampak ekologi yang ditimbulkan Bari perambahan di kawasan hutan lindung adalah terjadinya longsor, erosi, banjir, dan berkurangnya air tanah.
3. Upaya penanggulangan dan pencegahan terjadinya perambahan di kawasan hutan lindung adalah mengembalikan kawasan hutan lindung yang telah menjadi lahan pertanian ke fungsi semuia, melalui penegakan hukum yang konsekuen, kerjasama yang sinergis dan simultan antara Perhutani, Pemerintah Daerah, dan masyarakat setempat.

Based on inventory conducted by Perum Perhutani at the end of 2000, it has known that 350, 000 hectares of forest in Java were destructed. Whereas destructed forest area in Central Java was 100,000 hectares, included in Wonosobo District. The most extensive destruction occurred in the area of BKPH (Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan) Wonosobo, KPH Kedu Utara, Perhutani Unit I, Central Java. Forest destruction that occurred at BKPH Wonosobo not only in the area of production forests, but also in protection forest areas. The local people open the protection forest area for farming. According to the explanations of Law No. 41 in 1999 on Forestry, Chapter 50, Article (3), Section (b), utilizing forest area without legal permit of the Authorized Government is defined as encroaching. Encroaching of forest area is restricted for anyone. Data obtained from BKPH Wonosobo showed that encroachment on protection forest up to February 2004 was 1,948 hectares or 50.59% of total protection forest area, is 3,850.90 hectares. The distribution comprises Resort of RPH (Resort Pemangku Hutan) Dieng, Sigedang, and Anggrung Gondok. The largest encroached area is Dieng. The proposed questions in this research are (1), which factors that causing to encroach in protection forest area? (2) What is the ecological impact of protection forest area encroachment? (3) .How is the effort in overcoming and preventing the encroachment at protection forest area?
The objectives of this research= are to identify and analyze: (1) the factors that causing to encroach in the protection forest area, (2) the ecological impact of protection forest area encroachment, and (3) the effort in overcoming and preventing that causing to encroach in protection forest area. The hypothesis of this research are: (1) The factors of encroachment are: (a) The local people didn't know the existence of protection forest area, (b) They didn't know the regulations on protection forest area, (c) They knew it, however there is economical condition, (2) Encroachment caused to flood, lack of ground water, erosion, and landslide. (3) If the effort in overcoming and preventing of encroach conducted through consequent low enforcement, tied in synergic cooperation between related parties, and there is community participation, so the encroaching of protection forest area can be overcome and prevented. The method applied in this research was descriptive method. The research was conducted in RPH Dieng, which located at Dieng plateau, comprising of block 8, 10, 11, and 12. It used in-dept interview and documentary collects primary and secondary data.
The result of the analysis showed that 98% respondents know the existence of the protection forest area. 98% respondents said that to encroach the protection forest is forbidden. 88% respondents agreed that exploitation on protection forest should carry out with permission. 98,3% respondents said that encroaching the protection forest is good for better income. 70% respondents said that landslide is one of the impacts, while another 23,4% respondents said that the impact is flood in the rainy season and 3,3% respondents said there is lack of ground water in dry season. Reforestation, law enforcement and socialization are the efforts conducted in overcoming and preventing the encroachment.
The conclusions of the research are:
1. The factors that causing the encroachment are: a) the local community doesn't have proper awareness to keep environment preservation, b) the local community doesn't have less awareness on law, c) the local community wants to have more income.
2. The impact on ecology which is caused by the encroachment on the protection forest area was landslide, erosion, flood, and lack of ground water.
3. The efforts to prevent encroachment on the protection forest area is by re-function the protection forest through consequent low enforcement, simultaneous and synergic cooperation among Perhutani, Local Government, and the local community.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T14893
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peggy Awanti Nila Krisna
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perdagangan hasil dan hutang luar negeri terhadap deforestasi di Indonesia. Data yang digunakan merupakan data sekunder deret waktu selama 1974-2006 dan dianalisis dengan ekonometrika. Model terdiri dari tiga persamaan struktural yang merupakan model rekursif selanjutnya diestimasi dengan metode Seemingly Unrelated Equations (SUR).

The aim of this research is to know the influence of forest products trase and external debt to deforestation in Indonesia. The data used ini our analysis is time series during 1974-2006 periods and analyzed by econometrics. Model consisted of three structural equations representing as recursive model then estimated with the Seemingly Unrelated Equations (SUR) method."
Depok: Fakultas Eknonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T27675
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mujiono
"Penelitian bertujuan untuk membuat model spasial deforestasi tahun 1996 ndash; 2007, 2007 ndash; 2016, 1996 ndash; 2016 dan prediksi deforestasi periode 2016 - 2035. Selain itu, penelitian juga dimaksudkan untuk mengetahui biomassategakan dan cadangan karbon. Metode pendekatan yang digunakan adalah analisis kuantitatif dan deskriptif berbasis spasial. Deforestasi yang berlangsung selama periode 1996 hingga 2016 menyebabkan Kabupaten Bengkulu Utara kehilangan hutan seluas 27.154 ha. Pada periode tersebut umumnya deforestasi terjadi pada kawasan hutan produksi di kecamatan Pinang Raya dan Giri Mulya. Kemudian, berdasarkan analisis NDVI pada citra Landsat tahun 2016, kawasan hutan dengan karakteristik NDVI rendah, sedang dan tinggi secara berturut-turut memiliki biomassategakan 132,23 ton/ha, 287,59 ton/ha, dan 560,20 ton/ha. Sedangkan cadangan karbon pada NDVI rendah 62,15 ton C/ha, NDVI sedang 135,17 ton C/ha, dan NDVI tinggi 263,29 ton C/ha. Hasil perhitungan ini cukup valid karena sesuai dengan catatan Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan KLHK RI yang mengatakan bahwa cadangan karbon pada berbagai kelas tutupan lahan di hutan alam berkisar antara 7,5 ndash; 264,70 ton C/ha. Sementara itu, berdasarkan model spasial prediksi deforestasi tahun 2016 - 2035 Bengkulu Utara terancam kehilangan hutan seluas 21.345 ha. Deforestasi semakin meluas ke arah hutan lindung dan konservasi. Ketinggian dan lereng merupakan faktor pendorong deforestasi pada periode ini.Kata kunci: Model spasial, deforestasi, cadangan karbon.

The study aimed to create spatial deforestation models 1996 2007, 2007 2016, 1996 2016 and predicted deforestation period 2016 2035. In addition, the study also aimed to determine biomass and carbon stock. The approach method used is spatial based quantitative and descriptive analysis. Deforestation that lasted from 1996 to 2016 caused the North Bengkulu Regency to lose 27,154 ha of forest. In that period, generally deforestation occurred in production forest area located in Pinang Raya and Giri Mulya sub districts. Then, based on NDVI analysis on Landsat image 2016, forest area with low, moderate and high NDVI characteristic biomass 132,23 ton ha, 287,59 ton ha and 560,20 ton ha respectively. While carbon stocks in low NDVI was 62.15 ton C ha, moderate NDVI was 135.17 ton C ha, and high NDVI was 263.29 ton C ha. The results of this calculation was quite valid because in accordance with the record of the Center for Climate Change Policy KLHK RI said that carbon stocks in various classes of land cover in natural forests ranged from 7.5 to 264.70 tons C ha. Meanwhile, based on the spatial model of prediction of deforestation in 2016 2035 North Bengkulu threatened loss of forest area of 21,345 ha. Deforestation is increasingly widespread towards protected forests and conservation. Elevation and slope are the drivers of deforestation in this period. Keywords Spatial model, deforestation, carbon stock"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2017
T48837
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roosi Tjandrakirana
"Laju deforestasi yang meningkat pesat dari I.87 juta ha/th pada periode 1985-1997 menjadi 2,S jula ha/th pada periode 1998-2000 menyebabkan berbagai masalah a I . turunnya kualitas lingkungan, hasil kayu menurun draslis yang berdampak pada kurangnya pasokan kayu dll. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan penutupan hutan. Semula diduga. pengelolaan HPH dan pertumbuhan industri perkayuan yang mengakibatkcan peningkatan laju deforeslasi. Tetapi pendapat lain mengatakan. perubahan penutupan hutan terjadi sebagai akibat peningkatan jumlah petani dan peladang berpindah di kawasan hutan."
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, 2006
JEPI-VII-01-Juli2006-47
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Supardiansyah
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2008
T33988
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hutasoit, Donal
"Pembangunan di Indonesia selama dasawarsa 60-an sampai 90-an merupakan babak penting dalam sejarah pengelolaan sumberdaya alam, karena sumber daya alam dijadikan lokomotif penghela pembangunan dengan komoditi primadona yaitu minyak dan gas, hasil hutan (terutama kayu), serta hasil tambang.
Menurut laporan misi teknis International Topical Timber Organization (1TO) tahun 2001, disebutkan bahwa pada tahun 1967, produksi log dilaporkan sekitar 3.3 juta m3, telah meningkat pesat menjadi 32 m3 diproduksi pada tahun 1988, di mana 96% produksi log berasal dari hutan alam. Pada tahun 2000 dengan meningkatnya industri kehutanan, telah terjadi kesenjangan antara kapasitas terpasang dengan kemampuan pasokan kayu sekitar 50 juta m3/tahun di mana total kebutuhan industri kayu diperkirakan mencapai 72 juta m3.
Pada tahun 2004 kesenjangan kapasitas terpasang dengan pasokan kayu legal dari hutan alam semakin meningkat. Menurut Dirjen PHKA (2004) kapasitas terpasang industri olahan kayu sebesar 74 juta m3 sedangkan penetapan jatah tebangan untuk tahun 2004 hanya 7 juta m3.
Adanya kesenjangan kapasitas terpasang industri dan kegiatan ekspor illegal produk kayu ke luar negeri menyebabkan tekanan terhadap sumberdaya alam hutan semakin meningkat. Kerusakan hutan tropis Indonesia diperkirakan antara 0,6-1,3 juts ha/tahun (Abdullah, 1999), bahkan oleh banyak pihak angka tersebut ditengarai telah mencapai 2,5-3 juta ha/tahun sekarang ini.
Eksploitasi besar-besaran terhadap kawasan hutan bukan hanya terjadi pada hutan produksi tetapi sudah memasuki kawasan suaka alam maupun kawasan pelestarian alam termasuk di dalamnya kawasan taman nasional.
Perubahan dinamika politik juga turut berpengaruh terhadap percepatan kerusakan kawasan hutan dimana tuntutan peningkatan PAD menyebabkan Pemda turut melirik potensi SDA hutan untuk dijadikan sumber dana dengan mengeluarkan perda ataupun perizinan yang sering bermasalah. Salah satu contohnya adalah pemberian izin lokasi pemanfaatan kayu di areal yang tidak potensial untuk diambil kayunya sehingga penebangan terjadi di luar izin yang diberikan, di sisi lain pengawasan masih sangat minim.
Angin reformasi yang bertiup kencang sering diidentikkan dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya dan dijadikan alasan untuk melakukan perambahan hutan. Kondisi pendapatan masyarakat yang masih rendah dan jumlah penduduk yang semakin bertambah turut memberi andil dalam memperparah kerusakan hutan.
Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) seluas 1.375.349 ha, terletak pada bagian tengah rangkaian pengunungan bukit barisan dengan topografi yang didominasi oleh kelas kelerengan > 60% pada sebagian besar kawasannya (± 70%) dari luas kawasan. Pada kawasan ini terdapat hulu-hulu sungai dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari (Jambi), DAS Musi (Sumatera Selatan), DAS Ketaun (Bengkulu) dan DAS Indrapura (Sumbar). Jenis tanah yang mendominasi adalah jenis tanah Podsolik dengan sifat fisik dan sifat tanah yang relatif kurang baik serta relatif mudah tererosi.
Kondisi fisik kawasan TNKS yang demikian menyebabkan kawasan tersebut sangat vital bagi kelangsungan aktifitas ekonomi di daerah sekitar dan di bagian hilirnya yang mata pencaharian pokoknya adalah di sektor pertanian. Di samping itu, kawasan ini juga berperan memelihara fungsi ekologis seperti menjaga stabilitas iklim, mencegah erosi, mengendalikan banjir, melestarikan biodiversity sarana penelitian dan pendidikan, wisata dan fungsi lainnya.
Dari hasil penafsiran citra satelit yang dilakukan ICDP dan Balai TNKS terlihat adanya pengurangan penutupan kawasan hutan dari tahun 1985 sampai tahun 2002 seluas 26.044 ha dan kerusakan tersebut sampai saat ini masih terus berlangsung.
Kerusakan TNKS terutama disebabkan oleh aktifitas illegal logging dan perambahan hutan yang masih tinggi. Di samping itu, juga disebabkan oleh kebakaran hutan pencurian hasil hutan bukan kayu, perburuan liar, penambangan liar dll.
Dampak dari kerusakan TNKS secara langsung mulai dirasakan dengan seringnya banjir dan longsor di sekitar kawasan yang menimbulkan kerugian material dan moril yang sangat besar terhadap masyarakat sekitar, terganggunya aktifitas ekonomi misalnya di sektor pertanian (sawah tergenang), transportasi (baik air maupun darat) dan sektor lainnya.
Bertolak belakang dari kenyataan tersebut di atas maka penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Menganalisa faktor-faktor yang berkaitan pengelolaan INKS baik dari sisi intern maupun ekstern berupa kekuatan, kelemahan, kesempatan dan ancaman yang dihadapi institusi pengelola yaitu Balai TNKS, Departemen Kehutanan dalam rangka mengurangi laju kerusakan hutan di INKS.
2. Merumuskan strategi-strategi kebijakan dalam rangka mengurangi laju kerusakan hutan di TNKS.
3. Memilih prioritas strategi yang ada berdasarkari kriteria-kriteria yang ditentukan.
Dari hasil analisa SWOT terhadap faktor internal dan eksternal Balai INKS sebagai pengelola kawasan maka diperoleh alternatif strategi kebijakan dalam rangka mengurangi laju kerusakan hutan di INKS berupa strategi WT (Weakness-Threat) dengan bobot 4,78 kemudian strategi ST (Strength-Threat) dengan bobot 3,77 disusul strategi WO (Weakness opportunity) dengan bobot 3,16 dan selanjutnya strategi SO (Strength-Opportunity) dengan bobot 2,15.
Hasil analisa altematif-alternatif kebijakan dari strategi terpilih yaitu Weakness-Threat (atasi kelemahan untuk menghadapi ancaman) adalah sebagai berikut :
- Peningkatan organisasi/kelembagaan BTNKS, penyempurnaan sarana prasarana, perbaikan tata batas kawasan dalam rangka meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman/gangguan kawasan serta melakukan pemantauan terhadap upaya peningkatan PAD secara tidak terkendaii.
Mengupayakan penambahan jumlah SDM BTNKS dan peningkatan kemampuan petugas dalam mengantisipasi gangguan kawasan terhadap aktifitas pemenuhan bahan baku industri secara ilegal.
Dukungan dana operasional yang memadai dan teratur dalam rangka mengantisipasi/menanggulangi gangguan kawasan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dengan pengembangan masyarakat di daerah penyangga.
Strategi kebijakan yang didapat dari hasil analisa SWOT tersebut belum tentu seluruhnya dapat dilaksanakan secara simultan karena keterbatasan sumber daya dan yang lainnya sehingga perlu dilakukan penentuan prioritas. Dengan menggunakan The Analityc Hierarchy Process (AHP), dilakukan pemilihan prioritas kebijakan dengan hasil sebagai berikut :
1. Peningkatan jumlah SDM BTNKS dan kemampuan petugas dalam mengantisipasi gangguan kawasan terhadap aktifitas pemenuhan bahan baku industri secara illegal dengan bobot 0,483
2. Dukungan dana operasional yang memadai dan teratur dalam rangka mengantisipasi/penanggulangan gangguan kawasan INKS dan meningkatkan partisipasi masyarakat dengan pengembangan masyarakat di daerah penyangga dengan bobot 0,309
3. Peningkatan organisasi/kelembagaan, penyempurnaan sarana prasarana BTNKS, perbaikan tata batas kawasan dalam rangka meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman/gangguan kawasan serta melakukan pemantauan terhadap upaya peningkatan PAD secara tidak terkendali dengan bobot 0,208.
Penentuan prioritas strategi kebijakan dalam rangka mengurangi laju kerusakan hutan TNKS, bukan berarti menyatakan bahwa yang pertama perlu dan yang lain tidak perlu tetapi penentuan prioritas ini hanya sebagai bantuan untuk menentukan kebijakan yang perlu didahulukan apabila untuk melakukan seluruh kebijakan secara simultan mengalami kendala. Pelaksanaan seluruh kebijakan secara simultan akan menghasilkan pencapaian tujuan yang lebih optimal.
Berkurangnya laju kerusakan hutan di INKS merupakan langkah panting untuk mempertahankan fungsi kawasan baik yang tangible maupun intangible yang sangat dibutuhkan masyarakat sekitar untuk mempertahan-kan dan meningkatkan kesejahteraannya."
Depok: Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2005
T15299
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lia Yunita
"Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Provinsi Lampung dengan menggunakan citra satelit Landsat tahun 1990 dan 2014, data sosial ekonomi dari BPS dan survei untuk memvalidasi deforestasi di TNBBS. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menilai faktor pendorong yang paling dominan terhadap deforestasi di TNBBS periode 1990 sampai 2014. (2) Mengkaji pola spasial distribusi deforestasi di TNBBS periode 1990 sampai 2014. Deforestasi diidentifikasi melalui citra Landsat dengan menggunakan parameter Indeks Vegetasi (NDVI) untuk mengukur perubahan luas hutan dan kerapatan vegetasi. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode overlay peta dan diperkuat dengan metode statistik Regresi Logistik.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor pendorong yang paling dominan terhadap deforestasi di TNBBS adalah jarak dari jalan. Pola spasial deforestasi TNBBS periode 1990-2014 tersebar di zona rehabilitasi dengan total luas 5.731,40 hektar atau 54,98% dengan tingkat rata-rata deforestasi secara keseluruhan 0,2% setiap tahun.

This research was conducted in Bukit Barisan Selatan National Park (TNBBS) Lampung Province using Landsat satellite images in 1990 and 2014, socio-economic data from BPS and surveys to validate of deforestatation in TNBBS. The purpose of this research are: (1) Assess tho most dominant driving factor of deforestation in TNBBS period 1990 to 2014. (2) reviewing the spatial patterns distribution of deforestation in TNBBS period 1990-2014. Deforestation identified by Landsat images with parameter Vegetation Index (NDVI) to measure changes the forest cover and vegetation density. The analyses of deforestation using overlay map and reindforced logistic regresion statistical methods.
The results of this research that driving factor of deforestation the most dominant is the distance from the road in TNBBS. The spatial pattern distribution of deforestation in TNBBS period 1990-2014 are scatter in rehabilitation zones with a total area 5.731,40 hectares or 54,98% with an average rate of deforestation 0,2% a year.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2016
T45061
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ary Sulistyo
"Penelitian ini membahas tentang kelestarian lingkungan pada Kampung Adat Sunda Kawasan Gunung Halimun Selatan. Kampung Adat Cengkuk adalah salah satu kampung pengikut yang mengikuti tradisi atau Kasepuhan Ciptagelar dalam pengelolaan lingkungan. Faktor dari dalam dan luar kampung menyebabkan deforestasi hutan alam rata-rata sekitar 6-8% per tahun. Pertambahan penduduk kampung mencapai rata-rata 5,35% per tahun dikategorikan sangat padat. Tradisi atau adat Kasepuhan masih dianut warga kampung dengan menjaga hutan tutupan (leuweung tutupan) di sebelah selatan Kampung hanya untuk kegiatan subsistensi. Perubahan sosio-kultur terjadi pada masyarakat dengan tidak melakukan kegiatan berladang di hutan (outer island agriculture)tetapi lebih kepada kegiatan bertani di sawah (wet rice cultivation). Pengurangan pada proses dan kegiatan upacara, yang semula delapan upacara daur ladang menjadi lima upacara daur sawah. Kegiatan yang profan lebih banyak pada pengembangan komoditas tanaman ekonomi di kebun-talun. Pola keruangan dalam aspek kelestarian lingkungan juga masih menempatkan posisi; gunung-pemukiman-sungai; kampung inti-kampung pengikut. Kampung yang secara geografis lebih tinggi memiliki tradisi yang lebih ketat dibandingkan dengan kampung yang lebih rendah.

This research focused on the etemality of environment of indigenous Sunda Village of Kasepuhan Ciptagelar at Southem Halimun Mountain. The indigenous of Cengkuk Village was one compose of several cluster villages who still follow the tradition or Kasepuhan Ciptagelar in environmental management. There were internal factors and external factors led to deforestation of natural forests on average around 6-8% per year. The growth of population which was rise up until 5,35% per year was categorized as extremely dense. Kasepuhan indigenous tradition in people at the south of the village is still practicing by protecting forestland (leuweung tutupan) only for their subsistence. Social-culture changes were occurring in the community with no agricultural activities in the forest (outer island agriculture), but agricultural activities in the field (wet rice cultivation). Reduction ln process and ceremonial activities also happened, which was originally held eight ceremonial outer island agriculture rituals into five ceremonial of wet rice cultivation. More profane activities were developing economic crops in kebun-talun. The spatial pattern in environmental aspect was still having position; mountain-settlement-river; the main indigenous village of Kasepuhan-and the compose of several cluster villages. Indigenous villages that were geographically higher usually have more stricted tradition than the lower one."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2011
T33237
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ardi
"ABSTRAK
Deforestasi telah terjadi di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Apabila deforestasi terus terjadi di TNKS, maka akan berdampak negatif bagi kawasan TNKS sebagai ekosistem hutan dalam menjaga kestabilan lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji laju deforestasi dan mengetahui faktor- faktor pendorong terjadinya deforestasi di TNKS selama jangka waktu duapuluh empat tahun yang terbagi menjadi empat priode pengamatan. Metode analisis penelitian menggunakan analisis spasial dan regresi logistik.
Hasil penelitian menunjukan laju deforestasi yang terjadi di TNKS selama priode awal tahun sampai dengan priode ketiga mengalami penurunan, selanjutnya laju deforestasi kembali naik pada priode akhir. Sedangkan faktor pendorong secara bersama- sama berpangaruh terhadap deforestasi, namun terdapat beberapa faktor pendorong yang memiliki peranan penting terhadap kejadian deforestasi di TNKS, Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh.

ABSTRACT
Deforestation has occurred in the Kerinci National Park area (TNKS). If deforestation continues at TNKS, it will have a negative impact for the region TNKS as forest ecosystems in maintaining the stability of the environment. This study aims to assess the rate of deforestation and identify factors driving deforestation in TNKS for a period of twenty-four years, divided into four observation period. Research analysis method using spatial analysis and logistic regression.
The results showed the rate of deforestation in TNKS during the period up to the beginning of the third period decreased, further deforestation rates go up at the end of the period. While driving factors together influential to deforestation, but there are several driving factors that have an important role on the incidence of deforestation in TNKS, Kerinci District and Sungai Penuh City."
2016
T45392
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pungky Widiaryanto
"Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) has become important for Indonesia because this mechanism will provide financial benefits and it adheres to the Indonesian commitment to participate in climate change mitigation. However, a weak forest governance system and lack of transparency have undermined Indonesia’s goals to reduce deforestation and to manage and distribute the compensation appropriately. The idea of transformational change to reform Indonesian forest governance might be hindered by path dependency that has become entrenched within the Indonesian government. This paper, therefore, attempts to analyze path dependency of Indonesian forest governance and to examine the implication of path dependency in the development of REDD+ in Indonesia. Using the political economy lens, the diagnosis of path dependency is determined if there are positive feedbacks for the Ministry of Forestry, as the leading agency in the administration of Indonesian forests, to maintain the status quo. This paper shows that there are four positive or reinforcing feedbacks for the Ministry of Forestry: (1) vested interests for utilizing the forests as an income source, (2) network effects from managing the forest resources, (3) sunk costs invested to strengthen the institution, and (4) inclusiveness of the institution in managing the forests. This paper also highlights that path dependency within the Ministry of Forestry causes a complexity in the REDD+ debate in Indonesia, particularly regarding which institutional arrangement will best implement REDD+. On the other hand, this paper shows that various policies and activities related to REDD+ could break path dependency."
Jakarta: Badan Perencanaan PembangunaN Nasional (BAPPENAS), 2020
330 JPP 4:3 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>