Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149744 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Agustina Ika Susanti
"Resistensi terhadap S/P dihubungkan dengan mutasi titik pada enzim DHFR/DHPS, sehingga menyebabkan melemahnya ikatan afinitas antara enzim dengan inhibitornya. Meskipun secara in vitro hal ini sudah dibuktikan, namun secara in vivo belum ada pola mutasi yang spesifik yang dapat digunakan untuk memperkirakan kegagalan S/P, mengingat penggunaan S/P sebagai first line atau second line di beberapa daerah endemik malaria memacu timbulnya resistensi SIP dalam waktu yang relatif cepat. Indonesia adalah salah satu negara endemik malaria, dimana hampir 50% P. falciparum telah resisten terhadap klorokuin. Untuk menentukan apakah S/P akan dipakai sebagai first line ataupun second line anti malaria drug , diperlukan analisis dari mulasi gen DHFR dan DHPS, yang berguna memberikan masukan untuk kebijkan pengobatan di suatu daerah. Sampel penelitian ini adalah P. falciparum yang didapat dari pasien yang berkunjung ke Puskesmas Kenarilang (Alor) dan Hanura (Lampung) kemudian diberi S/P dan diikuti hingga 28 hari pengamatan. Dari spot darah pasien, DNA P. falciparum di ekstrak dengan menggunakan metode ekstraksi chelex, dan selanjutnya dilakukan amplifikasi DNA dengan primer yang menyandi gen DHFR dan DHPS. Hasil amplifikasi dipotong dengan menggunakan enzim restriksi untuk melihat adanya mulasi di kedua gen tersebut.
Kegagalan pengobatan di Alor dan Lampung sebesar 8,5 % dan 22,5%. Dari kedua daerah ditemukan adanya mutasi DHFR yaitu aspargin 108 Alor vs Lampung sebesar 71,2% vs 87,2%, valin 16 sebesar 93,6% vs 33,3%, Arginin 59 sebesar 59,6% vs 72,4%. Tidak ditemukan adanya mutasi isoleusin 51 di kedua daerah, meskipun di Alor hanya ditemukan mutasi leusin 164 hanya sebesar 8,5%. Sedangkan mutasi DHPS pada residu glisin 437 sebesar 64% hanya ditemukan di Lampung saja. Proporsi mutasi ganda dikedua daerah masing-masing sebesar 48,9% dan 51,9% untuk Alor dan Lampung dengan predominasi aspargin 108 + arginin 59. Aspargin 108 + arginin 59 I(DHFR), glisin 437 (DHPS) atau gabungan ketiganya (DHFR mutan + DHPS mutan) berhubungan dengan kegagalan pengobatan S/P. Ada hubungan age-dependent distribusi parasit dengan alel gen DHFR mutan + DHPS mutan dimana akan semakin dijumpai dalam proporsi yang semakin sedikit di usia dewasa (> 20 tahun). Terdapat perbedaan proporsi pembawa gametosit dimana diakhir pengamatan (H28). dimana Lampung lebih banyak dari Alor. Penggunaan SIP di Alor masih dapat dipakai sepanjang tidak digunakan sebagai first line antimalaria drug dan harus digunakan dengan kombinasi SIP dan obat lainnya. Sedangkan di Lampung penggunaan SIP sebaiknya diganti mengingat tingginya mutasi di daerah tsb."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T11295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Conny Riana Tjampakasari
"Latar belakang. Meningkatnya kasus HIV-AIDS human immunodeficiency virus-acquired immunodeficiency syndrome secara global memicu kewaspadaan akan peningkatan infeksi oportunistik, salah satunya infeksi Pneumocystis jirovecii yang mengakibatkan pneumonia PjP. Infeksi PjP merupakan kasus yang sulit ditangani terkait rendahnya sensitivitas uji diagnostik diiringi dengan peningkatan kasus resistensi terhadap antibiotik. Di Indonesia belum terdapat data demografis, epidemiologi molekuler maupun data resistensi mengenai kasus infeksi PjP. Mengantisipasi masalah tersebut, dalam penelitian ini dikembangkan uji diagnostik PjP pada ODHA Orang Dengan HIV-AIDS terduga pneumonia melalui pendekatan molekular terhadap gen MSG Major Surface Glycoprotein disertai dengan karakterisasi gen DHPS dihidropteroat sintase dan gen mtLSU mitochondrial large subunit yang berkorelasi dengan genotipe resisten dan virulensi P. jirovecii.
Tujuan penelitian. Memperoleh suatu uji deteksi infeksi PjP, data genotipe resistensi dan virulensi PjP melalui pendekatan secara molekuler yang dapat dimanfaatkan sebagai dasar data demografi dan epidemiologi molekuler PjP di Indonesia.
Metode penelitian. Pengembangan uji diagnosis molekuler PjP terhadap gen MSG dilakukan dengan metode real- time PCR yang diujikan terhadap 100 sampel sputum. Pola genotipe resistensi dilakukan melalui amplifikasi gen DHPS dilanjutkan dengan restriction fragment length polymorphism RFLP . Virulensi daerah hot spot gen mtLSU dianalisis dengan metode PCR dan sekuensing DNA.
Hasil. Secara demografi, diketahui prevalensi PjP pada ODHA terduga pneumonia di Jakarta mencapai 20,0, laki-laki 75, rentang usia terbanyak 31-40 tahun 35, dominan 80 pada kisaran sel limfosit T CD4 200-349 sel/L. Sebanyak 12 pasien menunjukkan gen DHPS positif, lima pasien 41,66 merupakan genotipe wild type WT dan 7 pasien lainnya 58,32 merupakan genotipe resisten, terdiri dari 16,67 genotipe-3 dan 41,66 genotipe campuran WT dan genotipe 1. Analisis virulensi berdasarkan gen mtLSU diperoleh 30 strain PjP positif yang didominasi oleh variasi-3. Status imun pasien lebih berkaitan dengan genotipe resistensi dibandingkan dengan jenis varian.
Kesimpulan. Uji real-time PCR yang dikembangkan mampu memberikan nilai diagnostik yang lebih baik dibandingkan pewarnaan Giemsa. Terdapat 3 genotipe gen resistensi WT, genotipe 1 dan 3 dan 7 varian P. jirovecii yang bersirkulasi di Jakarta. Genotipe resistensi lebih berkaitan terhadap kondisi klinis pasien dibandingkan dengan jenis varian.

Background. The global rise of HIV-AIDS cases increase the alertness against oportunistic infections, one of them is Pneumocystic jirovecii pneumonia PjP. PjP infection is a one of a tough infection to be cured due to low sensitivity of its diagnostic method following the escalation of PjP resistance against antibiotics. There is no demografic, molecular epidemiology nor antibiotics resistance data were available related to PjP infection in Indonesia. Thus, this study was conducted to develop a molecular test to diagnose PjP infection in HIV-AIDS suspected pneumonia patients based on MSG Major Surface Glycoprotein gene detection, followed by characterization of DHPS dihydropteroat syinthetase and mtLSU mitochondrial large subunit genes represent genoype resistance and P. jirovecii virulence.
Research objective. To obtain a molecular test in diagnosing PjP infection and information of P. jirovecii genotype resistance and virulence based on molecular characteristics, which can be used further as demographic and molecular epidemiology basis data of PjP in Indonesia. Research methods. Molecular diagnostic test aimed for MSG gene of P. jirovecii detection was done through real-time PCR against 100 sputum samples. Genotype resistance and P. jirovecii polymorphism patterns was done through DHPS and mtLSU genes amplification followed by restriction fragment length polymorphism RFLP and DNA sequencing analysis. Virulence of the hot spot area are of the mtLSU gene was analyzed by PCR method and DNA sequencing.
Results. The prevalence of PjP infection in HIV-AIDS suspected pneumonia patients in Jakarta was 20.0, male 75 within 31-40 y.o 35, dominant 80 from patients with CD4 T-lymphocytes of 200-349 cells/L. Molecular real-time PCR methods give five times sensitivity higher than Giemsa stain. Twelve patients showed positive DHPS gene, five patients 41.67 were wild type WT genotypes and 7 other patients 58.32 were resistant genotypes, with 16.66 was genotype-3 and other 41.66 was mixed genotypes WT and genotype 1. Virulence analysis based on mtLSU gene show 30 positive strains which dominated by variant-3. The patients immune status is more related to the resistance genotype compared to the variant type.
Conclusion. The developed real-time PCR method is proven to able to give better diagnostic value than Giemsa stain. There are 3 genotypes of resistance genes WT, genotypes 1 and 3 and 7 variants of P. jirovecii circulating in Jakarta. Resistance genotypes are more related to the clinical condition of patients compared to variant types. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marantina, Sylvia Sance
"ABSTRAK
Sebanyak 120 sampel Dried Blood Spot (DBS) malaria falciparum yang diperoleh dari studi efikasi obat DHP pada 5 wilayah di Indonesia dianalisis dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) dan sekuensing, untuk melihat varian SNPs K13 dan alel FcγRIIa -131 serta hubungannya dengan densitas parasit dan efikasi Dihidroartemisinin-Piperakuin. Hasil penelitian tidak menemukan mutasi gen K13 pada seluruh isolat P. falciparum yang diperiksa. Artemisinin masih efektif untuk pengobatan malaria di Indonesia. Analisis gen FcγRIIa menunjukkan bahwa genotip RH memiliki frekuensi yang paling tinggi (50,8%) dibandingkan RR (17,5%) dan HH (31,7%). Alel R131 gen FcγRIIa menunjukkan efek protektif terhadap High Density Parasitemia (HDP) (>5000 parasit/μL; odds ratio [OR]= 0.133, 95% confidence interval [CI]= 0.053?0.334, P< 0.001) dan berkaitan dengan keberadaan gametosit yang lebih lama pada inang (> 72 jam.

ABSTRACT
Relative Risk [RR]= 1,571, 95% confidence interval [CI]= 1,005?2,456, P= 0.090).;A total of 120 samples of Dried Blood Spot (DBS) falciparum malaria acquired from DHP drug efficacy studies in 5 regions in Indonesia were analyzed by Polymerase Chain Reaction (PCR) and sequencing, to look at variants of K13 SNPs and FcγRIIa-131 allele and its Association with Parasite Density and Efficacy of Dihydroartemisinin- Piperaquine. No mutations in the K13 gene was found in any of the isolates examined. Artemisinin is still effective for the treatment of malaria in Indonesia. The FcγRIIa gene analysis indicated that genotype RH has the highest frequency (50.8%) compared to RR (17.5%) and HH (31.7%). Allele R131 showed a protective effect against High Density Parasitemia (HDP) (>5000 parasites/μL; odds ratio [OR]= 0.133, 95% confidence interval [CI]= 0.053?0.334, P< 0.001) and associated with longer gametocytes carrier clearance time (> 72 hours; Relative Risk [RR]= 1,571, 95% confidence interval [CI]= 1,005?2,456, P= 0.090).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hilman Fathurohman
"Plasmodium falciparum menggunakan protein EBA140 sebagai salah satu protein yang berperan pada proses invasi ke dalam sel darah merah. Polimorfisme domain F1 gen EBA-140 diketahui memengaruhi spesifisitas perlekatan protein EBA-140 pada reseptor di permukaan sel darah merah. Variasi tipe alel Gerbich pada gen GYPC yang merupakan reseptor bagi EBA-140 juga dapat memengaruhi kemampuan protein ligan EBA-140 dalam berikatan dengan reseptor GYPC di permukaan sel darah merah.
Penelitian mengenai keragaman sekuens asam amino domain F1 gen EBA-140 dan variasi alel Gerbich gen GYPC telah dilakukan terhadap 18 isolat klinis P. falciparum yang berasal dari kabupaten Bangka Barat (n = 5), kabupaten Bangka Tengah (n = 4), dan kabupaten Mimika (n = 9). Amplifikasi gen EBA-140 dari isolat parasit malaria dilakukan dengan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Selanjutnya fragmen DNA parasit diperbanyak dengan metode kloning ke dalam sel bakteri Escherichia coli.
Analisis hasil sekuens asam amino domain F1 menunjukkan adanya 7 haplotipe gen EBA-140 dari ketiga daerah tersebut. Tiga haplotipe yaitu ISTK, DSTK, dan ISRE merupakan haplotipe baru yang belum pernah dilaporkan sebelumnya. Analisis variasi alel Gerbich pada gen GYPC menunjukkan tidak ada delesi ekson 3 pada gen GYPC pada ketiga daerah tersebut. Informasi mengenai keragaman haplotipe gen EBA-140 dan gen GYPC dapat dijadikan sebagai acuan dalam mendesain vaksin berbasis gen EBA-140 yang efektif memberantas P. falciparum di Indonesia.

Plasmodium falciparum utilizies the EBA140 as one of its proteins to invade the red cells. Polymorphisms at the domain F1 of EBA-140 gene have been known to affect the ligand recognition to its corresponding protein receptors glycophorin C (GYPC) or Gerbich antigen. Deletion on the GYPC gene, known as Gerbich blood-type, is known to prevent the parasite invasion using this pathway. Polymorphisms on the GYPC gene could alter the ability of EBA-140 ligand to bind to GYPC receptor on the surface of erythrocyte. Plasmodium falciparum clinical isolates from West Bangka (n = 5), Central Bangka (n = 4), and Mimika regencies (n = 9) were studied for their EBA-140 and GYPC gene polymorphisms. Parasite DNA was amplified using Polymerase Chain Reaction (PCR) and subsequently cloned into Escherichia coli.
Amino acid sequence analysis of the F1 domain showed that there were seven haplotypes of EBA-140 gene from all locations. Three haplotypes of EBA-140 (ISTK, DSTK, ISRE) detected in this study were new haplotypes that had not been reported previously. Analysis on the Gerbich allele detected no exon 3 deletion on the GYPC gene from all location. These findings provide useful information if the vaccine involving the EBA-140 component would be developed.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S56171
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sorontou, Yohanna
"Protein EBA-175 (Erythrocyte binding antigen-175) plasmodium falciparum merupakan ligan yang memperantarai perlekatan merozoit pada residu asam sialat glikoforin A pada eritrosit manusia dan oleh karena itu memegang peranan yang sangat penting pada invasi sel. Gen penyandi protein ini, eba-175 telah dibuktikan memiliki alel dimorfik, FCR (F) dan CAMP (C) yang dilaporkan berkaitan dengan manifestasi klinis malaria. Alel ini ditandai oleh adanya insersi nuleotida sebesar 423 pb pada alel F dan 342 pb pada alel C.
Suatu penelitian epidemiologi molekul yang bertujuan untuk menentukan frekuensi distribusi kedua alel tersebut serta kaitannya dengan manifestasi klinis malaria telah dilaksanakan pada isolat-isolat P. falciparum yang dikumpulkan dari pasien-pasien malaria asimptomatik dan simptomatik di Kabupaten Jayapura. Provinsi Papua melalui survei malariometrik dan pengumpulan sampel di pusat-pusat pelayanan kesehatan.
Analisis dengan teknik penggadaan DNA (Polymerase chain reaction) 110 isolat dari pasien asimptomatik dan 100 isolat dari pasien simptomatik menunjukkan bahwa alel C merupakan alel yang dominan pada kedua kelompok tersebut, dengan frekuensi distribusi pada malaria asimp-tomatik; alel C: 62.7%, alel C/F: 8%. Uji statistik dengan Chi-square menunjukkan tidak adanya keterkaitan antara alel-alel tersebut di atas dengan manifestasi klinis malaria.
Pengobatan kasus malaria dengan obat antimalaria sulfadoksin-pirimetamin (SP) menunjukkan adanya perubahan yang bermakna pada distribusi kedua alel tersebut dan dimana alel C ditemukan berkaitan dengan kegagalan pengobatan SP. Hasil-hasil yang diperoleh berbeda secara bermakna dengan frekuensi distribusi alel gen eba-175 yang dilaporkan di beberapa negara endemis malaria dimana alel F merupakan alel dominan. Dominasi alel C di Papua kemungkinan sebagian dapat dikaitkan dengan resistensi relatif alel tersebut terhadap obat SP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
D624
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meizi Fachrizal Achmad
"Ruang Lingkup dan Cara penelitian : Resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin diltubungkan dengan mutasi titik gen Pfcrt sehingga diduga menyebabkan meningkatnya efflux klorokuin dari vakuola makanan. Penelitian pada beberapa riegara secant in vivo memo rikan hasil yang berbeda pada daerah yang berbeda. Indonesia adalah salah satu negara endemik malaria dimana penggunaan klorokuin sejak lama telah memacu timbulnya resistensi dan saat ini bampir 50 % P. falcipaaum telah resisten terhadap klorokuin. Untuk menentukan apakah klorokuin masih dapat dipakai sebagai first line therapy, diperlukan analisa mutasi Plot yang berguna untuk memberikan masikan dalam kebijakan pengobatan di suatu daerah. Sampel penelitian ini adalah P. falciparurn yang didapat dari pasien yang datang berobat ke Puskesmas Kenarilang (Alor) kemudan diberi klorokuin 25 mglkgbb selama 3 hari dan dilakukan pengamatan selama 28 hari. Dan spot darah pasien, DNA P. falciparum diekstrak dengan menggunakan metode Meier dan selanjutnya dilakukan amplifikasi DNA dengan primer yang menyandi gen Pfcrt. Hasil amplifikasi dipotong dengan menggunakan enzim restriksi untuk melihaQ. adanya mutasi.
Hasil dan Kesimpulan : Angka endemisitas malaria di Alor sebesar 65,9 % (1921292) dengan prevalensi malaria falsiparum sebesar 28,9 % (871292) sebagai infeksi tunggal dan 4,4 % (131292) sebagai infeksi campur. Sedangkan aagka kegagalan pengobatan sebesar 65 % (26140) dan diantaranya disebabkan oleh resistensi parasit terhadap klorokuin sebesar 56,3 % (18132). Mutasi pada kodon 76 Pfcrt memperlihatkan hubungan yang sangat bermakna dengan kegagalan pengobatan (p r 0,05). Selma penderits yang gagal dalam pengobatan (resisten) ternyata mengandung parasit yang mengalami mutasi pada gen Pfcrt sebesar 100 % (18/18). berdasarkan kriteria WHO, Alor dimasukkan ke dalam kategori "change period'.
Dengan demikian penggunaan klorokuin sebagai obat pilihan pertama pada pengobatan malaria falsiparum di Alor sudah selayakrtya dievaluasi kernbali. Walaupun belum ideal, namun penggunaan terapi kornbinasi artemisin dengan amodiakuin dapat dijadikan sebagai pilihan pertama pada pengobatan malaria falsiparum tanpa komplikasi."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13679
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Rezza Zuchrian
"Plasmepsin adalah enzim utama di dalam siklus hidup parasit malaria. Plasmepsin bekerja dengan mendegradasi hemoglobin selama fase eritrosit didalam vakuola makanan. Reduktase protein pembawa enoil asil Plasmodium falciparum (PfENR) adalah enzim yang berperan penting dalam biosintesis asam lemak tipe II yang terjadi dalam Plasmodium falciparum. Struktur kedua enzim ini telah berhasil dikristalkan dan menunjukkan bahwa struktur kedua enzim ini memiliki situs aktif sehingga memberikan kemungkinan interaksi dengan suatu senyawa. Xanton, senyawa polifenolik aktif dari Garcinia mangostana Linn. dan analog xanton yang diisolasi menunjukkan adanya aktivitas inhibisi pada Plasmodium falciparum secara in vitro. Pada penelitian ini, teknik penambatan molekuler digunakan untuk memperoleh aktivitas inhibisi kedua enzim. Hasil penambatan molekuler senyawa xanton pada enzim plasmepsin menunjukkan bahwa lebih dari satu ikatan hidrogen terlibat dalam proses inhibisinya. Pada enzim PfENR, hasil penambatan molekuler menunjukkan bahwa interaksi hidrofobik dan sedikitnya satu ikatan hidrogen terlibat dalam proses inhibisinya."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2010
S33148
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Gen var merupakan famili gen pada Plasmodium falciparum yang
mengkode PfEMP1 (Plasmodium falciparum Erythrocyte Membrane Protein
1) pada permukaan eritrosit yang terinfeksi parasit. Penelitian bertujuan
mengkarakterisasi variasi ekspresi gen var dan melihat motif conserved
(homolog) sekuens gen var pada domain DBLγ dari isolat klinis P. falciparum
pada penderita malaria di Rumah Sakit Mitra Masyarakat, Timika, Papua.
Penelitian dilakukan di Laboratorium Malaria 2, Lembaga Biologi Molekuler
Eijkman selama 8 bulan. Domain DBLγ pada PfEMP1 diamplifikasi secara in
vitro dengan teknik PCR menggunakan primer DBLγ degenerate, yang
menghasilkan pita dengan kisaran ukuran 500--700 pb. Produk PCR DBLγ
kemudian diligasikan dengan vektor plasmid pGEMĀ®-T easy dan
ditransformasikan ke dalam Escherichia coli strain DH5α dengan metode
heat shock. Transforman diseleksi pada medium agar Luria-Bertani ampisilin.
Hasil penapisan biru-putih dan PCR insert checking menunjukkan adanya 1--
33 koloni yang positif mengandung insert dari masing-masing sampel.
DeoxyriboNucleic Acid koloni positif tersebut kemudian di-sequencing. Hasil
sequencing dan alignment menunjukkan adanya variasi ekspresi gen var dan
motif conserved (homolog) dari isolat klinis P. falciparum dari Timika, Papua.
Berdasarkan alignment sekuens asam amino, terdapat 1--9 variasi ekspresi
gen var pada klona tiap sampel. Rekonstruksi pohon filogenetik dilakukan
dengan metode Neighbour-Joining dengan program komputer PHYLIP.
iv
Berdasarkan pohon tersebut, terdapat hubungan kekerabatan atau
persamaan sekuens asam amino antara sampel isolat klinis P. falciparum
dari Timika, Papua dan sekuens asam amino DBLγ dari database
(www.ncbi.nlm.nih.gov) dan (www.plasmodb.org)."
Universitas Indonesia, 2007
S31455
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Irsan Saleh
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian:
Mekanisme kerja primakuin, sampai saat ini masih belum sepenuhnya diketahui. Dugaan bahwa primakuin bekerja pada parasit malaria melalui penghambatan sistem rantai . pernafasan parasit, didasarkan pada bukti bahwa obat ini dimetabolisme menjadi bentuk intermediat, 5,6-quinolin diquinone yang mempunyai struktur yang mirip dengan ubikuinon (koenzim Q), salah satu komponen penting sistem respirasi mitokondria. Diperkirakan bahwa efek antimalaria obat ini dimediasi oleh kompetisi perikatannya dengan koenzim Q pada apositokrom b. Beberapa inhibitor kompleks III rantai pernafasan di mitokondria mempunyai struktur kimiawi yang mirip dengan koenzim Q dan resistensi terhadap inhibitor-inhibitor tersebut didasari oleh adanya mutasi pada gen sitokrom b.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme kerja obat antimalaria primakuin pada parasit malaria melalui pendekatan biomolekuler dengan hipotesis bahwa resistensi parasit malaria terhadap primakuin didasari oleh adanya mutasi pada gen sitokrom b. Untuk itu dilakukan upaya untuk mendapatkan galur P. berghei yang resisten terhadap primakuin dengan cara memberikan primakuin dengan dosis subletal secara bertahap pada P berghei yang sensitif terhadap primakuin. Terjadinya resistensi terhadap primakuin dideteksi dengan tes sensitivitas in vivo dan dilanjutkan dengan kloning untuk mendapatkan galur murni. Dari galur tersebut dilakukan isolasi DNA, amplifikasi gen sitokrom b dengan metode PCR dan sekuensing DNA untuk mengetahui adanya mutasi pada situs perikatan kuinon (Qo dan Qi).
Hasil dan Pembahasan:
Dari penelitian ini telah berhasil diperoleh dua galur P. berghei yang resisten terhadap primakuin dengan derajat resistensi sekitar 20 kali dibandingkan dengan galur parental. Analisis gen sitokrom b menunjukkan tidak ditemukannya mutasi baik pada tempat perikatan kuinon (Qi dan Qo) maupun pada bagian lainnya. Diperkirakan, dengan derajat resistensi yang diperoleh mungkin belum mampu menyeleksi alel resisten pada gen target. Kemungkinan yang lain adalah resistensi terhadap primakuin tidak didasari adanya mutasi pada gen sitokrom b, tetapi lebih pada struktur kimianya sebagai aminokuinolin, sehingga analisis terhadap gen yang berkaitan dengan resistensi terhadap golongan obat tersebut, misalnya pbmdr I dan pbcrl mungkin diperlukan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T11292
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>